Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 227919 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sharon Felicia Davidson
"Dalam sektor pelayaran yang padat modal, kapal laut sering dijadikan objek jaminan melalui hipotek kapal yang memberikan perlindungan hukum bagi kreditur. Namun, muncul permasalahan ketika kreditur dianggap lalai, seperti dalam pengawasan pembangunan kapal, sebagaimana tercermin dalam Putusan No. 120/Pdt.G/2015/PN Bpp dan Putusan No. 34/PDT/2017/PT.SMR. Kasus ini melibatkan perjanjian pembangunan kapal, perjanjian kredit investasi yang diikat dengan Grosse Akta Hipotek Kapal, serta perjanjian sewa-menyewa. Penggugat mengklaim bahwa kelalaian Kreditur dalam pengawasan berdampak pada kerusakan mesin kapal. Namun, analisis hukum menunjukkan kewajiban Kreditur hanya terbatas pada pengawasan alur dana kredit investasi sebagaimana diatur dalam perjanjian, dan telah dipenuhi secara sah. Bank selaku Tergugat II juga tidak memiliki kapasitas untuk mengawasi pembangunan kapal secara langsung. Maka dari itu, pengadilan menilai gugatan terhadap Kreditur tidak berdasar. Penelitian ini menegaskan bahwa kendala debitur dalam melunasi utang tidak menghapus kewajibannya. Kreditur tetap berhak mengeksekusi jaminan dan meminta pertanggungjawaban Debitur berdasarkan kekuatan eksekutorial Grosse Akta Hipotek Kapal. Penelitian ini menggunakan metode normatif berbasis sosio-legal untuk menganalisis perlindungan hukum bagi Kreditur dalam kasus wanprestasi Debitur, untuk menghilangkan kebingungan dalam praktik hukum, serta rekomendasikan peningkatan perlindungan hukum, guna memastikan hak kreditur tetap terlindungi dalam perjanjian kredit investasi.

In the capital-intensive shipping sector, ships are frequently used as collateral through ship mortgages, offering creditors legal protection. Issues arise when creditors are accused of negligence, such as in supervising ship construction, as highlighted in Decisions No. 120/Pdt.G/2015/PN Bpp and No. 34/PDT/2017/PT.SMR. The case involved a shipbuilding agreement, an investment credit agreement secured by a Grosse Deed of Ship Mortgage, and a lease agreement. The plaintiff alleged that the creditor's lack of supervision caused engine damage. However, legal analysis revealed that the creditor's obligation was limited to overseeing the flow of investment credit funds, as outlined in the agreement, and this had been duly fulfilled. Additionally, the bank, as Defendant II, lacked the capacity to directly supervise ship construction. Consequently, the court deemed the plaintiff's claim against the creditor unfounded. This study underscores that a debtor's difficulties in repaying debts do not absolve their obligations. Creditors retain the right to execute collateral and hold debtors accountable under the Grosse Deed of Ship Mortgage's executorial power. Using a socio-legal normative method, this research aims to clarify creditor responsibilities and proposes measures to strengthen legal protection in investment credit agreements. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nikolas Arya Maheswara
"Perjanjian leasing kendaraan bermotor merupakan salah satu transaksi bisnis yang populer dalam industri transportasi, memungkinkan penyewa (lessee) untuk menggunakan kendaraan dengan membayar biaya sewa tanpa perlu membelinya, sementara pihak leasing (lessor) mendapatkan keuntungan dari penghasilan sewa. Namun, perjanjian ini sering menghadapi risiko wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, seperti keterlambatan pembayaran, penggunaan yang tidak sesuai, kerusakan, kehilangan kendaraan, atau ketidakpatuhan terhadap ketentuan perjanjian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum bagi pihak leasing dalam menghadapi risiko-risiko tersebut, dengan fokus pada regulasi yang berlaku di Indonesia, termasuk Pasal 1243, Pasal 1238, dan Pasal 1365 KUHPerdata serta peraturan perundang-undangan lainnya. Melalui analisis terhadap Putusan No. 32/Pdt.G/2019/PN.Btl., yang melibatkan kasus pelanggaran perjanjian leasing kendaraan bermotor, penelitian ini mengeksplorasi langkah-langkah hukum yang dapat diambil oleh pihak leasing, seperti penyusunan klausul