Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177654 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saragih, Evanie Estheralda Elizabeth Romauli
"Penelitian ini membahas dan menganalisis pertimbangan hakim dan kesesuaian pertimbangan hakim dalam memberikan dispensasi kawin kepada anak di bawah umur yang hamil di luar nikah dengan Perma Nomor 5 Tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu bagaimana pertimbangan hakim dalam memberikan dispensasi kawin kepada anak di bawah umur yang hamil di luar nikah dalam Putusan Nomor 4/Pdt.P/2022/PA.Thn serta bagaimana kesesuaian pertimbangan hakim dalam memberikan dispensasi kawin dalam putusan tersebut dengan Perma Nomor 5 Tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tertulis bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, namun, saat ini banyak terjadi kasus kehamilan di luar nikah yang dilakukan oleh pria dan wanita yang belum berumur 19 tahun, yang mengakibatkan timbulnya permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh orang tuanya. Putusan Pengadilan Agama Tahuna Nomor Nomor 4/Pdt.P/2022/PA.Thn menyatakan bahwa permohonan dispensasi kawin terhadap kedua calon pasangan kawin di bawah umur tersebut diterima dan hakim telah menggunakan asas kepentingan terbaik bagi anak dalam memberikan pertimbangan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah doktrinal dengan penelitian preskriptif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka diperoleh simpulan bahwa majelis hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi kawin harus mendasarkan pertimbangannya pada asas-asas yang termuat dalam Perma Nomor 5 Tahun 2019. Hakim dalam penetapan ini melihat adanya hubungan yang erat antara kedua Anak dan terdapat alasan mendesak berikut dengan bukti-bukti yang cukup. Berdasarkan pertimbangan yang ada, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan Perma Nomor 5 Tahun 2019. Dalam Perma ini tertulis bahwa salah satu asas yang harus dipertimbangkan oleh hakim adalah asas kepentingan terbaik bagi anak yang dapat diidentifikasi dengan dengan mempertimbangkan kondisi psikologis, sosiologis, budaya, pendidikan, kesehatan dan ekonomi anak dan orang tua berdasarkan surat rekomendasi dari para profesional yang telah berpengalaman, namun pada penetapan ini tidak ada barang bukti yang memperlihatkan mengenai kondisi-kondisi tersebut.

This study discusses and analyzes the judge's considerations and the suitability of the judge's considerations in granting marriage dispensation to minors who are pregnant out of wedlock with Supreme Court Number 5 of 2019 and the Compilation of Islamic Law. The problems raised in this study are how the judge's considerations in granting marriage dispensation to minors who are pregnant out of wedlock in Decision Number 4/Pdt.P/2022/PA.Thn and how the judge's considerations in granting marriage dispensation in the decision are in accordance with Supreme Court Number 5 of 2019 and the Compilation of Islamic Law. In Law Number 16 of 2019 it is written that marriage is only permitted if the man and woman have reached the age of 19 (nineteen) years, however, currently there are many cases of pregnancy out of wedlock carried out by men and women who are not yet 19 years old, which results in the emergence of a marriage dispensation application submitted by their parents. The decision of the Tahuna Religious Court Number 4/Pdt.P/2022/PA.Thn stated that the application for marriage dispensation for the two prospective underage married couples was accepted and the judge had used the principle of the best interests of the child in providing considerations. The research method used in this study is doctrinal with prescriptive research. Based on the research conducted, it was concluded that the panel of judges in granting the application for marriage dispensation must base their considerations on the principles contained in Supreme Court Number 5 of 2019. The judge in this determination saw a close relationship between the two children and there were urgent reasons along with sufficient evidence. Based on the existing considerations, there are several things that are not in accordance with Supreme Court Number 5 of 2019. In this Perma, it is written that one of the principles that must be considered by the judge is the principle of the best interests of the child which can be identified by considering the psychological, sociological, cultural, educational, health and economic conditions of the child and parents based on recommendation letters from experienced professionals, but in this determination there is no evidence showing these conditions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bea Amanda Puteri
