Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108997 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Subhan Alghifari
"Pembahasan dalam skripsi ini adalah gugatan kurator dalam hal pembatalan lelang eksekusi atas hak tanggungan harta pailit, dengan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 15/Pdt.Sus-Gugatan Lain-Lain/2023/Pn Niaga Smg. Kurator memiliki tugas untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, tetapi terdapat beberapa batasan dalam melakukan hal tersebut, salah satunya adalah hak kreditur untuk mengeksekusi haknya seolah tidak terjadi kepailitan sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU. Penelitian ini adalah penelitian Doktrinal Analitis yang memfokuskan pada doktrin yang merupakan sintesa atas aturan, norma, asas, panduan penafsiran, dan nilai. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana kewenangan dan kedudukan kurator dalam mengajukan gugatan terhadap lelang eksekusi yang dilakukan kreditur pemegang hak tanggungan dan bagaimana analisis gugatan kurator pada Pengadilan Negeri Nomor 15/Pdt.Sus-Gugatan Lain-Lain/2023/Pn. Niaga Smg. Pada akhirnya, peneliti memperoleh kesimpulan bahwa kurator memiliki kewenangan untuk melakukan gugatan lain-lain terhadap lelang eksekusi yang dilakukan oleh kreditur pemegang hak tanggungan kepada Pengadilan Niaga. Namun, gugatan kurator yang menyatakan bahwa keadaan insolvensi harta pailit berlaku sejak tanggal putusan pailit tidak tepat dikarenakan keadaan insolvensi harta pailit pada Justianto Eko Prasojo/CV. Sumber Baru (dalam pailit) dimulai sejak rapat pencocokan piutang dengan tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU.

The discussion in this thesis is the curator's lawsuit in terms of canceling the execution auction of the bankruptcy property mortgage, with a case study of the Semarang District Court Decision Number 15/Pdt.Sus-Other Lawsuits/2023/Pn Niaga Smg. The curator has the duty to manage and administer the bankruptcy estate, but there are several limitations in doing so, one of which is the right of creditors to execute their rights as if there was no bankruptcy in accordance with Article 55 paragraph (1) UUK-PKPU. This research is an Analytical Doctrinal research that focuses on doctrine which is a synthesis of rules, norms, principles, interpretive guidelines, and values. The subject matter of this research is how the authority and position of the curator in filing a lawsuit against the execution auction conducted by the creditor of the mortgage holder and how the analysis of the curator's lawsuit at the Semarang District Court Number 15/Pdt.Sus-Other Lawsuits/2023/Pn.Niaga Smg. In the end, the researcher concluded that the curator has the authority to file a lawsuit against the execution auction conducted by the creditor of the mortgage holder to the Commercial Court. However, the curator's claim stating that the insolvency of the bankruptcy estate applies from the date of the bankruptcy verdict is incorrect because the insolvency of the bankruptcy estate of Justianto Eko Prasojo/CV. Sumber Baru (in bankruptcy) began at the receivables matching meeting with no peace plan offered, the peace plan offered was not accepted, or the ratification of peace was rejected based on a decision that has obtained permanent legal force in accordance with Article 178 paragraph (1) UUK-PKPU. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junita Sari Ujung
"Kurator memiliki peranan yang penting dalam suatu kepailitan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pasal 1 butir 5 Undangundang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Dalam melaksanakan tugas pemberesan dan pengurusan harta pailit, Kurator harus independent dan tidak berpihak terhadap salah satu pihak. Akan tetapi dalam prakteknya tugas ini tidak mudah dan dapat dijalankan dengan mulus. Sulit sekali menjaga hubungan yang seimbang antara Kurator dengan Kreditor, Kurator dengan Debitor dan Kurator dengan Hakim Pengawas. Kurator dalam melaksanakan tugasnya harus dapat mendata/mengumpulkan harta Debitor, agar dapat membayarkan utang-utang Debitor terhadap para Kreditor. Dalam pelaksanaannya bisa saja Debitor tidak kooperatif, sehingga Kurator kesulitan menjalankan tugasnya. Kurator yang berpihak kepada Debitor dengan cara menutup-nutupi keberadaan harta pailit dapat berakibat tidak terbayarnya utang Debitor terhadap Kreditor. Kurator yang berpihak kepada Kreditor, sehingga dalam penjualan benda-benda harta pailit, tidak melelangnya dengan harta yang patut juga dapat merugikan Debitor.Independensi Kurator sangatlah penting dalam rangka pelaksanaan tugas Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit pada suatu kepailitan, agar tugasnya dapat terlaksana dengan baik. Akibat dari Kurator yang tidak independent adalah tidak tercapainya keadilan dalam suatu pemberesan dan pengurusan harta pailit yang menjadi tugas Kurator. Oleh sebab itu sebelum menerima penunjukannya sebagai Kurator dalam suatu kepailitan, Kurator harus mengukur kemampuannya apakah mampu mengurus dan membereskan harta pailit, memeriksa apakah ada benturan kepentingan dengan salah satu pihak dan yakin dapat bersikap adil terhadap setiap pihak.

