Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167657 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yessyca Megasari Christianto
"Prancis adalah salah satu negara dengan kebijakan hak reproduksi yang progresif. Hal itu dibuktikan dengan adanya kebijakan mengenai aborsi di Prancis yang terus mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu. Kebijakan pertama yang berkaitan dengan dekriminalisasi aborsi di Prancis adalah La Loi Veil yang diresmikan tahun 1975. Pada perkembangan terakhir, tanggal 8 Maret tahun 2024, Prancis resmi menjadi negara pertama yang menetapkan hak aborsi ke dalam konstitusi negara. Langkah ini dianggap sebagai kemenangan bagi perempuan, tetapi juga menimbulkan perdebatan. Penelitian ini menganalisis keberpihakan politisi kanan terhadap isu konstitusionalisasi hak aborsi di Prancis dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough (2013). Hasil analisis menunjukkan bahwa wacana yang dimiliki politisi kanan dalam isu hak aborsi memengaruhi terjadinya kompromi strategis atas teks akhir konstitusi, terutama dalam pengaturan kebebasan yang dijamin. Ambiguitas dalam bahasa hukum membuka peluang bagi pemerintah untuk membatasi hak aborsi di masa depan, menunjukkan kerentanan hak tersebut. Dengan menggunakan perspektif Feminist Legal Theory Martha Albertson Fineman (2005), penelitian ini menyimpulkan bahwa kompromi yang ada memperkuat subordinasi perempuan dalam kerangka hukum yang masih didominasi nilai-nilai patriarkal. Meskipun langkah konstitusional ini signifikan, perlindungan hak aborsi memerlukan pengawasan berkelanjutan untuk memastikan implementasinya bersifat adil dan tidak diskriminatif."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Langit Masaha Putra Sabawana
"Penelitian ini menganalisis kebijakan antiterorisme yang dikemukakan oleh Presiden Prancis François Hollande dan Emmanuel Macron melalui pidato kenegaraan mereka. Menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis (AWK) yang dikembangkan oleh Norman Fairclough (2003), penelitian ini mengeksplorasi bagaimana kedua presiden membingkai narasi kebijakan mereka dalam konteks serangan teror yang mengguncang Prancis tahun 2015. Selain itu, penelitian ini merujuk pada konsep perbedaan pandangan politik yang diungkapkan oleh Raymond Aron dalam bukunya L’Opium des Intellectuels (1955), yang menyoroti pengaruh ideologi dan konteks sosial terhadap kebijakan publik. Hasil analisis menunjukkan bahwa Hollande, meskipun berusaha menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas, seringkali terjebak dalam kebijakan yang memperkuat langkah-langkah keamanan yang ketat. Sebaliknya, Macron menunjukkan pergeseran menuju pendekatan yang lebih tegas dan militaristik, terutama setelah pengesahan undang-undang kontraterorisme yang kontroversial. Penelitian ini mengungkapkan ketegangan antara retorika politik dan realitas kebijakan yang diimplementasikan, serta tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menyeimbangkan antara keamanan dan hak asasi manusia. Dengan demikian, penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang dinamika kebijakan anti-terorisme di Prancis dan implikasinya terhadap masyarakat, serta pentingnya memahami hubungan antara wacana politik dan struktur kekuasaan dalam konteks global yang semakin kompleks.