"Dispensasi kawin sebagai pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan semestinya didasarkan pada asas kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana ketentuan dalam PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Berkenaan dengan dispensasi kawin, Pengadilan Agama Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dari tahun 2019-2024 menerima 82 permohonan dispensasi kawin, yang sebagian besarnya (73,1%) dikabulkan oleh hakim. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa permasalahan mengenai perlindungan anak dalam pemberian dispensasi kawin, penting untuk dipahami secara komprehensif. Untuk itu, fokus dari penelitian ini adalah tentang perlindungan anak dalam pengimplementasian PERMA Nomor 5 Tahun 2019. Penelitian hukum ini berbentuk nondoktrinal dengan menggunakan metode sosio-legal, melalui studi lapangan dan studi tekstual. Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil analisis, dapat dijelaskan bahwa prinsip kepentingan terbaik bagi anak tidak selalu tercermin dalam penetapan dispensasi perkawinan, karena dalam beberapa temuan kasus, hakim kerap mengabaikan isu problematik, seperti child grooming dan statutory rape. Di sisi lain, upaya pencegahan dan penanganan praktik perkawinan anak telah dilakukan melalui sosialisasi dan edukasi kepada anak sekolah dan masyarakat, program ujian penyetaraan bagi anak yang putus sekolah, layanan kesehatan gratis untuk perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), dan pengadaan Strategi Nasional Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak (STRANAS PPA). Akan tetapi, upaya pencegahan dan penanganan praktik perkawinan anak terhambat karena suburnya perkawinan anak di bawah tangan yang sulit untuk ditelusuri.

Dispensation of marriage as the granting of permission to marry by the court to a potential husband/wife who is not yet 19 years old to enter into marriage should be based on the principle of the best interests of the child as regulated in PERMA Number 5 of 2019 regarding Guidelines for Adjudicating Marriage Dispensation. Regarding marriage dispensation, the Religious Court of Pandeglang District, Banten Province, from 2019-2024, received 82 applications, most of which the judge granted 73.1%. This fact shows that the issue of child protection in granting marriage dispensation must be comprehensively understood. For this reason, this research focuses on child protection in the implementation of PERMA Number 5 of 2019. This nondoctrinal legal research uses socio-legal methods, field studies, and textual studies. The data collected are then analyzed qualitatively. Based on the analysis, it can be explained that the principle of the best interests of the child is not always reflected in the decision of marriage dispensation because, in some case findings, judges often ignore problematic issues, such as child grooming and statutory rape. On the other hand, efforts to prevent and handle the practice of child marriage by state institutions and non-governmental institutions have been carried out through socialization and advocacy to school students and the general public, an equivalency exam program for school dropouts, accessible health services for women who experience unwanted pregnancies, and the drafting of the National Strategy for the Prevention and Handling of Child Marriage. However, these efforts to prevent and handle the practice of child marriage are hindered by the existence of unregistered child marriages that are difficult to trace."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Cahya Farhani
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami perubahan prosedur dispensasi kawin setelah diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 Tahun 2019 serta implikasinya terhadap penetapan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Polewali Mandar. Penelitian disusun dengan menggunakan metode doktrinal dengan studi kasus pada dua penetapan dispensasi kawin yang dipilih. Data diperoleh melalui studi dokumen dan wawancara dengan pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perma No. 5 Tahun 2019 memberikan pedoman yang lebih ketat dalam proses permohonan dispensasi kawin, dengan tujuan untuk melindungi hak anak dan mengurangi angka pernikahan usia dini. Studi kasus pada Penetapan Nomor 1/Pdt.P/2023/PA.Pwl dan Nomor 121/Pdt.P/2024/PA.Pwl mengungkapkan adanya peningkatan tuntutan pembuktian bagi pemohon dispensasi serta peran aktif hakim dalam menggali alasan dan urgensi permohonan. Penetapan dalam kedua kasus tersebut mencerminkan penerapan Perma No. 5 Tahun 2019 yang lebih detail dan berorientasi pada perlindungan kepentingan terbaik anak. Perma No. 5 Tahun 2019 berpengaruh signifikan terhadap proses dan hasil putusan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Polewali Mandar, dengan adanya penekanan pada aspek perlindungan anak dan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas utama.

