Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178600 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Kesuma Astuti
"Anak palsi serebral (PS) memiliki faktor risiko terjadinya refluks patologis. Penegakan diagnosis penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) menjadi tantangan tersendiri karena gejala sangat bervariasi dan keterbatasan kemampuan komunikasi anak PS. Diperlukan penelitian yang mengkaji masalah tersebut agar dapat dijadikan panduan dalam penegakan diagnosis. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan indeks refluks dengan gejala dan tanda klinis refluks pada anak PS. Kami melakukan penelitian analitik observasional menggunakan desain potong lintang. Subyek adalah anak palsi serebral tipe spastik yang berusia 1-18 tahun yang berobat ke RSCM. Semua subyek dilakukan pemeriksaan pH-metri impedansi. Pengamatan dan pelaporan gejala dan tanda klinis refluks oleh orang tua atau wali selama perekaman pH-metri impedansi. Kami merekrut 48 subyek yang mayoritas berjenis kelamin lelaki dan kelompok usia 1-5 tahun. Prevalensi PRGE pada anak PS tipe spastik usia 1-18 tahun sebesar 29,1%. Median indeks refluks [13,4 (8,85-19,1)] pada kelompok PRGE dan [1,15 (0,17-2,12)] pada non-PRGE. Analisis bivariat menunjukan hubungan bermakna antara indeks refluks dengan posisi Sandifer (p= 0,048) dan batuk (p= 0,041) dan hematemesis (p= 0,001). Posisi Sandifer, batuk dan hematemesis merupakan gejala dan tanda klinis yang mempunyai hubungan bermakna dengan indeks refluks pada anak palsi serebral.

Children with cerebral palsy (CP) have risk factors for pathological reflux. Making a diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD) is a challenge. Research is needed to examine this problem so can be used as a guide in making a diagnosis. This study aims to determine the relationship between reflux indeks with clinical signs and symtomps of reflux in children with CP. We conducted an observational analytic study using a cross-sectional design. Subjects were children with spastic type CP, aged 1-18 years who were patients at Cipto Mangunkusumo Hospital. All subjects underwent impedance pH-metry examinations. Observation and reporting of clinical signs and symptoms of reflux by parents or guardians. We recruited 48 subjects, the majority of whom were male and in the age group 1-5 years. The prevalence of GERD in spastic type PS children aged 1-18 years is 29.1%. The median reflux index in the GERD and non-GERD group were [13.4 (8.85-19.1)] and [1.15 (0.17-2.12)]. Bivariate analysis showed a significant relationship between reflux index with Sandifer position (p= 0.048), cough (p= 0.041) and hematemesis (p=0.001). Sandifer position, cough and hematemesis are have a significant relationship with the reflux index in children with CP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephen Diah Iskandar
"Latar belakang: Refluks gastroesofagus merupakan hal yang normal pada bayi prematur karena fungsi sfingter esofagus bawah belum sempurna. Penegakkan diagnosis refluks seringkali didasarkan oleh gejala klinis berupa apnea, desaturasi, dan bradikardi. Gejala-gejala tersebut sering dijadikan dasar untuk pemberian terapi proton pump inhibitor. Kondisi overdiagnosis dan overtreatment  ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi secara global.

Tujuan: Mengetahui frekuensi kejadian refluks, apnea, desaturasi, dan bradikardi pada bayi prematur. Mengetahui faktor risiko refluks pada bayi prematur terkait dengan modalitas suplementasi oksigen dan strategi pemberian susu. Mengetahui hubungan refluks dengan apnea, desaturasi, dan bradikardi.

Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang. Subjek adalah bayi prematur dengan postmentrual age 32-36 minggu yang memiliki riwayat apnea, desaturasi, atau bradikardi dicurigai akibat refluks. Subjek sudah mendapat susu minimal 60 mL/kg/hari. Subjek dieksklusi jika sudah mendapat obat prokinetik, penekan asam lambung, menggunakan alat bantu pernapasan yang lanjut (terintubasi, noninvasive positive pressure ventilation, atau continuous positive airway pressure dengan positive and expiratory pressure >7 cmH2O), terdapat kelainan intrakranial, kongenital mayor, atau dalam kondisi sepsis. Posisi semua bayi adalah terlentang dengan kepala lebih tinggi 45°. Diagnosis refluks ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan baku emas, yaitu multipel intraluminal impedance – pHmetri, yang merekam kejadian refluks selama 24 jam. Diagnosis apnea, desaturasi, dan bradikardi ditegakkan dengan perekaman monitor hemodinamik dan pencatatan oleh perawat selama 24 jam.