yang jelas dalam perjanjian, penilaian risiko yang ketat, dan pengawasan berkala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi yang ketat, transparansi informasi, dan prosedur hukum yang jelas sangat penting untuk menciptakan kepastian hukum dan keseimbangan kepentingan antara pihak yang terlibat. Kesimpulannya, peningkatan regulasi, edukasi masyarakat, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif sangat diperlukan untuk melindungi hak dan kewajiban dalam perjanjian leasing kendaraan bermotor di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malinda Yuse Oktaviana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai wanprestasi terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dilakukan penjual sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli. PPJB merupakan perjanjian pendahulu sebelum perjanjian pokoknya yaitu Akta Jual Beli (AJB). Dalam jual beli atas tanah dan bangunan lazim didahului dengan pembuatan PPJB di hadapan notaris disertai dengan dibuatnya akta kuasa dan perjanjian pengosongan sebelum kemudian dilakukan pembuatan AJB di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) apabila kewajiban para pihak telah terpenuhi. Agar kewajiban tersebut dapat terpenuhi tentunya diperlukan itikad baik dari pihak penjual dan pembeli. Kewajiban yang tidak terpenuhi oleh penjual dengan alasan wanprestasi tentulah harus dibuktikan oleh pihak pembeli. Permasalahan dalam tesis ini yaitu perlindungan hukum bagi pemenuhan hak-hak pembeli atas wanprestasi yang dilakukan penjual dan akibat hukum terhadap AJB yang dibuat berdasarkan wanprestasi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen serta dianalisis dengan cara pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa PPJB, akta kuasa, dan akta perjanjian pengosongan menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak terhadap salah satu pihak yang merasa dirugikan akibat wanprestasi pihak lain. Selama kesemuanya itu dibuat berdasarkan kehendak bersama dan tanpa paksaan/tekanan pihak lain, serta dibuat di hadapan notaris yang menjadikannya sebuah akta autentik. Akibat hukum yang timbul terhadap AJB yang dibuat berdasarkan wanprestasi terhadap PPJB dan hanya diurus oleh pihak pembeli saja tidak menghilangkan otentisitas aktanya, selama AJB dibuat berdasarkan akta kuasa menjual juga dibuat di hadapan notaris.

ABSTRACT
This thesis discusses the defaults on the Purchase Binding Agreement (PPJB) made by the seller resulting in losses for the buyer. PPJB is the predecessor agreement before the main agreement, the Sale and Purchase Act (AJB). In the sale and purchase of land and buildings, it is usually preceded by making PPJB before a notary public accompanied by a deed of power of attorney and an evacuation agreement before then making an AJB before the Land Acting Maker (PPAT) if the obligations of the parties have been fulfilled. So that these obligations can be fulfilled, of course, good faith is needed from the seller and buyer. Obligations that are not fulfilled by the seller on the grounds of default must certainly be proven by the buyer. The problem in this thesis is the legal protection for the fulfillment of buyer's rights over defaults made by sellers and the legal consequences of AJB made based on these defaults. The research method used is normative juridical research with analytical descriptive research type. The type of data used in this study is secondary data with data collection tools such as document studies and analyzed by means of a qualitative approach. The results of this study are that the PPJB, the deed of attorney, and the deed of the void agreement guarantee the protection and fulfillment of the rights of one party who feels disadvantaged due to the default of the other party. As long as all of them are made based on mutual will and without coercion/pressure from other parties, and made before a notary public who makes it an authentic deed. The legal consequences arising from AJB made based on defaults against PPJB and only managed by the purchaser does not eliminate the authenticity of the deeds, as long as the AJB is made based on the sales authorization deed it is also made before a notary."
