Ditemukan 208594 dokumen yang sesuai dengan query
Devika Hadianti Deliana
"Selama ini, perkawinan beda agama memiliki kekosongan hukum sebab tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara tegas mengenai perkawinan tersebut. Sahnya perkawinan menurut Pasal 2 UU Perkawinan dikembalikan kepada agama masing-masing mempelai. Namun, dari keenam agama di Indonesia tidak ada yang menyarankan umatnya untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama. Pasal 35 UU Adminduk juga hanya mengatur secara administrasi bahwa perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Kekosongan hukum ini terus berlanjut hingga Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 2/2023 yang berisi larangan bagi hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Dalam skripsi ini, Penulis membahas bagaimana keterikatan SEMA 2/2023 kepada hakim dan apa yang terjadi jika hakim melanggar aturan tersebut. Penulis juga membahas bagimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia baik sebelum maupun setelah SEMA 2/2023 berlaku. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Pada penelitian ini, Penulis juga melakukan analisis perbandingan terhadap dua penetapan, yaitu Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr dan Penetapan Nomor 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp yang diputus dengan amar penetapan berbeda. Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr amarnya adalah kabul sedangkan pada Penetapan Nomor 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, hakim memutuskan untuk menolak. Penulis menganalisis pertimbangan hakim yang digunakan pada masing-masing penetapan dan mengaitkannya dengan SEMA 2/2023 mengingat kedua perkara tersebut terjadi setelah SEMA 2/2023 diundangkan. Terhadap Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr, pertimbangan hakim tidak menyebutkan aturan agama atau pandangan dari tokoh keagamaan dalam memandang perkawinan beda agama Para Pemohon serta tidak menghiraukan kehadiran SEMA 2/2023. Sedangkan pada Penetapan Nomor 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, pertimbangan hakim telah didasarkan pada aturan agama Para Pemohon dan SEMA 2/2023.
Interfaith marriages has long faced a legal vacuum in Indonesia due to the absence of explicit statutory regulations governing such marriages. The validity of a marriage, according to Article 2 of the Marriage Law, is referred back to the perspective religions of the spouses. However, none of the six recognized religions in Indonesia recommend their followers to marry someone of a different faith. Article 35 of the Civil Registration Law only administratively regulates that such marriages can be registered. This legal vacuum, persisted until the Supreme Court issued Circular Letter (SEMA) 2/2023, which prohibits judges from granting applications for the registration of interfaith marriages. This thesis discusses the binding force of SEMA 2/2023 on judges and the consequences if a judge violates this rule. The authors also discusses how interfaith marriage is regulated in Indonesia, both before and after the implementation of SEMA 2/2023. This research employs a doctrinal research method. In this study, The Author also conducts a comparative analysis of two court rulings, namely Ruling Number 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr and Ruling Number 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, which were decided with different stipulations. Ruling Number 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr granted the petition, while Ruling Number 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, the judge decided to reject the petition. The author analyzes the judges’ considerations used in each ruling and connects them to SEMA 2/2023, considering both cases occurred after SEMA 2-2023 was promulgated. Regarding Ruling Number 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr, the judge’s considerations were not mentioned on religious rules or views from religious figures in viewing interfaith marriages of the Petitioners and disregarded the existence of SEMA 2/2023. Meanwhile, in Ruling Number 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, the judge’s considerations were based on the religious rules of the Petitioners and SEMA 2/2023."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Noval Pahlevi
"Mengenai perkawinan beda agama tidak diatur secara jelas, yang mana UU Perkawinan sendiri mengembalikan lagi kepada agama dan kepercayaannya masing-masing yang hendak melaksanakan perkawinan. Mayoritas agama yang diakui di Indonesia sendiri melarang perkawinan beda agama, namun perkawinan beda agama masih marak terjadi, setidaknya sampai sebelum terbitnya SEMA 2/2023 yang isinya melarang Hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan yang didaftarkan ke pengadilan. Dalam skripsi ini, Penulis membahas mengenai pengaturan perkawinan beda agama sebelum dan sesudah keluarnya SEMA 2/2023. Untuk mendukung pembahasan, Penulis melakukan analisis terhadap Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Utr terkait dengan permohonan perkawinan yang dikabulkan setelah keluarnya SEMA 2/2023. Penulis menggunakan penelitian dalam bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis agar dapat menemukan jawaban dari permasalahan yang Penulis angkat dalam penelitian ini. Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa SEMA 2/2023 tidak mengatur juga secara jelas bahwa perkawinan beda agama karena kembali lagi kepada UU Perkawinan, yang jelas adalah bahwa Hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan yang diajukan ke pengadilan untuk tujuan kepastian hukum. Oleh karena itu, menurut Penulis perkawinan beda agama sebaiknya dihindari karena dari segi pencatatannya rumit, terlebih setelah terbitnya SEMA 2/2023.
