Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126608 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haiqa Albitya
"Penelitian ini dilakukan untuk menelaah bagaimana representasi maskulinitas alternatif di tampilkan pada tokoh Yuzuki Hayato dalam anime Yuzuki san Chi no yon Kyoudai serta bagaimana tanggapan masyarakat Jepang dalam anime merespons maskulinitasnya yang tidak sejalan dengan pandangan tradisional masyarakat. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hegemonic masculinity milik Raewyn Connell. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis film dengan menganalisis narasi, dialog, penokohan, dan elemen visual. Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan, ditemukan bahwa tokoh Yuzuki Hayato menampilkan bentuk maskulinitas yang tidak sejalan dengan maskulinitas tradisional Jepang, yaitu sosok pria yang aktif berurusan dalam ranah domestik dan mengurus anak. Tema laki-laki yang memiliki maskulinitas alternatif pun kini banyak diangkat oleh beberapa judul anime untuk menayangkan bentuk maskulinitas yang tidak kaku. Gambaran respon masyarakat sekitar terhadap maskulinitas Hayato ditanggapi secara positif dan negatif. Melalui respon tersebut, menandakan bahwa potret maskulinitas Yuzuki Hayato menggoncang sekaligus mengukuhkan norma tradisional yang berlaku.

This study aims to examine the representation of alternative masculinity on Yuzuki Hayato from the anime Yuzuki san Chi no yon Kyoudai and how the Japanese society in the anime responds to his masculinity. The theory used in this study is Raewyn Connell’s hegemonic masculinity theory with film analysis method by analyzing narration, dialogue, characterization, and visual element. Based on the analysis, it is found that Yuzuki Hayato displays a form of masculinity that doesn’t align with traditional Japanese masculinity, namely a man who actively deals in the domestic sphere and takes care of children. This theme of anime also seems to be picked up by several anime titles to showcase other forms of alternative masculinities. The response towards Hayato’s masculinity from the people around him are both positive and negative. Suggests that Yuzuki Hayato’s potrayal of masculinity not only challenges, but also reinforces the prevailing of traditional norms."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Putri Indriyansyah
"Upaya Perlindungan Diri Perempuan dari Pelecehan Seksual Pada Perang Dunia II dalam Film Anonyma: Eine Frau in Berlin Karya Max Färberböck

The issue of sexual harassment against women is an issue that has long been a topic of discussion in the world. Sexual harassment of women is formed from the existence of hegemonic masculinity. According to Gramsci, hegemony is a form of domination and power, in short, hegemonic masculinity can be interpreted as a form of domination and power exercised by men over women. This is common in various social circles, therefore women
fight for their rights and demand gender equality. This research will raise the issue of identity change caused by hegemonic masculinity against the main female character Anonyma in Germany during World War II, through the film Anonyma: Eine Frau in Berlin. This research uses a qualitative approach and literature review through books, journals and scientific articles. The main focus of this research is the actions of the Russian army and the situation in the environment that supports the identity change and struggle of the figures Anonyma. How the surrounding environment can influence the process of forming the identity of Anonyma's character and the struggles he undertakes. This is answered by using the theory place identity and using cinematographic techniques in analyzing scenes in the film. The results of the analysis show that a person's identity can be formed through environmental influences, as well as the struggles that women waged by arranging strategies to protect themselves from sexual violence during World War II.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Kenvaleriano Syahputra
