Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146733 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Najwa Syahdryani Syifandari
"Media massa dapat membentuk opini publik melalui pembentukan reprentasi di dalam pemberitaan. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana kepolisian direpresentasikan oleh Kompas di dalam pemberitaan selama Aksi Kawal Putusan MK berlangsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis berperspektif Norman Fairclough (1995) dengan bantuan linguistik korpus (Baker, 2008). Data yang dianalisis adalah 25 artikel yang diunggah oleh Kompas.id dengan topik sikap polisi saat Aksi Kawal Putusan MK dengan periode berita 23 sampai dengan 30 Agustus 2024. Media Kompas dipilih sebagai sumber data atas dasar jumlah pengguna yang tinggi dalam mengakses berita yang dihasilkan. Artikel-artikel tersebut dikumpulkan dan disatukan menjadi sebuah korpus. Kemunculan kata kepolisian, polisi, aparat, dan sejenisnya dianalisis dengan melihat kata-kata lain yang muncul beriringan. Polisi digambarkan oleh Kompas sebagai sosok yang menggunakan kekerasan dan tindakan represif dalam menangani demonstrasi, khususnya Aksi Kawal Putusan MK. Representasi ini dipengaruhi oleh konteks situasi, institusi, dan sosial ketika peristiwa berlangsung.
Mass media is able to shape public opinion through the shaping of representation in news reporting. Based on that point, this research aims to reveal how the police force is represented by Kompas in the news reporting throughout the Aksi Kawal Putusan MK protests. This reseach uses Norman Fairclough’s critical discourse analysis (1995), along with utilizing corpus linguistics (Baker, 2008). The data being analyzed is the the 25 news articles upload in Kompas.id with the topic of the police force’s action during the Aksi Kawal Putusan MK protests from 23rd until 30th August 2024. Media Kompas is chosen as the data source because of its high rate of access for their news. These articles are collected and put together to be a corpus. The use of the word ‘kepolisian’, ‘polisi’, ‘aparat’, and othe of the likes is analyzed along with their accompanying words. The police force is depicted by Kompas as an entity that uses violence and repressive actions in handling the demonstrations, especially during the Aksi Kawal Putusan MK protests. This representation is influenced by situational, institutional, and social context during the event.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Najwa Syahdryani Syifandari
"Media massa dapat membentuk opini publik melalui pembentukan reprentasi di dalam pemberitaan. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana kepolisian direpresentasikan oleh Kompas di dalam pemberitaan selama Aksi Kawal Putusan MK berlangsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis berperspektif Norman Fairclough (1995) dengan bantuan linguistik korpus (Baker, 2008). Data yang dianalisis adalah 25 artikel yang diunggah oleh Kompas.id dengan topik sikap polisi saat Aksi Kawal Putusan MK dengan periode berita 23 sampai dengan 30 Agustus 2024. Media Kompas dipilih sebagai sumber data atas dasar jumlah pengguna yang tinggi dalam mengakses berita yang dihasilkan. Artikel-artikel tersebut dikumpulkan dan disatukan menjadi sebuah korpus. Kemunculan kata kepolisian, polisi, aparat, dan sejenisnya dianalisis dengan melihat kata-kata lain yang muncul beriringan. Polisi digambarkan oleh Kompas sebagai sosok yang menggunakan kekerasan dan tindakan represif dalam menangani demonstrasi, khususnya Aksi Kawal Putusan MK. Representasi ini dipengaruhi oleh konteks situasi, institusi, dan sosial ketika peristiwa berlangsung.