Regarding interfaith marriages, the Marriage Law itself returns to the religion and beliefs of each person who wants to get married. The majority of recognized religions in Indonesia prohibit interfaith marriages, but interfaith marriages were still rampant, at least until the issuance of SEMA 2/2023, which prohibits judges from granting applications for registration registered with the court. In this thesis, the author discusses the regulation of interfaith marriages before and after the issuance of SEMA 2/2023. To support the discussion, the author analyzes Stipulation Number 423/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Utr related to the marriage application granted after the issuance of SEMA 2/2023. The author uses normative juridical research which is descriptive analytical in order to find answers to the problems that the author raises in this study. From this research, it can be concluded that SEMA 2/2023 does not clearly regulate interfaith marriages because it returns to the Marriage Law, what is clear is that Judges are prohibited from granting applications submitted to the court for the purpose of legal certainty. Therefore, according to the author, interfaith marriages should be avoided due to the complexity of recording, especially after the issuance of SEMA 2/2023."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hezekiel Melanthon Sumantoro
"Kepailitan terhadap developer apartemen banyak menimbulkan pro dan kontra karena dinilai merugikan konsumen yang hanya menjadi Kreditor konkuren. Pada akhir 2023, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 3/2023 yang mana salah satu isinya adalah menyatakan pembuktian perkara pailit dan PKPU terhadap developer apartemen tidak dapat dibuktikan secara sederhana sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU. Dalam skripsi ini, Penulis membahas mengenai ketentuan pembuktian tidak sederhana pada perkara kepailitan dan PKPU terhadap developer apartemen pada SEMA 3/2023 dengan menganalisisnya dari segi UUKPKPU dan Hukum Kepailitan secara umum serta dikaitkan berdasarkan kasus-kasus kepailitan dan PKPU yang terjadi terhadap developer apartemen. Skripsi ini juga menganalisis SEMA 3/2023 sebagai sebuah peraturan dan keberlakuannya dalam perkara kepailitan dan PKPU. Penulis menggunakan penelitian dalam bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang Penulis temukan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa SEMA 3/2023 yang mengatur mengenai pembuktian tidak sederhana pada perkara kepailitan dan PKPU terhadap developer apartemen bertentangan dengan UUKPKPU serta Hukum Kepailitan secara umum. SEMA 3/2023 juga telah melanggar prinsip kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara sebagaimana dalam UUKH dan UUMA. Kehadiran SEMA 3/2023 bukanlah solusi bagi penyelesaian atas kerugian konsumen ketika developer apartemen pailit, melainkan hanya menambah masalah baru akibat upaya hukum bagi Kreditor, baik konsumen maupun non-konsumen, serta Debitor itu sendiri dibatasi. Selain itu, kehadiran SEMA 3/2023 dapat menimbulkan disparitas putusan terhadap developer apartemen yang akan menimbulkan ruang abu-abu atas parameter dari pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan dan PKPU, khususnya terhadap developer apartemen. Penulis berkesimpulan bahwa untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian akibat developer apartemen pailit bukan dengan cara membuat developer apartemen tersebut tidak dapat pailit atau PKPU, melainkan mengatur perihal mekanisme khusus atas permohonan pailit dan PKPU terhadap developer apartemen atau pengaturan mengenai perlindungan konsumen selama proses kepailitan, khususnya dengan memperhatikan hak-hak konsumen sebagaimana dalam UUPK.