"Maskulinitas Toksik adalah istilah yang mulai digunakan pada tahun 1980-an untuk menggambarkan sikap dan perilaku yang diharapkan dari pria yang dapat berdampak negatif pada diri mereka sendiri dan masyarakat. Di dunia media sosial saat ini, terdapat banyak pengaruh yang memiliki pandangan yang bervariasi, dengan beberapa yang mempromosikan maskulinitas beracun. Sifat dari pengaruh media sosial adalah ide-ide mereka dapat ditransmisikan kepada audiens yang luas dan mungkin mempengaruhi pandangan dunia dan pengambilan keputusan sejumlah orang dalam audiens tersebut. Salah satunya adalah Andrew Tate, seorang guru bimbingan diri, motivator, dan pengaruh yang mendapatkan ketenaran melalui TikTok dan YouTube. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pandangan Andrew Tate tentang maskulinitas dan bagaimana ia menyusun pesannya untuk mempengaruhi pengikutnya. Studi kasusnya adalah Andrew Tate, seorang pria yang mendapatkan ketenaran dari TikTok dan kemudian diundang ke sejumlah podcast yang penuh dengan pernyataan yang mengafirmasi maskulinitas beracun. Data yang akan dianalisis diambil dari podcast Standout.TV, PBD Podcast, dan Adin Ross yang mengundang Andrew Tate untuk berpartisipasi dalam segmen mereka. Temuan penelitian menunjukkan pandangan misoginis Andrew Tate tentang maskulinitas dan bagaimana ia menyusun pesannya untuk mendapatkan ketenaran dan keuntungan dari pengikutnya

Toxic masculinity is a phrase that started being used in the 1980’s to describe the attitudes and behaviors that are expected from men that could have a negative impact on men themselves and society. In today’s world of social media, there are a lot of influencers that have varying views, with some that promotes toxic masculinity. It is the nature of social media influencers that their ideas can be transmitted over a large audience and possibly influence the worldview and decision making of a number of people in that audience. One of whom is Andrew Tate, a self-help guru/ motivator/ influencer that reached fame through TikTok and YouTube. This article aims to examine Andrew Tate’s view on masculinity and how he constructs his message to influence his followers. The case study will be Andrew Tate, a man who found fame from TikTok and later was invited to a number of podcasts filled with statements that affirm toxic masculinity. The data that will be analyzed is taken from the podcast from Standout.TV, PBD Podcast, and Adin Ross that invited Andrew Tate to take part in their segment. Research findings show Andrew Tate’s misogynistic views on masculinity and how he constructs his message assertively, rationalizing his rebuttals and gaining fame and profit from his followers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ajeng Ayu Amala Maharani
"Maskulinitas hegemonis mencerminkan dominasi sosial melalui maskulinitas, seringkali diasosiasikan dengan olahraga sebagai penyalurnya. Hal ini menjadi menarik ketika kita melihat olahraga seperti cheerleading yang didominasi oleh perempuan, bahkan digambarkan sebagai emphasized femininity. Cheerleading hari ini sudah bukan lagi konsep rok pendek dan penyorak di pinggir lapangan, kini cheerleading menjadi sebuah olahraga kompetisi ekstrem yang juga diikuti sebagian laki-laki. Maka dari itu, tulisan ini mengeksplorasi identitas gender melalui bentuk-bentuk maskulinitas hegemonis dalam olahraga cheerleading yang didominasi perempuan, serta performativity dari cheerleader laki-laki. Melalui studi pustaka, ditemukan bahwa bentuk maskulinitas sebagai dominasi sosial terbagi menjadi dua yaitu ortodoks dan inklusif. Terakhir, performativity yang ditemukan adalah dalam bentuk skill tertentu, unggahan media sosial yang dipilah, dan attitude yang dijaga sebagai cheerleader.

Hegemonic masculinity reflects social domination through masculinity, often associated with sport as the channel for it. This becomes interesting when we investigate a female-dominated sport like cheerleading, even described as emphasized femininity. Cheerleading today is not just short skirts cheering on the sideline anymore, now cheerleading is an extreme competitive sport that also participated by some men. Thus, this article explores gender identity through constructions of hegemonic masculinity in cheerleading as a female-dominated sport, and performativity of male cheerleaders, through literature study. Through literature study, it is found that masculinity as a form of social domination is divided into two groups which are orthodox and inclusive. Lastly, the performativity is found in the form of certain skills, sorted social media post, and maintained attitude as cheerleader."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlurrahman
"Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana hegemoni maskulinitas muncul dan mengopresi perempuan dalam seluruh lapisan kehidupan perempuan untuk meneguhkan dominasi laki-laki dengan cara membentuk seksualitas perempuan dan mitos kecantikan. Penulisan ini menggunakan metode penulisan unobtrusive melalui pendekatan analisis wacana. Berdasarkan hasil tinjauan penulis, hegemoni maskulinitas terjadi dalam seluruh lapisan wilayah hubungan sosial perempuan. Baik dari bagian
terkecil yaitu keluarga, hingga bagian paling luas yaitu industri hiburan global.