The objective of this study is to examine the changes in marriage dispensation procedures that took place after the issuance of Supreme Court Regulation (Perma) No. 5 of 2019 and its implications for the determination of marriage dispensation in the Polewali Mandar Religious Court. The research was prepared using the doctrinal method with case studies on two selected marriage dispensation decisions. Data were obtained through document studies and interviews with relevant parties. The findings indicate that Perma No. 5 of 2019 introduces stricter guidelines for the marriage dispensation application process, aimed at safeguarding children's rights and reducing the incidence of early marriages. Case studies of Stipulations No. 1/Pdt.P/2023/PA.Pwl and No. 121/Pdt.P/2024/PA.Pwl reveal an increase in evidentiary requirements for dispensation applicants and the active role of judges in exploring the reasons and urgency of the application. The stipulations in both cases reflect a more thorough application of Perma No. 5/2019 and prioritize the protection of the child's best interests.. Perma No. 5/2019 has a significant effect on the process and outcome of marriage dispensation decisions at the Polewali Mandar Religious Court, with a focus on child protection and prioritizing the best interests of the child."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Aulia Denizar
"Dispensasi perkawinan merupakan suatu kelonggaran yang diberikan oleh pengadilan kepada calon suami istri yang belum mencapai batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Penelitian ini menganalisis urgensi dispensasi perkawinan terhadap anak dibawah umur dalam Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Perkawinan serta meninjau pelaksanaan aturan batasan umur perkawinan pasca perubahan Undang-Undang Perkawinan. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan kualitatif. Setelah perubahan Undang-Undang Perkawinan sebagai upaya perlindungan terhadap perempuan, jumlah perkawinan dibawah umur justru semakin meningkat. Padahal, telah dibentuk pula Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Perkawinan sebagai upaya perlindungan. Hal ini karena tidak mengatur alasan-alasan yang dapat dibenarkan untuk diberikan izin dispensasi perkawinan oleh pengadilan. Penelitian ini mengklasifikasikan 20 (dua puluh) penetapan terkait dispensasi perkawinan di Pengadilan Negeri Manado berdasarkan alasan yang diajukan oleh Pemohon. Sebagian besar permohonan dispensasi perkawinan di Pengadilan Negeri Manado dilakukan dengan alasan telah terjadi kehamilan diluar perkawinan atau atas keinginan orang tua. Ketidakjelasan alasan-alasan yang dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Perkawinan mengakibatkan tidak banyak Hakim yang menimbang perkara dispensasi perkawinan dengan peraturan tersebut. Hakim lebih memperhatikan UU No. 16 Tahun 2019 daripada Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan.

