Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108703 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanifah Alamsyah
"Hingga saat ini, masih dikatakan belum adanya kepastian hukum bagi pelaku kejahatan yang membantu ataupun berkolaborasi dengan aparat penegak hukum, yang mana hal tersebut bisa membantu dalam penuntasan suatu kasus tindak pidana. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan definisi dari Justice Collaborator adalah saksi pelaku merujuk pada individu yang berstatus tersangka, terdakwa, atau narapidana yang berkolaborasi dengan aparat penegak hukum guna membongkar suatu tindak kejahatan dalam perkara yang sama, yang memiliki peran sebagai saksi dalam memberikan keterangan terkait suatu peristiwa tindak pidana, serta menjadi peranan penting atau kunci dalam penegakan hukum yang mana dapat mengungkap suatu tindak pidana yang terjadi. Dalam tulisan ini, ingin mendalami Bagaimana implementasi peran Justice Collaborator pada pelaku tindak pidana pembunuhan ditinjau dari kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 798/Pid.b/2022/PN JKT.SEL. atau kasus Richard Eliezer yang mana Majelis Hakim menentukan pelaku utama pembunuhan untuk dijadikan Justice Collaborator. Dalam penelitian ini akan menuangkan beberapa pendapat-pendapat mengenai kasus pembunuhan ini dari berbagai sisi, menganalisis undang-undang yang diterapkan dari Majelis Hakim, serta kasus sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara hukum, dan kasus yang dipakai dalam penelitian harus memiliki kesamaan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Temuan dari tulisan ini adalah masih banyaknya pihak yang berpendapat bertentangan mengenai kasus Richard Eliezer, dan juga ditemukan bahwa Majelis hakim tidak menguraikan secara jelas mengenai peran masing-masing pihak yang juga merupakan terdakwa. Selain itu, setelah menelaah lebih dalam penulis tidak meneukan tercerminnya pelaku utama dalam pertimbangan Majelis hakim dalam peristiwa tindak pidana pembunuhan kasus ini. Serta, menemukan dan mengurai juga mengenai adanya relasi kuasa dalam kasus Richard Eliezer. Sehingga, Implementasi regulasi harus juga lebih diperjelas terkait dari makna “pelaku utama” dalam peraturan Justice Collaborator.

Until now, it is still said that there is no legal certainty for criminals who help or collaborate with law enforcement officials, which can help in solving a criminal case. Article 1 point 2 of Law Number 31 of 2014 concerning Amendments to Law Number 13 of 2006 concerning Witness and Victim Protection states the definition of a Justice Collaborator is a witness who refers to an individual who has the status of a suspect, defendant, or convict who collaborates with law enforcement officials to uncover a crime in the same case, who has a role as a witness in providing information related to a criminal event, and becomes an important or key role in law enforcement which can reveal a crime that occurred. In this paper, we want to explore how the implementation of the role of Justice Collaborator on the perpetrator of the crime of murder is reviewed from the South Jakarta District Court Decision Number 798/Pid.b/2022/PN JKT.SEL. or the Richard Eliezer case where the Panel of Judges determined the main perpetrator of the murder to be a Justice Collaborator. This study will present several opinions regarding this murder case from various sides, analyze the laws applied by the Panel of Judges, and cases as guidelines for resolving legal cases, and cases used in research must have similarities that have permanent legal force. The findings of this paper are that there are still many conflicting opinions regarding the Richard Eliezer case, and it was also found that the judges did not clearly outline the role of each party who was also a defendant. In addition, after examining more deeply, the author did not find the main perpetrator reflected in the considerations of the Panel of Judges in the criminal act of murder in this case. As well as, finding and analyzing the existence of power relations in the Richard Eliezer case. Thus, the implementation of regulations must also be clarified regarding the meaning of the “main perpetrator” in the Justice Collaborator regulation. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gagah Putra Ibrahim
"Tulisan ini membahas tentang bagaimana stigma dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap suatu kelompok masyarakat. Tulisan ini menjelaskan bagaimana stigma pada daerah asal pelaku kejahatan dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang berasal dari daerah tersebut. Kasus dalam Tulisan ini adalah dampak  stigma ‘Kampung Begal’ di Desa Jabung terhadap masyarakat yang beridentitas daerah tersebut. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara dengan sembilan narasumber yang berasal dari dalam Desa Jabung maupun dari luar desa untuk mencari data tentang faktor-faktor apa saja yang dapat menimbulkan stigma ‘Kampung Begal’ di Desa Jabung dan apa saja dampak-dampak dari stigma ‘Kampung Begal’ di Desa Jabung terhadap masyarakat yang berasal dari daerah tersebut. Melalui data-data yang telah ditemukan, peneliti menganalisisnya dengan mengaitkannya dengan teori stigma oleh Erving Goffman dan teori moral panics oleh Stanley Cohen. Melalui analisis, penelitian berhasil menghasilkan beberapa argumen yang menjelaskan bagaimana stigma ‘Kampung Begal’ dapat berdampak pada masyarakat yang berasal dari Desa Jabung. Stigma ‘Kampung Begal’ secara garis besar berdampak besar pada kesejahteraan individu dan kelompok yang berasal dari Desa Jabung, sebagai contoh secara individu,  stigma ini dapat individu dari Desa Jabung kesulitan.