The purpose of this writing is to explain how hegemonic masculinity occurred and oppressing female in every layers of female’s life to strengthen male’s domination by creating female’s sexuality and beauty myth. This writing used unobtrusive research through discourse analysis approach. Based on results of author’s review, hegemonic masculinity occurred in every female’s life layers. From the smallest area which is family, to the widest area which is global entertainment industry."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Johana Rotua
"Pelecehan seksual merupakan isu persisten yang berkontribusi pada ketidaksetaraan gender. Di Amerika Serikat, meskipun undang-undang pelecehan seksual telah dibentuk sejak tahun 1964, isu pelecehan seksual terus menjadi masalah luas di negara ini. Pelecehan seksual hanya menjadi isu utama dan dianggap serius ketika gerakan #MeToo dimulai dalam gelombang feminisme keempat. Narasi Hollywood pada tahun 2010, seperti Bombshell (2019), menjadi representasi bagi perempuan yang mengalami pelecehan seksual di lingkungan kerja meskipun terdapat ketidakakuratan mengenai peristiwa nyata bagaimana pelecehan seksual dialami oleh Megyn Kelly. Megyn Kelly adalah tokoh terkenal yang pernah bekerja sebagai pembawa berita di Fox News. Ia menjadi terkenal karena kecenderungannya untuk mengatakan pendapatnya sendiri di tengah gerakan #MeToo karena ia berhasil berbicara tentang pelecehan seksual yang dialaminya saat bekerja di Fox News. Ia juga mengungkapkan bagaimana kekuasaan beroperasi di sebuah institusi, khususnya industri media. Artikel ini merefleksikan bagaimana maskulinitas hegemonik berperan dalam mengecualikan perempuan bukan hanya dari akses ke kekuasaan tetapi juga menindas otonomi mereka untuk menyatakan diri. Artikel ini berpendapat bahwa maskulinitas hegemonik digunakan oleh pria berkuasa untuk menindas perempuan melalui strategi kekuasaan. Akibatnya, perempuan merasa perlu membentuk aliansi satu sama lain yang menyerupai essensi persaudaraan di mana perempuan bersatu dalam perasaan saling asing dan diskriminasi dan bekerja bersama untuk membalas dendam terhadap pelaku pelecehan seksual mereka.