Receiver plays a significant role in a bankruptcy proceeding for administration and settlement proceedings of the bankrupt estate. Section 5 of Article 1 of Law number 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Moratorium stipulates that the Receiver shall mean the Probate Court or an individual appointed by court for the purpose of administration and settlement of the bankrupt-Debtor?s assets under supervision of the Supervisory Judge. In performing the settlement and administration process upon the bankrupt estate, the Receiver must be independent and not in favour of either party. However, in practice, this stand is not easily and not smoothly carried out. It is a very heavy task to keep in balance positions between the Receiver and Creditors, Receiver and Debtor, and Receiver and the Supervisory Judge. The Receiver, in performing its duties, must be able to collect/gather the Debtor?s assets for the purpose of repayment of the Debtor?s debts to Creditors. In practice, it is possible that the Debtor is not cooperative and as a consequence, the Receiver will deal with barriers in performing its duties. The Receiver that stands for the Debtor by way of concealing the existence of the bankrupt estate may cause the Debtor?s debts owed to Creditors being unpaid. Otherwise, the Receiver that stands for Creditors which, in the disposal of the bankrupt estate, does not auction any appropriate assets will also bring about loss towards Debtor. Independence of the Receiver is crucial for the performance of the Receiver?s duties in administering and settling the bankrupt estate in a bankruptcy proceeding, in order that the duties of the Receiver can be performed well. The consequence of the Receiver which is not independent may cause fairness in the settlement and administration proceedings of the bankrupt estate under the Receiver?s duties can not be attained. Therefore, before accepting its appointment as a Receiver under a bankrupt proceeding, the Receiver must be aware of its capabilities in administering and settling the bankrupt estate and to examine whether there will be conflict of interest with either party, and certain that being able to be fair towards parties."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24713
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Torang, Grace Anne
"Lahirnya Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-undang Hak Tanggungan) pada tanggal 9 April 1996 menjadi peristiwa yang penting dalam pembangunan hukum tanah nasional karena telah tercipta kesatuan hukum di bidang jaminan hak atas tanah yang tidak hanya memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur, tapi juga kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Sifat dan ciri Hak Tanggungan yang mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, menjadikan lembaga jaminan yang satu ini tumpuan perlindungan hukum bagi para kreditur dalam melaksanakan kegiatan perkreditan di tengah masyarakat. Namun pada kenyataannya kemudahan yang ditawarkan oleh Undangundang Hak Tanggungan bagi pemegang jaminan kebendaan untuk melunasi hakhak piutangnya tidak selalu kuat, mudah dan pasti dalam pelaksanaannya, banyak faktor yang menjadi penghalang terwujudnya keadaan tersebut, salah satunya diangkat dalam tesis ini, yaitu terjadinya perbedaan penafsiran Pasal 6 Undangundang Hak Tanggungan yang memuat bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut dan Pasal 15 ayat (1) huruf (b) Undang-undang Hak Tanggungan pada prinsipnya mengatur larangan adanya kuasa substitusi dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang membawa dampak penolakan terhadap pelaksanaan lelang Parate Eksekusi oleh KPKNL Bandar Lampung. Perbedaan dasar penolakan dari kedua lembaga yang terkait erat dalam proses pelelangan yaitu Ketua KPKNL dan Direktur Lelang pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan Republik Indonesia, menunjukkan masih belum sempurnanya pemahaman mengenai Undang-undang Hak Tanggungan, tidak hanya penolakan pelaksanaan lelang Parate Eksekusi Hak Tanggungan merugikan pihak kreditur dan debitur tetapi juga merugikan masyarakat pada umumnya karena telah terjadi ketidakpastian hukum.