Bankruptcy against apartment developers has raised many pros and cons because it’s considered detrimental to consumers who are only concurrent Creditors. At the end of 2023. The Supreme Court issued SEMA 3/2023 which one of the contents is to state that the evidentiary of bankruptcy and PKPU cases against apartment developers cannot be proven simply as in Article 8 paragraph (4) UUKPKPU. In this thesis, the author discusses the provision of non-simple evidentiary in bankruptcy and PKPU cases against apartment developers in SEMA 3/2023 by analyzing it in terms of UUKPKPU and Bankruptcy Law in general, and also related based on bankruptcy and PKPU cases that occurred against apartment developers. This thesis also analyzes SEMA 3/2023 as a regulation and its applicability in bankruptcy and PKPU cases. The author employs normative juridical research with descriptive-analytical characteristics to address the issues found. The results research indicate that SEMA 3/2023, which regulates non-simple evidentiary in bankruptcy and PKPU cases against apartment developers contradicts with UUKPKPU and Bankruptcy Law in general. SEMA 3/2023 has also violated the principle of freedom of judges in deciding a case as stipulated in UUKH and UUMA. The presence of SEMA 3/2023 is not a solution to the losses suffered by consumers when an apartment developers goes bankruptcy, rather, it creates new problems by limiting the legal recourse available to Creditors, both consumers and non-consumers, as well as the Debtor it self. Furthermore, the presence of SEMA 3/2023 may lead to disparity in decisions against apartment developers which will create a gray area over the parameters of simple evidentiary in bankruptcy and PKPU cases, especially against apartment developers. The author concludes that to protect consumers who have suffered losses due to bankruptcy of apartment developers is not by making the apartment developer unable to file for bankruptcy or PKPU, but by regulating a special mechanism for bankruptcy and PKPU petition against apartment developers or regulating consumer protection during the bankruptcy process, especially by paying attention to consumer rights as outlined in UUPK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hezekiel Melanthon Sumantoro
"Kepailitan terhadap developer apartemen banyak menimbulkan pro dan kontra karena dinilai merugikan konsumen yang hanya menjadi Kreditor konkuren. Pada akhir 2023, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 3/2023 yang mana salah satu isinya adalah menyatakan pembuktian perkara pailit dan PKPU terhadap developer apartemen tidak dapat dibuktikan secara sederhana sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU. Dalam skripsi ini, Penulis membahas mengenai ketentuan pembuktian tidak sederhana pada perkara kepailitan dan PKPU terhadap developer apartemen pada SEMA 3/2023 dengan menganalisisnya dari segi UUKPKPU dan Hukum Kepailitan secara umum serta dikaitkan berdasarkan kasus-kasus kepailitan dan PKPU yang terjadi terhadap developer apartemen. Skripsi ini juga menganalisis SEMA 3/2023 sebagai sebuah peraturan dan keberlakuannya dalam perkara kepailitan dan PKPU. Penulis menggunakan penelitian dalam bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang Penulis temukan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa SEMA 3/2023 yang mengatur mengenai pembuktian tidak sederhana pada perkara kepailitan dan PKPU terhadap developer apartemen bertentangan dengan UUKPKPU serta Hukum Kepailitan secara umum. SEMA 3/2023 juga telah melanggar prinsip kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara sebagaimana dalam UUKH dan UUMA. Kehadiran SEMA 3/2023 bukanlah solusi bagi penyelesaian atas kerugian konsumen ketika developer apartemen pailit, melainkan hanya menambah masalah baru akibat upaya hukum bagi Kreditor, baik konsumen maupun non-konsumen, serta Debitor itu sendiri dibatasi. Selain itu, kehadiran SEMA 3/2023 dapat menimbulkan disparitas putusan terhadap developer apartemen yang akan menimbulkan ruang abu-abu atas parameter dari pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan dan PKPU, khususnya terhadap developer apartemen. Penulis berkesimpulan bahwa untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian akibat developer apartemen pailit bukan dengan cara membuat developer apartemen tersebut tidak dapat pailit atau PKPU, melainkan mengatur perihal mekanisme khusus atas permohonan pailit dan PKPU terhadap developer apartemen atau pengaturan mengenai perlindungan konsumen selama proses kepailitan, khususnya dengan memperhatikan hak-hak konsumen sebagaimana dalam UUPK.