Mass media is able to shape public opinion through the shaping of representation in news reporting. Based on that point, this research aims to reveal how the police force is represented by Kompas in the news reporting throughout the Aksi Kawal Putusan MK protests. This reseach uses Norman Fairclough’s critical discourse analysis (1995), along with utilizing corpus linguistics (Baker, 2008). The data being analyzed is the the 25 news articles upload in Kompas.id with the topic of the police force’s action during the Aksi Kawal Putusan MK protests from 23rd until 30th August 2024. Media Kompas is chosen as the data source because of its high rate of access for their news. These articles are collected and put together to be a corpus. The use of the word ‘kepolisian’, ‘polisi’, ‘aparat’, and othe of the likes is analyzed along with their accompanying words. The police force is depicted by Kompas as an entity that uses violence and repressive actions in handling the demonstrations, especially during the Aksi Kawal Putusan MK protests. This representation is influenced by situational, institutional, and social context during the event.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hafizh Manarul Hidayat
"Tulisan ini membahas wacana argumentatif dalam ceramah para ulama Indonesia tentang hukum demonstrasi. Argumen tersebut dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu argumen prodemonstrasi dan argumen kontrademonstrasi. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perbedaan unsur-unsur argumentasi yang dibangun oleh para ulama dalam pendapatnya tentang hukum demonstrasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sumber data yang digunakan berasal dari video-video ceramah dalam laman YouTube dengan tiga kriteria: 1) video berdurasi tidak lebih dari 10 menit, 2) video bermuatan argumentasi pro atau kontra demonstrasi, dan 3) ceramah itu disampaikan oleh ustaz asal Indonesia. Atas dasar itu, dipilih enam video yang dibagi menjadi tiga ceramah prodemonstrasi dan tiga ceramah kontrademonstrasi. Setelah itu, video-video tersebut ditranskripsi dengan teknik ortografis untuk dijadikan sebagai data analisis. Teori yang digunakan untuk menganalisis data adalah teori Toulmin (2013). Hasil penelitian ini adalah ditemukan perbedaan penyampaian klaim serta sumber data dan pembenaran yang dijadikan sebagai landasan penetapan hukum Islam. Klaim dalam pendapat prodemonstrasi cenderung bersifat tersirat secara logis. Data dan pembenaran yang digunakannya berasal dari sumber sekunder hukum Islam, yaitu urf dan mashlahah mursalah. Sementara itu, klaim dalam pendapat kontrademonstrasi bersifat lugas dengan data dan pembenaran yang berasal dari Al-Qur’an dan sunah/hadis Nabi.

This paper discusses the argumentative discourse in the lectures of the Indonesian ulemas about the law of demonstration. The argument is divided into two points of view, that is the pro-demonstration argument and the counter-demonstration argument. The purpose of this study is to describe the differences in the elements of argumentation developed by the ulemas in their opinion about the law of demonstration. The method used in this research is qualitative method. The source of the data used comes from video lectures on the YouTube page with the following criteria: 1) videos are about 10 minutes long, 2) videos containing pro-demonstration or counter-demonstration arguments, and 3) the lectures are delivered by Indonesian ulemas. On that basis, six videos were selected which were divided into three pro-demonstrations and three counter-demonstrations. After that, the videos were transcribed using orthographic techniques to be used as data analysis. The theory used to analyze the data is the theory of Toulmin (2013). The results of this study are found differences in the submission of claims as well as sources of data and warrant that are used as the basis for determining Islamic law. Claims in pro-demonstration opinions tend to be logically implied. The data and the warrant it uses come from the second source of Islamic law, namely urf and marshalah mursalah. Meanwhile, the claims in the counter-demonstration opinion are straightforward with data and warrant derived from the Qur'an and hadith."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Sarah Sofyaningrat