The issuance of law No. 4 year 1996 regarding the Mortgage of Land and Objects Related Attached To It, on April 9, 1996 ("Mortgage Act"), is an important event in the development of national land laws for the legal entity created in the field of security of tenure which not only gives protection and legal certainty for creditors and debtors, but also to the other parties concerned. The natures and the characteristics of Mortgage is easy and the execution is definite, that makes this security institution support and giving legal protection, specifically for creditors in conducting lending activities in the community. But in fact the convenience offered by this Mortgage Act for collateral holders to settle the rights to claims are not always robust, easy, and certainly in practice, many factors can be prohibitive of such event, one of them raised in this thesis, that is the differences in the interpretation of Article 6 and Article 15 paragraph (1) letter (b) Mortgage Act that took effect to the rejection of the Parate Execution by KPKNL Bandar Lampung. The basic differences reason given by the two institutions in rejecting Parate Execution, shows that the related authorities have minor understanding of the Mortgage Act, not only the rejection of Parate Execution Mortgage detrimental to the creditors and debtors, but also detrimental to public because of a legal uncertainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30003
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Yehezkiel Caestama
"Kasus Putusan Nomor 43/Pdt.Sus-Gugatan Lain-Lain/2023/PN Niaga Smg dan Putusan MA No.519 K/Pdt.Sus-Pailit/2024 mengangkat isu penting terkait pengelolaan aset pailit oleh pihak yang telah dinyatakan pailit. Tergugat 1 dan Tergugat 2 memberikan kuasa kepada Tergugat 3 untuk membuat perjanjian sewa-menyewa tanpa menyampaikan status kepailitan kepada notaris dan Tergugat 4. Tindakan ini melanggar ketentuan Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan, yang menyatakan bahwa hak pengelolaan harta pailit beralih kepada kurator. Hal ini menimbulkan pertanyaan hukum mengenai sah atau tidaknya perjanjian sewa tersebut. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Tindakan Tergugat 1 dan Tergugat 2 yang memberikan kuasa kepada Tergugat 3 untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa tanpa menginformasikan status kepailitan mereka merupakan perbuatan melawan hukum. Hal ini bertentangan dengan Pasal 21 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan kurator berwenang mengurus harta kekayaan debitur pailit. Akibatnya, perjanjian sewa-menyewa menjadi batal dan dapat dibatalkan. Penyewa berhak mendapatkan ganti rugi atas segala kerugian yang dideritanya, baik materiil maupun immateriil, sesuai dengan Pasal 1365 dan Pasal 1243 KUHPerdata. Selain itu, notaris yang menyusun akta perjanjian sewa-menyewa tanpa melakukan verifikasi terhadap status hukum pihak-pihak yang terlibat dapat dikenakan sanksi administratif dan perdata, karena dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya.