Bankruptcy against apartment developers has raised many pros and cons because it’s considered detrimental to consumers who are only concurrent Creditors. At the end of 2023. The Supreme Court issued SEMA 3/2023 which one of the contents is to state that the evidentiary of bankruptcy and PKPU cases against apartment developers cannot be proven simply as in Article 8 paragraph (4) UUKPKPU. In this thesis, the author discusses the provision of non-simple evidentiary in bankruptcy and PKPU cases against apartment developers in SEMA 3/2023 by analyzing it in terms of UUKPKPU and Bankruptcy Law in general, and also related based on bankruptcy and PKPU cases that occurred against apartment developers. This thesis also analyzes SEMA 3/2023 as a regulation and its applicability in bankruptcy and PKPU cases. The author employs normative juridical research with descriptive-analytical characteristics to address the issues found. The results research indicate that SEMA 3/2023, which regulates non-simple evidentiary in bankruptcy and PKPU cases against apartment developers contradicts with UUKPKPU and Bankruptcy Law in general. SEMA 3/2023 has also violated the principle of freedom of judges in deciding a case as stipulated in UUKH and UUMA. The presence of SEMA 3/2023 is not a solution to the losses suffered by consumers when an apartment developers goes bankruptcy, rather, it creates new problems by limiting the legal recourse available to Creditors, both consumers and non-consumers, as well as the Debtor it self. Furthermore, the presence of SEMA 3/2023 may lead to disparity in decisions against apartment developers which will create a gray area over the parameters of simple evidentiary in bankruptcy and PKPU cases, especially against apartment developers. The author concludes that to protect consumers who have suffered losses due to bankruptcy of apartment developers is not by making the apartment developer unable to file for bankruptcy or PKPU, but by regulating a special mechanism for bankruptcy and PKPU petition against apartment developers or regulating consumer protection during the bankruptcy process, especially by paying attention to consumer rights as outlined in UUPK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sianturi, Lestari Hotmaida
"Pidana denda adalah salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP. Menurunnya nilai rupiah mengakibatkan penegak hukum enggan untuk menerapkan pidana denda. Pada tahun 2012, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (PERMA). Salah satu pengaturannya adalah bahwa maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali. Tipologi penelitian ini adalah deskriptif analitis yang bersifat yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa Hakim belum menerapkan pidana denda meskipun nilai rupiah telah disesuaikan. Dalam menerapkan PERMA ini, Hakim mengalami beberapa kendala, salah satunya mengenai hierarki PERMA yang lebih rendah dari KUHP. Penelitian ini juga menjabarkan tentang RUU KUHP versi 2013 berusaha untuk mengatasi kendala yang dialami hakim dalam menerapkan PERMA.
Fine punishment is one of the main punishments, which is regulated in Article 10 of Indonesian Criminal Code, it is used as an alternative punishment or as a sole punishment in Book II and Book III of the Criminal Code. The decreasing value of Rupiah caused law enforcers unwilling to apply the fine punishment. In the year of 2012, the Supreme Court released Supreme Court Regulation (PERMA) Number 2 year 2012 about The Limitation Adjustment for Light Criminal Offense and The Amount of Fine in Criminal Code (KUHP). One of its arrangement is that the maximum amount of fine regulated in Criminal Code is to be multiplied by 1.000 (a thousand) times. The typology of this research is descriptive analysis in normative juridical characteristic. The research shows that have not yet applied the fine punishment even when the Rupiah?s value has been adjusted. In applying this PERMA, Judges experienced some problems, one of which is the hierarchial position of PERMA that is lower than KUHP. This research also explains about the 2013 version of the New Criminal Code Draft (RUU KUHP 2013 version) that tried to settle the problems experienced by Judges in applying PERMA."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55637
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dwi Noryani Christina
"Dalam suatu perkawinan suami istri dapat membuat suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini harus dibuat dalam bentuk tertulis dan selanjutnya disahkan pada pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri ini ada yang dicatatkan pada pengadilan negeri bukan pada pegawai pencatat perkawinan. Permasalahan yang dikemukakan pada skripsi ini bagaimana keberlakuan perjanjian perkawinan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum tertulis atau kepustakaan. Pokok hasil dari penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa perjanjian perkawinan yang dicatatkan pada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanian perkawinan tersebut namun bagi pihak ketiga perjanjian perkawinan tersebut tidak berlaku dan tidak dapat mengikat pihak ketiga.