2019
T54557
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Hilmy
"Setelah berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat beberapa kasus gagal bayar perusahan asuransi yang menyebabkan pemegang polis mengalami kerugian, salah satunya yakni Kasus Asuransi Jiwa Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera 1912). Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perlindungan hukum pemegang polis oleh peraturan perundang-undangan dan OJK dalam kasus gagal bayar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912?, dan 2. Bagaimana peran dan tanggung jawab OJK dalam upaya penyelesaian hak-hak pemegang polis dalam kasus gagal bayar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912?. Dalam menganalisis permasalahan yang diteliti menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan data sekunder dan melakukan studi kepustakaan serta menggunakan pendekatan penelitian Perundang-Undangan dan pendekatan pendekatan kasus. Hasil dari penelitian ini adalah: 1. Perlindungan hukum pemegang polis yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan secara umum terdapat di dalam UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, tetapi dalam kaitannya dengan kasus gagal bayar AJB Bumiputera 1912 terdapat permasalahan yakni tidak ada Undang-Undang khusus yang mengatur tentang perusahaan asuransi berbentuk Asuransi Bersama (Mutual Insurance) sesuai dengan amanat dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Sedangkan perlindungan hukum oleh OJK dilakukan secara preventif sudah dilakukan dengan pemeriksaan, pengawasan dan rekomendasi untuk melaksanakan serangkaian ketentuan dan persyaratan dan pedoman yang ada dalam POJK No. 73 /Pojk.05/2016. 2. Peran dan tanggung jawab OJK dalam upaya penyelesaian hak-hak pemegang polis sudah dilakukan dengan menerapkan POJK Nomor 63 /POJK.05/2016. Tetapi peran dan tanggung jawab itu masih belum maksimal sehingga sampai saat ini kasus AJB Bumiputera 1912 ini belum terselesaikan.

After the establishment of Otoritas Jasa Keuangan (OJK), there were several cases of insurance company that caused policy holders to suffer losses, one of the cases that occurred was the case of Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera 1912). The problems analyzed in this research are: 1. How is the legal protection of policyholders by laws and regulations and OJK in the case of failure to pay of the AJB Bumiputera 1912?, and 2. What are the roles and responsibilities of OJK in efforts to settle the rights of policy holders in the case of failure to pay of AJB Bumiputera 1912?. The results of this study are: 1. Legal protection for policyholders provided by legislation is generally contained in UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, but in relation to the AJB Bumiputera 1912 default case there is a problem, namely that there is no special law that regulates insurance companies in the form of Mutual Insurance in accordance with the mandate in Article 7 paragraph (3) of UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. While legal protection by OJK is carried out in a preventive manner, it has been carried out with inspection, guidelines contained in POJK No. 73 /Pojk.05/2016. 2. The roles and responsibilities of OJK in efforts to settle the rights of policyholders have been carried out by implementing POJK Number 63 / POJK.05/2016. But the roles and responsibilities are still not maximized so until now the case of AJB Bumiputera 1912 has not been resolve."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Akbar Idris
"Desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah sehingga daerah memiliki kewenangannya sendiri untuk melaksanakan pemerintahan. Salah satu tolak ukur dalam penilaian sistem desentralisasi adalah dari segi keuangan daerah. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menentukan bahwa bagi daerah kekuasaan pengelolaan keuangan negara diserahkan kepada kepala daerah untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri. Penyerahan kekuasaan pengelolaan keuangan kepada kepala daerah dapat dimaknai sebagai bentuk kemandirian keuangan daerah karena terpisah pengelolaannya dari keuangan pemerintah pusat. Hal tersebut menunjukkan daerah layaknya suatu badan hukum yang didirikan oleh negara, sehingga memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban negara. Untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya, daerah memiliki sumber-sumber pendanaan yang terdiri dari pendapatan asli daerah, pendapatan transfer, dan pendapatan daerah lain yang sah. Meskipun terdapat berbagai sumber pendanaan tersebut, masih terdapat celah fiskal sehingga daerah masih membutuhkan dana dari sumber lain seperti pinjaman yang mengakibatkan daerah memiliki kewajiban utang. Dalam melaksanakan pemerintahan, terdapat berbagai macam risiko yang dapat menyulitkan kondisi keuangan daerah. Kesulitan keuangan yang berlarut-larut akan mengakibatkan daerah gagal untuk memenuhi kewajibannya atau yang disebut dengan gagal bayar. Dalam menangani gagal bayar guna menjamin kelangsungan aktivitas pemerintahan daerah, diperlukan suatu mekanisme penanganan gagal bayar. Penelitian ini fokus kepada analisis mengenai pengelolaan keuangan daerah sebagai badan hukum publik serta mengenai penanganan gagal bayar daerah dalam pengaturan keuangan daerah di Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan pendekatan undang-undang serta disusun secara deskriptif. Hasil penelitian ini menemukan status badan hukum daerah dapat ditemukan dalam pengelolaan keuangannya, terutama dalam aspek kekuasaan pengelolaan keuangan, sumber pendapatan, serta penganggaran. Kemudian, penelitian ini menemukan bahwa penanganan gagal bayar daerah dalam pengaturan keuangan daerah di Indonesia masih memiliki kekurangan karena tidak memberikan perlindungan hukum secara menyeluruh kepada para pihak yang terlibat.