The case of Decision Number 43/Pdt.Sus-Gugatan Lain-Lain/2023/PN Niaga Smg and Supreme Court Decision Number 519 K/Pdt.Sus-Pailit/2024 raises important issues regarding the management of bankrupt assets by parties who have been declared bankrupt. Defendants 1 and 2 authorized Defendant 3 to enter into a lease agreement without disclosing their bankruptcy status to the notary and Defendant 4. This action violated Article 21 of Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy, which states that the right to manage bankrupt assets is transferred to the curator. This raises legal questions about the validity of the lease agreement. The research method employed in this study is doctrinal. The actions of Defendants 1 and 2 in granting power to Defendant 3 to enter into a lease agreement without disclosing their bankruptcy status constitute an unlawful act. This is because it violates Article 21 of Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of payment, which stipulates that the right to manage bankrupt assets is transferred to the curator. As a result, the lease agreement is considered invalid and can be annulled. The lessee is entitled to claim compensation for both material and immaterial damages, in accordance with Articles 1365 and 1243 KUHPerdata. Furthermore, the notary who drafted the lease agreement without verifying the legal status of the involved parties may face administrative and civil sanctions for negligence in performing their duties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Pratiwi
"Dalam pemberian fasilitas kredit, bank dapat meminta adanya jaminan berupa hak atas tanah yang diikat dengan Hak Tanggungan. Hak atas tanah yang dijaminkan sebagai jaminan kredit tidak terlepas dari adanya sengketa tanah. Salah satu sengketa kepemilikan tanah yang kerap terjadi yaitu tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah. Ada akibat hukum dari tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah terhadap Objek Hak Tanggungan. Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan apabila objek Hak Tanggungan kepemilikannya tumpang tindih, perlu mendapatkan pelindungan hukum. Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian doktrinal yang bertujuan menelaah akibat hukum dari tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah terhadap Hak Tanggungan dan pelindungan hukum Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan apabila ada tumpang tindih kepemilikan objek Hak Tanggungan. Penelitian ini juga melakukan studi putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 109/PDT/2023/PT DKI. Melalui penelitian ini didapatkan hasil bahwa terhadap objek Hak Tanggungan yang tumpang tindih, salah satu sertipikat hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak dapat dibatalkan. Apabila hak atas tanah hapus karena dibatalkan, Hak Tanggungan juga turut hapus. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan belum secara konsisten mendapat pelindungan hukum meskipun telah ada SEMA Nomor 7 Tahun 2012 bahwa kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan yang beritikad baik wajib dilindungi.

When providing mortgage facilities, banks can request collateral in the form of lan rights bound by Hak Tanggungan. Land rights pledged as credit collateral cannot be separated from land disputes. The land ownership disputes that often occurs is overlapping ownership of land rights. There are legal consequences of overlapping ownership of land rights to the Mortgage Rights Object. Banks as holders of mortgage rights, if their mortgage rights objects overlap, need to obtain legal protection. This research is conducted using doctrinal research which aims to examine the legal consequences of overlapping ownership of land rights to Hak Tanggungan and the legal protection of the Bank as the holder of Hak Tanggungan if the ownership of Hak Tanggungan objects is overlapping. This research also studies the decision of DKI Jakarta High Court Number 109/PDT/2023/PT DKI. Through this research, it was found that for overlapping objects of Hak Tanggungan, the cancellation shall be done for one of a land certificate as proof of land ownership. If land ownership is extinguished because of the cancellation, Hak Tanggungan are also distinguished. This research also concludes that bank as Hak Tanggungan holder have not consistently received legal protection even though SEMA Number 7 0f 2012 states that creditors as a Hak Tanggungan holders in good faith must be protected."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Rizaldy
"Hak tanggungan sebagai jaminan memberikan kepastian hukum bagi kreditur apabila debitur cidera janji, namun dalam kasus ini terjadi sita jaminan yang dilekatkan oleh pihak ketiga terhadap objek hak tanggungan tersebut yang menyebabkan adanya konflik antara para pihak. Permasalahan dalam tesis ini manakah di antara sita jaminan dan hak tanggungan yang memiliki kekuatan hukum apabila adanya cidera janji oleh debitur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian berupa yuridis normatif dengan tipologi deskriptif analitis, menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dari berbagai literatur, dengan menggunakan tiga kasus yang saling terikat. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Hak Tanggungan telah terdaftar terlebih dahulu dari Sita Jaminan. Dengan diletakannya Hak Tanggunan terlebih dahulu, maka Sita Jaminan yang diletakan setelahnya tidak mempunyai kekuatan hukum. Prosedur lelang telah mengikuti prosedur yang ditentukan, sehingga pembeli lelang yang beritikad baik haknya harus terlindungi.