Sexual harassment is a persistent issue that contributes to gender inequality. In the United States, despite the establishment of the sexual harassment law in 1964, the issue of sexual harassment continues to be widespread in the country. Sexual harassment only became a prominent issue and was taken seriously when the #MeToo movement began in the fourth wave feminism. Hollywood narrative in the 2010, such as Bombshell (2019), becomes a representation for women who experienced sexual harassment in a work setting despite its inaccuracies of the real events of how sexual harassment occurred to Megyn Kelly. Megyn Kelly is a notable figure who once worked as a news anchor at Fox News. She became prominent due to her penchant for speaking her mind amid the #MeToo movement because she managed to spoke out about the sexual harassment she endured when she worked at Fox News. She also shed light on how power works in an institution, specifically the media industry. This article reflects on how hegemonic masculinity plays a part in excluding women not only from access to power but also repress their autonomy to express themselves. This article contends that, hegemonic masculinity is employed by men in power to subordinate women through power strategies. As a result, women felt the need to form an alliance with each other that resembles the essence of sisterhood where women unite under mutual feeling of alienation and discrimination and work together to retaliate against their sexual harassment perpetrators."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Winner Se Naufallaksono
"ABSTRAK
Tulisan ini akan meneliti sifat-sifat maskulin yang direpresentasikan melalui tokoh-tokoh laki-laki di dalam novel Tschick ndash; in einfacher Sprache karya Wolfgang Herrndorf. Terdapat tiga tokoh yang akan dianalisa, yaitu Maik, Tschick, dan ayahnya Maik. Ketiga tokoh tersebut akan dianalisa sifat-sifat maskulin mereka yang paling menonjol melalui kajian gender dan seperti apa keterkaitannya dengan gaya hidup masyarakat urban. Lebih jauh lagi, tulisan ini akan meninjau apakah gender tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan konstruksi gender yang ada di dalam masyarakat dan bagaimana peran gender masing-masing tokoh mendapat pengaruh dari anggota keluarga dan teman sebaya yang direpresentasikan dalam novel ini. Orang tua dan teman sebaya memiliki peran penting dalam proses pembentukan gender seorang remaja yang sedang dalam masa transisi. Hal ini yang akan menjadi unsur utama pembahasan dalam tulisan ini.

ABSTRACT
This paper will examine the masculine traits that represent through male characters in novel by Wolfgang Herrndorf, Tschick in einfacher Sprache. There are three characters that will be analyzed, they are Maik, Tschick, and Maik 39 s father. Those three characters will be analyzed through their most prominent masculine traits within gender studies and what are their correlations within urban lifestyle. Furthermore, this paper will examine whether the gender of those characters fit in the existing gender constructions within the community and how the gender roles of each character are influenced by the family members and peers that represent in this novel. Parents and peers does have an important role in the gender forming process of a teenager in transition. These will be the main point of the discussion in this paper."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Tesis ini membahas representasi maskulinitas yang terdapat dalam korpus berupa film yang berjudul Malaikat Bayangan dan Malaikat Tanpa Sayap. Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitatif melalui pendekatan cultural studies. Penelitian ini menggunakan beberapa teori berikut, yaitu maskulinitas Reeser dan Beynon, metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson, metafora multimodal Forceville, dan struktur film dari Boggs dan Petrie, serta Nathan Abrams, et.al. Reeser dan Beynon memandang maskulinitas sebagai satu konsep yang dinamis, cair, dan kompleks. Kedua korpus penelitian tersebut memiliki perbedaan, antara lain, dalam latar tahun produksi, genre, atau setting. Film Malaikat Bayangan mengangkat tema maskulinitas imperial dengan latar era kolonial. Sosok maskulin imperial, Thomas, mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan negara tanpa mengaharapkan imbalan materi. Untuk itu maskulin imperial dituntut untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu intim dengan lawan jenis serta memiliki kemampuan untuk menguasai diri seutuhnya. Jika dikaitkan dengan teori Reeser, sosok maskulin imperial dalam film Malaikat Bayangan tidak berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain. Namun, dalam sebuah penyamaran, Thomas tidak dapat menghindari untuk mengadopsi unsur-unsur dari kluster lain, seperti metroseksual dan narcissist. Sementara itu, Film Malaikat Tanpa Sayap mengangkat konsep maskulinitas breadwinner yang dapat berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain, yaitu new man as a nurturer dan maskulinitas imperial. Sosok maskulin yang diangkat di dalam tesis ini merupakan sosok yang dianggap sebagai malaikat (malaikat metaforis). Metafora konseptual yang muncul sebagai penguat tokoh malaikat metaforis cenderung untuk mengarah pada sikap, sifat, serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Dalam film Malaikat Bayangan, sosok Thomas memenuhi kriteria sebagai malaikat karena ia mengabdi dengan sepenuh hati tanpa pernah memikirkan imbalan materi; memiliki kekuatan fisik dan batin yang prima; patuh pada aturan, dan cernat. Sementara itu, film Malaikat Tanpa Sayap menampilkan tokoh Amir sebagai sosok yang dianggap sebagai malaikat. Tokoh Amir tanpa menunjukkan kontak fisik mampu memberikan kontribusi besar bagi anaknya sendiri dan orang lain. Konsep maskulinitas tersebut didukun unsur sinematografis (teknik pengambilan gambar, penentuan ukuran gambar, teknik pencahayaan) dan unsur naratif (tema, alur, latar, dan penokohan).