Marriage dispensation is a concession granted by the court to prospective husband and wife who have not yet reached the minimum age limit for marriage. This research analyzes the urgency of marriage dispensations for minors in the Supreme Court Regulations concerning Guidelines for Adjudicating Marriage Dispensations and reviews the implementation of the age limit regulations for marriage after changes to the Marriage Law. This research was prepared using doctrinal research methods with a qualitative approach. After changes to the Marriage Law as an effort to protect women, the number of underage marriages actually increased. In fact, a Supreme Court Regulation regarding Guidelines for Adjudicating Marriage Dispensations has also been established as a protective measure. This is because it does not regulate the reasons that can be justified for the court to grant a marriage dispensation. This research classifies 20 (twenty) decisions regarding marriage dispensations at the Manado District Court based on the reasons submitted by the Petitioner. Most requests for marriage dispensation at the Manado District Court are made on the grounds that there has been a pregnancy outside of marriage or because of the parents' wishes. The lack of clarity on the reasons referred to in the Supreme Court Regulations concerning Guidelines for Adjudicating Marriage Dispensations has resulted in not many Judges weighing marriage dispensation cases in accordance with these regulations. Judges pay more attention to Law no. 16 of 2019 rather than Supreme Court Regulation no. 5 of 2019 in granting requests for marriage dispensation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najla Sofyan
"Di Indonesia hingga saat ini masih banyak orang yang tidak mencatatkan perkawinannya. Banyak yang tidak mengetahui pentingnya mencatatkan perkawinannya. Hal ini paling sering merugikan perempuan dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, karena dengan tidak dicatatkannya perkawinan, maka tidak akan ada akta nikah yang dapat dijadikan bukti oleh perempuan ketika menuntut haknya sebagai istri. Untuk anak, perkawinan yang tidak dicatatkan orangtuanya akan
mengakibatkan tidak adanya nama ayah di akta kelahirannya. Metode penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan yuridis Normatif, yaitu penelitian hukum dalam pengertian meneliti kaidah-kaidah atau Norma-Norma, Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan juga pendekatan analisis. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode studi Pustaka atau literatur. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Dalam skripsi ini Penulis menganalisis Penetapan Nomor 69/Pdt.P/2019/PN.Batang, dimana pertimbangan Hakim yang menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidaklah tepat karena putusan ini mengharuskan adanya pengakuan ayah di Pengadilan untuk memperkuat kedudukan si anak adalah anak sah ayahnya, namun dalam penetapan ini tidak ada kehadiran ayah di pengadilan sehingga tidak memperkuat kedudukan si anak, tapi Hakim menyatakan anak pemohon adalah anak sah ayahnya.

In Indonesia, there are still many people who do not register their marriages. Many people do not know the importance of registering their marriages. This is most often detrimental to women and children born from such marriages, because by not recording the marriage, there will be no marriage certificate that can be used as evidence by women when demanding their rights as wives. For children, a marriage that is not registered by the parents will result in the absence of the father's name on the birth certificate. The research method used in this thesis is a juridical normative, namely legal research in the sense of examining the norms or norms. The approach method used in this research is the statutory approach, the case approach and also the analytical approach. The data collection technique that the writer uses is literature or literature study method. The type of data collected is secondary data. In this thesis, the writer analyzes Stipulation Number 69/Pdt.P/2019/PN.Batang, where the Judge's consideration using the Constitutional Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010 is not correct because this decision requires the
recognition of the father in court to strengthen the position of the the child is the father's legitimate son, but in this determination the father is not
present in court so that it does not strengthen the child's position, but the judge states that the applicant's child is the father's legitimate son.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cathlin Triana Mariama
"Untuk melangsungkan perkawinan, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah batas umur. Mengenai ketentuan batas umur, telah terjadi Perubahan yang dituangkan dalam UU No.16 Tahun 2019 atas perubahan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 7 ayat (1) dimana batas umur untuk melangsungkan perkawinan dipersamakan menjadi 19 tahun bagi pria dan wanita. Terhadap ketentuan ini, Undang-Undang memungkinkan untuk mengajukan dispensasi kawin. Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dispensasi perkawinan setelah adanya perubahan UU Perkawinan, akibat hukum penetapan dispensasi kawin, dan menganalisis pertimbangan Hakim dalam memberikan penetapan dispensasi kawin No.39/Pdt.P/2020/PN.Lmj setelah adanya perubahan Undang-Undang. Terhadap penulisan ini, Metode penelitian yang digunakan ialah yuridis normatif dengan menggunakan bahan kepustakaan berupa buku dan peraturan perundang-undangan terkait. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Dispensasi kawin dapat dimintakan ke pengadilan apabila terdapat alasan mendesak dan cukup bukti. Terhadap pemberian penetapan ini, akan menimbulkan akibat hukum bagi pasangan di bawah umur. Selain itu, melihat pada penerapannya, Hakim dalam memberikan dispensasi kawin di Pengadilan masih memberikan kelonggaran karena tidak disertai alasan mendesak, belum menjalankan ketentuan perundang- undangan yang berlaku, juga belum mengedepankan kepentingan anak.

