Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139373 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Natania Eliza Auriel
"Kedudukan stiker dalam media sosial berfungsi dalam memberikan ekspresi bagi para pihak saat melakukan kegiatan komunikasi. Adapun stiker-stiker tersebut dibuat dan diunggah melalui Aplikasi Pembuat Stiker, seperti Sticker.ly dan WhatsApp Sticker Maker. Namun, pada nyatanya stiker yang ada telah menimbulkan masalah hukum baru, salah satunya adalah melanggar data pribadi akibat dari konten stiker yang diunggah menggunakan data pribadi seseorang tanpa adanya persetujuan, spesifiknya adalah wajah. Hal ini tentu memberikan implikasi buruk terhadap hak privasi orang lain karena wajah seseorang yang digunakan tersebar tanpa kontrol serta dipakai kembali oleh pihak lain tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari Subjek Data. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, Penulis ingin menganalisis dampak kegiatan penggunaan wajah seseorang sebagai stiker tanpa adanya persetujuan, spesifiknya terkait pertanggungjawaban. Lebih lanjut, Penulis akan menjabarkan juga bagaimana kedudukan dari PSE terhadap konten stiker yang melanggar data pribadi, serta bagaimana kebijakan privasi dan ketentuan layanan yang dimiliki Aplikasi Pembuat Stiker terhadap konten yang melanggar data pribadi. Dari permasalahan tersebut, penelitian ini menemukan bahwa tindakan penggunaan wajah seseorang sebagai stiker dapat dimintai pertanggungjawaban serta terhadap PSE tidak serta merta langsung dapat dimintai pertanggungjawaban karena adanya pembatasan tanggung jawab hukum yang dimuat dalam prinsip safe harbour.

The position of stickers in social media functions in providing expression for the parties when carrying out communication activities. The stickers are created and uploaded through Sticker Maker Applications, such as Sticker.ly and WhatsApp Sticker Maker. However, in fact, the existing stickers have created new legal problems, one of which is violating personal data as a result of the uploaded sticker content using a person's personal data without consent, specifically the face. This certainly has bad implications for other people's privacy rights because a person's face that is used is spread without control and reused by other parties without the knowledge or consent of the Data Subject. Therefore, through this paper, the author would like to analyze the impact of using one's face as a sticker without consent, specifically regarding liability. Furthermore, the author will also describe how the position of the PSE towards sticker content that violates personal data, as well as how the privacy policy and terms of service of the Sticker Maker Application towards content that violates personal data. From these problems, this research finds that the act of using a person's face as a sticker can be held liable and the PSE cannot necessarily be held liable directly because of the limitation of legal liability contained in the safe harbour principle. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tazqia Aulia Al-Djufri
"Fleksibilitas kontenUser-Generated Content (UGC) pada media sosial memungkinkan pesatnya penyebaran informasi di masyarakat. Terlebih, konten UGC mengizinkan pengguna memiliki kebebasan berekspresi melalui berbagai cara untuk saling berbagi, berdiskusi maupun mengungkapkan opini di ruang digital. Namun, pelaksanaan kebebasan berekspresi ini seringkali melanggar hak privasi dan data pribadi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali pembatasan hak kebebasan berekspresi jika dikaitkan dengan hak privasi, pengaturan penyebaran data pribadi di media sosial menurut hukum Indonesia, dan kebijakan Twitter sebagai Lingkup Privat UGC dalam melindungi hak individu terkait penyebaran data pribadi di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak kebebasan berekspresi dapat dibatasi sesuai Prinsip Siracusa, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), dan peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”) dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (“Permenkominfo 5/2020”). Adapun Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi memberikan pelindungan hukum yang lebih komprehensif terhadap penyebaran data pribadi dibandingkan UU ITE dan UU Adminduk. UU ITE hanya menekankan persetujuan dari individu terkait informasi yang memuat data pribadi, sedangkan UU Adminduk melarang penyebaran data kependudukan dan data pribadi tanpa hak dengan sanksi pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal sejumlah Rp25.000.000,00 di mana sanksi tersebut diatur lebih berat dalam UU PDP, yaitu penyebaran data pribadi diancam hukuman pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp4.000.000.000,00. Dalam melindungi data pribadi, Twitter sebagai PSE Lingkup Privat UGC memiliki kebijakan yang wajib dipatuhi oleh pengguna dalam penggunaan layanannya. Meskipun demikian, terdapat ketidakjelasan prosedur dan kurangnya transparansi penilaian internal Twitter terkait penghapusan konten tweet yang melanggar data pribadi. Oleh karena itu, selain pelaku penyebaran data pribadi, Twitter juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum berdasarkan Pasal 11 Permenkominfo 5/2020.