In a marriage husband and wife can make a marriage agreement. Marriage agreement must be made in written form and subsequently registered by marriage officer. There are marriage agreement that made by husband and wife that registered on district court but not registered by marriage officer. The main issue in this thesis is what is the law effect of Marriage Agreement Registered on District Court After Act No. 1 year 1974 about Marriage. The research method used in this thesis is a juridical normative research, namely study of written law and literature. The result of this research are the marriage agreement that registered on district court have a legal concequences to husband and wife who made the marriage agreement but the marriage agreement do not have any legal consequences to third party."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S58000
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Anisya Ramdlonaning
"Over kapasitas Lapas di Indonesia menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Data Kemenkumham bahwa 51% penghuninya adalah kasus narkotika dan 90% dari kasus narkotika tersebut hanya penyalah guna narkotika bagi diri sendiri. Pemidanaan merupakan hasil dari peradilan pidana. Dalam peradilan pidana terdiri dari penyidik, JPU dan hakim sebagai aparat penegak hukum (APH). Dalam penelitian ini akan menganalis implementasi ambang batas dan persyaratan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika yang tertuang dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010. Jenis penelitian kualitatif dengan tipe penelitian analisis kebijakan menggunakan metode Multiple Perspective Analysis yang mengambil 3 perspektif yaitu dari kebijakan publik (UU Narkotika dan SEMA Nomor 4 Tahun 2010), Pelaku Kebijakan (penyidik,jaksa dan hakim) dan lingkungan kebijakan (dampak implementasi). Hasil penelitian bahwa ambang batas bukanlah tolak ukur APH dalam melakukan pemidanaan/rehabilitasi. Akan tetapi semua penyalah guna berapapun barang buktinya akan ditangkap. APH baik penyidik, jaksa dan hakim tidak melaksanakan perintah UU Narkotika dan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 yaitu merehabilitasi penyalah guna narkotika bagi diri sendiri. Adanya kewenangan yang besar yang diberikan kepada penyidik untuk dapat menempatkan penyalah guna ke tempat rehabilitasi akan tetapi tidak dilaksanakan. Justru terjadi penyalahgunaan kewenangan dengan menangkap dan menahan penyalah guna narkotika bagi diri sendiri. Selain itu JPU meneruskan dengan menggunakan pasal pengedar didalam UU Narkotika (pasal 112) untuk semua penyalah guna agar bisa ditahan. Dan hakim tidak ada yang berani memutus rehabilitasi apabila JPU tidak menuntut rehabilitasi. Hakim sebagai penerjemah keadilan didalam masyarakat pada akhirnya juga tidak melaksanakan kewajibannya (pasal 127 ayat 2) dan kewenangannya (pasal 103). Tidak adanya kolaboratif diantara APH dalam sistem peradilan pidana yang seharusnya terpadu. APH memiliki pemahaman dan kepentingan sendiri. Filosofis tujuan dibentuknya UU Narkotika dan SEMA Nomor 4 tahun 2010 yaitu kesehatan untuk penyalah guna tidak dilaksanakan. Sedangkan putusan yang muaranya di pengadilan nyatanya bergantung dari pemberkasan, penyidikan di kepolisian dan kejaksaan.
Over-capacity of prisons in Indonesia is an unresolved problem. Data from the Ministry of Law and Human Rights shows that 51% of residents are narcotics cases and 90% of these narcotics cases are only narcotics abusers for themselves. Punishment is the result of criminal justice. In criminal justice, it consists of investigators, prosecutors and judges as law enforcement officers (APH). This research will analyze the implementation of thresholds and rehabilitation requirements for narcotics abusers as stipulated in SEMA Number 4 of 2010. This type of qualitative research with the type of policy analysis research uses the Multiple Perspective Analysis method which takes 3 perspectives, namely from public policy (Narcotics Law and SEMA Number 4 of 2010), Policy Actors (investigators, prosecutors and judges) and the policy environment (implementation impact). The results of the study show that the threshold is not a benchmark for APH in carrying out punishment/rehabilitation. However, all abusers regardless of the evidence will be arrested. APH, both investigators, prosecutors and judges, did not carry out the orders of the Narcotics Law and SEMA Number 4 of 2010, namely to rehabilitate narcotics abusers for themselves. There is great authority given to investigators to be able to place abusers in rehabilitation places, but this is not implemented. In fact, there is abuse of authority by arresting and detaining narcotics abusers for themselves. In addition, the prosecutor continued to use the drug dealer article in the Narcotics Law (Article 112) for all drug users to be arrested. And no judge has the courage to decide on rehabilitation if the prosecutor does not demand rehabilitation. Judges as interpreters of justice in society ultimately do not carry out their obligations (article 127 paragraph 2) and their authority (article 103). There is no collaboration between APHs in the criminal justice system which should be integrated. APH has its own understanding and interests. The philosophical aim of establishing the Narcotics Law and SEMA Number 4 of 2010, namely health care for abusers, was not implemented. Meanwhile, decisions that end in court depend on filings, investigations by the police and the prosecutor's office."