Hasil: Dari total 20 subjek, terdapat 3882 refluks selama 24 jam. Dari refluks tersebut, sebanyak 331 refluks (8,5%) mencapai batas sfingter esofagus atas. Sebanyak 17 subjek (85%) mempunyai nilai indeks refluks normal (<5). Dari 2 subjek yang mempunyai indeks refluks ≥ 10, tidak ada gejala klinis esofagitis refluks yang khas. Karakteristis refluks sebagian besar merupakan jenis refluks cair (79,9%) yang bersifat asam lemah (84,6%). Tidak ada hubungan yang signifikan antara refluks dengan jenis suplementasi oksigen, jenis susu, frekuensi pemberian susu, durasi pemberian susu, ataupun volume pemberian susu. Proporsi refluks tinggi yang disertai dengan apnea dan bradikardi sangat kecil (0,3%). Secara statistik, refluks tinggi tidak berhubungan dengan kejadian desaturasi. Namun, terdapat 2 subjek (10%) yang mempunyai refluks tinggi disertai dengan desaturasi. Pada kedua subjek tersebut, tidak ada alarm symptoms yang khas.

Kesimpulan: Semua bayi prematur mengalami refluks, tetapi hanya 15% yang mengalami refluks patologis. Refluks pada bayi prematur tidak dipengaruhi oleh modalitas suplementasi oksigen ataupun strategi pemberian susu. Tidak ada hubungan antara refluks dengan kejadian apnea, desaturasi, dan bradikardi.


Background: Gastroesophageal reflux is common in premature baby due to immature lower esophageal sphincter function. The diagnosis of reflux is often based on clinical symptoms such as apnea, desaturation, and bradycardia. Furthermore, these symptoms are often used as the basis by clinicians to provide proton pump inhibitor therapy. This condition of overdiagnosis and overtreatment does not only occur in Indonesia but globally.

Objective: To determine the frequency of reflux, apnea, desaturation, and bradycardia in preterm infants. To determine the risk of reflux in preterm infants related to oxygen supplementation and milk feeding strategy. To determine the significance of the association between reflux with apnea, desaturation, and bradycardia.

Method: Observational analytic study with a cross-sectional design. Subjects were preterm infants with postmenstrual age of 32-36 weeks who have a history of apnea, desaturation, or bradycardia suspected of reflux and have received milk at least 60 mL/kg/day. Subjects were excluded if they have received prokinetic drugs, gastric acid suppressants, are still using advanced respiratory support (intubated, non-invasive positive pressure ventilation, or continuous positive airway pressure with positive and expiratory pressure >7 cmH2O), having intracranial abnormalities, major congenital abnormalities, or sepsis condition. The position of all subjects is lying with head elevated 45°. Diagnosis of reflux was done using the gold standard examination, namely multiple intraluminal impedance – pHmetry, which records for 24 hours. Diagnoses of apnea, desaturation, and bradycardia were made with 24-hour hemodynamic monitor recording and was recorded by the attending nurse.

Results: From a total of 20 subjects, there were 3,882 refluxes over 24 hours. Of these refluxes, 331 refluxes (8.5%) reached the upper esophageal sphincter. A total of 17 subjects (85%) had normal reflux index values (<5). Of the 2 subjects who had a reflux index ≥ 10, there were no typical clinical symptoms of reflux esophagitis. Reflux characteristics were mostly liquid reflux (79.9%) and weak acid reflux (84.6%). There is no significant relationship between reflux with modes of oxygen supplementation, types of milk, frequency of feeding, duration of feeding, and milk volume. The proportion of high reflux accompanied by apnea and bradycardia was very small (0.3%). Statistically, high reflux was not associated with the incidence of desaturation. However, there was two subjects (10%) with refluxes accompanied by desaturation. There was no specific alarm symptoms in both subjects.