The flexibility of User-Generated Content (UGC) on social media enables the rapid dissemination of information in society. Moreover, UGC allows users to express themselves freely through various means of sharing, discussing, and expressing opinions in the digital realm. However, the exercise of this freedom of expression often violates privacy rights and personal data. This study aims to explore the limitations of freedom of expression in relation to privacy rights, the regulation of personal data dissemination on social media according to Indonesian law, and Twitter's policies as a Private User-Generated Content Platform in protecting individuals' rights regarding the dissemination of personal data in Indonesia. The research methodology employed is a normative juridical approach with a focus on legal regulations. The findings indicate that freedom of expression can be restricted in accordance with the Siracusa Principles, Law Number 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions (ITE Law), its derivative regulations such as Government Regulation Number 71 of 2019 on the Implementation of Electronic Systems and Transactions (PP PSTE), and the Minister of Communication and Informatics Regulation Number 5 of 2020 on Private Electronic System Operators (Permenkominfo 5/2020). In comparison, the Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection (PDP Law) offers more comprehensive legal protection concerning the dissemination of personal data compared to the ITE Law and the Law Number 24 of 2013 concerning Amendments to the Law Number 23 of 2006 on Population Administration (Adminduk Law). The ITE Law emphasizes obtaining consent from individuals regarding information containing personal data, while the Adminduk Law prohibits the dissemination of population and personal data without authorization, punishable by a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a fine of up to Rp25,000,000. In contrast, the PDP Law imposes stricter penalties for the dissemination of personal data, with a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a fine of up to Rp4,000,000,000. Twitter, as a Private User-Generated Content Platform, has policies that users must comply with in using its services to protect personal data. However, there are uncertainties in the procedures and a lack of transparency in Twitter's internal assessment regarding the removal of tweets that violate personal data. Therefore, in addition to holding data disseminators accountable, Twitter can also be held legally responsible under Article 11 of Permenkominfo 5/2020."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Adrien Premadhitya Merada
"Kecerdasan artifisial merupakan teknologi yang multiguna untuk membantu pekerjaan manusia, tak terkecuali bagi mereka yang berkiprah di dunia perfilman. Sebelumnya telah ada teknologi komputer untuk memanipulasi gambar seperti computergenerated imageries (CGI) pada proses pembuatan film khususnya dengan genre aksi, fantasi, horor, ataupun film-film yang mengangkat kisah pahlawan sehingga melahirkan istilah sinema sintetis. Kecerdasan artifisial hadir sebagai teknologi termutakhir yang tidak hanya dapat memanipulasi gambar tetapi juga suara dan video dengan mempelajari pola dan struktur dari sekumpulan data untuk menciptakan karakter, latar belakang, dan efek visual lainnya. Kecerdasan artifisial memanfaatkan tidak terkecuali data biometrik aktor khususnya untuk tujuan penciptaan karakter yang menandakan bahwa data pribadi aktor memerlukan pelindungan hukum selain pelindungan terhadap kekayaan intelektualnya. SAG-AFTRA Strike yang terjadi pada tahun 2023 di Amerika Serikat menjadi salah satu tonggak bahwa pelaku industri perfilman khususnya aktor memiliki kekhawatiran tersendiri atas penggunaan kecerdasan artifisial yang belum memiliki regulasi spesifik sehingga terjadi ketidakpastian hukum. Tulisan ini menganalisis pemanfaatan kecerdasan artifisial pada industri perfilman di Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat sekaligus peraturan terkait, termasuk pertanggungjawaban apabila terjadi pelanggaran. Saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 (UU PDP) dan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 (SE 9/2023) sebagai dasar perlindungan bagi aktor Indonesia terhadap pemanfaatan kecerdasan artifisial. Meskipun demikian, pengaturan hukum yang ada di Indonesia belum selengkap peraturan yang berlaku di Uni Eropa dan Amerika Serikat mengenai tata cara perlakuan atau penanganan terhadap data biometrik dan masih bergantung kepada kontrak. Penelitian ini dilakukan dengan metode kajian literatur dan wawancara bersama tokoh-tokoh industri perfilman Indonesia.