Mortgage rights as collateral provide legal certainty for the creditor if the debtor is in default, however in this case study, there is a collateral confiscation attached by the third party to the object of the mortgage rights which causes a conflict between parties. This thesis's problem is which between the collateral confiscation and the mortgage rights that has legal rights in the event of a breach of contract by the debtor. This research uses a normative judicial method with a descriptive-analytical typology, using data collection tools in document studies from various works of literature, using three interrelated cases. Based on the research results that the Mortgage Rights have been registered in advance from collateral confiscation. By placing the Mortgage rights first, the Collateral Confiscation which is placed afterwards has no legal right. The auction procedure has followed the prescribed procedure to protect the auction buyer in good faith."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Aprilia E.P
"ABSTRAK Tesis ini mengenai peraturan yang mengatur tentang eksekusi atas objek hak tanggungan melalui Parate Eksekusi, yang merupakan eksekusi langsung yang dilakukan oleh kreditur atau pemegang hak tanggungan atas objek hak tanggungan tanpa adanya fiat atau izin dari pengadilan. Sehingga terdapatlah permasalahan bagaimana prosedur tentang parate eksekusi yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan serta pelaksanaannya di dalam praktek perbankan, dan dimana hal tersebut telah diatur. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, skunder dan tertier. Kemudian bahan hukum itu dideskriptikan dan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Sehingga menghasilkan data deskriptip analitis dan diperoleh data yang lebih terstruktur guna menjawab pemasalahan yang telah dirumuskan untuk kemudian didapatkan kesimpulan dan saran apabila masih ada yang perlu diperbaiki. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa parate eksekusi sudah diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan pasal 6, dan juga tercantum dalam dan di APHT (Akta Pembebanan Hak Tanggungan), sehingga lembaga parate eksekusi akan lebih mengikat. Prosedur dan pelaksanaan parate eksekusi itu sendiri harus dengan pelelangan umum yang pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, dalam hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Dan untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut, undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut haruslah menjadi acuan pertama sebagai dasar dari penyelesaian permasalahan yang sedang terjadi.

ABSTRACT This thesis deals with the rules governing the execution of objects of mortgages through Parate Execution, which is a direct execution carried out by the creditor or the holder of mortgage rights on the object of mortgages without the existence of fiat or permission from the court. So that there are problems how the procedure regarding the execution of parate relating to the object of Underwriting Rights and its implementation in banking practice, and where it has been regulated. The research method used is normative juridical research using the legal approach and case approach. Legal materials used are primary, secondary and tertiary legal materials. Then the legal material is described and analyzed with a qualitative approach. So as to produce analytical descriptive data and obtain more structured data in order to answer the problems that have been formulated for conclusions and suggestions to be obtained if there are still things that need to be corrected. Based on the results of the study, it can be concluded that the execution parate is regulated in Article 6 of the Underwriting Rights Act, and is also listed in and in the APHT (Underwriting Deed), so that the parate execution institution will be more binding. The procedure and implementation of the parate execution itself must be carried out in a public auction in accordance with applicable regulations, in this case regulated in the Minister of Finance Regulation (PMK) number 27 / PMK.06 / 2016 concerning the Auction Implementation Guidelines. And to resolve these conflicts, the laws and regulations relating to them must be the first reference as a basis for resolving the ongoing problems.