This thesis discusses how stigma can have a significant impact on a group of people. This thesis explains how stigma in the area where criminals originate can affect the lives of people from that area. The case in this thesis is the impact of the stigma of 'Kampung Begal' in Jabung Village on people with an identity in that area. Researchers used qualitative research methods by conducting interviews with nine sources from inside the village and outside the village to look for data about what factors can give rise to the stigma of 'Kampung Begal' in Jabung Village and what impacts the stigma of 'Kampung Begal' in Jabung Village has on the people who come from from that area. Through the data that has been found, the researcher analyzes it by linking it to the theory of stigma by Erving Goffman and the theory of moral panics by Stanley Cohen. Through analysis, the research succeeded in producing several arguments that explain how the stigma of 'Kampung Begal' can have an impact on people from Jabung Village. The stigma of 'Kampung Begal' generally has an impact on the welfare of individuals and groups from Jabung Village."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Ranni
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Ramadhino
"Tulisan ini menganalisis bagaimana penerapan justice collaborator di dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam penerapan status justice collaborator di dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.798/Pid.b/PN.Jkt.Sel. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Penerapan justice collaborator semula muncul dalam United Nations Convention Against Corruption 2003, di dalam UNCAC sebutan justice collaborator muncul untuk memerangi kasus-kasus pidana yang sulit dipecahkan hingga memerlukan orang dari dalam kasus tersebut yang bisa memberikan keterangan untuk membuka seterang-terangnya kasus tersebut, UNCAC 2003 ini kemudian di ratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi. Penerapan justice collaborator ini kemudian dijelaskan tentang bagaimana penerapan, batasan serta pengecualian di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta didukung peraturan mengatur teknis justice collaborator bari para penegak hukumseperti di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) dan juga Peraturan Bersama Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th.2011; Nomor: PER-045/A/JA/12/2011; Nomor: 1 Tahun 2011; Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011; Nomor: 4 Tahun 2011. Dalam praktiknya penerapan justice collaborator di Indonesia bisa diterapkan di dalam kasus tindak pidana umum, penerapan ini membuka banyak kemungkinan penyelesaian masalah pidana yang sulit dipecahkan.

