Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150943 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Afifah Nabila Putri
"Tulisan ini menganalisis mengenai keabsahan Akta Pengikatan Hibah berdasarkan perpektif hukum Islam dan dampak yang mungkin terjadi sebelum dibuatkan Akta Hibah oleh PPAT. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode doktrinal. Akta Pengikatan Hibah dibuat dihadapan Notaris ditujukan sebagai alat bukti perjanjian para pihak dalam melaksanakan hibah dikemudian hari. Saat ini, belum ada pengaturan mengenai Akta Pengikatan Hibah yang membuat ambiguitas dikalangan masyarakat. Akta Pengikatan Hibah Nomor 7 yang dibuat dihadapan Notaris di Kota Bandung terdapat beberapa kejanggalan. Berdasarkan perspektif Hukum Islam, Akta Pengikatan Hibah dinilai melalui prinsip akad dan wa’ad. Akta Pengikatan Hibah berdasarkan prinsip akad dapat dipersamakan seperti Akta Hibah. Sedangkan, Akta Pengikatan Hibah berdasarkan prinsip wa’ad dipersamakan dengan Akta Pengikatan Hibah. Meskipun keabsahan penghibahan secara Hukum Islam belum dapat menjadi alat bukti pengalihan hak atas tanah berdasarkan yuridis di Indonesia. Dalam hal belum sempat dibuatkannya Akta Hibah, jika terdapat salah satu pihak meninggal dunia secara prinsip akad tidak membatalkan penghibahan. Namun, berdasarkan prinsip wa’ad, Akta Pengikatan Hibah dapat dijadikan bukti untuk melakukan mediasi kepada ahli waris penghibah. Apabila terjadi ingkar janji atau perizinan tidak bebas, pihak yang dirugikan dapat melakukan upaya penetapan pengadilan, meminta ganti rugi, atau pembayaran denda.

This writing analyzes the validity of the Deed of Gift Agreement from the perspective of Islamic law and the potential impacts that may arise before the creation of a Deed of Gift by a Land Deed Official (PPAT). The study employs a doctrinal method. The Deed of Gift Agreement, made before a Notary, serves as evidence of the agreement between the parties to carry out the gift in the future. Currently, there are no specific regulations regarding the Deed of Gift Agreement, which has created ambiguity among the public. Deed of Gift Agreement Number 7, drawn up before a Notary in Bandung, contains several irregularities. From the perspective of Islamic law, the Deed of Gift Agreement is assessed through the principles of akad (contract) and wa’ad (promise). Based on the akad principle, the Deed of Gift Agreement is comparable to a Deed of Gift. Meanwhile, based on the wa’ad principle, the Deed of Gift Agreement is considered equivalent to a promise of a gift. Although the validity of gifting under Islamic law does not yet serve as legal evidence for the transfer of land rights under Indonesian jurisdiction, it can still have implications. If a Deed of Gift has not yet been created and one of the parties passes away, the gifting process, under the akad principle, remains valid and is not annulled. However, under the wa’ad principle, the Deed of Gift Agreement can be used as evidence to mediate with the heirs of the donor. In cases of breach of promise or lack of free consent, the aggrieved party may pursue legal measures, such as a court ruling, compensation, or penalty payment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Apridita S.