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi ulama dalam media daring Kompas menggunakan pendekatan analisis wacana berbasis korpus (Baker, 2006) yang memadukan analisis wacana kritis (Fairclough, 1995), transitivitas (Halliday, 2014), dan linguistik korpus (Stubbs, 2001; Sinclair, 2003; Scott & Tribble, 2006). Representasi ulama diperoleh dengan metode kata kunci, kolokasi, dan transitivitas. Objek penelitian ini adalah berita-berita mengenai ulama dalam Kompas daring pada laman KOMPAS.com dan KOMPAS.id pada periode Januari 2017 hingga April 2019. Hasil penelitian menggunakan metode kata kunci menunjukkan bahwa berita-berita yang terkait ulama dalam Kompas daring memuat topik-topik (1) politik, (2) kelompok, (3) penodaan agama, dan (4) pendidikan. Kemudian, hasil penelitian menggunakan metode kolokasi menunjukkan ulama yang direpresentasikan sebagai tokoh yang (1) memiliki pengaruh pada politik dan pemerintahan, (2) memiliki kuasa, (3) bagian dari kelompok, (4) terkait dengan isu penganiayaan, penyerangan, dan kriminalisasi, serta (5) berkaitan dengan pendidikan. Terdapat 6 proses transitivitas yang dianalisis dalam klausa-klausa dalam KBU, yaitu proses material, perilaku, mental, verbal, relasional, dan eksistensial. Pada proses material dan verbal sebagai proses yang ditemukan paling banyak dalam korpus berita ulama ditemukan bahwa tokoh pemerintahan mendominasi sebagai aktor dan penutur dalam klausa-klausa, sedangkan ulama lebih banyak menjadi tujuan dalam klausa-klausa tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa ulama menjadi objek dari politisasi. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Kompas daring, representasi ulama yang dominan ditampilkan berkaitan dengan politik dan pemerintahan.

This study aimed to find out the representation of Ulamas (ulemas) in Kompas online media using a corpus-based critical discourse analysis approach (Baker, 2006) that combines critical discourse analysis (Fairclough, 1995), transitivity (Halliday, 2014), and corpus linguistics (Stubbs, 2001; Sinclair, 2003; Scott & Tribble, 2006). The representation of Ulamas was obtained by the method of keywords, collocation, and transitivity. The object of this research is the collection of news about ulama in Kompas online on KOMPAS.com and KOMPAS.id in the period of January 2017 to April 2019. The result using the keyword method showed that the news related to Ulamas in Kompas online contained topics of (1) politics, (2) groups, (3) blasphemy, and (4) education. Furthermore, the result of the study using the collocation method showed that the ulemas were represented as figures who (1) have influence on politics and government, (2) have power, (3) part of groups, (4) related to issues of persecution, assault, and criminalization, and (5) related to education. There are 6 transitivity processes that were analyzed in this research, those were material, behavioral, mental, verbal, relational, and existential processes. In the material and verbal process as the dominant processes found in the corpus of Ulamas, it was found that government dominated as actor and sayer in clauses, while Ulamas became the goal in the clauses. This shows that Ulamas are represented as the object of politicization. The finding of this study indicate that in Kompas online, the representation of the Ulamas is portrayed dominantly as figures who have relation to politics and government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T54334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Burhan Wijaya
"Penelitian ini mengungkap bahwa prajurit marinir yang di-BKO-kan (diperbantukan) ke Polri dalam menangani aksi mahasiswa (yang berubah menjadi aksi massa) sebetulnya mendapat tugas baru yang bertentangan dengan tugas pokoknya, sehingga mereka mengalami konflik peran. Deutsch (1973) menyatakan bahwa suatu konflik dapat terjadi kapanpun bila aktivitas yang saling bertentangan terjadi. Prajurit marinir besar kemungkinan pada awalnya merasa stres dengan tugas baru tersebut, seperti yang dikatakan oleh Kahn (1964) bahwa stres kerja dapat disebabkan karena terdapat hambatan dalam menjalankan peran pada pekerjaannya. Agar prajurit marinir tetap dapat melaksanakan tugasnya maka mereka melakukan perilaku coping. Lazarus (1991) mendefinisikan coping yang merupakan upaya kognisi dan perilaku yang khusus mengatur tuntutan-tuntutan internal atau eksternal yang dinilai individu sebagai situasi yang membebani. Kenyataan yang ada menggambarkan bahwa pada saat prajurit marinir menjalankan tugas tersebut mampu melaksanakan dengan baik dan mendapat simpati dari masyarakat.