This article analyzes how justice collaborator is applied in criminal law provisions in Indonesia, especially in the application of justice collaborator status in the murder case of Brigadier Yosua in South Jakarta District Court Decision No.798/Pid.b/PN.Jkt.Sel. This article was prepared using doctrinal research methods. The application of justice collaborator originally appeared in the 2003 United Nations Convention Against Corruption, in UNCAC the term justice collaborator emerged to fight criminal cases that were difficult to solve and required people from within the case who could provide information to reveal the case as clearly as possible, UNCAC 2003 This was then ratified into Law Number 7 of 2006 concerning the UN Convention Against Corruption. The application of justice collaborator is then explained about how to apply, limitations and exceptions in Law Number 7 of 2006 concerning the UN Convention Anti-Corruption, Law Number 31 of 2014 concerning Amendments to Law Number 13 of 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, and supported by regulations governing technical justice collaborators for law enforcers, such as in the Supreme Court Circular Letter Number 4 of 2011 concerning the Treatment of Criminal Whistleblowers and Cooperating Witnesses (justice collaborators) and also Joint Regulation Number: M.HH- 11.HM.03.02.th.2011; Number: PER-045/A/JA/12/2011; Number: 1 of 2011; Number: KEPB-02/01-55/12/2011; Number: 4 of 2011. In practice, the application of justice collaborator in Indonesia can be applied in general criminal cases, this application opens up many possibilities for resolving criminal problems that are difficult to solve."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2021
345.023 TAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Fajar Putra Dipayana
"Tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia diikuti dengan tingginya jumlah kasus pencemaran nama baik. Dari data yang ada, pencemaran nama baik berada pada urutan jumlah yang sering dilaporkan ke pihak berwajib. Bahkan Pasal pencemaran nama baik (dalam KUHP/diluar KUHP) menjadi pasal yang sering disoroti oleh publik, kemudian pihak-pihak yang merasa tersinggung, pada umunya menggunakan pasal tersebut untuk menyerang balik dengan melaporkanya ke Polisi. Sementara penyelesaian masalah pencemaran nama baik, melalui hukum pidana, masih selalu diutamakan (Primum remedium) oleh penegak hukum, yang akibatnya hukum pidana sebagai sarana balas dendam, shock terapy, bahkan sarana barter kasus. Menurut penulis penanggulangan masalah dengan hukum pidana haruslah dengan alternative terakhir (ultimum remedium), perlu menerapan kebijakan penal yang juga diimbangi dengan kebijakan non-penal dalam penegakan hukum pencemaran nama baik, serta perlu mengkaji sejauh mana ketentuan rumusan pasal pencemaran nama baik jika dilihat dari kacamata doktin dan teori hukum. Dari hasil penelitian, sementara dapat disimpulkan bahwa perlu trobosan suatu kebijakan pidana yang ditawarkan guna mencapai rasa keadilan dalam menyelesaikan masalah pencemaran nama baik, dimana merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana, lebih menitik beratkan pada pemulihan keadaan serta memberikan fokus perhatian kepada korban, pelaku dan masyarakat. Melalui Pendekatan Restorative Justice akan menjadi solusi terbaik dalam menanggulangi kekurangan, keterbatasan dan kelemahan penyelesaian pencemaran nama baik dalam mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum di Indonesia.

The high number of social media users in Indonesia is followed by a high number of defamation cases. Based on the data, defamation is the number one that is often reported to the authorities. Even the defamation article (in the KUHP/outside the KUHP) becomes an article that is often highlighted by the public, then parties who feel offended, generally use this article to attack back by reporting it to the Police. While the resolution of defamation cases through criminal law is still prioritized (primum remedium) by law enforcers, as a result, criminal law becomes a means of revenge, shock therapy, and even a means of bartering cases. According to the author, solving problems with criminal law should be the last alternative (ultimum remedium), it is necessary to apply a penal policy that is also balanced with a non-penal policy in enforcing defamation law, and it is necessary to examine the extent to which the provisions for drafting defamation articles are viewed from a doctrinal and legal theory. Based on the research results, it can be concluded that it is necessary to make a breakthrough in a criminal policy that is offered in order to achieve a sense of justice in resolving defamation problems, which is a new approach in efforts to resolve criminal cases, focusing more on recovering the situation and focusing attention on the victim, actors, and society. Through a Restorative Justice Approach, it will be the best solution to overcoming deficiencies, limitations, and weaknesses in resolving defamation in realizing justice, benefits, and legal certainty in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roeslan Saleh
Jakarta: Aksara Baru, 1983
345 ROE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rantie Septianti
"Skripsi ini membahas mengenai 2 (dua) hal yaitu, pengaturan tindak pidana di bidang perbankan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan peraturan terkait lainnya di Indonesia dan perlindungan hukum yang diberikan terhadap nasabah penyimpan dalam hal terjadi tindak pidana di bidang perbankan dengan studi kasus tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh oknum karyawan Bank Y bekerja sarna dengan oknum eksternal lainnya terhadap dana Deposito Berjangka milik nasabah PT Elnusa Tbk. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian yuridis nonnatif dimana penelitian mengacu pada nonna hukum
yang terdapat di peraturan perundang-undangan dan metode wawancara guna
mendapatkan infonnasi dan gambaran menyeluruh terkait dengan pokok pennasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menyarankan kepada Bank
Y untuk menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah dan pengawasan internal terhadap sistem dan cara kerja operasional bank untuk melindungi kepentingan
nasabah dari kemungkinan tindak pi dana di bidang perbankan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S70238
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>