Artificial intelligence (AI) is a versatile technology aimed to help humans conduct their work, including those who works in the film industry. There were also other computer technologies prior to AI used to manipulate images such as computergenerated imageries (CGI) to aid filmmaking especially for action, fantasy, horror genres, or movies about superheroes which produced the term synthetic cinema. AI serves as an advanced technology which can also manipulate sounds and videos by studying patterns and structures of a set of data to generate characters, backgrounds, and other visual effects. AI utilizes different sets of data such as biometric data of actors to create a character, showing that actor’s personal data requires legal protection aside from their intellectual property rights. The SAG-AFTRA Strike which happened in America in 2023 was a signal that people in the film industry, especially actors, have their own concerns regarding the usage of AI which have yet to be regulated through a specific regulation, posing legal uncertainty. This research analyzes the usage of AI in Indonesia, the European Union, and the United States’ film industry, the related regulations, as well as accountability in cases of violations. Indonesia currently have Law Number 27 of 2022 (PDP Law) and Circular Letter of the Ministry of Communication and Informatics Number 9 of 2023 (SE 9/2023) providing basic protection for Indonesian actors against the usage of AI. However, the regulations available in Indonesia is not as comprehensive as the ones available in the European Union and the United States and still relies more on contracts, particularly on how to handle biometric data. This research was conducted through literature studies and interview with Indonesia’s prominent film industry figures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Abiah Leo
"Seiring berkembangnya teknologi menjadi semakin pesat dan canggih, begitu pula
halnya dengan perbelanjaan yang kini bisa dilakukan secara online atau daring, di
samping pembelian produk dan jasa secara konvensional atau offline. Menurut
Global Web Index, Indonesia merupakan negara dengan tingkat penggunaan ecommerce
tertinggi sedunia pada tahun 2019. Sekitar sebanyak 90% dari
pengguna internet berusia 16 hingga 64 tahun di Indonesia pernah melakukan
pembelian produk dan jasa secara daring. E-commerce membawakan berbagai
macam kemudahan dalam perbelanjaan produk dan/atau jasa. Namun dengan
perbelanjaan secara daring muncul risiko kejahatan siber yang rentan terjadi pada
PMSE, yakni data breaching atau pembobolan data. Hal ini nyata terjadi pada
sejumlah kasus pembobolan data di Indonesia yang terjadi pada platform PMSE,
yaitu Bukalapak, Tokopedia, dan Bhinneka. Penelitian ini membahas
pertanggungjawaban hukum perdata, administratif, dan pidana terkait dengan
pelanggaran keamanan data pribadi di PMSE. Dalam kasus Bukalapak,
Tokopedia, dan Bhinneka, pertanggungjawaban hukum baik secara perdata,
administratif, maupun pidana dapat dituntut dari ketiga PPMSE yang terkait.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif.