Peneliti menduga bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan prajurit marinir berhasil menjalankan tugasnya. Diduga terdapat 3 faktor yang berperan dalam keberhasilan tersebut, yaitu faktor identitas kelompok atau semangat korsa atribusi atau cara penanganan dan aktualisasi diri. Pada identitas kelompok, bahwa kelompok merupakan bagian dari individu dan adanya proses psikologis juga akan membentuk perilaku kelompok (Hogg & Abrams, 1990). Untuk atribusi, menurut Jones & Davis (1965) selalu terdapat prekondisi. Ada 2 kondisi yang spesifik, yang pertama aktor (dalam bertindak) harus memiliki pengetahuan perilaku yang diobservasi dan yang kedua memiliki kemampuan untuk menampilkannya. Sedangkan aktualisasi diri menurut Erich Fromm (1993) bahwa orang yang mampu mengaktualiasikan diri dengan baik salah satunya adalah mampu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap dirinya dan mampu bersikap lebih menghargai pada orang lain, bukannya mengambil sikap yang bertentangan.
Pembuatan alat ukur diperoleh dari hasil elisitasi terhadap beberapa anggota marinir yang memenuhi persyaratan. Setelah dilakukan uji coba maka alat ukur yang digunakan adalah dalam bentuk kuesioner yang mengukur faktor identitas kelompok, atribusi dan aktualisasi diri. Sedangkan faktor standar keberhasilan diperoleh dari kuesioner yang dibuat oleh Tracy (1981).
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, subyek adalah Brigade infanteri BS Marinir jakarta dan Brigade infanteri-1 Marinir Surabaya. Pemilihan sampel ini atas dasar asumsi bahwa pasukan infanteri seringkali diperbantukan menangani aksi unjuk rasa dan pasukan tersebut tergolong pasukan yang paling siap untuk diterjunkan di lapangan karena keberadaan mereka di garis paling depan. Jumlah sampel adalah 211 responden. Untuk mendapatkan faktor-faktor berdasarkan dugaan peneliti maka dilakukan analisis faktor. Sedangkan untuk menguji validitas dan reliabilitas item-item dalam kuesioner digunakan perhitungan internal consistency dan tehnik reliabilitas Cranbach Alpha, sedangkan untuk melihat masing-masing sumbangan variabel digunakan analisis regresi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya 4 faktor yang berperan memberikan pengaruh pada standar keberhasilan yaitu: faktor atribusi, identitas kelompok, eksistensi (aktualisasi diri) dan persepsi terhadap tugas. Adapun faktor yang memberikan sumbangan terbesar adalah atribusi dan identitas kelompok. Untuk penelitian berikutnya, disarankan membandingkan dengan aparat lain selain marinir agar dapat ditemukan dan ditegaskan faktor-faktor temuan lain yang lebih berperan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T9719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lapalonga, Jackson A.
"Tesis ini tentang penanganan demonstrasi oleh pasukan pengendali massa (Dalmas) Polres Metro Jakarta Pusat. Dengan perhatian utama strategi tindakan penertiban demonstrasi oleh Pasukan Dalmas dan kecenderungan penggunaan kekerasan dalam menangani demonstrasi mahasiswa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode etnografi dengan tehnik pengumpulan data secara pengamatan terlibat, pengamatan dan wawancara dengan pedoman untuk mengungkapkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pasukan Dalmas dalam menertibkan dan mengendalikan demonstrasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pengamanan demonstrasi oleh pasukan Dalmas adalah hasil dari strategi kepemimpinan yang dilakukan Kapolres berdasarkan situasi yang dihadapi dan informasi mengenai ciri dan karakter demonstran. Tindakan massa demonstran yang sudah mengarah pada sikap agresif dan destruktif serta tidak terkendali membuat pasukan Dalmas mengambil sikap dan tindakan keras untuk menertibkannya. Tindakan penertiban ini cenderung menimbulkan bentrokan antara polisi dan demonstran. Tindakan pemaksaan kehendak dengan dorong mendorong, melakukan pelanggaran hukum dan tindakan yang memancing emosi pasukan Dalmas merupakan upaya untuk memancing polisi bertindak. Faktor internal kepolisian adalah kurangnya latihan dan pengendalian diri pasukan Dalmas dan faktor eksternal dari demonstran adalah tindakan atau aksi yang melanggar hukum. Demonstrasi yang berlangsung tidak murni karena merupakan suatu bentuk ekspresi dari pemaksaan kehendak oleh massa hanya untuk menarik perhatian publik dan mendapatkan pengakuan terhadap gerakannya.