Decentralization is the transfer of power from the central government to regions so regions have their own authority to govern. The financial aspect is one of the indicators of decentralization. Law Number 17 of 2003 on State Finance stipulates that for regions, the authority to manage state finances is delegated to regional heads to manage their own respective region’s finances. The delegation of authority to manage their own finances is interpreted as the regional finance’s independence due to its distinction from the central government’s financial management. This shows that a region resembles a state-established legal person, thus separates its rights and obligations from the state’s. To conduct their obligations, regions have revenue sources that consists of original regional revenue, transfer revenue, and other legitimate regional revenue. Although those sources of funding exist, there are still fiscal gaps which requires regions to find funding from other sources, namely loans which results in debt obligation for regions. Regions face risks in governing which could cause distress to the region’s finances. Protracted financial distress could results in regions defaulting on their obligations. In dealing with default to ensure the continuity of regional government, a mechanism to manage default is requisite. This study primarily concerns on analyzing the financial management of regions as a public legal person and the default management for regions in Indonesian regional finance regulations. The methodology utilized in this study is juridical-normative with a statutory approach along with a descriptive structure. This study finds that region’s financial management, particularly in the areas of financial management authority, revenue resources, and budgeting, reflects their status as a public legal person. This study also discovered that the default management in Indonesian regional finance regulation still have shortcomings since it fails to provide adequate legal protection to the parties involved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Faizal Asikin Karimuddin
"[Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa apakah penanggung utang dapat dimohonkan pailit oleh kreditur dengan berdasarkan pada utang-utang debitur utama pada saat terjadi wanprestasi serta prosedur pengajuan
permohonan pailit apabila penanggung utang dapat dipailitkan oleh kreditur berdasarkan pada utang debitur utama yang wanprestasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitan hukum yuridis normatif, dengan cara menganalisa norma-norma hukum yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan dibidang kepailitan. Bahwa penanggung utang dapat diajukan pailit oleh kreditur dengan didasarkan pada sisa utang yang belum dibayarkan oleh debitur utama, dan pengajuan pailit tersebut dilakukan dengan cara terlebih dahulu mempailitkan
debitur utama. sisa utang yang belum terbayarkan setelah dilakukan pemberesan utang debitur utama merupakan utang yang masih harus ditanggung dan menjadi kewajiban bagi penanggung untuk melunasinya. Bahwa setelah dilakukan penelitian lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa penanggung utang dapat dipailitkan oleh kreditur dengan didasarkan pada sisa utang debitur utama berdasarkan perjanjian pokok. Hal mana menunjukkan bahwa kewajiban pembayaran sisa utang tersebut berpindah pada penanggung dengan segala akibat hukumnya. Permohonan pailit terhadap penanggung.

