Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213111 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evelyna Putri Athallah
"

Tulisan ini menganalisis bagaimana ketentuan Batas Usia Pemberian Persetujuan (BUPP) diberlakukan dalam hukum pidana terkait perkara eksploitasi seksual terhadap anak dalam prostitusi di Indonesia dan Amerika Serikat, serta bagaimana hukum Indonesia dan Amerika Serikat memberikan perlindungan terhadap Anak yang dilacurkan. Bentuk penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal dengan analisis data yang dilakukan dengan metode kualitatif. Situasi eksploitasi seksual terhadap anak di seluruh dunia sangat memprihatinkan. Di seluruh dunia, korban eksploitasi seksual terhadap anak dalam prostitusi atau yang disebut “anak yang dilacurkan” mencapai angka satu sampai dua juta setiap tahunnya. Sebagai kelompok rentan, anak tidak mampu untuk memberikan persetujuan seksual, sehingga hukum mengenai BUPP perlu ditegakkan. Sebagaimana diatur oleh UU Perlindungan Anak, UU TPKS, dan KUHP 2023 di Indonesia, serta The Mann Act dan TVPA di Amerika Serikat, semua anak yang dilacurkan, termasuk mereka yang berusia di bawah BUPP, merupakan korban dari tindak pidana eksploitasi seksual dalam prostitusi yang dilakukan oleh muncikari dan/atau pelanggannya. Terkait perlindungan hukum terhadap Anak yang dilacurkan, Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama memandang anak yang dilacurkan sebagai korban tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak yang membutuhkan perlindungan khusus.


This paper analyzes how the age of consent regulations are applied in criminal law related to cases of child sexual exploitation in prostitution in Indonesia and the United States, as well as how Indonesian and United States law provide protection for prostituted children. This research is a doctrinal legal study, with data analysis conducted using a qualitative method. The situation of child sexual exploitation worldwide is very concerning. Globally, the number of victims of child sexual exploitation in prostitution, or “prostituted children” reaches one to two million each year. As a vulnerable group, children are unable to give sexual consent, hence the law regarding the age of consent needs to be upheld. As regulated by Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), and Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2023 in Indonesia, as well as The Mann Act and TVPA in the United States, all prostituted children, including those below the age of consent, are victims of the crime of sexual exploitation in prostitution perpetrated by pimps and/or their clients. Both Indonesia and the United States view prostituted children as victims of child sexual exploitation who require special protection.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cattelya Nabila Mediarman
"Manusia yang sebelumnya merupakan satu-satunya makhluk hidup yang diberikan kecerdasan akal dan fikiran untuk terus berkembang dan menjadi inventor akan teknologi baru, kini dapat mendelegasikan kemampuan tersebut kepada mesin kecerdasan buatan atau AI. Meskipun AI sendiri merupakan sistem ciptaan manusia dan masih sebatas sistem yang terintergrasi dengan manusia atau operatornya, namun saat ini sistem tersebut dapat secara otonom menciptakan invensi, atau yang disebut dengan AI-generated inventions. Namun, apakah invensi dari AI tersebut dapat dimohonkan paten? Hal tersebut menjadi pertanyaan besar dikarenakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, subjek yang dapat menjadi inventor adalah natural person, sedangkan dalam hal ini AI bukanlah termasuk dalam klasifikasi natural person. Oleh karena itu, Penulis akan menganalisis bagaimana peran AI sebagai inventor, dilihat dari perspektif hukum Indonesia dan Amerika Serikat, serta dengan kasus actual mengenai permohonan paten atas AI-generated inventions. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebenarnya dengan perkembangan zaman, maka akan banyak munculnya AI-generated inventions, sehingga salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk pengaturan mengenai AI-generated inventions tersebut maupun perubahan atau penambahan aturan mengenai klasifikasi inventor dalam undang-undang.