Jakarta: Sekolah Kajian dan Stratejik Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Aisyah Nurul Permatasari
"Penelitian ini berjudul pengesahan perkawinan beda agama yang dilangsukan di Indonesia. Permasalahan penelitian ini meliputi pengaturan mengenai perkawinan beda agama dan pertimbangan hakim mengenai pengesahan perkawinan beda agama, sebagaimana yang terdapat dalam Penetapan Pengadilan Negeri Purwokwerto Nomor 54/Pdt.P/2019/PN Pwt. Metode penelitian yang digunakan ialah yuridis normatif, tipologi penelitian deskriptif analitis, menggunakan data sekunder, dengan yang dan dianalisis secara kualitatif, dengan bentuk laporan deskriptif analitis. Simpulan penelitian ini adalah hakim dalam pertimbangannya tidak mengindahkan aturan undang-undang perkawinan mengenai sahnya perkawinan, dimana dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sahnya perkawinan harus diperbolehkan oleh kedua agama calon mempelai, dan bukan hanya dari satu calon mempelai saja dan artinya hakim menganalisis diluar dari kewenangannya. Hakim dalam pertimbangannya ini hanya melihat dari dispensasi yang diberikan oleh salah satu agama, namun tidak mengindahkan aturan agama yang lain. Hakim diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Administrasi Kependudukan bukan untuk mengesahkan perkawinan tetapi hanya berwenang untuk memerintahkan mencatatkan perkawinan beda agama, yang artinya hakim tidak berwenang untuk mengesahkan suatu perkawinan, karena sahnya perkawinan berdasarkan agama.
This research is entitled the legalization of the interfaith marriage held in Indonesia. The problem of this research covers a regulation of interfaith marriage and the judge’s consideration for the legalization of interfaith marriage, as contained in the Purwokerto Judicial Court Decision number 54/Pdt.P/2019/Pn Pwt. The research method is normative juridical, typology of the research used was descriptive analytical, using secondary data, and analyzed qualitatively, in the form of analytical descriptive reports. The conclusion of this research is that the judges in their consideration didn’t heed the marriage law regarding the validity of marriage , where in article 2 paragraph (1) of the Marriage Law, the marriage must be permitted by the two prospective bride-to-be, and not only by one prospective bride and its mean the judge in their analyzes outside of their authority. The judges in their consideration only consider from the excemption by one religion, but they didn’t heed the rules of other religions.The judges were given authority by the Population Administration Law not to validating marriage but only has the authority to order the registry office to register of interfaith marriages , which means that the judge is not to validating a marriage, because marriage is legitimately based on religion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53722
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Amelia Betrice Viosania
"Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama, sehingga pengaturan mengenai perkawinan beda agama menjadi multitafsir. Kondisi ini menjadi dasar isu dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. Para Pemohon yang memiliki perbedaan agama memohon agar perkawinan mereka dapat disahkan oleh Pengadilan. Atas dasar tersebut, dalam tulisan ini akan menganalisis mengenai (1) pengaturan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, dan (2) kesesuaian pertimbangan hakim dengan peraturan perundang-undangan dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022 Pn Mak yang mengabulkan perkawinan beda agama. Untuk menjawab permasalahan yang ada, digunakan metode penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa (1) perkawinan beda agama berdasarkan peraturan di Indonesia diserahkan kembali kepada ajaran agama masing-masing calon mempelai. Dimana perkawinan beda agama tidaklah dibenarkan, sebab tidak sesuai dengan hukum dan ajaran agama-agama yang berlaku di Indonesia. Sehingga, suatu perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan batal demi hukum. (2) berdasarkan hasil analisis dari sumber perundang-undangan yang ada, keputusan Hakim dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. yang mengabulkan permohonan perkawinan beda agama tidaklah tepat. Sebab perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum agama, sehingga seharusnya tidak dapat dicatatkan oleh lembaga negara.