In an increasingly digital era, commerce across the globe develops to have an affinity with online technology. Indonesia is one of these countries, as according to the Global Web Index, Indonesia in 2019 is the country with the highest level of e-commerce use in the world. Around 90% of internet users aged 16 to 64 years in Indonesia have purchased goods and/or services online. E-commerce does bring extensive convenience in shopping for goods and/ or services in everyday lives. However, there are some risks associated with online shopping, as it is prone to occur on e-commerce platforms, one of which include data breaching. This is evident in a number of data breach cases in Indonesia that have occurred on big e-commerce platforms, namely Bukalapak, Tokopedia, and Bhinneka. This research aims to bring to light prevailing provisions regarding the civil, administrative, and criminal legal liability for personal data breaches on ecommerce platforms (PPMSE) Bukalapak, Tokopedia, and Bhinneka as case studies, in accordance to Indonesian law, given the significant role e-commerce holds in Indonesia. In the case of Bukalapak, Tokopedia, and Bhinneka, civil, administrative and criminal legal liability are applicable to the three related PPMSEs. The research method used in the study is normative juridical."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Fahru Rozi
"ABSTRAK
Indonesia memiliki potensi sebagai pasar digital terbesar di Asia. Hal tersebut didukung dengan meningkatnya jumlah pengguna internet dalam dekade belakangan ini. Survey
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia berada pada jumlah lebih kurang 140 juta jiwa. Namun, semakin
berkembangnya ekonomi digital dalam bentuk platform digital diiringi dengan makin banyaknya kasus pelanggaran, terutama terkait dengan perlindungan data. Penelitian ini akan membahas tentang bagaimana penyedia platform fintech melindungi data pribadi penggunanya. Penelitian ini bersifat kualitatif yang dilakukan dengan melakukan observasi dokumen dan wawancara terhadap perwakilan dari PT ABC, sebagai tempat studi kasus, untuk mengetahui langkah-langkah yang sudah dilakukan untuk melindungi data pribadi pengguna. Hasil observasi dan wawancara tersebut nantinya dijadikan bahan untuk evaluasi dengan mengacu kepada prinsip perlindungan data pribadi lembaga internasional dan regulasi tentang perlindungan data pribadi di Indonesia. Hasilnya
adalah PT ABC memiliki kepatuhan terhadap prinsip perlindungan data pribadi dari dua
lembaga internasional. Namun, belum semua kriteria perlindungan data pribadi yang
terdapat pada regulasi di Indonesia mereka patuhi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
startup fintech lebih mematuhi aturan dari sektor pengawas terkait daripada aturan dari
pemerintah. Salah satu hal adalah kurangnya informasi tentang aturan pemerintah terkait
perlindungan data pribadi yang diterima oleh pelaku startup fintech.

ABSTRACT
Indonesia has the potential as the largest digital market in Asia. This is supported by the increasing number of internet users in the past decade. The survey of the Indonesian. Internet Service Providers Association (APJII) states that internet users in Indonesia are
around 140 million people. However, the growing digital economy in the form of platforms was accompanied by the increasing number of violation cases, mainly related
to data protection. This research will discuss how fintech platform providers protect their personal data. This research is qualitative in nature by conducting document observations and interviews with representatives from PT ABC, as a case study, to find out the steps
that have been taken to protect the user's personal data. The results of the observations and interviews will be used as material for evaluation by referring to the principle of protecting the personal data of international institutions and regulations regarding the
protection of personal data in Indonesia. The result is PT ABC has compliance with the principle of protecting personal data from two international institutions. However, not all criteria for protecting personal data contained in regulations in Indonesia are compliant.