Humans who were previously the only living beings given the intelligence of mind and mind to continue to evolve and become inventors of new technologies, can now delegate those abilities to artificial intelligence machines or AI. Although AI itself is a human creation system and is still limited to systems that are integrated with humans or their operators, today the system can autonomously create inventions, or so-called AI-generated inventions. However, can the invention of the AI be requested for a patent? This is a big question because in accordance with existing regulations, the subject that can be an inventor is a natural person, while in this case AI is not included in the classification of natural persons. Therefore, the author will analyze how AI's role as an inventor, viewed from the legal perspective of Indonesia and the United States, as well as with actual cases regarding patent applications for AI-generated inventions. This research was conducted with juridical-normative research methods with data obtained from literature studies and interviews. The results show that actually with the times, there will be many applications of AI-generated inventions, so one way out that can be taken is to form arrangements regarding AI-generated inventions as well as changes or additions to rules regarding the classification of inventors in the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabiq Aqdam Muslich
"Inovasi manusia dalam teknologi digital telah mengubah dinamika pelaku ekonomi seperti dengan munculnya skema penawaran efek melalui layanan urun dana atau securities crowdfunding (SCF). Penghimpunan modal melalui SCF menjadi salah satu alternatif untuk para pelaku Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) untuk mempermudah mendapatkan modal. Industri SCF memiliki potensi besar di Indonesia karena banyaknya demand dari pengusaha-pengusaha UMKM untuk skema pemodalan yang mudah digunakan untuk perusahaan kecil. Akan tetapi, persoalan risiko penipuan dapat menjadi hambatan besar dalam perkembangan SCF di Indonesia. Kurangnya perlindungan dari penipuan akan berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap industri SCF. Terkait isu ini, Peraturan OJK No. 57 Tahun 2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi belum mengatur secara komprehensif mengenai risiko penipuan. Sementara itu, dibutuhkan payung hukum yang sistematis untuk melindungi para Pemodal, terutama dari kejahatan penipuan yang dapat mengurangi kredibilitas industri SCF secara keseluruhan dan justru menghambat pemodalan bagi UMKM. Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji bahan pustaka dan menelaah peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pendekatan perbandingan. Penelitian ini akan membahas mengenai perlindungan hukum atas risiko penipuan dalam SCF di Indonesia dan membandingkan pengaturannya dengan regulasi di Amerika Serikat dan Australia. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai perlindungan hukum dari kejahatan penipuan dalam SCF di Indonesia serta perbandingannya dengan perlindungan hukum yang ada di negara Amerika Serikat dan Australia.

Human innovation in digital technology has changed the dynamics of economic actors, such as the emergence of securities offering schemes through crowdfunding or securities crowdfunding (SCF). Capital accumulation through SCF is an alternative for Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) to make it easier to obtain capital. The SCF industry has great potential in Indonesia due to the large demand from MSME entrepreneurs for capital schemes that are friendly for small companies. However, the issue of fraud may be a major obstacle to the development of SCF in Indonesia. Lack of legal protection will have implications on public trust in the SCF industry. Regarding this issue, OJK Regulation No. 57 of 2020 concerning Securities Offerings Through Information Technology-Based Crowdfunding Services has not comprehensively regulated the risk of fraud. Meanwhile, a systematic legal umbrella is required to protect investors, especially from fraud crimes which can reduce the credibility of the SCF industry as a whole and hinder MSMEs from gaining capital. This research method uses a normative juridical method by reviewing literature and examining relevant laws and regulations with a comparative approach. This research will discuss legal protection for fraud risk in SCF in Indonesia and compare Indonesia’s regulation with regulations in the United States and Australia. Thus, this research is expected to provide information and an overview of legal protection from fraud in SCF in Indonesia and its comparison with legal protection in the United States and Australia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Prima Ramadani
"Bootlegging, fenomena dalam industri musik yang merupakan pelanggaran Hak Cipta, adalah aktivitas produksi dan distribusi rekaman musik tidak resmi. Rekaman ini biasanya mengandung materi atau karya yang belum pernah dirilis resmi oleh pencipta, menjadikannya sulit untuk dideteksi dan diidentifikasi sebagai pelanggaran. Transformasi ini menjadi semakin rumit dalam era digital, dimana Bootlegging menjadi dominan dalam format digital dan distribusinya merajalela melalui platform digital seperti YouTube dan Soundcloud. Kompleksitas ini diperparah oleh tantangan dalam identifikasi pelanggaran, yang timbul karena materi dalam produk bootleg seringkali belum resmi dirilis dan tidak terdaftar dalam database manapun. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan menggunakan data sekunder sebagai metode, berfokus pada analisis regulasi dan penerapan perlindungan hukum terhadap Bootlegging di bawah hukum hak cipta di Indonesia dan Amerika Serikat. Penelitian ini mencoba memahami dan mendalami perbedaan serta kesamaan antara kedua sistem hukum dalam mengatur dan menangani isu Bootlegging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah melangkah jauh dalam mengatasi isu ini dengan mengadopsi Anti-Bootlegging Act dan Digital Millennium Copyright Act (DMCA). Sementara itu, Indonesia belum memiliki regulasi khusus mengenai Bootlegging, meskipun telah ada beberapa peraturan yang mencakup pelanggaran Hak Cipta secara umum. Walaupun kedua negara ini memiliki kerangka hukum yang berlaku untuk masalah ini, penelitian ini menunjukkan bahwa prosedur penanganan Bootlegging di Indonesia masih memerlukan peningkatan, terutama di era digital. Penelitian ini berusaha untuk memberikan pandangan baru tentang pengaturan dan penanganan Bootlegging di era digital, serta memberikan rekomendasi untuk peningkatan kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia. Menyoroti signifikansi dan implikasi dari fenomena Bootlegging dalam konteks hukum hak cipta Indonesia dan Amerika Serikat, penelitian ini memfokuskan pada perlunya peningkatan dalam kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia.