The purpose of this research are to know and analyze where creditor are able to file the bankruptcy lawsuit against the guarantor base on debt of the default debtor, and the procedures of bankruptcy lawsuit if the creditor are able to file the bankruptcy lawsuit against the guarantor base on debt of the default debtor. The legal research method to analyze the data are normative law (yuridis normatif), by analyze prevailing legal norms on bankruptcy sector. The Creditor are able to file the bankruptcy lawsuit to the guarantor base on outstanding debt of main debtor, and the bankruptcy lawsuit to the guarantor are filed after prior filed the bankruptcy lawsuit to the main debtor. The guarantor is responsible to pay the outstanding debt after the debt settlement of main debtor. After doing the research we are in conclusions that the guarantor are able to be filed of bankruptcy by the creditor base on outstanding debt of main debtor. Were the obligation to pay the outstanding debt are switch to the guarantor with all law consequences. The bankruptcy lawsuits to the guarantor are filed after prior filed the bankruptcy lawsuit to the main debtor. Unfortunately the Indonesian civil code regulates the exception of those regulations that made the differences of the procedure to file the bankruptcy lawsuits. Therefore we suggest for making the specific regulation for submitting the bankruptcy lawsuits to the guarantor. The purpose of this research are to know and analyze where creditor are able to file the bankruptcy lawsuit against the guarantor base on debt of the default debtor, and the procedures of bankruptcy lawsuit if the creditor are able to file the
bankruptcy lawsuit against the guarantor base on debt of the default debtor. The legal research method to analyze the data are normative law (yuridis normatif), by analyze prevailing legal norms on bankruptcy sector. The Creditor are able to file the bankruptcy lawsuit to the guarantor base on outstanding debt of main debtor, and the bankruptcy lawsuit to the guarantor are filed after prior filed the bankruptcy lawsuit to the main debtor. The guarantor is
responsible to pay the outstanding debt after the debt settlement of main debtor. After doing the research we are in conclusions that the guarantor are able to be filed of bankruptcy by the creditor base on outstanding debt of main debtor. Were the obligation to pay the outstanding debt are switch to the guarantor with all law consequences. The bankruptcy lawsuits to the guarantor are filed after prior
filed the bankruptcy lawsuit to the main debtor. Unfortunately the Indonesian civil code regulates the exception of those regulations that made the differences of the procedure to file the bankruptcy lawsuits. Therefore we suggest for making the specific regulation for submitting the bankruptcy lawsuits to the guarantor.;The purpose of this research are to know and analyze where creditor are able to file the bankruptcy lawsuit against the guarantor base on debt of the default debtor, and the procedures of bankruptcy lawsuit if the creditor are able to file the
bankruptcy lawsuit against the guarantor base on debt of the default debtor. The legal research method to analyze the data are normative law (yuridis normatif), by analyze prevailing legal norms on bankruptcy sector. The Creditor are able to file the bankruptcy lawsuit to the guarantor base on outstanding debt of main debtor, and the bankruptcy lawsuit to the guarantor are filed after prior filed the bankruptcy lawsuit to the main debtor. The guarantor is
responsible to pay the outstanding debt after the debt settlement of main debtor. After doing the research we are in conclusions that the guarantor are able to be filed of bankruptcy by the creditor base on outstanding debt of main debtor. Were the obligation to pay the outstanding debt are switch to the guarantor with all law consequences. The bankruptcy lawsuits to the guarantor are filed after prior
filed the bankruptcy lawsuit to the main debtor. Unfortunately the Indonesian civil code regulates the exception of those regulations that made the differences of the procedure to file the bankruptcy lawsuits. Therefore we suggest for making the specific regulation for submitting the bankruptcy lawsuits to the guarantor., The purpose of this research are to know and analyze where creditor are able
to file the bankruptcy lawsuit against the guarantor base on debt of the default
debtor, and the procedures of bankruptcy lawsuit if the creditor are able to file the
bankruptcy lawsuit against the guarantor base on debt of the default debtor. The
legal research method to analyze the data are normative law (yuridis normatif), by
analyze prevailing legal norms on bankruptcy sector.
The Creditor are able to file the bankruptcy lawsuit to the guarantor base on
outstanding debt of main debtor, and the bankruptcy lawsuit to the guarantor are
filed after prior filed the bankruptcy lawsuit to the main debtor. The guarantor is
responsible to pay the outstanding debt after the debt settlement of main debtor.