This research analyzes the anti-terrorism policies articulated by French Presidents François Hollande and Emmanuel Macron through their state speeches. Utilizing the Critical Discourse Analysis (CDA) approach developed by Norman Fairclough (2003), this study explores how both presidents frame their policy narratives in the context of terrorist attacks that have shaken France in 2015. Additionally, the research references the concept of differing political perspectives articulated by Raymond Aron in his book L’Opium des Intellectuels (1955), highlighting the influence of ideology and social context on public policy. The analysis results indicate that while Hollande strives to emphasize humanitarian values and solidarity, he often becomes trapped in policies that reinforce strict security measures. Conversely, Macron demonstrates a shift towards a more assertive and militaristic approach, particularly following the controversial enactment of counter-terrorism laws. This research highlights the tension between political rhetoric and the realities of implemented policies, as well as the challenges faced by the government in balancing security and human rights. Thus, this study provides indepth insights into the dynamics of anti-terrorism policy in France and its implications for society, emphasizing the importance of understanding the relationship between political discourse and power structures in an increasingly complex global context."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Diella Amanda
"Sejak pertama kali dinyatakan ilegal melalui la loi n° 70-1320 du 31 décembre 1970, kebijakan pemerintah Prancis terhadap ganja tidak mengalami perubahan yang signifikan. Prancis merupakan salah satu negara dengan hukuman paling berat untuk penggunaan ganja di Eropa. Namun, meskipun memiliki hukum yang berat, Prancis merupakan salah satu negara dengan persentase konsumen ganja tertinggi di Eropa. Hasil survei populasi umum yang dilakukan oleh Santé publique France dan OFDT menunjukkan bahwa ganja merupakan psikoaktif terlarang yang paling banyak digunakan di Prancis dan penyebaran ganja di Prancis terus meningkat sejak diberlakukannya kebijakan pelarangan tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran regulasi tersebut dalam menanggulangi permasalahan konsumsi ganja di Prancis. Penelitian ini mencari tahu pengaruh konsumsi ganja di Prancis terhadap regulasi yang dibuat pada masa pemerintahan Emmanuel Macron dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini membuktikan bahwa kebijakan sebelumnya yang tidak efektif serta seruan reformasi dari masyarakat tidak mempengaruhi kebijakan Emmanuel Macron dalam upaya menanggulangi permasalahan terkait ganja di Prancis. Dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintahan Emmanuel Macron memutuskan untuk mengambil jalan tengah, yaitu dekriminalisasi parsial atau contraventionnalisation serta percobaan penggunaan ganja untuk tujuan terapeutik. Meskipun kebijakan baru Macron dianggap tidak benar-benar menyelesaikan masalah, langkah ini berupaya untuk menghindari perselisihan antara pihak-pihak yang menuntut legalisasi ganja, serta pihak konservatif yang bersikeras mempertahankan hukum ganja yang represif

Since it was first declared illegal through la loi n ° 70-1320 du 31 décembre 1970, the French government's policy towards cannabis has not changed significantly. France is one of the countries with the most severe penalties for the use of marijuana in Europe. However, despite its tough laws, France has one of the highest percentage of cannabis consumers in Europe. The results of a general population survey conducted by Santé publique France and OFDT shows that marijuana is the most widely used illicit psychoactive in France and that diffusion of cannabis in France has continued to increase since the enactment of the ban. This raises questions about the role of these regulations in overcoming the problem of cannabis consumption in France. This research investigates the effect of marijuana consumption in France on regulations made during Emmanuel Macron administration period using qualitative methods and literature study techniques. This research proves that the previous ineffective policies and calls for reform from the public did not influence Emmanuel Macron's policies in trying to tackle the problems related to cannabis in France. In dealing with this problem, Emmanuel Macron's government decided to take a middle course, namely partial decriminalization or contraventionnalisation and the trial of using marijuana for therapeutic purposes. While Macron's new policies do not really solve the problem, the move seeks to avoid clashes between parties claiming marijuana legalization and conservatives who insist on maintaining repressive cannabis laws"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitya Yudhistira
"Agama Islam merupakan salah satu agama yang telah berkembang cukup lama di Prancis. Namun, praktik agama Islam seringkali bertentangan dengan prinsip laïcité di negara tersebut yang kemudian berujung pada diskriminasi muslim di tengah masyarakat Prancis. Dalam perkembangannya, muncul salah satu isu mengenai kelompok agama islam yang bergabung dengan aliran politik kiri di Prancis yang kemudian dikenal dengan istilah Islamo-gauchisme. Pada masa pemerintahan Emmanuel Macron, permasalahan Islamo-gauchisme kembali menjadi perbincangan publik di Prancis pada awal 2021 setelah Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Inovasi Prancis, Frédérique Vidal dianggap mencoreng kebebasan akademik di Prancis. Momentum ini banyak digunakan oleh media massa Prancis untuk menerbitkan artikel tentang Islamo-gauchisme serta tokoh-tokoh terkait. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana Le Figaro dan Le Point yang secara tradisional beraliran sayap kanan Prancis memberitakan isu mengenai Islamo-gauchisme yang berseberangan dengan ideologi politik mereka. Penelitian ini menggunakan teori analisis wacana kritis oleh Norman Fairclough (1995) yang digunakan untuk menganalisis korpus penelitian berupa empat artikel berita dari Le Figaro dan Le Point mengenai Islamo-gauchisme yang diterbitkan pada Februari 2021 sebagai reaksi dari pernyataan Frédérique Vidal terkait Islamo-gauchisme yang merebak di lingkungan pendidikan tinggi di Prancis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik Le Figaro dan Le Point memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan isu yang bertentangan dengan orientasi politik mereka. Le Point memperlihatkan posisi mereka lewat tokoh-tokoh yang mereka kutip dalam artikel dan tetap memperlihatkan gaya kritis yang konservatif dalam penulisan artikelnya. Sementara Le Figaro memperlihatkan posisi mereka lewat penggunaan diksi dalam artikel dan berusaha untuk terlihat tetap netral.