This shows that fintech startups are more compliant with the rules of the relevant supervisory sector than the government rules. One thing is the lack of information about government regulations regarding the protection of personal data received by fintech startups."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sherina Sya'bania
"Pelindungan data pribadi bertujuan mencegah pencurian dan penyalahgunaan data untuk transaksi ilegal. Berangkat dari perumusan masalah tersebut, undang-undang pelindungan data pribadi dibutuhkan sebagai solusi agar tidak terjadi permasalahan tersebut. Namun, dalam pembentukannya, undang-undang pelindungan data pribadi memiliki beberapa permasalahan. Salah satu isu utamanya adalah perbedaan pendapat antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR) mengenai kedudukan lembaga pengawas data pribadi. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi dan menganalisis mengapa kedudukan lembaga otoritas pengawas PDP dianggap sangat penting sehingga diperebutkan dan mengakibatkan pembentukan UU PDP memakan waktu tiga tahun. Penelitian ini berlandaskan pada teori kebijakan publik yang dikemukakan oleh Islamy (2000) yang memiliki empat langkah dalam proses pembentukan kebijakan publik, yaitu perumusan masalah, agenda kebijakan, alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan. Penelitian ini berargumen bahwa kedudukan lembaga otoritas pengawas PDP merupakan lembaga yang sangat penting dan dianggap sebagai motor penggerak dari undang-undang ini dan menjadi sebuah alternatif dalam kebijakan, sehingga kedudukannya pun diperebutkan oleh berbagai lembaga. Penelitian ini menemukan bahwa kedudukan lembaga otoritas pengawas ini memang diperebutkan oleh kedua lembaga yaitu pemerintah dan DPR karena alasan-alasan tertentu, DPR menginginkan kedudukan lembaga tersebut berdiri secara independen karena untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan, perlu adanya pengawasan terhadap pengendali data, tidak hanya terbatas pada lembaga privat, tetapi juga melibatkan lembaga publik. Sementara, pemerintah menginginkan lembaga tersebut berdiri dibawah kementerian karena alasan efisiensi dan efektivitas. Kesimpulan yang didapat adalah melihat pentingnya lembaga otoritas pengawas sehingga diperdebatkan kedudukannya oleh para aktor tersebut membuat kedudukan lembaga otoritas pengawas diserahkan atau diamanatkan ke Presiden dengan mengacu pada praktik di negara lain yang memiliki lembaga sejenis dan tertulis di Bab IX Pasal 58 bahwa lembaga pengawas tersebut akan ditetapkan oleh Presiden dan akan bertanggung jawab oleh Presiden.

Personal data protection aims to prevent data theft and misuse for illegal transactions. Departing from the formulation of the problem, the personal data protection law is needed as a solution to prevent these problems from occurring. However, in its formation, the personal data protection law has several problems. One of the main issues is the difference of opinion between the executive (government) and legislative (DPR) regarding the position of the personal data supervisory institution. This research focuses on identifying and analyzing why the position of the PDP supervisory authority is considered so important that it was contested and resulted in the formation of the PDP Law taking three years. This research is based on the theory of public policy proposed by Islamy (2000) which has four steps in the process of public policy formation, namely problem formulation, policy agenda, policy alternatives, and policy determination. This research argues that the position of the PDP supervisory authority is a very important institution and is considered as the driving force of this law and an alternative in policy, so its position is contested by various institutions. This research found that the position of the supervisory authority was indeed contested by both the government and the DPR for certain reasons, the DPR wanted the institution to stand independently because to prevent conflicts of interest, it was necessary to supervise data controllers, not only limited to private institutions, but also involving public institutions. Meanwhile, the government wants the institution to stand under a ministry for reasons of efficiency and effectiveness. The conclusion is that seeing the importance of the supervisory authority institution so that its position is debated by these actors, the position of the supervisory authority institution is submitted or mandated to the President by referring to the practices in other countries that have similar institutions and written in Chapter IX Article 58 that the supervisory institution will be determined by the President and will be responsible by the President."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Sekarputri Suroyo