Conclusion: Reflux occurs in all preterm infants, but only 15% of them have pathological reflux. Reflux in preterm infants is not affected by oxygen supplementation modes or milk feeding strategy. There is no association between reflux and the incidence of apnea, desaturation, and bradycardia."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Debora
"Latar belakang. Refluks gastroesofagus (RGE) dengan gejala klinis regurgitasi
merupakan manifestasi gastrointestinal yang sering dijumpai pada bayi. Penelitian
menunjukkan bahwa prevalens regurgitasi menurun setelah usia 6 bulan sedangkan gejala
klinis penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) didapatkan pada anak di atas 1 tahun yang
memiliki riwayat regurgitasi sering pada usia di atas 6 bulan. Infant gastroesophageal
reflux questionnaire (I-GERQ) merupakan sarana diagnosis PRGE yang tidak invasif dan
memiliki nilai prediktif positif yang baik.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidens PRGE, karakteristik bayi
yang mengalami regurgitasi, skor I-GERQ dan gejala yang berkaitan dengan PRGE,
faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan gejala regurgitasi yang menetap hingga akhir
pemantauan, dampak regurgitasi terhadap peningkatan berat badan dan pola makan
Metode. Penelitian longitudinal prospektif pada subjek dengan regurgitasi minimal
1x/hari setidak-tidaknya 4x/minggu. Kriteria eksklusi adalah bayi atopi, mengi berulang,
dicurigai alergi susu sapi, kelainan neurologis, terdiagnosis tuberkulosis, riwayat operasi
saluran cerna sebelumnya, pernah mencapat terapi antogonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton. Subjek sesuai PRGE jika skor I-GERQ >7, dan dirujuk ke
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemantauan dilakukan setiap bulan pada subjek
dengan I-GERQ ≤ 7, dengan menilai skor I-GERQ dan pengukuran antropometris.
Hasil. Sebanyak 131 dari 352 subjek yang memenuhi kriteria penelitian. Subjek sebagian
besar berusia 6 bulan (51,1%), status antropometris sesuai (85,5%), dan mendapat asupan
dengan median frekuensi 14 (5-15) x/hari. Median skor I-GERQ saat awal pemantauan
adalah 4 (3-7). Sebanyak 81,9% subjek mencapai skor I-GERQ nol saat akhir
pemantauan. PRGE didapatkan pada 1 subjek saat pemantauan pertama dengan gejala
berat badan sulit naik, regurgitasi 3-5x/hari, volume regurgitasi >15 mL. Variabel
pemberian ASI eksklusif, paparan rokok, keluarga dengan alergi, keluarga dengan RGE,
dan terapi non-farmakologis tidak berkaitan dengan gejala regurgitasi yang menetap
hingga akhir pemantauan. Gejala regurgitasi hingga akhir pemantauan didapatkan pada
13,7% subjek yang mengikuti saran terapi non-farmakologis dibandingkan dengan 86,4%
yang tidak mendapat dan tidak mengikuti edukasi (p = 0,14). Perbedaan rerata z-score
berat badan berdasarkan usia pada subjek yang masih mengalami gejala regurgitasi
hingga akhir pemantauan adalah -0,006 ± 0,357 (IK 95% -0,164; 0,152), p = 0,939.
Kesulitan makan didapatkan pada 19 subjek dan 17 diantaranya tidak lagi mengalami
regurgitasi saat akhir pemantauan.
Simpulan. Insidens PRGE adalah 0,7%. Sebagian besar subjek mencapai skor I-GERQ
saat akhir pemantauan. Terapi non-farmakologis walaupun tidak bermakna secara
statistik dengan gejala regurgitasi yang menetap hingga akhir pemantauan namun
didapatkan perbedaan proporsi. Gangguan peningkatan berat badan dan kesulitan makan
tidak berhubungan dengan gejala regurgitasi yang menetap hingga akhir pemantauan.
Kata kunci: bayi, refluks gastroesofagus, penyakit refluks gastroeosfagus, infant
gastroesophageal reflux questionnaire