Daftar Kepustakaan : 26 buku"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11104
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdo Nefisco
"Penelitian mengenai Polisi dan Unjuk Rasa Anarkis di Jakarta bertujuan untuk menunjukkan penanganan unjuk rasa yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Selatan yang dilakukan oleh satuan dalmas dalam rangka meredam aksi anarkis yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa saat menyampaikan aspirasinya di muka umum dengan baik dan tidak melakukan pelanggaran hak asasi man usia.
Unjuk rasa yang terjadi di Jakarta Selatan dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari masyarakat Jakarta Selatan sendiri dan masyarakat yang berasal dari Iuar wilayah Jakarta Selatan seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan dan luar pulau Jawa. Aspirasi yang disampaikan meliputi masalah tenaga kerja, korupsi, hak asasi manusia dan lain - lain.
Unjuk unjuk rasa anarkis yang dilakukan oleo Front Persatuan Rakyat Papua Barat ( Front Pepera - PB ) yang dipimpin oleh Arkilus di kantor Freeport Gedung Plaza 89 JI. Rasuna Said Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan dengan tuntutan agar dilakukan penutupan secara total kegiatan produksi PT. Freeport Indonesia di Papua Barat dan Laskar Pembela Islam ( LPT ) yang dipimpin oleh Ustadz Mustiin dengan tuntutan agar majalah Playboy ditarik peredarannya di masyarakat dalam waktu 3 x 24 jam merupakan suatu bentuk tindakan melanggar hukum dan tidak sejalan dengan semangat reformasi.
Dalam menangani unjuk rasa damai dan anarkis yang terjadi di wilayah hukum Jakarta Selatan, satuan dalmas mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku. Penanganan unjuk rasa yang dilakukan oleh satuan dalmas Pokes Metro Jakarta Selatan masih bersifat sesaat, reaktif dan melakukan tindakan represif saat kegiatan unjuk rasa mengarah pada tindakan anarkis. Tindakan represif dilakukan oleh satuan dalmas sebagai reaksi spontan dan balasan terhadap aksi anarkis yang dilakukan pengunjuk rasa.
Penanganan unjuk rasa anarkis oleh satuan dalmas Polres Metro Jakarta Selatan dengan menggunakan personal yang terbatas sehingga hal ini sangat mempengaruhi efektifitas penanganan di lapangan. Anggota dalmas yang terlibat dalam penanganan unjuk rasa anarkis tidak semuanya memiliki pendidikan khusus mengenai dalmas tetapi hanya melalui pelatihan secara rutin di Mako Pokes yang dilaksanakan secara internal sehingga pemahaman terhadap kegiatan. unjuk rasa masih dilihat sebagai gangguan kamtibmas bukan sebagai proses demokrasi yang sedang berjalan.
Walaupun masih terdapat keterbasan yang dimiliki oleh satuan dalmas Polres Metro Jakarta Selatan dalam menangani unjuk rasa anarkis, namun dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya keluhan dari pengunjuk rasa tentang perlakuan anggota dalmas yang dapat mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.

This research is about police and brutal demonstration in south Jakarta which show the implementation of riot police to redeem the brutal demonstration in order to the protect the interest of the other people in the community life and avoid the violation of the human right. Demonstration in south Jakarta is done by people who live in and outside of south Jakarta area such as Depok, Tangerang, Bekasi and other area. Their aspiration is about manpower, corruption, human right and etc.