"Laju arus telekomunikasi yang semakin canggih membuat dunia bisnis pun terbangun Stasiun televisi tidak hanya didominasi oleh TVRI tetapi sudah dibagi antara 6 stasiun televisi swasta lainnya, yang paling muda adal ah Indosiar. Masya rakat kini semakin t erbuai dengan adanya layar kaca yang memberikan alternatif hiburan yang beraneka ragam. Tiap stasiun televisi berlomba-lomba merebut hati pemirsa. Salah satu acara yang digemari pemirsa televisi adalah adanya siaran langsung baik itu berupa siaran langsung olahraga hiburan ataupun berita. Untuk menyajikan acara siaran langsung tersebut PT. RCTI telah membeli satelit dish. Akan tetapi, menurut PP no. 8 tahun 1989 telekomunikasi hanya dipegang oleh badan penyelenggara, dalam hal ini adalah PT. Indosat yang berhak menjadi badan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia termasuk telekomunikasi satelit Sehingga PT. RCTI akhirnya menghibahkan satelit dish itu kepada PT. Indosat. PT. Indosat kemudian meminjamkan satelit dish tersebut kepada PT. RCTI untuk dipakai bagi keperluan siaran langsungnya. Satelit dish itu sendiri terletak di kawasan PT. RCTI. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, mereka sepakat untuk mengikatkan diri kedalam suatu Perjanjian Hibah dan Pinjam Pakaian antara PT. RCTI dan PT. Indosat. Penulis dalam skripsi ini berusaha untuk meninjau dan menganalisa perjanjian tersebut ditinjau dari segi hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S20723
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shannon Gabriella Pesik
"Pemberian hibah dengan objek harta bersama dalam perkawinan semestinya dilakukan melalui persetujuan antara kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Namun dalam beberapa kasus, pemberian hibah di mana tanah merupakan objek hibah yang juga merupakan harta bersama, tidak dilakukan dengan persetujuan salah satu dari pasangan dalam hubungan suami dan isteri, sebagaimana ditemukan dalam Putusan Nomor 167/Pdt.G/2019/PN.Cbi. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan status hibah harta bersama yang diberikan tanpa persetujuan isteri dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam peralihan hak atas tanah melalui pemberian hibah yang dilakukan tanpa persetujuan isteri. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan. Data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa status hibah atas harta bersama yang diberikan tanpa persetujuan isteri adalah dapat dibatalkan. Hibah terhadap objek harta bersama yang diberikan dengan tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah karena melawan hukum. Pada dasarnya, hibah dapat diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang terkualifikasi sebagai penerima hibah. Namun, terhadap objek harta bersama, pemberian hibah harus memiliki persetujuan dari kedua belah pihak yakni suami dan isteri. Selain itu, PPAT dalam peralihan hak atas tanah melalui pemberian hibah adalah untuk memastikan bahwa semua dokumen yang merupakan persyaratan dan ketentuan yang berlaku telah dipenuhi sebelum akta dibuat. Pembuatan akta harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan akta hibah. Sebelum pembuatan akta, PPAT wajib dengan teliti mencek dokumen-dokumen yang diberikan penghadap kepadanya. Apabila, syarat subjektif dalam sebuah akta tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, maka akta tersebut dapat dibatalkan sehingga kekuatan pembuktian akta tersebut menjadi di bawah tangan. Batalnya suatu akta akan menimbulkan tanggung jawab PPAT yang membuat akta tersebut. Tanggung jawab PPAT terhadap pembatalan suatu akta hibah adalah sanksi perdata yakni batalnya akta itu sendiri dan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul akibat akta tersebut.

Granting grants with the object of joint property in marriage should be done through the consent of both parties, both husband and wife. However, in some cases, the granting of grants where land is the object of the grant which is also joint property, is not made with the consent of one of the partners in the relationship of husband and wife, as found in Decision Number 167/Pdt.G/2019/PN.Cbi. Therefore, the issues raised in this research are related to the status of joint property grants given without the consent of the wife and the responsibility of the Land Deed Official (PPAT) in the transfer of land rights through grants made without the consent of the wife. This doctrinal legal research is conducted by collecting legal materials through literature study. Secondary data in the form of legal materials are then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be stated that the status of grants on joint property given without the consent of the wife is cancelable. Grants of joint property objects given without the consent of the wife are invalid because they are against the law. Basically, grants can be given freely to anyone who qualifies as a grantee. However, for the object of joint property, the grant must have the consent of both parties, namely the husband and wife. In addition, PPAT in the transfer of land rights through grants is to ensure that all documents that constitute the applicable requirements and conditions have been fulfilled before the deed is made. The making of the deed must comply with the applicable laws and regulations and fulfill the requirements in making the grant deed. Before making the deed, the PPAT is obliged to carefully check the documents provided by the confronter. If the subjective requirements in a deed do not match the actual facts, then the deed can be canceled so that the evidentiary power of the deed becomes under hand. The cancellation of a deed will lead to the responsibility of the PPAT who made the deed. The PPAT's responsibility for canceling a grant deed is a civil sanction, namely the cancellation of the deed itself and compensation for losses arising from the deed."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriana Hidayati
"Sejak tanggal 6 Agustus 2001, Indonesia telah memiliki suatu Undang-Undang yang mengatur tentang yayasan. Akhirnya keberadaan yayasan yang selama ini didirikan berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan jurisprudensi Mahkamah Agung memperoleh dasar pengaturan yang kuat dengan diundangkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Pemisahan kekayaan yayasan dari kekayaan pribadi para pendirinya merupakan prasyarat penting bagi berdirinya suatu yayasan (Pasal 1 ayat(1), Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UUY).