Background. Regurgitation as symptom of gastroesophageal reflux (GER) is a common
gastrointestinal manifestation in infant. Publications showed that regurgitation will
decrease after 6 month old; whereas symptoms of gastroesophageal reflux disease
(GERD) is more prevalent in children with history of frequent regurgitation after 6 month
old. Infant gastroesophageal reflux questionnaire (I-GERQ) is a non-invasive diagnostic
tool for GERD with high positive predictive value.
Aim. To investigate the incidence of GERD, characteristics of infants with regurgitation,
I-GERQ score and manifestation of GERD, risk factors that related with regurgitation
symptom that persists at the end of follow-up, correlation of regurgitation with weight
gain and feeding problems.
Method. A Longitudinal prospective study in subjects with regurgitation at least 1
time/day; 4 times/week. We excluded infants with atopy, recurrent wheezing, probable
cow milk allergy, diagnosed as tuberculosis, neurologic disorder, history of
gastrointestinal surgery, history of H2 receptor antagonist or proton pump inhibitor
treatment. I-GERQ score and anthropometric status were measured at enrollment.
Subjects with GERD (I-GERQ >7) were referred to Cipto Mangunkusumo Hospital.
Follow-up of I-GERQ, body weight, and body length in every month were performed in
subjects with I-GERQ ≤7.
Results. 131 of 352 subjects fulfilled the criteria. Subject mostly were 6 month old
(51.1%), normal anthropometric status (85.5%), and have frequent intake with median 14
(5 – 15) times/day. Median of I-GERQ at enrollment were 4 (3 – 7), and at the end of
follow-up 81.9% subjects reached I-GERQ score 0. GERD were found in 1 subject at first
month follow-up with poor weight gain, regurgitation 3-5 times/day, regurgitation>15
mL. Exclusively breastfeeding, smoke exposure, family history of allergy and GER, and
non-pharmacotherapy were not related with regurgitation that persists until 3 months
follow-up. Regurgitation at the end of follow-up were found in 13.7% subjects who
complied with non-pharmacotherapy; compared to 86.4% who have not complied nor had
educated (p = 0.14). Mean difference of weight for age z-score in subjects with
regurgitation at the end of follow-up were -0.006 ± 0.357 (95%CI -0.164; 0.152), p =
0.939. Feeding problems were found in 19 subjects while 17 of them no longer have
regurgitation symptom at the end of follow-up
Conclusion. Incidence of GERD is 0.7%. Most of subjects reached I-GERQ 0 at the end
of follow up. Non-pharmacotherapy showed no statistically significant with regurgitation
symptom at the end of follow up, but we found proportion difference. Weight gain and
feeding problems are not related with regurgitation symptom that persists at the end of
follow up
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Adeline Melissa
"ABSTRAK
Masyarakat perkotaan dengan berbagai dinamika kehidupan yang kompleks, menjadi ancaman bagi kesehatan ibu hamil yang cenderung mengikuti gaya hidup modern. Gaya hidup seperti mengkonsumsi makanan cepat saji, kurang aktivitas, merokok, alkohol, dan lainnya, berisiko mengganggu kesehatan ibu dan kualitas hidup janin salah satunya gangguan neurologi. Gangguan neurologi seperti serebral palsy selain menyerang koordinasi motorik, juga dapat menyebabkan gangguan pada sfingter esofagus bawah yang memicu terjadinya gastroesofagus refluks GER . Gastroesophageal refluks GER merupakan pengaliran kembali isi lambung ke dalam esofagus dan merupakan kondisi fisiologis yang terjadi hampir pada semua neonatus atau bayi. GER dapat menyebabkan terjadinya aspirasi, penurunan berat badan akibat muntah berulang. Jika tidak ditangani dengan baik, maka risiko kurang gizi bahkan kematian akibat aspirasi dapat terjadi. Salah satu intervensi keperawatan yang dilakukan pada klien adalah ldquo;upright position rdquo;. Hasil intervensi menunjukkan adanya pengurangan frekuensi muntah melalui intervensi keperawatan ldquo;upright position rdquo;. Kata kunci : Intervensi keperawatan, gastroesofagus refluks GER , upright position