To have a marriage, one of the conditions that must be met is the age limit. Regarding the age limit provisions, there has been a change as outlined in Law No. 16 of 2019 regarding the amendment of Law No.1 of 1974 concerning marriage in Article 7 paragraph (1) where the age limit for marriage is equalized to 19 years for men and women. Against this provision, the Act makes it possible to apply for dispensation of marriage. This thesis discusses the arrangement of marriage dispensation after the amendment of the Marriage Law, due to the law on stipulating marriage dispensation, and analyzes the Judge's consideration in determining the dispensation of marriage No.39 / Pdt.P / 2020 / PN.Lmj after the change of the Law. Regarding this writing, the research method used is normative juridical using library materials in the form of books and related laws and regulations. The results of this study indicate that dispensation of marriage can be requested to court if there are urgent reasons and sufficient evidence. The granting of this stipulation will have legal consequences for the underage spouse. In addition, looking at its application, Judges in giving dispensation to marriage in court still provide leniency because it is not accompanied by urgent reasons, has not implemented the applicable statutory provisions, nor has the interests of children prioritized."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Fajar Ramadhan
"Di masa sekarang ini masih banyak ditemui kasus perkawinan di bawah tangan dimana pernikahan hanya dilakukan berdasarkan ketentuan agama dan tidak mencatatkan pernikahan mereka kepada Pegawai Pencatat Nikah. Masalah yang timbul adalah apabila terhadap anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan tersebut, demi kesejahteraannya, ingin diakui dan disahkan sebagai anak sah. Pengajuan permohonan penetapan asal-usul anak kepada pengadilan adalah salah satu upaya pengakuan dan
pengesahan anak oleh anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan atau orang tua biologisnya agar dapat diakui sebagai anak sah dan agar anak tersebut dapat tercatat sebagai anak yang sah dalam Akta Kelahirannya. Penelitian ini akan membahas mengenai
Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 298/Pdt.P/2020/Pa.Js sebagai objek penelitian. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai bagaimana kedudukan hukum anak yang lahir hasil dari perkawinan di bawah tangan dan perlindungan terhadap hak-haknya dengan disahkannya asal usul anak tersebut oleh
pengadilan berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 298/Pdt.P/2020/Pa.Js ditinjau dari Hukum Kekeluargaan Islam. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat Yuridis Normatif dengan melakukan kajian terhadap ketentuan hukum yang mengatur mengenai kedudukan anak yang lahir
dari hasil perkawinan di bawah tangan serta pengesahan asal usul anak dalam hukum Islam dan putusan pengadilan serta dikaitkan dengan teori terkait. Penelitian ini juga akan melakukan komparasi hukum antara Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 298/Pdt.P/2020/Pa.Js dengan beberapa penetapan Pengadilan Agama lainnya yang memiliki kasus serupa dengan kasus dalam Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 298/Pdt.P/2020/Pa.Js. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 298/Pdt.P/2020/Pa.Js, walaupun anak yang lahir hasil dari perkawinan di bawah tangan ditetapkan sebagai anak biologis dari kedua orang tuanya, namun anak tersebut tidak sepenuhnya berstatus sebagai anak sah. Dalam hal ini, anak yang lahir hasil dari perkawinan di bawah tangan diakui sebagai anak biologis dari kedua orang tuanya naumn dengan catatan memiliki hubungan keperdataan yang terbatas dengan ayah biologisnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menjamin kesejahteraan dan pemenuhan haknya selayaknya anak yang sah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Akta Kelahiran merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap hak anak yang lahir hasil dari perkawinan di bawah tangan.