Brutal demonstration which done by Front of Unity Pepole West Papua who lead by Arkilus at Freeport office. They want that the company totally stop in west Papua because it's doesn't give the benefit for local people even though that company has operated for years. And the other brutality riot is done by Islam Defender Front They want that Playboy magazines do not distribute in the community and give 72 hours for implementing. Those actions are not same as reformation spirit and break the law.
For preventing the brutal demonstration in south Jakarta jurisdiction, the not police always point to the law in order to do right thing. Police riot do their job still in the moment, reactive and take the repressive action when the riot become worst (brutal action). They do the repressive action as the impact of spontaneous reaction from brutal demonstration. Preventing the brutal riot is done by limited personnel; it's very hard because this condition can influence the effective when they do their job in the field.
Only some of riot police personnel have the education and training about riot lesson. Some of them are given special training once in a week in the office of South Jakarta Metropolitan Police. They still face the riot as a disturbance in the community and not as democracy process. Even though the riot police of south Jakarta have debility in preventing the brutal riot but they can do their job properly without complaining from the community and avoid the violation of the human right."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 20847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Umaimah Wahid
"Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah ketika Media Industri, sebagai elemen penting untuk mengenalkan posisi tawar kaum perempuan terhadap negara,justru berperan sebagai pendukung budaya patrlarkhis yang berlaku ditengah masyarakat. Situasi menjadi semakin tidak menguntungkan bagi gerakan kaum perempuan ketika negara, yang juga memiliki kepentingan dengan media industri, memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan perselingkugan social (social conspiration) dengan media industri. Social conspiration antara negara dengan media Industri sangat mungkin terjadi terutama jika para pemilik media Industri itu adalah bagian dari masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat politik yang berkuasa.
Media Industri, sebagai sebuah lnstitusi yang memiliki Ideology kapital, memang bukan tidak mungkin dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan ide ide nya, terutama jlka mengingat bahwa Ideology kapilalis sangat menekankan pada orientasi financial (profit oriented). Orientasi financial ltu sendiri sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak sebuah media Industri mampu meraih peminat dikalangan masyarakat. Masyarakat sendiri, meski dengan pola budaya patriarkhis yang mereka miliki, sangat memiliki kepentingan akan pengetahuan yang sebagian besar dapat mereka peroleh melalui media Industri.
Rasa keingintahuan masyarakat terhadap hal hal baru maupun situasi yang sedang berkembang ditengah mereka merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk ?memaksa' media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi perjuangan mereka. Diperlukan upaya yang cerdas dan konsisten dari kaum perempuan untuk terus mengangkat lsu lsu perjuangan agar mampu bermain dalam ?arena pasar? yang laku jual agar dapat terus memaksa media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi mereka sehingga pada akhimya dapat tercipta opini publik yang lebih mendukung Ide Ide yang mereka perjuangkan. Opini publik inilah yang lalu akan menjadi salah satu instrumen penting untuk menalkan posisi tawar mereka terhadap negara.
Perjuangan counter hegemoni kaum perempuan sangat sulit dilakukan jika perjuangan dilakukan secara parsial / terpecah. Sejarah Indonesia mencatat bahwa spirit individual Kartini maupun "fighting movement" seorang Dewi sartika ternyata tidak memiliki posisi tawar signifikan untuk mengubah nilai budaya yang ada bahkan pada tataran "melintas tembok" sekalipun. Pada konsep ini jelas bahwa ?ideologi pembebasan' ternyata tidak cukup ampuh untuk menambah daya gerakan melainkan sebuah kebersamaan visi dan misi dari seluruh elemen perjuangan yang akan mampu melahirkan energi besar kaum perempuan untuk mencapai tujuan. Dan energi besar itu adalah ?collective will' dari kaum perempuan Itu sendiri. Dari sini jelas bahwa menjadlkan "collectlve will" sebagal sebuah ideologi perjuangan merupakan sebuah keharusan agar ide ide perjuangan kaum perempuan Itu memiliki energi yang konstant dan Signifikan.