 

Keywords : Parate Execution, Execution of Mortgage Rights, Mortgage Rights

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerardus Cahyo Nugroho
"Sertipikat sebagai alat bukti terkuat ternyata tidak menjamin dapat di jadikan alat bukti yang dapat secara penuh di miliki ini di buktikan dengan di batalkannya Hak Tanggungan No.5/HT/18/IV/199 oleh pengadilan. Akibat di batalkannya Akta Jual Beli Tanah yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan sehingga menyebabkan hapusnya obyek jaminan hal ini tentu saja merugikan pihak kreditur karena pihak kreditur yang beitikad baik yang telah memenuhi segala ketentuan untuk memberi pinjaman tidak mendapatkan perlindungan karena haknya telah di cederai dengan di batalkannya hak tanggungan tersebut karena batalnya sertipikat jual beli tersebut. Sehingga dalam hal ini penulis ingin meneliti dan mengkaji bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi bagaimana kekuatan perjanjian yang di lakukan sebelum AJB di buat apakah mempunyai Implikasi yang besar terhadap pembatalan sertipikat kedua tanah tersebut sehingga mengakibatkan batalnya hak tanggungan. Tesis ini di buat untuk dapat mengetahui factor apa saja yang dapat membatalkan sertifikat sehingga penulis mengharapkan dapat mengklarifikasi penyebab batalnya hak tanggungan yang di sebabkan batalnya sertifikat akibat akta jual beli yang batal di masa yang akan datang.

Certificate as the strongest evidence did not ensure that the evidence can be made in full to have this attested by at cancellation of Mortgage No.5/HT/18/IV/199 by the court . Due on Sale and Purchase of Land Deed canceled the object of causing collateral mortgage guarantee this object abolishment of course detrimental to the creditors because the creditors are faith both have met all the provisions to provide protection because the loan did not get in to harm the rights have been in cancellation the encumbrance certificate for the cancellation of the sale and purchase. in this case I want to examine and assess how such events can happen how the strength of the agreement will be undertaken prior to AJB is made whether to have great implications on both the soil certificate cancellation, resulting in the cancellation of mortgage. Thesis is made in order to determine what factors may cancel the certificate so that the author hopes to clarify the cause of the cancellation of mortgage that is caused due to the cancellation of the deed of sale certificate is canceled in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Qurrotul Aini
"ABSTRAK
Kreditur Separatis adalah kreditur Pemegang hak jaminan kebendaan yang dapat bertindak sendiri dan didahulukan pembayaran haknya atas boedel pailit dibandingkan kreditur lainnya. Namun dalam kasus ini bahwa kreditur separatis tidak diberikan hak-haknya atas boedel pailit, seperti kasus PT. Perusahaan Pengelola Aset selaku Pemohon I dan PT. Bima Prima Persada selaku Pemohon II terhadap Tim Kurator PT. Texmaco Jaya selaku Termohon. Adapun Pemohon selaku Kreditor Separatis yang memegang jaminan kebendaan tidak didahulukan dan tidak mendapat penjualan pembayarannya atas pembagian boedel pailit. Disebabkan pengajuan tenggang waktu telah melampui batas berdasarkan Pasal 192 Undang-Undang Kepailitan dan mengenai daftar pembagian yang disusun oleh termohon untuk para Kreditor Preferen sudah sesuai dengan bagian masing-masing dan hukum yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan penelitian hukum kepustakaan terhadap peraturan perundang undangan yang berlaku serta dituangkan dalam bentuk tulisan preskriptif analitis yang memberikan jalan keluar berdasarkan teori hukum yang berkaitan dari suatu permasalahan yang terjadi. Dengan demikian kreditor separatis tidak diberikan haknya atas pembagian boedel pailit berdasarkan Pasal 192 dan Pasal 196 Ayat (4) Undang ? Undang kepailitan