Penulisan tesis ini memberikan gambaran mengenai tiga hal pokok yang dibahas yaitu Bagaimanakah cara perwakafan tanah dari pendiri sebagai modal awal kekayaan yayasan?, bagaimanakah pelaksanaan pengalihan hak milik mengenai modal awal kekayaan yayasan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan? serta bagaimanakah status modal awal kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf, dalam hal yayasan bubar dan atau yayasan dinyatakan pailit? Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik yaitumenggambarkan secara sistematis kedudukan hukum tanah wakaf akibat dibubarkannya yayasan dihubungkan dengan UUY.
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa cara perwakafan tanah dari pendiri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 (1977 No.38) tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam hal ini berlaku prinsip Lex Spesialis Derogat Lex Generalis, karena Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UUY, dalam hal kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan. UUY tidak menegaskan terjadinya peralihan hak milik atas kekayaan yang dipisahkan oleh pendirinya kepada yayasan. UUY tidak mewajibkan pemisahan kekayaan yang meliputi penyerahan hak milik kepada yayasan. UUY hanya menegaskan bahwa pendiri memisahkan (sebagian) kekayaannya untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Kekayaan yang berasal dari wakaf tidak dimasukkan dalam harta pailit, jika ketentuan perwakafan diberlakukan. Karena harta wakaf merupakan benda diluar perdagangan (res extra comrnercium) yang tidak dapat dijadikan objek jaminan dan oleh karena itu tidak dapat disita dan dieksekusi."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Tirta Kusuma
"Suatu akta hibah seharusnya tidak dapat dibatalkan apabila telah dilakukan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini disebabkan karena pemberian hibah merupakan hak dari pemilik barang sehingga ia memiliki kebebasan untuk memberikan barang tersebut kepada orang lain. Apabila hibah yang dilakukan semasa hidup menyebabkan terlanggarnya bagian mutlak (legitieme portie) dari ahli waris nya, maka pada saat harta pewarisan terbuka dapat dilakukan pemotongan atau pengurangan (inkorting). Hibah sendiri adalah suatu bentuk perjanjian dimana pemberi hibah menyerahkan suatu benda untuk keuntungan dari pemberi hibah secara cuma-cuma yang tidak dapat ditarik kembali dan penyerahan tersebut dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup. Sebuah hibah tidak dapat dibatalkan oleh ahli waris tanpa adanya alasan yang kuat. Penelitian ini membahas mekanisme inkorting sebagai cara pemenuhan legitieme portie yang terlanggar serta akibat hukum dari sebuah akta hibah yang digugat pembatalan oleh anak selaku ahli waris yaitu yang terjadi pada sebuah kasus yang telah diputus oleh hakim dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1159/Pk/Pdt/2023 dimana hakim memutuskan untuk membatalkan akta hibah yang dilakukan oleh orang tua semasa hidup karena ternyata melanggar legitieme portie. Penelitian ini menerapkan metode penelitian doktrinal dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini tidak dapat mendukung putusan hakim yang membatalkan akta hibah dengan alasan adanya legitieme portie dari ahli waris yang terlanggar. Pertimbangan tersebut adalah kurang tepat dikarenakan apabila terjadi pelanggaran legitieme portie dapat dilakukan inkorting untuk memenuhi kekurangan bagian tersebut.