Disertasi ini menggunakan metode Analisis isi Kualitatif untuk menemukan tema-tema utama yang dikandung dalam teks Kompas dan Media Indonesia yang berhubungan dengan proses perjuangan kaum perempuan meraih kuota 30 persen di Parlemen.. Untuk memahami dan mengangkat realitas dlbalik realitas yang muncul, termasuk dalam menganalisis isi kedua Media tersebut, dl pakai paradigma kritikal dengan menggunakan teori Marxist Humanist Antonio Gramsci sepertl konsep hegemonl-counter hegemonl antara masyarakat sipll dan masyarakat politlk dengan menyimak peran media massa diantara keduanya.
Beberapa temuan yang dapat disimpulkan diantaranya :
1. Sistem budaya patriarki masih berlangsung di masyarakat dan didukung oleh negara bahkan oleh sebagian perempuan itu sendiri sehingga menciptakan realitas yang merugikan kaum perempuan.
2. Kaum Perempuan butuh Ideologl yang komunal untuk menjamin kontinultas perjuangan yang memang belum selesal, dan Ideology yang dltawarkan adalah "collective wiIl", sementara kesetaraan dan keadilan gender serta ?pembebasan' Iebih merupakan tujuan.
3. Butuh upaya cerdas dan kompromis dengan nilal nilal kapitalis Industri media untuk dapat meraih dukungan media massa bagi gerakan perjuangan kaum perempuan guna menaikan posisi tawar mereka terhadap Ideology dominan negara.
4. Perjuangan kaum perempuan belum selesai. Quota 30 % hanya merupakan affirmative action menuju situasi yang Ieblh ideal bagi kaum perempuan. Gerakan counter hegemoni kaum perempuan Indonesia baru berada pada fase awal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D812
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Nawangwulan
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana tokoh anak direpresentasikan dalam drama Jepang Kotaro wa Hitorigurashi (Kotaro Lives Alone) dan melihat makna dari representasi tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori representasi Hall (1997) sebagai konsep dasar dari penelitian serta pendekatan analisis film dengan karakterisasi tokoh tertentu yang dikemukakan oleh Petrie dan Boggs (2008). Dalam menganalisis penulis juga menggunakan acuan untuk mendapatkan makna dari setiap adegan menggunakan metode pengambilan gambar, pencahayaan, dan latar yang diungkapkan Petrie dan Boggs (2008). Dalam menganalisis data, penulis menyertakan tangkapan layar dari adegan yang menampilkan tokoh anak dari segi penampilan, kehidupan anak saat tinggal seorang diri, percakapan tokoh anak dengan orang-orang di sekitarnya, dan relasi anak dengan orang tuanya. Dari hasil dari analisis ditemukan bahwa tokoh anak digambarkan sebagai tokoh yang pemberani dan mandiri, karakter mandiri dan pemberani pada tokoh anak terjadi sebagai dampak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penelantaran anak. Drama ini dapat dilihat sebagai kritik sosial terhadap isu kekerasan rumah tangga (KDRT) dan fenomena penelantaran anak oleh orang tua di Jepang.

This study aims to see how children's characthers are represented and their meaning in the Japanese drama Kotaro wa Hitorigurashi (Kotaro Lives Alone). The theory used in this research is the representation theory of Hall (1992) as the basic concept of the research and the film analysis approach characterization of certain characters proposed by Petrie and Boggs (2008). In analyzing, the author uses the reference to get the meaning of each scene using the method of taking pictures, lighting, and setting as stated by Petrie and Boggs (2008). In analyzing the data, the author includes screenshots of scenes that show the child's character in terms of appearance, the child's life when he lives alone, the conversation of the child's character with the people around him, and the child's relationship with his parents. The result found that child characters' representations are depicted as brave and independent characters. The brave and independent characters appear due to domestic violence (DV) and child neglect. This drama can be viewed as a social criticism of the domestic violence (DV) issue and the phenomenon of child neglect by parents in Japan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>