Essentially, marriage law in Indonesia does not specifically regulate the marriage of couples of different religions. Thus, the regulation for interfaith marriage is multi-interpretation. This condition became the basis in Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. The Plaintiffs, who have different religions, requested that their marriage be legalized by the Court. On this basis, this paper will analyze (1) the regulation of marriage between different religions in Indonesia, and (2) the suitability of the judge's consideration with the laws and regulations in the Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022 Pn Mak which granted the interfaith marriage. To answer the existing problem, a normative juridical research method is used. The research of this study results that (1) Indonesian regulations for interfaith marriages are consigned back to the religious teachings of each prospective bride and groom. A marriage between different religions is not justified because it is not according to the laws and teachings of the religions that apply in Indonesia. Therefore, interfaith marriage is considered unauthorized and void in the sake of law. (2) based on the results of the analysis of existing statutory sources, the Judge's decision in the Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. which granted the application for interfaith marriage was not legitimate, because interfaith marriage is not valid according to the religious law. Thus, it should not have been recorded by state."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Angelica Klaras Hanum
"Perkawinan pada dasarnya merupakan persatuan antara dua orang yang saling menyepakati untuk mengikatkan dirinya sebagai pasangan suami istri. Indonesia sebagai negara multikultural yang menjunjung tinggi adanya persatuan dalam perbedaan sebagaimana diartikan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” merefleksikan makna tersebut salah satunya melalui pluralitas agama yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya keberadaan enam agama yang diakui dan tersebar di Indonesia. Pluralitas agama tersebut tentu saja merupakan hal yang positif dan sudah sepatutnya dibanggakan oleh Indonesia sebagai negara. Meski begitu, tak jarang hal ini menimbulkan adanya permasalahan sosial, salah satunya adalah perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama merupakan ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita dengan latar belakang agama atau kepercayaan yang berbeda. Melalui penulisan ini, Penulis akan menjelaskan bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, berdasarkan agama Islam dan Kristen, juga kesesuaian peraturan perundang-undangan tersebut dengan implementasinya dalam Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh Penulis dalam menyusun penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang juga bersifat yuridis-normatif dengan data sekunder dan bahan hukum primer. Penulis melihat masih terdapatnya permasalahan hukum dalam penerapan hukumnya dikarenakan pengaturan yang kurang jelas dan spesifik mengenai perkawinan beda agama khususnya antara agama Islam dengan agama Kristen. Sehingga melalui penelitian ini Penulis menyampaikan analisisnya terkait penerapan yang sudah seharusnya diterapkan dan saran Penulis sebagai jalan keluar dari permasalahan hukum yang timbul yaitu dengan pengadaan pengaturan yang khusus dan spesifik mengenai mekanisme dan akibat hukum yang terang dan jelas berdasarkan Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Hal tersebut bertujuan sebagai tindakan preventif dari lahirnya permasalahan hukum yang timbul dari praktik perkawinan beda agama dan sebagai saran upaya yang dapat dilakukan oleh Majelis Hakim yang menetapkan perkara yang menjadi pembahasan Penulis untuk memeriksa dan mengadili kembali dengan mempertimbangkan pengaturan yang ada sebaik-baiknya.
Marriage is a union between two people who mutually agree to bind themselves as husband and wife. Indonesia as a multicultural country that upholds unity in diversity as defined in "Unity in Diversity" reflects this meaning, one of which is through the plurality of religions in Indonesia. This is proven by the existence of six religions that are recognized and spread across Indonesia. The plurality of religions is certainly a positive thing and Indonesia as a country should be proud of. Even so, not infrequently this creates social problems, one of which is interfaith marriage. Interfaith marriage is a marriage bond between a man and a woman with a different religious or belief background. Through this writing, the author will explain how interfaith marriages are regulated in Indonesia, based on Islam and Christianity, as well as the compatibility of these laws and regulations with their implementation in Determination Number 71/PDT.P/2017/PN.BLA. The research method used by the author in compiling this research is a normative legal research method with a qualitative approach which is also juridical-normative with secondary data and primary legal materials. The author sees that there are still legal problems in the application of the law due to unclear and specific arrangements regarding interfaith marriages, especially between Islam and Christianity. So that through this research the author conveys his analysis regarding the application that should have been implemented and the author's suggestion as a way out of the legal problems that arise, namely by procuring special and specific arrangements regarding mechanisms and legal consequences that are clear and clear based on Stipulation Number 71/PDT.P/ 2017/PN. BLA. This is intended as a preventive measure against the birth of legal issues arising from the practice of interfaith marriages and as a suggestion for efforts that can be made by the Panel of Judges who determine the case being discussed by the Author to examine and re-trial by considering the existing arrangements as well as possible."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library