This thesis discusses the representation of masculinity in Malaikat Bayangan (1987) and Malaikat Tanpa Sayap (2012). This is a qualitative research with cultural studies approaches. There are several theories used in this study: Reeser (2010) and Beynon (2002) masculinities, Lakoff and Johnson's (2003) conceptual metaphor, Forceville's (1996) multimodal metaphor, and film structures from Boggs & Petrie (2008) and Nathan Abrams, et al (2001). Both movies have differences, especially in these points: year of production, genre, or setting. However, they were assumed to share common concepts of masculinity. Malaikat Bayangan provided representation of imperial masculinity. The imperial masculine gave his life serving the state totally without material orientation. He was not allowed to have an overly intimate relationship with women and ought to have a perfect stamina. Based on Reeser's view, the imperial masculine figure in Malaikat Bayangan can not be substituted with another type of masculinity. However, on certain occasions, the main character must be adaptive to elements of other clusters, such as metrosexual and narcissist. On the other hand, Malaikat Tanpa Sayap provided a fluid masculinity concept. The breadwinner can be subsituted with other types of masculinity, such as nurturer or imperial masculinity. The thesis focuses on masculine figures that are metaphorically regarded as angels. Conceptual metaphor application is related to their attitudes, characteristics, and experiences. In Malaikat Bayangan, Thomas gives his total commitment for the state without material reward. He has the most powerfull energy, obedient, and has good precision. Meanwhile, Malaikat Tanpa Sayap is featuring Amir as a metaforic angel in a different way. Through his own fight, without physical contact as Thomas, which is associated to the contemporary period, Amir fulfills his angelic criteria. The concept of masculinity that emerges in both movies is supported by the cinematographic elements (shooting technique, size of the image, or lighting techniques) and narrative elements (theme, plot, setting, and characterization)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diandra Sekarayu
"Isu gender merupakan salah satu isu sosial yang masih sering menjadi diskursus dalam masyarakat Jerman. Salah satu subtema dari isu gender yang masih terus menjadi diskursus dalam masyarakat Jerman adalah perihal maskulinitas laki-laki sejak lama. Beberapa produk media membentuk konstruksi maskulinitas dalam masyarakat  Jerman, salah satunya lagu. Beberapa lagu yang mengusung tema maskulinitas laki-laki di antaranya adalah lagu Männer (1984) oleh Herbert Grönemeyer dan Nicht die Musik (2019) oleh Kummer. Untuk melihat konstruksi maskulinitas di Jerman pada tahun 1980-an dan di masa Jerman kontemporer, penulis membandingkan kedua lagu tersebut menggunakan metode analisis tekstual dengan metode semantik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi maskulinitas pada kedua lagu tersebut disajikan dalam berbagai bentuk stereotipe, berdasarkan teori maskulinitas hegemonik oleh R.W. Connell (2005). Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa konstruksi maskulinitas yang disajikan dalam kedua lagu tersebut tidak bersifat tunggal, tidak tetap, dan disajikan secara kontekstual.