ABSTRACT
Urban communities with various dynamics of complex life, becoming a threat for health of pregnant women who tend to follow modern lifestyle. Lifestyle such as eating fast food, inactivity, smoking, alcohol, and other risk disturbing the health of mothers and fetuses quality life, like a neurological disorders. Neurological disorders such as cerebral palsy than attacking the motor coordination, it can also cause disturbances in the lower esophageal sphincter which triggered the gastroesophageal reflukx GER . Gastroesophageal reflukx GER is the passage of gastric contents into the esophagus and is a physiological condition that occurs in virtually all neonates or infants. GER can cause aspiration, weight loss due to repeated vomiting. If not handled properly, then the risk of malnutrition and even death can occur due to aspiration. One of the nursing interventions performed on the client is ldquo uprigth position rdquo . Intervention results indicate a reduction in the frequency of vomiting through nuring interventions uprigth position rdquo . Keywords Nursing intervention, gastroesophageal reflux GER , upright position"
[, Depok, Depok, Depok, , Depok, , Depok, Depok, , Depok]: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adeline Sthevany Agus
"Masyarakat perkotaan dengan berbagai dinamika kehidupan yang kompleks, menjadi ancaman bagi kesehatan ibu hamil yang cenderung mengikuti gaya hidup modern. Gaya hidup seperti mengkonsumsi makanan cepat saji, kurang aktivitas, merokok, alkohol, dan lainnya, berisiko mengganggu kesehatan ibu dan kualitas hidup janin salah satunya gangguan neurologi. Gangguan neurologi seperti serebral palsy selain menyerang koordinasi motorik, juga dapat menyebabkan gangguan pada sfingter esofagus bawah yang memicu terjadinya gastroesofagus refluks (GER). Gastroesophageal refluks (GER) merupakan pengaliran kembali isi lambung ke dalam esofagus dan merupakan kondisi fisiologis yang terjadi hampir pada semua neonatus atau bayi. GER dapat menyebabkan terjadinya aspirasi, penurunan berat badan akibat muntah berulang. Jika tidak ditangani dengan baik, maka risiko kurang gizi bahkan kematian akibat aspirasi dapat terjadi. Salah satu intervensi keperawatan yang dilakukan pada klien adalah “upright position”. Hasil intervensi menunjukkan adanya pengurangan frekuensi muntah melalui intervensi keperawatan “upright position”.

Urban communities with various dynamics of complex life, becoming a threat for health of pregnant women who tend to follow modern lifestyle. Lifestyle such as eating fast food, inactivity, smoking, alcohol, and other risk disturbing the health of mothers and fetuses quality life, like a neurological disorders. Neurological disorders such as cerebral palsy than attacking the motor coordination, it can also cause disturbances in the lower esophageal sphincter which triggered the gastroesophageal reflukx (GER). Gastroesophageal reflukx (GER) is the passage of gastric contents into the esophagus and is a physiological condition that occurs in virtually all neonates or infants. GER can cause aspiration, weight loss due to repeated vomiting. If not handled properly, then the risk of malnutrition and even death can occur due to aspiration. One of the nursing interventions performed on the client is “uprigth position”. Intervention results indicate a reduction in the frequency of vomiting through nuring interventions uprigth position”."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2016
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eka Putri
"Spastisitas pada palsi serebral merupakan penyebab disabilitas terbesar pada anak-anak 80 . Akupunktur sebagai terapi tambahan diketahui dapat membantu mengurangi spastisitas pada anak dengan palsi serebral. Salah satu modalitas akupunktur dengan efek samping minimal dan aman untuk anak-anak adalah laserpunktur. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh laserpunktur pada titik GV20, GV14, LI4, GB34 dan LR3 terhadap spastisitas pada palsi serebral tipe spastik. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal dengan kontrol. Melibatkan 60 pasien palsi serebral tipe spastik usia 2-10 tahun yang dibagi menjadi dua kelompok. Pasien yang menyelesaikan terapi hingga akhir penelitian adalah 52 orang, 8 pasien dinyatakan dropout. Kelompok perlakuan sebanyak 26 pasien mendapatkan terapi laserpunktur dan kelompok kontrol sebanyak 26 pasien mendapatkan terapi laserpunktur plasebo, masing-masing sebanyak 12 kali terapi dengan frekuensi 3 kali seminggu. Kemudian pada kedua kelompok dilakukan penilaian spastisitas menggunakan Modified Ashworth Scale MAS sebelum dan setelah mendapatkan perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan nilai MAS setelah perlakuan pada kelompok laserpunktur dibandingkan kelompok laserpunktur plasebo p < 0,05; 95 IK = 2,616 - 15,230 , terdapat penurunan nilai MAS pada kelompok laserpunktur setelah perlakuan dibandingkan sebelum perlakuan p < 0,05; 95 IK = 2,354 - 11,030 , tidak terdapat penurunan nilai MAS pada kelompok laserpunktur plasebo setelah perlakuan dibandingkan sebelum perlakuan p > 0,05; 95 IK = -7,027 - 2,565 , dan terdapat penurunan nilai MAS 3,6 kali lebih besar pada kelompok laserpunktur dibandingkan kelompok laserpunktur plasebo OR = 3,6, p < 0,05 . Dapat disimpulkan bahwa laserpunktur pada titik akupunktur GV20, GV14, LI4, GB34 dan LR3 terbukti efektif terhadap penurunan nilai MAS dibandingkan dengan laserpunktur plasebo pada anak dengan palsi serebral tipe spastik.