A grant deed should not be invalidated if it has been carried out in accordance with the applicable laws and regulations. This is because the grant is the right of the owner of the goods so that he has the freedom to give the goods to others. If a grant made during life causes a violation of the absolute share (legitieme portie) of the heirs, then when the inheritance is open, a deduction or reduction (incorting) can be made. Grant itself is a form of agreement where the grantor hands over an object for the benefit of the grantor free of charge which is irrevocable and the handover is made when the grantor is still alive. Thus a grant cannot be canceled by the heirs without a strong reason. This research discusses the legal consequences of a grant deed that is sued for annulment by the child as the heir, which occurs in a case that has been decided by the judge in Judicial Review Decision Number 1159/Pk/Pdt/2023 where the judge decides to cancel the grant deed made by the parents during their lifetime because it violates legitieme portie. This research applies doctrinal research methods using a juridical-normative approach. This research uses secondary data obtained through library research in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of the research show that. The results of this study cannot support the judge's decision where the reason for the cancellation due to the violated legitieme portie of the heirs is incorrect because if there is a violation of the legitieme portie, incorting can be done to fulfill the shortage of the share."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Azura Mulyawan
"Notaris diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk dapat membuat berbagai macam akta yang dikehendaki oleh para pihak, selama akta tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan kewenangannya tidak diberikan kepada pejabat lain. Dalam hal pembuatan akta perbankan syariah, tentunya notaris harus memiliki kemampuan yang mendalam mengenai prinsip-prinsip syariah. Hal ini dikarenakan akta perbankan syariah tidak sama dengan akta-akta biasanya, sebab akta perbankan syariah akan sah jika memenuhi rukun dan syarat akad dalam hukum Islam. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai: (i) bagaimana kewenangan notaris non muslim terhadap pembuatan akta perbankan syariah berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan (ii) bagaimana keabsahan akta perbankan syariah yang dibuat oleh notaris non muslim berdasarkan pandangan pemukan agama Islam dan Notaris di Kabupaten Garut. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan 2 (dua) jenis data penelitian yaitu data sekunder dan data primer. Tipologi penelitian berupa eksplanatoris dengan metode penelitian kualitatif yang menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu, studi dokumen (content analysis), dan wawancara (purposive sampling). Hasil dari penelitian ini yaitu (i) Notaris non muslim diberikan kewenangan untuk dapat membuat akta perbankan syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat (1) UUJN, namun yang harus diperhatikan dalam hal ini yaitu notaris wajib memiliki pemahaman yang mendalam terhadap segala prinsip-prinsip syariah. Bukan hanya mematuhi rukun dan syarat dari setiap jenis akad yang dilakukan, namun harus pula mematuhi rukun dan syarat akad dalam hukum Islam. Akta perbankan syariah akan sah secara sempurna apabila dibuat sesuai dengan ketentuan hukum positif yang berlaku, dan ketentuan hukum Islam sebagaimana Al-Quran dan Hadist mengaturnya, serta (ii) akta perbankan syariah yang dibuat oleh notaris non muslim tidak sah berdasarkan hukum Islam, sebab terdapat rukun dan syarat akad yang tidak dapat terpenuhi apabila akad tersebut dilakukan oleh notaris non muslim.

Notaries are given the authority by law to be able to make various kinds of deeds desired by the parties, as long as the deed does not conflict with the applicable laws and regulations, and the authority is not given to other officials. In terms of making a sharia banking deed, of course, a notary must have in-depth knowledge of sharia principles. This is because the sharia banking deed is not the same as the usual deeds, because the sharia banking deed will be valid if it fulfills the pillars and conditions of the contract in Islamic law. The problems in this study are: (i) how is the authority of non-Muslim notaries to make sharia banking deeds based on Law Number 30 of 2004 concerning Amendments to Law Number 2 of 2014 concerning the Position of Notary jo. Law Number 21 of 2008 concerning Islamic Banking, and (ii) the validity of the sharia banking deed made by a non-Muslim notary based on the views of Islamic religious leaders and notaries in Garut Regency. This research uses normative juridical research with 2 (two) types of research data, namely secondary data and primary data. The typology of this research is explanatory with qualitative research methods that use 2 (two) data collection tools, namely, document studies (content analysis), and interviews (purposive sampling). The results of this study are (i) non-Muslim notaries are given the authority to be able to make sharia banking deeds as stipulated in Article 15 Paragraph (1) of the UUJN, but what must be considered in this case is that notaries are required to have a deep understanding of all sharia principles. . Not only obeying the pillars and conditions of each type of contract that is carried out, but must also comply with the pillars and conditions of the contract in Islamic law. The sharia banking deed will be perfectly valid if it is made in accordance with the applicable positive legal provisions, and the provisions of Islamic law as the Al-Quran and Hadith regulate it, and (ii) the sharia banking deed made by a non-Muslim notary is invalid under Islamic law, because there are the pillars and conditions of the contract that cannot be fulfilled if the contract is carried out by a non-Muslim notary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonya Whisler Refisyanti