Gender issue is one of the social issues which are still a topic of discourse in German society. One of the subthemes of gender issue that continues to be discussed in German society is the longstanding issue of male masculinity. Some media products shape the construction of masculinity in German society, including songs. Some songs that carry the theme of male masculinity are Männer (1984) by Herbert Grönemeyer and Nicht die Musik (2019) by Kummer. To look at the construction of masculinity in Germany in the 1980s and in contemporary Germany, the author compares the two songs using the textual analysis method with the semantic method. The results show that the construction of masculinity in both songs is presented in various forms of stereotypes, based on the theory of hegemonic masculinity by R.W. Connell (2005). This research also shows that the construction of masculinity presented in both songs is not singular, not fixed, and presented contextually."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Akhyar Amin
"Cilegon merupakan kota industri yang terletak di ujung paling barat Pulau Jawa. Beragam kelompok etnis yang memiliki keyakinan agama berbeda-beda datang untuk bekerja maupun menempuh pendidikan di kota ini seperti etnis Tionghoa, Jawa, Batak, Minang, Manado, dan sebagainya. Walaupun demikian, di Kota Cilegon hanya berdiri rumah ibadah umat muslim (masjid atau musholla), dengan kata lain tidak ada satupun rumah ibadah seperti gereja, vihara, dan pura. 7 September 2022, publik dihebohkan dengan berita Walikota Cilegon, Helldy Agustian menandatangani petisi penolakan pendirian gereja HKBP Maranatha Cilegon. Walikota Cilegon menyebut alasan dirinya menandatangani petisi penolakan tersebut untuk menerima aspirasi sebagian besar warga Cilegon (umat muslim) dan menjaga kondusivitas masyarakat Cilegon. Tulisan ini mengkaji konflik pendirian rumah ibadah melalui perspektif hegemony dan counter-hegemony. Melalui perspektif hegemoni, kita bisa melihat sosok dan peran kelompok elit Cilegon (kyai dan jawara) dan tindakan mereka menggagalkan pendirian rumah ibadah (gereja) demi menjaga marwah kota Cilegon sebagai kota santri. Kultur kota santri ini merupakan embrio dari peristiwa sejarah Geger Cilegon 1888, saat para kiai dan santri melakukan pemberontakan melawan kolonial Belanda. Seperti yang kita ketahui, sosok kyai dan jawara di Banten, khususnya Cilegon memiliki kedudukan khusus dalam perjalanan sosio-historis sejak masa kesultanan hingga masa kini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan etnografi melalui teknik pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dengan beberapa subyek. Selain catatan etnografi sebagai data primer, penulis juga menggunakan sumber dari jurnal penelitian, berita media massa, podcast di youtube sebagai data sekunder untuk mendukung data utama penelitian.

Cilegon is an industrial city situated at the westernmost tip of Java Island. It attracts various ethnic groups with diverse religious beliefs who come to work and study, including the Chinese, Javanese, Batak, Minang, Manadonese, and others. However, the city only has Muslim houses of worship, such as mosques or prayer rooms, and lacks churches, monasteries, or temples. On September 7, 2022, the public was shocked by news that the Mayor of Cilegon, Helldy Agustian, signed a petition rejecting the establishment of the HKBP Maranatha Cilegon church. Mayor Agustian stated that he signed the rejection petition to honor the aspirations of the majority of Cilegon residents (who are Muslims) and to preserve the harmony of Cilegon society. This research explores the conflict surrounding the establishment of places of worship from the perspectives of hegemony and counter-hegemony.Through a hegemonic perspective, I observed the role and influence of the elite group in Cilegon (including kyai and jawara) and their efforts to prevent the establishment of places of worship (specifically churches) to uphold the prestige of Cilegon as a city known for kota santri. This culture of kota santri traces back to the historical event of Geger Cilegon in 1888 when kyai and students from Islamic boarding schools rebelled against Dutch colonialism. Notably, kyai and jawara in Banten, especially Cilegon, hold a significant position in the socio-historical journey from the sultanate era to the present day. The approach used in this research is an ethnographic approach using involved observation techniques and in-depth interviews with several subjects. Apart from ethnographic notes as primary data, the author also uses sources from research journals, mass media news, and podcasts on YouTube as secondary data to support the main research data."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>