Bootlegging, an event in the musical realm signifying a breach of Copyright Law, involves the creation and distribution of unofficial music recordings. Frequently, these recordings encapsulate materials or compositions not formally released by their creators, making them elusive for infringement detection and identification. This challenge escalates in the digital era, where Bootlegging predominantly occurs in digital form, and its widespread dissemination transpires via digital platforms such as YouTube and Soundcloud. The intricacy is intensified by hurdles in infringement identification, mainly because the content within bootleg products often remains unreleased officially and unregistered in any database. This research, conducted via a normative juridical approach and leveraging secondary data, underscores the investigation of regulations and the implementation of legal protection against Bootlegging within the ambit of copyright legislation in Indonesia and the United States. The research endeavors to understand and examine the disparities and similarities between the two legal structures concerning the management and resolution of the Bootlegging issue. The research outcome suggests that the United States has made significant strides in addressing this issue by enacting the Anti-Bootlegging Act and the Digital Millennium Copyright Act (DMCA), which facilitate an efficacious takedown procedure. Conversely, Indonesia is yet to formulate specific regulations regarding Bootlegging, despite the presence of several regulations encapsulating general Copyright infringements. Despite both nations having relevant legal frameworks for this issue, the study highlights that the procedural handling of Bootlegging in Indonesia demands enhancement, predominantly in the digital era. This study seeks to proffer a novel viewpoint on the regulation and management of Bootlegging in the digital era, in addition to suggesting recommendations for enhancing policies and legal enforcement in Indonesia. By emphasizing the significance and implications of the Bootlegging phenomenon in relation to the copyright law context of Indonesia and the United States, the research underscores the need for advancement in policy and legal enforcement, particularly in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cinthia Ayu Claudina
"Skripsi ini membahas tentang perbandingan pengaturan terhadap iklan testimoni yang semakin marak ditemukan di masyarakat. Iklan testimoni adalah salah satu perkembangan konsep sponsorship yang seharusnya disertakan dengan sponsorship disclosure oleh pelaku usaha dan pihak yang mengiklankan produk dan/atau jasa tersebut. Hal ini telah lama menjadi perhatian di Inggris, dan barubaru ini digaungkan di Amerika Serikat, namun belum banyak diperbincangkan di Indonesia. Skripsi ini membahas mengenai perbandingan penegakan kewajiban sponsorship disclosure di ketiga negara tersebut.