At the present time there are still many cases of under-hand marriage where marriages are carried out only based on religious provisions and did not register their marriage with the Marriage Registration Officer. The problem that arises is when a child born from an under-hand marriage, for the sake of his welfare, wants to be recognized and legalized as a legitimate child. The submission of a petition for the determination of the origin of the child to the court is one of the effort to recognized and legalized a child by the child
born from an under-hand marriage or by the biological parents so that the child born from an under-hand marriage can be recognized as a legal child and can be registered as a legal child in his/her birth certificate. This research will discuss the Stipulation of the South Jakarta Religious Court Number: 298/Pdt.P/2020/Pa.Js as the research object. This research raises the issues of how the legal position of a child born as a result of under-hand marriage and the protection of their rights by legalizing the child's origin by the court based on the Stipulation of the South Jakarta Religious Court Number: 298/Pdt.P/2020/Pa.Js in terms of Islamic family law. This research uses a juridical normative research method by examining the legal provisions regulating the position of children born from the result of an under-hand marriage and legalizing the origin of the child in Islamic law and court decisions and related theories. This research will also make a legal comparison between the Decision of the South Jakarta Religious Court Number: 298/Pdt.P/2020/Pa.Js with several other religious court decisions that have similar case with the case in the Decision of the South Jakarta Religious Court Number: 298/Pdt.P/2020/Pa.Js. The results showed that in the Decision of the South Jakarta Religious Court Number: 298/ Pdt.P/2020/Pa.Js, although the child born as a result of an under-hand marriage was determined to be a biological child of both parents, the
child was not fully considered as a legitimate child. In this case, children born as a result of under-hand marriage are recognized as biological children of both parents, provided that they have a limited civil relationship with their biological father. This is intended to ensure the welfare and fulfillment of the rights of a legitimate child. The results also show that a birth certificate is a form of protection for the rights of children born as a result of an under-hand marriage.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudianto Hadioetomo
"Pada pemerintahan Orde Baru, perkawinan berdasar agama Khonghucu tidak dapat didaftarkan di kantor catatan sipil. Agama Khonghucu juga tidak dapat dicatatkan sebagai agama yang sah di kartu tanda penduduk. Pada tahun 1995, ada sepasang suami istri yang menikah berdasar agama Khonghucu dan mendaftarkan perkawinannya di kantor catatan sipil Surabaya. Pendaftaran pernikahan tersebut ditolaj kantor catatan sipil Surabaya. Perkawinan mereka tetap berlangsung tanpa tercatat, dan membuahkan 3 orang anak.
Yang akan dibahas dalam tesisi ini adalah pencatatan perkawinan berdasarkan agama Khonghucu di kantor catatan sipil dan pencatatan Khonghucu sebagai agama di kartu tanda penduduk. Metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kepustakaan. Data diolah dengan metode kualitatif. Hasil yang diperoleh adalah preskriptif evaluatif analitis.
Pada akhir penelitian penulis, dperoleh kesimpulan bahwa sejak 1 April 2006, Khonghucu telah diakui sebagai agama yang sah di Indonesia berdasar Undang-Undang Nomor 1/PNPS/ 1965 tentang agama dan Kepercayaan. Oleh karena itu, jaminan yang telah diberikan oleh Presiden menjadi kepastian yang selalu ada hingga masa mendatang."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elma Meniar
"Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur Usia minimal menikah, menimbulkan berbagai masalah terkait dengan pernikahan di bawah umur. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permintaan Pemohon untuk menambah ketentuan batas usia pernikahan bagi wanita, menarik perhatian penulis untuk penelitian Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menyelesaikan masalah disebutkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22 / PUU-XV / 2017. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah ini, penulis menggunakan formulir penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, dan didukung oleh data sekunder. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif menganalisis data yang diperoleh dari studi pustaka dan hasil wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa batasan usia minimal 16 tahun pernikahan bagi wanita tidak lagi sesuai dengan keadaan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan ketentuan ini, oleh Oleh karena itu, legislator harus melakukan kajian langsung kepada masyarakat dengan melibatkan pendampingan dari organisasi dan lembaga masyarakat yang bersangkutan untuk mendapatkan batasan usia minimal untuk menikah
pantas dan pantas, terutama bagi perempuan untuk diatur dalam UU Perkawinan dan memecahkan masalah pernikahan di bawah umur di Indonesia.