"Perjanjian Hibah merupakan perjanjian sepihak (unilateral agreement) yang artinya kewajiban hanya dimiliki oleh satu pihak saja yaitu Pemberi Hibah, sedangkan Penerima Hibah hanya memiliki hak, misalnya untuk menerima objek dalam penghibahan. Objek dalam penghibahan harus berupa benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang memang sudah ada wujud dan keberadaannya secara jelas pada saat penghibahan dilakukan. Di samping itu, status kepemilikan dari objek hibah juga harus jelas bahwa benar benda yang akan dihibahkan merupakan milik si Pemberi Hibah. Fokus dari penelitian tesis ini adalah mengenai prosedur hibah dengan objek harta warisan dan pertimbangan Majelis Hakim terkait klausula kesepakatan dan causa yang halal yang menjadi dasar pembatalan Akta Hibah Nomor 4, 5, 6, dan 7 yang masing-masing tertanggal 5 Agustus 2019 pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3013 K/PDT/2022. Penelitian tesis ini adalah penelitian hukum doktrinal yang dalam pengumpulan bahan-bahan hukumnya dilakukan melalui studi kepustakaan dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Hasil dari penelitian tesis ini menunjukan bahwa prosedur penghibahan atas sejumlah uang berdasarkan Akta Hibah Nomor 4, 5, 6, dan 7 sudah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat penghibahan sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHPerdata. Namun, permasalahannya adalah objek dengan harta warisan dalam penghibahan tidak memenuhi syarat sebagai objek hibah karena merupakan harta warisan yang masih menjadi perselisihan di antara para ahli warisnya. Hibah memiliki kedudukan sebagai suatu perjanjian yang bersifat cuma-cuma dan karenanya dalam pelaksanaan hibah harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, pertimbangan Majelis Hakim yang berfokus kepada tidak terpenuhinya unsur kesepakatan dan causa yang halal tidak tepat jika dijadikan dasar atas pembatalan Akta Hibah Nomor 4, 5, 6, dan 7. Dasar dari pembatalan Akta Hibah Nomor 4, 5, 6, dan 7 adalah karena akta-akta hibah tersebut menyimpangi pembagian para ahli waris yang seharusnya bersifat mengikat. Selain itu, penghibahan juga dilakukan atas benda yang belum sepenuhnya menjadi hak milik dari Pemberi Hibah.

Gift agreement is categories as a unilateral agreement, which means that the obligation is only owned by one party, namely the donor, while the donee only has the right, for example to receive the gift object. The object in the gift agreement can be in form of movable or immovable, as long as the status of the object is clear and already exist at the time when the gift is made. Besides, the ownership status of the gift object must also be clear that the object to be donated belongs to the donor. The focus of this research is on the procedure of gifts with objects from inheritance and the considerations of the Panel of Judges regarding agreement clauses and lawful causes which form the basis for canceling Deeds of Gifts Number 4, 5, 6, and 7, each of which is dated August 5, 2019 in the Supreme Court Decision Number 3013 K/PDT/2022. The thesis research is doctrinal legal research in which the collection of legal materials is carried out through a literature study with an analytical descriptive research typology. The results of the research shown that the procedure of gifts with an amount of money based on the Deed of Gifts Numbers 4, 5, 6, and 7 has been carried out in accordance with the conditions of gift as stipulated in the provisions of the Indonesian Civil Code. However, the problem is that the object of the gift does not meet the requirements as an object of gift because it is an inheritance which is still a matter of dispute among the heirs. Gift has a position as an agreement which is voluntarily (gratuitousness) and therefore in the implementation of the gift must meet the legal requirements of an agreement regulated in Article 1320 of the Indonesian Civil Code. However, the considerations of the Panel of Judges which focused on the non-fulfillment of the elements of the agreement and lawful causal were inappropriate as a basis for canceling the Gift Deeds Numbers 4, 5, 6, and 7. The basis for canceling the Gift Deeds Numbers 4, 5, 6, and 7 was because the gift deeds deviate from the division of heirs which should be binding. In addition, gifts are also made to objects that have not fully become the property of the donor."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Budiman
"Tesis ini membahas implikasi hukum terhadap akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (BARUPSLB) dimana para pihak dalam akta tersebut memasukkan keterangan palsu tanpa diketahui oleh Notaris. Permasalahan tesis ini mengenai keabsahan dari akta BARUPSLB yang memuat keterangan palsu; keabsahan dari akta perbaikan yang merubah hal-hal substansial dari akta tersebut; dan tanggung jawab Notaris terhadap akta BARUPSLB dengan tidak didukung oleh dokumen-dokumen pendukung lainnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, menggunakan data sekunder berupa studi kepustakaan, dengan metode analisis kualitatif. Tipe penelitian adalah deskriptif analitis.Hasil penelitian ini adalah akta BARUPSLB tersebut adalah batal demi hukum, akibat adanya keterangan palsu yang dimasukkan dalam akta tersebut, akta tersebut menjadi cacat hukum karena isi akta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Akta perbaikan yang dikeluarkan oleh Notaris KS adalah batal demi hukum karena telah melanggar ketentuan Pasal 84 UUJN. Notaris harus bertanggung jawab atas segala akibat hukum yang timbul karena kelalaiannya dalam membuat akta. Dalam kasus ini Notaris tidak bertanggungjawab secara pidana karena Notaris hanya menjalankan jabatannya sesuai UUJN yaitu membuat akta sesuai keinginan para pihak tanpa tahu ada ketidakbenaran pada keterangannya, sedangkan secara perdata Notaris dapat dimintai tanggung jawab berupa ganti rugi, biaya dan bunga oleh pihak yang merasa dirugikan dengan tindakannya yang kurang saksama. Serta tanggung jawab secara administrasi Notaris dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan UUJN. Mengingatkan kembali bahwa sebagai Notaris harus meneliti dengan saksama dan mengikuti peraturan secara komprehensif agar Notaris terhindar dari kesalahan maupun kelalaian yang fatal dalam membuat akta.