This thesis compares the different laws regarding testimonial advertising which occurs increasingly in society. Testimonial advertising is one of the developed concepts of sponsorship – which should have sponsorship disclosure attached to it by the Business and/or the endorser. This issue has long been a concern in the United Kingdom, and is recently talked about in the United States of America, but is still a foreign concept in Indonesia. This thesis investigates the comparison of enforcement of sponsorship disclosure in the three countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tua, Gopas Mangadu
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan merger dan akusisi di Indonesia dan di Amerika Serikat . Ketentuan yang dijadikan pembahasan dalam skripsi ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha Dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Nomor 2 Tahun 2013, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan Hart-Scott-Rodino Act, Horizontal Merger Guidelines, Bank Merger Act, dan Sherman Act.

This thesis discusses the regulation of mergers and acquisitions in Indonesia and in the United States . Provisions were made ​​in the discussion of this thesis is the Government Regulation No. 57 Year 2010 About the Merger or Consolidation of Business Entities and Acquisition of Company Shares which may result in Monopolistic Practices and Unfair Competition , Commission Regulation No. 2 of 2013 , Law No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition with Hart - Scott - Rodino Act, the Horizontal Merger Guidelines, the Bank Merger Act and the Sherman Act."
2015
S60834
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityawardhana Putra
"Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tidak mengenal secara eksplisit mengenai Kuasi Kontrak. Namun, Kuasi Kontrak dapat dipersamakan dengan ketentuan yang mengatur mengenai Negotiorum Gestio (Perwakilan Sukarela) dan Solutio Indebiti (Pembayaran yang tidak wajib) pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Skripsi ini akan membandingkan hukum kontrak di Indonesia dengan sistem hukum Common law yakni mengenai ketentuan mengenai Negotiorum Gestio dan Solutio Indebiti dengan Kuasi Kontrak sebagai Equitable Remedies di Inggris dan Amerika Serikat. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan kuasi kontrak dalam hal pengertian, syarat, dan bentuk pemulihannya. Adanya perbedaan dan persamaan yang ditermukan dalam penelitian ini adalah akibat dari adanya perbedaan tradisi hukum yang dianut oleh ketiga negara.

Indonesian Civil Code did not openly recognize the term of Quasi Contract. However, the concept of Quasi Contract are identical with the provisions regarding Negotiorum Gestio (Managements of another's affais) and Solutio Indebiti in the Indonesian Civil Code. This Paper compares the law of contracts in Indonesia with Common Law, regarding the provisions of Negotiorum Gestio and Solutio Indebiti (Payment of Something not Owed) with Quasi Contract as an Equitable Remedies in England and United States. This study is a normative juridical research. Results of this study shows that there are similarity and differences concerning Quasi Contract in sense of Definition, Terms, and Remedies. Similaritis and differences found, are the results of the difference law tradition that the three countries abide to."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Pongtiku
"ABSTRAK
Gangguan Pemusatan Perhatian Hiperaktivitas GPPH adalah suatu gangguan jiwa yang menyebabkan penderitanya terganggu dalam melaksanakan fungsi eksekutif dalam kehidupannya sehari-hari, seperti tugas yang melibatkan detail, karena mereka sangat sensitif terhadap distraksi sekecil apapun. Prevalensi kejadian GPPH paling tinggi terdapat pada anak, namun penelitian mutakhir menunjukkan tingginya juga kejadian GPPH pada orang dewasa. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang relevan terhadap GPPH adalah UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 330/MENKES/PER/II/2011 tentang Pedoman Deteksi Dini GPPH pada Anak serta Penanganannya. Berangkat dari hal tersebut, Penulis kemudian tertarik untuk membandingkan pengaturan dan implementasi dari pengaturan terkait GPPH di Indonesia dan Amerika Serikat, suatu negara di mana GPPH telah dikenal sejak lama. Bentuk dari penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian yuridis-normatif, dengan tipe penelitian deskriptif. Kesimpulan dari perbandingan ini adalah terdapat persamaan yaitu pengaturan dilakukan dalam bentuk yang sama yaitu undang-undang di Indonesia, dan Act yang merupakan ekuivalen dari undang-undang di Amerika Serikat. Adapun perbedaannya terletak pada fakta bahwa adanya tiga peraturan terkait GPPH tidak cukup untuk memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi penderita GPPH di Indonesia. Di sisi yang lain, perlindungan hukum terhadap penderita GPPH di Amerika Serikat berjalan dengan baik meskipun tidak terdapat peraturan yang secara khusus mengatur GPPH. Penulis menyarankan pemerintah melakukan inisiatif-insiatif dan kampanye lebih luas untuk membuat semua orang, terutama tenaga kesehatan Indonesia, lebih memahami GPPH dan dampak bagi kualitas hidup penderitanya jika tidak diatasi.