"Perkembangan teknologi mendorong adanya transformasi menuju era digital. Indonesia, sama seperti negara-negara lain di dunia turut bergantung pada pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi dewasa ini sudah dilakukan baik untuk penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pendidikan hingga kegiatan pengolahan data sehari-hari. Kegiatan tersebut kemudian mengakibatkan berbagai aspek kehidupan manusia mulai memanfaatkan sistem teknologi informasi. Isu mengenai pentingnya memberikan perlindungan terhadap data pribadi bagi pengguna internet kian menguat. Salah satu penyebabnya adalah semakin maraknya kasus-kasus yang melibatkan kebocoran data pribadi seseorang. Pemikiran mengenai pentingnya melakukan pelindungan data pribadi berkaitan erat dengan kebebasan seseorang untuk menentukan dengan siapa mereka ingin membagikan informasi berupa data pribadinya. Guna menjawab tantangan tersebut, pemerintah kemudian mengundangkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan Data Pribadi. Undang-Undang tersebut secara garis besar mengatur tentang kegiatan pemrosesan data pribadi serta hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Salah satu produk hukum yang melibatkan kegiatan pemrosesan data pribadi adalah Surat Izin Mengemudi (SIM). SIM merupakan suatu surat yang wajib dimiliki oleh seseorang agar dapat mengoperasikan kendaraan bermotor di jalan raya. Sayangnya, saat ini belum terdapat peraturan yang secara komprehensif mengatur mengenai kegiatan pemrosesan data pribadi dalam penerbitan SIM. Penelitian ini mengidentifikasi mengenai batasan-batasan yang selayaknya diterapkan dalam kegiatan pemrosesan data pribadi pada penerbitan SIM. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan batasan-batasan tersebut akan membantu dalam menerapkan prinsip pengumpulan data pribadi yang dilakukan secara terbatas dan spesifik, sah secara hukum, dan transparan sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi.

Technological developments encourage transformation towards the digital era. Indonesia, just like other countries in the world, also depends on the use of information technology. The use of technology today has been carried out both for carrying out government activities, education and daily data processing activities. These activities then resulted in various aspects of human life starting to utilize information technology systems. The issue of the importance of providing protection for personal data for internet users is increasing. One of the reasons is the increasing number of cases involving leaks of someone's personal data. The idea regarding the importance of protecting personal data is closely related to a person's freedom to determine with whom they want to share information in the form of their personal data. In order to answer this challenge, the government then promulgated Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection. The law broadly regulates personal data processing activities as well as the rights and obligations of the parties involved in them. One of the legal products that involves personal data processing activities is a driving license (SIM). A driver's license is a document that a person must have in order to operate a motorized vehicle on the road. Unfortunately, currently there are no regulations that comprehensively regulate personal data processing activities in issuing driving licenses. This research identifies the limitations that should be applied in personal data processing activities during the issuance of a driver's license. The aspects that need to be considered in determining these limitations will help in implementing the principles of personal data collection which is limited and specific, legally valid and transparent as contained in the Personal Data Protection Law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raynal Musfiel Vik Rachmat
"Penelitian ini merupakan analisis terhadap implikasi dari risiko terjadinya hukum pelindungan data pribadi oleh entitas yang berada dalam posisi dominan yang terjadi pada kasus Bundeskartellamt melawan Meta. Penelitian ini akan menggunakan metode yuridis-normatif. Penelitian ini akan membahas mengenai teori consent dalam rezim pelindungan data pribadi, prinsip pemrosesan data pribadi, dan entitas yang berada dalam posisi dominan sebagai pengendali data pribadi. Pertama-tama, penelitian ini akan menganalisis kebijakan dari pemrosesan data pribadi yang dilakukan oleh Meta. Penelitian atas kebijakan tersebut dilakukan karena pemrosesan data pribadi yang dilakukan oleh Meta telah melanggar prinsip kepatuhan hukum, keadilan, dan transparan, sebab Meta melakukan pemrosesan data pribadi secara otomatis dan telah mengambil data pribadi penggunanya dari luar produk yang dimilikinya melalui cookies. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemrosesan data pribadi yang dilaksanakan oleh Meta tersebut. Di sisi lain, posisi Meta pada pasar media sosial dunia menduduki posisi yang dominan, terutama di Jerman. Dalam menjalankan kebijakan pemrosesan data pribadinya, Meta telah menyalahgunakan posisi dominannya untuk memaksa penggunanya agar memberikan persetujuan atas kebijakannya. Hal tersebut kemudian memicu perhatian dari Bundeskartellamt, badan anti monopoli Jerman yang menilai bahwa tindakan dari Meta tersebut merupakan bentuk dari penyalahgunaan posisi dominan. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan juga untuk menganalisis implikasi pelanggaran hukum pelindungan data pribadi yang dilakukan oleh entitas yang berada pada posisi dominan.