After doing the research we are in conclusions that the guarantor are able to
be filed of bankruptcy by the creditor base on outstanding debt of main debtor.
Were the obligation to pay the outstanding debt are switch to the guarantor with all
law consequences. The bankruptcy lawsuits to the guarantor are filed after prior
filed the bankruptcy lawsuit to the main debtor. Unfortunately the Indonesian civil
code regulates the exception of those regulations that made the differences of the
procedure to file the bankruptcy lawsuits. Therefore we suggest for making the
specific regulation for submitting the bankruptcy lawsuits to the guarantor.]
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45127
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Syah
"Globalisasi mendorong perkembangan ekonomi yang sangat pesat sehingga diperlukan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga ekonomi, khususnya bagi lembaga pemberi piutang seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, untuk menjamin kembalinya haknya. Untuk kegiatan tersebut diperlukan adanya jaminan yang memiliki kepastian hukum, baik bagi pemegang hak atas tanah sebagai pemberi hak tanggungan maupun kreditur sebagai pemegang hak tanggungan yang nantinya akan memperoleh kedudukan yang diutamakan atau mendahului (droit de preference). Namun dalam prakteknya banyak kasus-kasus pelanggaran baik yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan maupun oleh PPAT yang lalai memenuhi prosedur pembebanan hak tanggungan yang menyebabkan Akta Pemberian Hak Tanggungan menjadi tidak sah dan cacat hukum. Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum lebih lanjut agar terjaminnya perlindungan hukum bagi para pihak. Permasalahan menarik untuk diangkat dalam tesis ini adalah mengenai perlindungan hukum bagi pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan dan pihak ketiga dalam kaitannya dengan keabsahan Akta Pemberian Hak Tanggungan dengan menganalisis putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1910 K/Pdt/2005.
Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk dapat mengetahui bagaimanakah proses pembuatan APHT agar menjadi sah dan tidak memiliki cacat hukum, solusi yang dapat ditempuh oleh kreditur apabila APHT menjadi batal, dan apa saja hal-hal yang dapat menyebabkan hapusnya hak tanggungan bila dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi kreditur. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan, data yang diperlukan adalah data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian analisis data dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum bagi pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan dan pihak ketiga agar proses pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) menjadi sah dan tidak memiliki cacat hukum adalah melalui proses pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana telah ditentukan dalam UUHT, yaitu memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.

Globalization of economic growth is very rapid so that the necessary legal certainty for economic institutions, especially for lending institutions such as bank accounts and other financial institutions, to guarantee the return of their rights. For these activities it is necessary to guarantee the legal certainty, both for the holders of land rights as well as provider of mortgage lenders as mortgage holders who will acquire the preferred position or precede (droit de preference). However, in practice many cases of violations committed by both mortgage providers, mortgage holder or by a failure to fulfill the procedures PPAT mortgages that led to the imposition of Granting Mortgage Deed becomes invalid and legally flawed. Therefore we need more legal certainty in order to guarantee legal protection for the parties. Interesting issues to be highlighted in this thesis is about giving legal protection for mortgages, mortgage holders and third parties in connection with the provision of the Deed of Mortgage legality by analyzing the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 1910 K/Pdt/2005.
The purpose of this thesis is to be able to know how the process of making APHT to be valid and have no legal disability, the solution can be reached by creditors if APHT be canceled, and what are the things that can lead to the abolishment of mortgage when associated with legal protection for creditors. Writing of this thesis research methods literature, the data required is secondary data. Based on the results of data analysis can be concluded that the legal protection for mortgage providers, mortgage holders and third parties so that the process of making provision of the Deed of Mortgage (APHT) to be valid and have no legal disability is through the process of loading Mortgage as defined in UUHT, specialties that meet the principle and the principle of publicity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30014
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Susanto
"Skripsi ini membahas mengenai arrest of vessel dalam Hukum Indonesia, dengan metode perbandingan hukum terhadap Hukum Belanda dan Hukum Federal Amerika Serikat. Arrest of vessel belum dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia padahal tuntutan untuk pengembangan Maritime Law dengan banyaknya kapal Indonesia (asas cabotage) dan keadaan geografi Indonesia, pengaturan arrest of vessel diperlukan, Indonesia masih membebani proses eksekusi Hipotik Kapal Laut dengan sita jaminan yang waktu dan kejelasan akan menjadi dipertanyakan. Pembanding dengan Hukum Belanda dan Hukum Federal Amerika Serikat terkait karakteristik pengaturannya yang sengaja dikronologikan sedemikian rupa oleh penulis untuk melihat hukum acara sekaligus proses pembebanan arrest of vessel.