The provisions of Article 7 paragraph (1) of the Marriage Law, which regulates the minimum age for marriage, raises various problems related to underage marriage. The Constitutional Court's Decision granted the Petitioner's request to increase the provisions for the age limit of marriage for women, attracting the attention of the author for research on how judges' legal considerations in solving problems are mentioned in the Constitutional Court decision Number 22 / PUU-XV / 2017. Therefore, to overcome this problem, the author uses a normative juridical research form that is descriptive analytical, and is supported by secondary data. In addition, this study uses a qualitative approach to analyze data obtained from literature studies and interviews. Based on the results of the research, it can be concluded that the minimum age limit of 16 years of marriage for women is no longer in accordance with the conditions of society so it is necessary to change this provision, therefore, legislators must conduct a direct study to the community by involving assistance from the relevant community organizations and institutions for get the minimum age for marriage appropriate and appropriate, especially for women to be regulated in the Marriage Law and solve the problem of underage marriage in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Georgina Agatha T.
"Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap penambahan ketentuan dari Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, kini anak luar kawin dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti hukum lainnya yang dapat membuktikan bahwa anak tersebut memang memiliki hubungan darah atau biologis dengan laki-laki sebagai ayah kandungnya. Seiring dengan berjalannya waktu, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah amat maju dan berkembang. Pembuktian anak luar kawin dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ialah menggunakan metode tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). Dalam hukum Islam, mengenai pembuktian menggunakan tes DNA terhadap penentuan nasab seorang anak terdapat berbagai pendapat berbeda yang dilontarkan oleh ahli hukum Islam. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai pandangan hukum Islam terhadap pembuktian anak luar kawin dalam penentuan nasab dengan menggunakan pembuktian melalui tes DNA serta akibat hukumnya apabila anak tersebut dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan penelitian hukum dengan menggunakan suatu metode berbentuk yuridis normatif dengan cara meneliti bahan pustaka maupun data sekunder. Hasil analisis adalah, bahwa pembuktian anak luar kawin dengan menggunakan tes DNA dalam hukum Islam diletakan pada “maqasid asy-syariah” yang memiliki arti “segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya”, karena maksud dan tujuan dari tes DNA untuk mengetahui pertalian darah seorang anak terhadap ayah kandungnya, maka hal tersebut memberikan suatu manfaat kepada anak itu sendiri, dan apabila tujuan tes DNA tersebut melenceng dari suatu ketentuan atau perintah yang telah ditentukan hukum Islam, maka eksistensinya tentu akan dilarang.

With the issuance of Constitutional Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010 on the addition of Article 43 paragraph (1) of the Marriage Law, now illegitimate child can have a civil relationship with their biological father if it can be proven by science and technology or other legal evidence that can prove that the child does have a blood or biological relationship with a man as his biological father. As time goes by, science and technology are very advanced and developed. Now proving illegitimate children with science and technology, using the DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) testing method. In Islamic Law, regarding proof using a DNA test to determine nasab of a illegitimate child there are various different opinions expressed by Islamic jurists. The problem raised in this study is the view of Islamic law on proving illegitimate children in determining of nasab using proof through DNA testing and the legal consequences if the child can serve his biological father. To answer these problems, legal research was carried out using a normative juridical method by examining library materials and secondary data. The results of the analysis are, that proving the child outside of marriage using DNA testing in Islamic law is placed in the “maqasid asy-sharia”, which means "all actions depend on their purpose". Because the purpose of DNA testing is to determine the relationship of a child's blood to his biological father, then it provides a benefit to the child himself, and if the purpose of the DNA test deviates from a provision or order stipulated by Islamic law, then its existence will certainly be prohibited.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>