Spasticity is a common feature of cerebral palsy 80 and the most common cause of disability in children. Acupuncture as an adjunctive therapy is known to help reduce spasticity in children with cerebral palsy. One of the acupuncture modalities with minimal side effects and safe for children is laser acupuncture or laserpuncture. This study aims is to determine the laserpuncture effects on GV20, GV14, LI4, GB34 and LR3 to spasticity on spastic cerebral palsy patients. The study design is a randomized single blinded clinical trial, involving 60 patients aged 2 to 10 years, divided into two groups. Only 52 patients who completed therapy until the end of the study, 8 patients stated dropout. The treatment group 26 patients received laserpuncture therapy, and the control group 26 patients received laserpuncture plasebo, each patient get 12 times therapy with frequency 3 times a week. Both of groups evaluated for spasticity using Modified Ashworth Scale MAS before and after treatment. The results showed a decrease in MAS score after treatment p 0,05 95 CI 2,616 15,230 in the laserpuncture group compared to the placebo group, a decrease in MAS score in the laserpuncture group after treatment p 0,05 95 CI 2,354 11,030 compared to before treatment, there is no improvement in the placebo group after treatment p 0,05 95 CI 7,027 2,565 compared to before treatment, and there was a decrease in MAS score 3,6 time greater in the laserpuncture group compared to the placebo group OR 3,6, p 0,05 . It can be concluded that laserpuncture therapy more effectively reduce MAS score in patients with spastic cerebral palsy compared to laserpuncture placebo. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanofa Yunizaf
"Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu gangguan telinga yang sering menimpa anak dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan penurunan kualitas hidup, serta banyak komplikasi. Kondisi yang terkait dengan OMSK di antaranya alergi, hipertrofi adenoid, dan refluks laringofaring (RLF). Refluks laringofaring pada anak belum banyak dipelajari di Indonesia, dan diagnosis RLF berdasarkan Instrumen Tanda dan Gejala Refluks belum banyak dipelajari. Kejadian RLF juga dikaitkan dengan gangguan saraf autonom, akibat gangguan nervus vagus yang dapat menyebabkan refluksat lambung naik ke nasofaring dan mencapai muara tuba.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan RLF dengan OMSK tipe aman aktif yang dibahas desain 1 penelitian, yaitu studi kasus kontrol yang menganalisis alergi, hipertrofi adenoid, dan RLF sebagai faktor risiko OMSK tipe aman aktif. Desain kedua penelitian adalah studi kasus kontrol untuk mengetahui hubungan gangguan saraf autonom dengan kejadian RLF. Desain ketiga penelitian merupakan kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan RLF dengan gangguan fungsi tuba. Penelitian dilaksanakan Mei 2023–Juni 2024, menyertakan 39 subjek OMSK tipe aman aktif dan 39 subjek kontrol dari pasien Poliklinik THT-KL RSCM, dan direkrut secara consecutive sampling. Subjek juga akan diperiksa kondisi RLF dan gangguan saraf autonom.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan RLF terbukti berisiko 5,59x lebih tinggi untuk terkena OMSK tipe aman aktif (OR: 5,59; 95%CI: 1,247–25,049; p = 0,025). Alergi (OR: 1,433; 95%CI: 0,343–5,981; p = 0,622) dan hipertrofi adenoid (OR: 1,178; 95%CI: 0,584–2,378; p = 0,646) tidak terbukti bermakna secara statistik sebagai faktor risiko OMSK tipe aman aktif. Gangguan saraf autonom juga belum terbukti secara statistik sebagai faktor risiko RLF (OR: 1,086; 95%CI: 0,444– 2,650; p = 0,856). Refluks laringofaring juga tidak terbukti menjadi faktor risiko gangguan fungsi tuba (RR: 1,558; 95%CI: 0,594–4,087; p = 0,367). Dapat disimpulkan bahwa RLF merupakan faktor risiko utama OMSK tipe aman aktif pada anak. Pepsin dan derajat keasaman dari refluksat RLF pada telinga tengah dapat berperan dalam kerusakan telinga tengah.