Islam is a religion that has been developing for a long time in France. However, the practice of Islam is often contrary with the principle of laïcité which then leads to the discrimination of muslims in French society. An issue later arose regarding Islamic groups who joined the leftist in France and became known as Islamo-gauchisme. During the reign of Emmanuel Macron, this phenomenon became the main topic of public discussion in early 2021 after Minister of Higher Education, Research and Innovation, Frédérique Vidal was considered to have undermined academic freedom in France. This momentum was widely used by the French mass media to publish articles about Islamo-gauchisme and related figures. This research discusses how Le Figaro and Le Point, which are traditionally French right-wing, reported the issue of Islamo-gauchisme through their articles which is at odds with their political ideology. This research uses the theory of critical discourse analysis by Norman Fairclough (1995), which is used to analyze the research corpus in the form of four news articles from Le Figaro and Le Point regarding Islamo-gauchisme which were published in February 2021 as a reaction to Frédérique Vidal's statement regarding Islamo-gauchisme which has impacted the universities in France. The results show that both Le Figaro and Le Point have their own way of presenting issues that are contrary to their political orientation. Le Point shows their position through the figures they quote in the article and still maintains a conservative critical style in their articles. Meanwhile, Le Figaro shows their position through the use of diction in the article and tries to appear neutral.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raka Darmawan
"Prancis saat ini menjadi negara di Eropa yang memiliki keberagaman di dalamnya, mulai dari agama, ras, dan etnis. Keberagaman ini disebabkan salah satunya oleh kedatangan para imigran dan orang asing, khususnya saat periode Pasca-Perang Dunia Kedua. Alasan awal kedatangan imigran adalah faktor ekonomi atau pekerjaan. Dalam menangani mobilisasi penduduk ini, Prancis memberlakukan kebijakan-kebijakan imigrasi yang beragam yang tertuang pada situs Kementerian Dalam Negeri dan Seberang Lautan. Oleh karena itu, perlu diketahui bentuk kebijakan imigrasi di Prancis. Penelitian ini kemudian berfokus pada kebijakan imigrasi pemerintahan François Hollande dan Emmanuel Macron berdasarkan perbedaan poros politik mereka. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menemukan perbedaan isi kebijakan imigrasi antara pemerintahan Hollande dan Macron. Penelitian ini menggunakan sumber data berupa kebijakan imigrasi kedua pemerintahan selama lima tahun menjabat. Untuk menemukan hal tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif oleh Iosifides dengan teori analisis wacana kritis Norman Fairclough dan konsep ideologi politik oleh D. Parenteau dan I. Parenteau. Hasil temuan dari penelitian ini adalah orientasi kiri dari Hollande menghasilkan kebijakan imigrasi yang pro-masyarakat (imigran), sedangkan orientasi tengah Macron lebih memperketat kebijakannya terhadap masyarakat asing.