ABSTRACT
Attention Deficit Hyperactivity Disorder ADHD is a mental health disorder that causes disruption to a person rsquo s daily activities in carrying activities related to executive functions, such as detail oriented, mundane tasks, due to their sensitivity towards distractions. ADHD mostly occurs in children, however latest research also suggests a high prevalence in adult. In Indonesia, laws and regulations relevant to ADHD are Law No. 36 2009 on Health, Law No. 18 2015 on Mental Health and Regulation of Minister of Health No. 330 MENKES PER II 2011 on Guidelines for Early Detection of ADHD in Children and Its Treament. Departing from that, the writer is then interested to compare the laws and regulations and the implementations of those instruments in Indonesia and in the United States US , a country where ADHD has been known and understood since a long time ago. This research is conducted under juridical normative, descriptive method. The writer then arrives at the conclusion that the numbers of legislation on ADHD in Indonesia do not necessarily correspond to adequate legal protections that persons with ADHD received. On the other hand, legal protections for persons with ADHD in the US is satisfactorily achieved despite the lack of formal regulations on ADHD. The writer advices that greater initiative and campaign has to be procured by the relevant government agencies in Indonesia, so that the public and specifically public health frontliners can be aware of ADHD as a mental health phenomenon and how it affects the daily functioning of the affected person if not treated."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kris Henry Yohanes
"Impor paralel merupakan fenomena yang muncul karena perkembangan pasar yang saat ini dialami oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Produk impor paralel sendiri merupakan produk asli dan secara teoritis bukan merupakan pelanggaran merek, sesuai dengan prinsip exhaustion dalam hukum merek. Namun, pada praktiknya impor paralel dapat merugikan berbagai pihak. Salah satu pihak yang dinilai merasakan dampak terbesar dari impor paralel adalah pemegang lisensi merek. Sayangnya, hukum Indonesia tidak secara jelas dan eksplisit mengatur mengenai legalitas dan penanganan impor paralel, sehingga pemegang lisensi merek pun dapat merasa kesulitan untuk memulihkan kerugian yang timbul dari praktik tesebut. Oleh karena itu, skripsi ini bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait upaya yang tersedia bagi pemegang lisensi merek untuk menangani dampak yang timbul dari praktik impor paralel, serta membandingkannya dengan hukum yang berlaku di negara lain, yaitu Amerika Serikat dan Singapura. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru serta memberikan masukan kepada pembuat peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk memperjelas posisi hukum Indonesia dalam menanggapi dan menyelesaikan sengketa impor paralel yang terjadi di Indonesia.

Parallel Importation is a phenomenon that rises as a consequence of globalization and market development that affect various countries across the globe, including Indonesia. The imported goods themselves are genuine goods, so theoretically, parallel importation is not classified as a trademark infringement, according to the exhaustion principle. Yet, in practice, parallel importation can cause a damage to various parties. One of the parties that potentially suffers the biggest loss is trademark licensee. Unfortunately, Indonesian law does not explicitly regulate the legality nor a mechanism to handle parallel importation, so a party that affected by the damage may find it difficult to recover from their loss. Therefore, this thesis will try to analyze the Indonesian trademark law to find an available procedure for trademark licensees to handle parallel importation, and will also compare such procedure with regulations in the United States of America and Singapore. The research method in writing this thesis is a juridical-normative method, using library materials that include primary, secondary, and tertiary legal materials. Hopefully, this thesis can give new insights to the readers, while also suggests the Indonesian lawmakers to clear up the position of Indonesian law on handling and resolving the parallel importation issues in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>