The focus of this study is to analyze the problems of the execution process on ship's mortgage in Indonesian law with the method of comparative law to the Law of the Netherlands and the United States Federal Law. Arrest of vessel has not been known in the Legal System Indonesia whereas the demand for the development of Maritime Law with the number of Indonesian ships (of cabotage) and geographica l situation of Indonesia, setting arrest of the vessel is required, Indonesia still weighing process execution Mortgages Ships with sequestration that time and clarity becomes questionable. A comparison with Dutch law and US Federal Laws related characteristics are deliberately setting dikronologikan such a way by the authors to see the event as well as the legal arrest of vessel loading process."
2016
S62601
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.A. Made Surya Aditya
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa keabsahan grosse akta hipotek atas kapal yang dibuat oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dengan mendiskripsikan karakteristik grosse akta hipotek atas kapal sebagai sarana proteksi perjanjian kredit dan juga menganalisa peluang-peluang yang dihadapi oleh pemegang hak jaminan hipotek atas kapal dalam menghadapi tantangan-tantangan yang berpotensi menjadi masalah dikemudian hari. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan tipologi penelitian bersifat eksplanatoris, sedangkan data yang digunakan adalah data hukum primer, sekunder dan tersier dan menggunakan analisis kualitatif, serta logika berfikir induktif dengan mendasar bahwa keabsahan grosse akta hipotek atas kapal haruslah memperhatikan ketentuan-ketentuan suatu ketetapan yang sah. Dari penelitian ini, ada beberapa hal yang dapat terjawab. Pertama, Akibat hukum yang timbul apabila suatu grosse akta hipotek atas kapal tidak memenuhi ketentuan-ketentuan keabsahan grosse akta hipotek atas kapal adalah penerbitan grosse akta hipotek atas kapal menjadi cacat hukum sehingga menyebabkan akta hipotek atas kapal tersebut menjadi batal demi hukum dan grosse akta hipotek atas kapal menjadi tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Kedua, Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Kreditor selaku pemegang hak jaminan hipotek atas kapal diantaranya adalah penyelesaian perkara melalui proses pengadilan dalam praktiknya dinilai tidak efektif; Lembaga eksekusi atas kekuasaan sendiri menjadi tidak lebih efisien daripada eksekusi berdasarkan grosse akta hipotek atas kapal. Peluang dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut, adalah: pelaksanaan eksekusi objek jaminan hipotek atas kapal yang baik, dan terupayanya efisiensi serta efektifitas dalam prosedur eksekusi jaminan hipotek atas kapal.

ABSTRACT
This study aims to analyze the validity of the deed of mortgage on vessels made ​​by Registrant and Registrar Officials for Vessels Transfer of Title by describing the characteristics of the deed of mortgage on vessels as means of protection for loan agreement and by analyzing the opportunities faced by holders of mortgage on vessels insurance to deal with challenges that could potentially be problematic in the future. This study uses normative method and the typology is explanatory; while the data included are data of primary, secondary and tertiary law by using qualitative analysis, and the logic of inductive thinking considering that the validity of the deed of mortgage on vessels must observe the terms of legal provisions. From this study, there are several things that may be answered. First, the legal consequences that arise when a deed of mortgage on vessel does not meet the terms of the validity is that the publishing of deed of mortgage on vessels may be legally defective, causing the mortgage on vessels deeds become null, and deed of mortgage on vessels becomes powerless in terms of executorial. Second, the challenges faced by the creditor as collateral mortgage holders on vessels including the settlement through the court process considered practically ineffective; Institute for the execution of the power itself becomes less efficient than the execution of the deed of mortgage on vessels. Opportunities in responding to these challenges are: the execution of the good mortgage collateral objects on the vessels, and efficiency and effectiveness in the execution procedure collateral mortgage on the vessels."