This research is an analysis of the implication of personal data protection law violations risk by entities in dominant positions, as seen in the Bundeskartellamt versus Meta case. This research will adopt a juridical-normative approach. This research will explain the theory of consent within the framework of personal data protection law, the principle of personal data processing, and the role of dominant entities as data controller. First and foremost, this research will analyze the Meta’s policies regarding personal data processing, prompted by the fact that Meta’s processing of personal data has violated the lawfulness, fairness, and transparency principle due to its automated data processing practices and profiling its user personal data from external sources through cookies. Therefore, this research aims to analyze the implementation of personal data processing policies by Meta. On the other hand, Meta’s dominant position in the global social media market, especially Germany, has led it to exploit its dominance by forcing its user to consent to Meta’s privacy policies. Those activities triggered the attention of Bundeskartellamt, Germany antitrust authority, which deemed Meta’s action as an abuse of its dominant position. Therefore, this research is also aims to analyze the implication of personal data protection law violations committed by dominant positions entity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Nurul Anjani
"Data pribadi merupakan rangkaian informasi mengenai suatu individu dan akan terus melekat terhadapnya. Pelindungan data pribadi merupakan salah satu instrumen dalam menegakkan hak privasi suatu individu yang telah dijamin oleh Pasal 28G UUD 1945. Meskipun telah terdapat kewajiban hukum untuk melindungi, penggunaan data pribadi tidak lekang dari adanya risiko kegagalan pelindungan atau penyalahgunaan dan mengakibatkan pelanggaran hak privasi. Risiko ini pun tidak berhenti saat subjek data pribadi telah meninggal. Sebab, suatu data pribadi yang telah tersimpan tidak secara otomatis dapat terhapuskan melainkan terdapat syarat dan prosedur yang diberlakukan sebagaimana kebijakan privasi sistem elektronik dan ketentuan hukum yang berlaku. Terlebih, dampak dari pelanggaran atau kegagalan pelindungan data pribadi tersebut dapat membawa pengaruh ke pihak keluarga yang masih hidup. Namun, upaya pelindungan terhadap subjek data pribadi yang telah meninggal tidak merupakan ketentuan pokok dalam hukum pelindungan data pribadi seperti dalam GDPR atau UU PDP. Di sisi lain, PDP Prancis dan PDPA Singapura telah mengakui adanya kedudukan subjek data pribadi yang telah meninggal dan memberlakukan pelindungan terhadap subjek data pribadi yang meninggal dengan tujuan terhadap subjek data pribadi yang telah meninggal atau pihak keluarga. Oleh sebab itu, melalui metode penelitian yuridis normatif dengan metode analisis data studi komparatif Penulis melakukan analisis perbandingan negara yang telah memiliki regulasi mengenai pelindungan data pribadi atas subjek data pribadi yang telah meninggal serta terkait konsekuensi hukum yang terjadi. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa sejatinya Indonesia telah mengakui adanya ketentuan pelindungan tersebut melalui Pasal 439 KUHP dan Pasal 32 ayat (1) PM Kesehatan 24/2022. Akibatnya, diperlukan pengaturan pemberlakuan pemenuhan hak privasi dan pelindungan data pribadi terhadap subjek data pribadi yang telah meninggal secara komprehensif.