France is a country in Europe that embraces diversity in terms of religion, race, and ethnicity in its society. The arrival of migrants and foreigners, especially in the post-Second World War period contributed to France’s current demographic landscape. In dealing with the influx of population, France has adopted various immigration policies, as stated on the website of the Ministry of the Interior and Overseas, but has not significantly improved the current situation. As the immigration issue has continuously become prominent in French society, this research takes on comparing the policies carried by the governments of François Hollande and Emmanuel Macron on the issue while also taking into account their different political axes. Thus, the purpose of this study is to analyze the political discourses embedded in the immigration policies between the Hollande and Macron administrations. This research makes use of available sources from the immigration policies of both governments during their five years in office. The data was collected by employing qualitative research methods by Iosifides combined with critical discourse analysis theory by Norman Fairclough and the concept of political ideology by D. Parenteau and I. Parenteau. The findings of this research suggest that Hollande's leftist orientation contributed to his pro-people (immigrants) immigration policy, while Macron's center orientation attempted to tighten the immigration policy towards foreigners."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Hana Chaterein Immanuela
"Laïcité merupakan konsep sekularisme yang telah berkembang dan dianut oleh Prancis sejak lama. Prinsip laïcité menekankan pemisahan secara ketat urusan agama dengan negara. Konsep ini mengatur kehidupan dan kebebasan beragama di Prancis (Kiwan, 2023). Undang-undang nomor 2004-228 tanggal 15 Maret 2004 merupakan salah satu implementasi konsep laïcité. Undang-undang ini mengatur penggunaan atau pemakaian atribut keagamaan di Prancis. Akan tetapi, semakin lama peraturan ini semakin berkembang dan terus membatasi penggunaan atribut khususnya milik umat Muslim, seperti pelarangan penggunaan jilbab, penutup wajah burqa dan niqab, pakaian renang burkini, dan pada tahun 2023 pelarangan penggunaan baju panjang abaya di institusi pendidikan Prancis oleh Gabriel Attal. Artikel ini akan membedah pernyataan-pernyataan dari Gabriel Attal dan Emmanuel Macron yang menunjukkan adanya ketakutan tertentu, serta melihat hal yang melatarbelakangi munculnya peraturan ini, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif milik Creswell (2014) dan teori Analisis Wacana Kritis milik Van Dijk (2015). Temuan dalam penelitian ini menunjukkan adanya motif tertentu dari Gabriel Attal di balik pelarangan abaya, yang mana hal ini memberikan keuntungan politik kepadanya. Selain itu, pernyataan-pernyataan milik Gabriel Attal dan Emmanuel Macron sebagai kepala negara yang negatif terhadap kaum Muslim memengaruhi pandangan masyarakat Prancis.

Laïcité is a concept of secularism that France has developed and embraced for a long time. The principle of laïcité emphasizes the strict separation of religion from the state. This concept regulates life and religious freedom in France (Kiwan, 2023). The law number 2004-228 dated March 15, 2004 is one of the implementations of the concept of laïcité. This law regulates the use or wearing of religious attributes in France. However, over time this regulation has grown and continues to restrict the use of attributes especially belonging to Muslims, such as the ban on the use of headscarves, burqa and niqab face coverings, burkini swimsuits, and in 2023 the ban on the use of abaya long dresses in French educational institutions by Gabriel Attal. This article analyzes statements from Gabriel Attal and Emmanuel Macron that show a certain fear, and looks at the background of the emergence of this regulation, using Creswell's qualitative research method (2014) and Van Dijk's Critical Discourse Analysis theory (2015). The results of this study show that Gabriel Attal has certain motives behind the abaya ban, which gives him political benefits. In addition, Gabriel Attal's and Emmanuel Macron's statements as head of state that are negative towards Muslims influence the perception of the French people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Juwita Sari
"Pemilihan umum presiden 2017 merupakan sebuah peristiwa yang penting dalam sejarah Prancis dengan kemenangan Presiden termuda, yaitu Emmanuel Macron. Artikel ini membahas mengenai pidato Emmanuel Macron yang berhasil meyakinkan rakyat Prancis memilihnya sebagai Presiden 2017. Data dianalisis dengan cara membedah struktur kalimat, dan prinsip retorika dalam pidato kampanye Macron di Paris pada tanggal 24 April 2017. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan hubungan antara struktur kalimat yang dan prinsip retorika yang digunakan oleh Macron dalam pidato pemilihannya sebagai Presiden 2017. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif oleh Creswell (2013) dengan studi kepustakaan. Teori Le Querler (1994) digunakan untuk membedah struktur sintaksis dan teori retorika oleh Fromilhague (2010) untuk membedah diksi dalam setiap kalimat pidato. Dari 50 data ditemukan bahwa kalimat dominan pada pidato Emmanuel Macron adalah les phrases complexes diantara nya 20 La Phrase Complexes subordonnée, 10 La Phrase complexe juxtaposée, 14 La Phrase composée coordonée dan 6 Les phrases simple. Adapun kalimat dominan yaitu Les phrases complexes subordonné untuk memberikan perluasan melalui informasi yang disampaikan. Fungsi kalimat sintaksis juga berpengaruh dalam penggunaan prinsip retorika untuk memberikan penjelasan lebih mendetail di dalam setiap kalimatnya.