Universitas Indonesia, 2013
T32647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inggri Vinaya
"Penelitian ini membahas mengenai keabsahan sertifikat jaminan fidusia yang merupakan perlindungan hukum bagi penerima fidusia atas perjanjian pembiayaan yang disepakati dengan pemberi fidusia. Dalam hal pemberi fidusia melakukan wanprestasi maka penerima fidusia dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia. Adanya titel eksekutorial pada jaminan fidusia menjadi perlindungan pada penerima fidusia dimanapun objek jaminan fidusia itu berada. Pada pendaftaran objek jaminan fidusia para pihak harus menggunakan objek jaminan milik pemberi fidusia. Hal itu telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Pada putusan Mahkamah Agung Nomor 3584 K/PDT/2018 objek jaminan tidak atas nama pemberi fidusia sehingga berakibat tidak sahnya sertifikat jaminan fidusia dan pemberi fidusia yang cidera janji merugikan penerima fidusia karena tidak dapatnya objek jaminan tersebut dieksekusi oleh penerima fidusia. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah keabsahan sertifikat jaminan fidusia yang objek jaminan tidak atas nama pemberi fidusia dan tanggung jawab debitur atas cidera janji dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Penelitian permasalahan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu analisis berdasarkan teori dan peraturan perundang-undangan tentang jaminan fidusia dan wanprestasi. Analisis data yang dilakukan adalah diagnostik berdasarkan ketentuan mengenai jaminan fidusia, perjanjian pembiayaan konsumen dan wanprestasi. Dalam hal perjanjian pembiayaan, sertifikat jaminan fidusia sah jika objek jaminan merupakan milik pemberi fidusia agar memberi perlindungan kepada para pihak dan untuk mencegah terjadinya permasalahan seharusnya objek jaminan langsung dibaliknamakan kepemilikannya. Kerugian yang dialami kreditur akibat cidera janji harus dipertanggungjawabkan oleh debitur berdasarkan perjanjian pokok yang disepakati para pihak. Oleh karena itu kreditur harus meminta ganti rugi kepada debitur.

This research discusses the validity of the fiduciary guarantee certificate which is a legal protection for the fiduciary recipient of the agreed financing agreement with the fiduciary. In the event that the fiduciary performs default, the fiduciary recipient can execute the fiduciary security object. The existence of the executorial title on the fiduciary guarantee protects the fiduciary recipient wherever the object of the fiduciary guarantee is. In registering the object of fiduciary security, the parties must use the object of the guarantee belonging to the fiduciary. This has been stipulated in Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security. In the decision of the Supreme Court Number 3584 K / PDT / 2018, the object of guarantee is not in the name of the fiduciary, which results in invalidation of the fiduciary certificate and the fiduciary who fails to promise to harm the fiduciary recipient because the fiduciary recipient cannot execute the guarantee object. The problems discussed in this study are the validity of the fiduciary guarantee certificate, which the object of guarantee is not in the name of the fiduciary and the debtor's responsibility for default in the consumer financing agreement. Research on the problem uses the normative juridical research method, namely analysis based on theory and legislation on fiduciary and default guarantees. The data analysis performed was a diagnostic based on the provisions regarding fiduciary security, consumer financing agreements and defaults. In the case of a financing agreement, the fiduciary guarantee certificate is valid if the collateral object is the property of the fiduciary in order to provide protection to the parties and to prevent problems from occurring, the object of guarantee should be immediately reversed in the name of its ownership. Losses suffered by the creditor due to default must be accounted for by the debtor based on the main agreement agreed by the parties. Therefore, the creditor must ask for compensation from the debtor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>