Chronic suppurative otitis media (CSOM) is a prevalent ear disorder in children that can lead to hearing impairment, a decline in quality of life, and various complications. Conditions associated with CSOM include allergy, adenoid hypertrophy, and laryngopharyngeal reflux (LPR). The incidence of LPR in children has not been extensively studied in Indonesia, and diagnosis of LPR based on Reflux Symptom and Sign Instrument is yet to be studied. LPR has also been linked to autonomic nervous system dysfunction, as disturbances in the vagus nerve can result in the reflux of gastric contents into the nasopharynx and the opening of the Eustachian tube.
This study aims to investigate the relationship between LPR and active benign type CSOM with the first design being a case-control study that analyzes allergy, adenoid hypertrophy, and LPR as risk factors for active benign type CSOM. The second design, also a case-control study, is to determine the association between autonomic nervous system dysfunction and the occurrence of LPR. The third study design employs a retrospective cohort study to assess the relationship between LPR and Eustachian tube function disorders. The research is conducted from May 2023 to June 2024, including 39 subjects with active benign type CSOM and 39 control subjects from the ENT-HN Polyclinic of RSCM, recruited through consecutive sampling. Subjects will also be evaluated for the presence of LPR and autonomic nervous system dysfunction.
The results indicated that children with LPR were at a 5.59-fold increased risk of developing active safe type CSOM (OR: 5.59; 95% CI: 1.247–25.049; p = 0.025). Allergy (OR: 1.433; 95% CI: 0.343–5.981; p = 0.622) and adenoid hypertrophy (OR: 1.178; 95% CI: 0.584–2.378; p = 0.646) were not found to be statistically significant risk factors for active safe type CSOM. Additionally, autonomic nervous system dysfunction did not show statistical significance as a risk factor for LPR (OR: 1.086; 95% CI: 0.444–2.650; p = 0.856). LPR also did not appear to be a risk factor for Eustachian tube dysfunction (RR: 1.558; 95% CI: 0.594–4.087; p = 0.367). It can be concluded that LPR is a primary risk factor for active safe type CSOM in children. The presence of pepsin and the acidity level of the LPR refluxate in the middle ear may contribute to middle ear damage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radhiyatam Mardhiyah
"Latar belakang: Pada saat puasa Ramadhan, terjadi penurunan rerata pH lambung dan memendeknya selisih waktu antara makan terakhir dan jam tidur sehingga memperberat keluhan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease, disingkat GERD). Sementara itu juga terjadi keteraturan jadwal makan, dan perubahan dalam kebiasaan merokok dan alkohol. Meski demikian, belum diketahui dengan pasti keluhan penyakit GERD selama berpuasa Ramadhan.
Tujuan: Mengetahui pengaruh puasa Ramadhan terhadap keluhan GERD.
Metode: Penelitian ini merupakan studi longitudinal yang mengevaluasi keluhan GERD pada pasien yang menjalani puasa Ramadhan. Penelitian dilakukan selama bulan Juli (Ramadhan) sampai bulan Oktober (tiga bulan setelah Ramadhan) 2015. Subjek penelitian yang didapatkan melalui metode consecutive sampling ini dikelompokkan menjadi kelompok berpuasa Ramadhan (n=66) dan kelompok tidak berpuasa Ramadhan (n=64). Evaluasi dilakukan antara kedua kelompok tesebut, dan antara bulan Ramadhan dengan di luar bulan Ramadhan pada kelompok berpuasa, dengan menggunakan kuesioner GERD (GERD-Q) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Hasil: Pada kelompok yang berpuasa Ramadhan, terdapat perbedaan median nilai GERD-Q yang bermakna secara statistik (nilai p < 0,01) antara bulan Ramadhan dengan nilai median 0, dan di luar bulan Ramadhan dengan nilai median yang meningkat menjadi 4. Sementara itu, bila dilakukan analisis untuk membandingkan median nilai GERD-Q antara kelompok yang berpuasa Ramadhan dan tidak, juga didapatkan perbedaan yang bermakna (nilai p < 0,01).
Simpulan: Pada subjek yang menjalani puasa Ramadhan, keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat menjalani puasa Ramadhan dibandingkan di luar bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan, keluhan GERD lebih ringan dirasakan oleh subjek yang menjalani puasa Ramadhan dibandingkan subjek yang tidak menjalani puasa Ramadhan.