Personal data is a series of information about an individual and will remain associated with the individual. Personal data protection is one of the instruments in upholding the right to privacy of an individual that has been guaranteed by Article 28G of the 1945 Constitution. Regardless of the legal obligation to protect, the use of personal data is inevitable from the risk of failure or misuse of personal data and resulting in a violation of privacy rights. This risk does not stop even when the personal data subject is deceased. Since, personal data that has been stored in cyberspace cannot be automatically erased, there are terms and procedures that are applied as the privacy policy of the electronic system and applicable law. Moreover, the impact of a violation or failure to protect personal data can affect the family. However, the protection of deceased personal data subjects is not a fundamental provision in personal data protection, as in the GDPR or the PDP Law. On the other hand, the French PDP and Singapore PDPA have recognized the position of deceased personal data subjects and enacted the protection of deceased personal data subjects for the purpose of deceased personal data subjects or the family. Thus, through normative juridical research method with comparative study data analysis method the author conducts a comparative analysis of countries that have regulated the protection of personal data on deceased personal data subjects and related legal consequences. The outcome shows that Indonesia Regulations has recognized the existence of such protection provisions through Article 439 of the Criminal Code and Article 32 paragraph (1) MOH Regulation 24/2022. Therefore, it is necessary to comprehensively regulate the implementation of the fulfilment of the right to privacy and personal data protection for deceased personal data subjects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsya Shafa Ananda
"Data pribadi milik pengguna akan terkumpul dan tersimpan ketika menggunakan situs dan aplikasi dalam sistem elektronik, baik itu berupa sosial media, penyimpanan awan, bank digital, dan lain-lain. Data pribadinya pun dilindungi kerahasiaan serta keamanannya oleh Pengendali Data Pribadi dari situs serta aplikasi tersebut selama para pengguna itu masih hidup. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa para pengguna internet akan meninggal dunia dan meninggalkan data pribadinya yang tersimpan di sistem elektonik tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka data pribadi milik pengguna tersebut dapat disalahgunakan dan dibocorkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian ini untuk mengkaji tentang pelindungan data pribadi setelah kematian yang tersimpan dalam sistem elektronik dengan melakukan perbandingan antara peraturan di Indonesia dengan negara di Eropa dan Asia serta meneliti bagaimana penerapan pelindungan data pribadi setelah kematian yang tersimpan dalam sistem elektronik. Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini adalah Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan Data Pribadi belum mengatur apakah data pribadi milik subjek data pribadi yang telah meninggal tetap dilindungi atau tidak. Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat beberapa tantangan yang dapat menghambat pengimplementasian peraturan ini. Selain itu, berdasarkan analisis peraturan-peraturan dari negara lain, diperoleh beberapa kebijakan terkait pelindungan data pribadi setelah kematian yang dapat diimplementasikan di Indonesia di masa depan.

Personal data from users will be collected and stored when they use sites and applications in electronic systems, whether in the form of social media, cloud storage, digital banking, and others. Their data is also protected confidentially and securely by the Data Controller of the electronic system as long as the users are still alive. However, it is undeniable that internet users will die and leave their data stored in the electronic system. If this happens, irresponsible people can misuse and leak the user's data. Therefore, this research was conducted to examine the protection of post-mortem data stored in electronic systems by comparing regulations in Indonesia with member states of the European Union and countries in Asia and studying how to implement the protection of post-mortem data stored in electronic systems. The research method used in this research is juridical-normative. The result of this research is that the Law No. 27 of 2022 on Personal Data Protection has not regulated whether personal data belonging to deceased personal data subjects are still protected. This study also found that several challenges could hinder the implementation of this regulation. In addition, based on an analysis of regulations from other countries, several policies related to protecting personal data after death were obtained, which could be implemented in Indonesia in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>