ABSTRACT
Separation Creditors are creditors holding the property guarantee right who can act by themselves and whose payment right on the bankrupt estate has to be prioritized compared with other creditors. However, in this case, the separation creditors are not given their rights on the bankrupt estate, such as in the case of PT. Perusahaan Pengelola Aset as the Petitioner I and PT. Bima Prima Persada as the Petitioner II towards the Trustee Team of PT. Texmaco Jaya as the Petitionee. Nevertheless, the Petitioners as the Separation Creditors who hold the property guarantee are not prioritized and cannot obtain their payment sales on the bankrupt estate division.This is caused by submitting a grace period which has exceeded the limit based on Clause 192 ofthe Bankruptcy Law, and about the division list made by the petitionee for the Preferential Creditors, it is already suitable with each part and the prevailing law.This research uses the normative judicial approach method conducted by legal literature research towards the prevailing laws and regulations, and written in a form of analytical prescriptive writing which provides a solution based on the relevant legal theory towards the occuring issues. Thus Separation Creditors are not given rights on the bankrupt estate based on clause 192 and 196 paragraph (4) of the bankruptcy law"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Lareka Putri
"Dalam jaminan atas tanah, terdapat lembaga khusus yang mengatur ketentuan mengenai jaminan hak atas tanah, yaitu lembaga Hak Tanggungan dan telah diatur dalam suatu perundang - undangan khusus, yaitu Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996. Adanya lembaga khusus tersebut beserta peraturan yang ada berfungsi untuk melindungi kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan agar mempunyai kedudukan yang kuat. Namun karena semakin tingginya persaingan bank, sehingga bank sudah kurang memperhatikan, tidak mematuhi dan mengikuti lagi peraturan - peraturan yang ada. Untuk meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan oleh nasabah selaku debitur dalam proses pemberian kredit, terutama kredit kecil atau kredit mikro, dalam penjaminan hak atas tanah, bank meniadakan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan (SKMHT) dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
Tesis ini mengangkat pokok permasalahan, seperti bagaimana penjaminan tanah tanpa dibuatnya SKMHT maupun APHT dalam proses perkreditan, serta bagaimanakah penyelesaiannya apabila terdapat kredit macet dengan jaminan tanah yang tidak dibuatkan SKMHT maupun APHT. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, tesis ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dimana penelitian dilakukan terhadap hukum positif tertulis dalam suatu perundang - undangan, untuk mengetahui kesesuaian terhadap praktek yang di lapangan mengenai penjaminan tanah dalam proses perkreditan mikro terkait dengan peraturan di dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.
Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa praktek yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan - ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, dengan tidak melaksanakan peraturan yang ada jelas bank tidak memanfaatkan perlindungan yang telah diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan. Begitu pula mengenai terjadinya kredit macet, bank tentunya kesulitan untuk melakukan pencairan jaminan hak atas tanah, terlebih apabila nasabah tidak lagi kooperatif. Karena belum dibuatnya SKMHT maupun APHT, sehingga tentunya berakibat tidak dapat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan, sehingga secara otomatis tidak terbitnya sertifikat Hak Tanggungan, yang mengakibatkan bank tidak menjadi kreditur preferen.

In relation to this, a special institution celled the Mortgage Agency (Lembaga Hak Tanggungan) has been established which is regulated by a special law namely Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. The main purpose of this institution and related regulations is to protect the creditors as the holder of Mortgage Right, thus giving them a strong legal basis. However, highly intense competition between banks forces them to disregard those regulations. To keep the costs a debtor has to spend to get a loanat a minimum, particularly for small and micro enterprises, when using land as a collateral, some banks no longer issue a Power of Attorney to Charge for the Rights of Land Mortgage (SKMHT) and Deed of Grant of Mortgage (APHT).
This thesis analyzes the process of obtaining bank loans which involves the practice of making land mortgages without issuing SKMHT or APHT. This thesis also identifies the bank’s strategies to settle bad loans involving land mortgages made without SKMHT or APHT. To analyze those problems, this thesis applies juridical-normative approach, in which a codified positive law is examined to measure the relevance between the applicable law and the real practice of land mortgage in the loan process with reference to Law Number 4 of 1996 on Mortgage Right.
Results show that loan practices are not in compliance with the regulations stated in Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. By not abiding to the applicable law, the bank denies itself the protection provided by the Mortgage Right Law. If bad loans do occur, which requires them to apply for Mortgage Rights first, especially when the debtor is no longer cooperative. The absence of both SKMHT and APHT prevents the bank from appliying the Mortgage Rights, which effectively prevents them from obtaining the Mortgage Right certificate. This will certainly risk the bank’s reputation as a credible creditor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39109
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>