Background: During Ramadan fasting, increasing gastric acid levels as a result of prolong fasting can precipitate symptoms of Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Meanwhile, lifestyle changes during Ramadan (such as smoking cessation) can relieve its symptoms. To the best of our knowledge, this is the first study to evaluate effect of Ramadan fasting on GERD.
Objective: The purpose of this study was to determine the effect of Ramadan fasting on GERD symptoms.
Method: This is a longitudinal study done in July (Ramadan) to October (three months after Ramadan) 2015. Using consecutive sampling method, a total of 130 GERD patients participated in this study. Patients were divided into two groups: patients who underwent Ramadan fasting (n=66), and patients who didn?t undergo fasting (n=64). The evaluation was done using Indonesian version of GERD questionnaire (GERD-Q) between the two groups, and between Ramadan month and non-Ramadan month of Ramadan fasting group.
Results: In Ramadan fasting group, there was a statistically significant difference (p < 0.01) in median of GERD-Q during Ramadan month and non-Ramadan month (median GERD-Q 0 and 4 respectively). Statistically significant difference (p < 0.01) was also found between Ramadan fasting group and non-fasting group.
Conclusion: In Ramadan fasting group, GERD symptoms were lighter during fasting month (Ramadan). During Ramadan month, GERD symptoms were also lighter in Ramadan fasting group than in non-fasting group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Diah Hendrawati
"Latar belakang. Pada anak Palsi Serebral terdapat hubungan antara motorik kasar (berdasarkan GMFCS) dan kemampuan manual (berdasarkan MACS) dengan kemampuan kognitif (berdasarkan tes IQ).Tujuan. Mengetahui hubungan antara skala GMFCS dan skala MACS dengan fungsi kognitif pada pasien Palsi Serebral (PS).
Metode penelitian. Penelitian dilakukan tanggal 17 Februari sampai 17 Mei 2018 pada pasien Palsi Serebral usai 5-18 tahun yang berobat di Poliklinik Neurologi Anak / Poliklinik Rehabilitasi Medik RSCM / YPAC Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil penelitian. Pasien PS yang ikut serta dalam penelitian ini sejumlah 69 subyek, dengan karakteristik usia 4-6 tahun (26%), 6-12 tahun (57%), 12-18 tahun (17%) ; anak laki-laki (56,6%), perempuan (43.4%). Didapatkan tipe PS diplegi (68,1%), PS hemiplegi (2,9%), PS kuadriplegi (29%), dengan sebaran skala GMFCS I (14,5%), II (13%), III (27,5%), IV (17%), V (20,4%). Sebaran skala MACS: I (42%), II (13%), III (5,8%), IV (13%), V (26,2%). Sementara sebaran hasil tes IQ dengan skala WISC: 91-110 (3%), 80-90 (1%), 66-79 (4%), 52-65 (17%), 36-51 (25%), 20-35 (25%), <19 (25%).
Simpulan. Pada pasien PS, makin buruk kemampuan motorik kasar (GMFCS) maka makin buruk pula kemampuan manual (MACS) dan makin rendah pula IQ nya. Makin buruk kemampuan manual (MACS) makin rendah pula IQ nya. Tipe PS kuadriplegi memiliki nilai IQ yang paling rendah dibandingkan tipe PS diplegi/hemiplegi.

Objective.To determine the relationship between GMFCS and MACS with cognitive function in children with Cerebral Palsy. The study was conducted from February 17 to May 17, 2018. Children with Cerebral Palsy,  5-18 years old, were treated  at Pediatric Neurology Cipto Mangunkusumo Hospital/Medical Rehabilitation Cipto Mangunkusumo Hospital / YPAC Jakarta as outpatient, who met the research criteria.
Results. Children with Cerebral Palsy who participated in this study were 69 subjects, with characteristics of 4-6 years (26%), 6-12 years (57%), 12-18 years (17%); boys (56.6%), girls (43.4%). Cerebral Palsy type was obtained: diplegia (68.1%), hemiplegia (2.9%), quadriplegia (29%). Distribution scale of GMFCS: I  (14.5%), II (13%), III (27.5 %), IV (17%), V (20.4%). Distribution scale of MACS: I (42%), II (13%), III (5.8%), IV (13%), V (26.2%), while the distribution scale of IQ test with the WISC method: 91-110 (3%), 80-90 (1%), 66-79 (4%), 52-65 (17%), 36-51 (25%), 20 -35 (25%), <19 (25%).
Conclusions. Children with Cerebral Palsy, the worse gross motor function (GMFCS) then the worse manual ability (MACS) and the worse cognitive function (IQ). The worse manual ability (MACS) the lower the IQ. Quadriplegia type of Cerebral Palsy has the lowest IQ score compared to diplegia/ hemiplegia type of Cerebral Palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tati Asiati Pouw
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1968
S2193
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>