The 2017 presidential election was a landmark event in French history with the victory of the youngest President, Emmanuel Macron. This article discusses Emmanuel Macron's speech that successfully convinced the French people to elect him as President in 2017. The data is analyzed by dissecting the sentence structure, and rhetorical principles in Macron's campaign speech in Paris on April 24, 2017. This research aims to show the relationship between the sentence structure and rhetorical principles used by Macron in his election speech as President in 2017. This research uses the qualitative method by Creswell (3013) with a literature study. Le Querler's theory (1994) was used to dissect the syntactic structure and Fromilhague's theory of rhetoric (2010) to dissect the diction in each sentence of the speech. From 50 data, it is found that the dominant sentences in Emmanuel Macron's speeches are les phrases complexes, including 20 les phrases complexes subordonnée, 10 les phrases complexe juxtaposée, 14 les phrases composée coordonée and 6 les phrases simple. The dominant sentence is Les phrases complexes subordonné to provide expansion through the information conveyed. The syntactic sentence function also influences the use of rhetorical principles to provide a more detailed explanation in each sentence."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Priyatna Murtyaningsih
"Berakhirnya kolonialisme menyebabkan negara-negara penjajah secara perlahan kehilangan kekuasaan atas negara koloninya. Untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, maka negara penjajah menggunakan cara lain untuk mempertahankan kuasanya. Neo-kolonialisme merupakan sebuah konsep untuk menguasai suatu negara tanpa menggunakan kekerasan, melainkan dengan hubungan bilateral, persebaran budaya dan bantuan ekonomi. Neo-kolonialisme dapat mengancam kebebasan dan kemerdekaan suatu negara, karena negara tersebut akan dijadikan boneka oleh negara yang mendominasinya. Emmanuel Macron selaku Presiden Prancis menyampaikan sebuah pidato pada Hari Frankofoni Internasional di hadapan publik Académie Française 2018. Pidato ini dianggap menggambarkan neo-kolonialisme yang dilakukan oleh Prancis. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan unsur-unsur neo-kolonialisme yang terdapat dalam pidato Macron, dan menggunakan teori Analisis Wacana Kritis dari Ruth Wodak. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggambaran neo-kolonialisme dalam pidato dilakukan melalui dominasi bahasa pada tiga bidang utama, yaitu politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Neo-kolonialisme dalam pidato ini digambarkan sebagai usaha-usaha Prancis untuk menyebarkan bahasanya ke seluruh dunia, khususnya negara-negara anggota Organisation International de la Francophonie (OIF).