This thesis analyze the legal implications of the Minutes of Extraordinary General Meeting of Shareholders (MEGMS) in which the parties enter fake information without being known by the Notary. This thesis problem regarding the validity of the MEGMS deed containing fake information; the validity of the deed of amendment which changes the substantial matters of the deed; and the notary's responsibility for the MEGMS is not supported by other supporting documents. The research method used is a normative juridical research method, using secondary data in the form of library studies, with qualitative analysis methods. This type of research is analytical descriptive. The results of this study are the MEGMS is null and void, due to fake information included in the deed, the deed became a legal flaw because the contents of the deed contravene the laws and regulations. The deed of repair issued by the KS Notary is null and void because it violates the provisions of Article 84 of the UUJN. The notary must be responsible for all legal consequences arising from his negligence in making the deed. In this case the Notary is not liable in criminal terms because the Notary only carries out his position in accordance with UUJN namely making the deed according to the wishes of the parties without knowing there is an untrue statement, while the notary can be held in compensation in the form of compensation, fees and interest his actions are less thorough. And the administrative responsibilities of the Notary may be subject to administrative sanctions in accordance with the provisions of the UUJN. Recall that as a Notary must carefully examine and follow the rules comprehensively so that the Notary avoids fatal errors and omissions in making deeds."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayandita Anwar
"Seorang Pejabat Umum seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki kewenangan membuat akta autentik sebagai alat bukti yang sah atas suatu perbuatan. Pelaksanaan kewenangan pembuatan akta autentik tersebut tidak selalu berjalan dengan benar. Pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan blangko kosong termasuk akta yang cacat hukum dan melanggar autentisitas akta tersebut bahkan merugikan para pihak.
Permasalahan tesis ini adalah pertanggungjawaban Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat akta yang cacat hukum dan pembeli yang beritikad baik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan penelitian deskrptif dan dianalisis secara kualitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah seharusnya dikenakan sanksi Perdata dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajbkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Selain itu untuk pembeli yang beritikad baik harus dilindungi haknya dalam perikatan ini sebagaimana tertera dalam Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Public officials like Conveyancer has the authority to make authentic deed for legal evidence. Authorized Enforcement in making authentic deed doesn`t always work well. Empty deed made by Conveyancer are considered legally defective and is against the authenticity of said deed, and even harm those who are involved.
The thesis problem is how Conveyancer who makes authentic deed puts their authority at stake in making legally defective deed, and how the rights of the buyer with good intention has to be protected. Research methods used in this study are juridical normative with analytical descriptive research and quality method.
The result of this research is that the Conveyancer who made the deed should be given civil sanction in Indonesian Civil Code Article 1365 which explains that every unlawful act that causes damage onto another person obliges the wrongdoer to compensate such damage as a replacement for the land owner`s loss from the negligence of making an empty deed. Apart of that is to protect the rights of the buyer with good intention, as mentioned in the Indonesian Civil Code Article 1267 which explains that the party against whom the obligation is not fulfilled may opt to compel the counterparty to fulfill the agreement where such fulfillment is still possible, or demand the termination of such agreement, with compensation of costs, damages and interests.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>