The end of colonialism caused the colonizing countries to slowly lose power over their colonies. To maintain the power possessed, the colonial state used other means to maintain its power. Neo-colonialism is a concept for controlling a country without resorting to violence, but rather with bilateral relations, cultural distribution and economic assistance. Neo-colonialism can threaten the freedom and independence of a country, because that country will become a puppet by the state that dominates it. Emmanuel Macron as the President of France delivered a speech on International Francophonie Day in public in the 2018 Académie Française. This speech was considered to describe neo-colonialism carried out by France. This study aims to show the neo-colonial elements contained in Macron's speech, and use the theory of Critical Discourse Analysis from Ruth Wodak. This research shows that the description of neo-colonialism in speech is carried out through language dominance in three main areas, namely politics, economics, and socio-culture. Neo-colonialism in this speech was described as France's efforts to spread its language throughout the world, especially the member states of Organisation International de la Francophonie (OIF)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Dian Kristiani
"Bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang diresmikan sebagai bahasa Internasional. Penggunaan bahasa Inggris telah mempengaruhi aspek pendidikan; salah satunya adalah penggunaan bahasa Inggris dalam slogan universitas yang digunakan sebagai identitas diri. Dibalik slogan ini terdapat kekuatan-kekuatan dari hegemoni bahasa Inggris yang dapat diteliti. Tujuan dari penlitian ini adalah, mendeskripsikan aspek linguistik yang digunakan dalam mereprentasikan slogan Universitas, hubungan antara pembuat teks slogan dan aspek linguistik yang dihasilkan dan situasi sosial dan budaya yang melatarbelakangi aspek linguistik yang digunakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis wacana kritis model Norman Fairclough. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek linguistik yang berupa diksi dan bentuk kata dalam slogan dua universitasswasta di kota Bandung adalah bagian dari bentuk pencitraan positif. Slogan Universitas tersebut disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan dari universitas. Slogan ini berkaitan dengan ideologi kapitalisme yang dianut oleh keduauniversitastersebut sehingga menunjukkan penggunaan bahasa Inggris dalam slogan merupakan pengaruh dari globalisasi dan westernisasi."
FSRD-ITB, 2016
303 JSIOTEK 15:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Afilia Tri Hanjani
"Artikel ini bertujuan untuk mengetahui tingkat xenofobia dari tahun 2012 hingga 2018, pada masa Pemerintahan dua Presiden yaitu François Hollande dan Emmanuel Macron. Pada masa pemerintahan presiden François Hollande banyak terjadi peristiwa terorisme di Prancis yang telah diklaim dilakukan oleh jihadist Islam diluar Prancis, membuat banyak masyarakat Prancis merasa khawatir dan takut kepada imigran. Pada masa pemerintahan Presiden Emmanuel Macron juga terjadi krisis ekonomi, sehingga membuat rakyat Prancis merasa adanya persaingan antara warga lokal dan warga pendatang. Karakteristik kebijakan dari kedua masa pemerintahan berdampak terhadap tingkat toleransi dan juga aksi rasisme yang terjadi di Prancis. Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan, penelitian ini mendeskripsikan kebijakan François Hollande dan Emmanuel Macron, dengan kondisi sosial politik pada dua masa yang bertentangan dengan ideologi politik kedua pemerintahan dan sikap terhadap fenomena xenofobia. Di samping itu, solusi yang dibentuk oleh kedua presiden juga dipengaruhi oleh kepada siapa kebijakan-kebijakan tersebut tertuju, yaitu keturunan imigran yang tinggal di Prancis. Maka diketahui, pada masa pemerintahan Emmanuel Macron kehidupan kedua pihak antara masyarakat Prancis dan masyarakat pendatang lebih baik dibandingkan dengan masa pemerintahan François Hollande karena tingkat xenofobia terlihat lebih rendah.

This article aims to determine the level of xenophobia from 2012 to 2018, during the reigns of two Presidents François Hollande and Emmanuel Macron. During the reign of President François Hollande, there were many incidents of terrorism in France which had been claimed by Islamic jihadists outside France, making many French people feel worried and afraid of immigrants. During the reign of President Emmanuel Macron, there was also an economic crisis, which made the French people feel that there was competition between local residents and immigrants. The characteristics of the policies of the two reigns had an impact on the level of tolerance and also the acts of racism that occurred in France. By using qualitative methods and literature study techniques, this study describes the policies of François Hollande and Emmanuel Macron, with the socio-political conditions at two times which contradicted the political ideologies of the two governments and attitudes towards the xenophobic phenomenon. In addition, the solution formed by the two presidents is also influenced by who the policies are aimed at, namely the descendants of immigrants living in France. Thus, it is known that during the reign of Emmanuel Macron, life between the French and immigrant communities was better than during the reign of François Hollande because the level of xenophobia was seen to be lower."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>