Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167377 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andhika Farhan Mahadi
"Penelitian ini mengkaji standar Full Protection and Security (FPS) dalam Bilateral Investment Treaties (BITs), dengan fokus pada perannya secara historis dalam menjamin perlindungan fisik dan kontroversi terkait perluasannya ke perlindungan hukum. Secara tradisional, FPS mewajibkan negara tuan rumah untuk melindungi investor asing dan aset mereka dari ancaman fisik, seperti kekerasan atau kerusuhan sipil. Namun, putusan arbitrase baru-baru ini telah memperluas cakupan FPS untuk mencakup keamanan hukum, yang memunculkan kritik terkait ketidakjelasan, tumpang tindih dengan standar Fair and Equitable Treatment (FET), serta beban yang berlebihan pada negara tuan rumah. Sementara kasus seperti Azurix v. Argentina dan CME v. Czech Republic mendukung interpretasi yang diperluas ini, kasus lain seperti Suez and Vivendi v. Argentina dan Infinito Gold v. Costa Rica menegaskan kembali fokus asli FPS pada perlindungan fisik, dengan menekankan pentingnya kejelasan dan kesesuaian dengan maksud historisnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa standar FPS sebaiknya tetap dibatasi pada perlindungan fisik untuk menjaga koherensi hukum dan mencegah kewajiban berlebihan bagi negara tuan rumah. Rekomendasi meliputi penentuan yang jelas tentang FPS dalam BITs di masa depan, mendorong majelis arbitrase untuk mempertahankan interpretasi tradisional, serta memastikan kewajiban yang seimbang yang menghormati otonomi regulasi negara tuan rumah. Langkah-langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kepastian hukum dan stabilitas dalam hukum investasi internasional, terutama bagi negara-negara untuk menyempurnakan BIT-nya dan menghadapi tantangan dalam Investor-State Dispute Settlement (ISDS).

This research investigates the Full Protection and Security (FPS) standard in Bilateral Investment Treaties (BITs), focusing on its historical role in ensuring physical protection and its controversial expansion to legal protection. Traditionally, FPS obligated host states to protect foreign investors and their assets from physical harm, such as violence or civil unrest. However, recent arbitral decisions have broadened FPS to include legal security, leading to criticisms of vagueness, overlaps with the Fair and Equitable Treatment (FET) standard, and undue burdens on host states. While cases like Azurix v. Argentina and CME v. Czech Republic support this expanded interpretation, others, such as Suez and Vivendi v. Argentina and Infinito Gold v. Costa Rica, reaffirm FPS's original focus on physical security, emphasizing the need for clarity and adherence to its historical intent. The study concludes that the FPS standard should remain limited to physical protection to maintain legal coherence and prevent excessive obligations for host states. Recommendations include clearly defining FPS in future BITs, encouraging tribunals to uphold its traditional interpretation, and ensuring balanced obligations that respect host states' regulatory autonomy. These measures aim to enhance legal certainty and stability in international investment law, especially for countries to refine its BITs and addressing Investor-State Dispute Settlement (ISDS) challenges."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianka Renzanova Kusuma
"Bilateral Investment Treaty (“BIT”) Indonesia dan Singapura yang dibentuk pada tahun 2005 diputuskan untuk tidak dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2016 karena Pemerintah Indonesia memilih untuk menegosiasikan BIT yang baru. Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura telah berhasil membentuk BIT dengan ketentuan yang jauh berbeda dibandingkan dengan BIT terdahulu. Penelitian ini mencoba untuk meneliti perbandingan ketentuan dalam BIT Indonesia dan Singapura tahun 2005 dengan BIT dan Singapura tahun 2018. Selain itu, penelitian ini mencoba untuk mengetahui dampak BIT terhadap penanaman modal asing langsung di Indonesia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan tipologi deskriptif analitis yang didukung oleh studi bahan pustaka dan wawancara sebagai alat pengumpul data. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa BIT Indonesia dan Singapura tahun 2018 dirumuskan secara lebih terperinci dan jelas dan memasukan banyak safeguard di dalamnya. Selain itu, BIT diketahui tidak memiliki dampak langsung untuk mendorong nilai investasi asing di Indonesia, tetapi kehadiran BIT tetap diperlukan untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan kepercayaan investor Singapura, mendorong pembentukan iklim peraturan yang baik, dan pelengkap instrumen hukum perlindungan investasi. Saran yang dapat diberikan adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam merumuskan perjanjian investasi internasional kedepannya tetap mempertahankan rumusan perjanjian investasi yang jelas dan rinci demi menghindari penafsiran yang berbeda antara host state dengan penanam modal.

Bilateral Investment Treaty (“BIT”) between Indonesia and Singapore that was signed in 2005 was discontinued by the Government of Indonesia in 2016 because the Government of Indonesia elected to renegotiate a new BIT. In 2018, the Government of Indonesia and the Government of Singapore successfully agreed on a new BIT with new and different provisions. This research tries to do a comparative analysis on the BIT Indonesia and Singapore 2005 and BIT Indonesia and Singapore 2018. This research also looks to determine the impact of BIT on foreign direct investment. The research method of this thesis is juridical-normative with a descriptive research approach through literature review and desk study, and key informant interviews as a tool for collecting data. This research concludes that BIT Indonesia and Singapore 2018 was formulated with more details, containing explicit clauses and safeguards. This thesis also argues that BIT does not have any direct impact on increasing foreign direct investment in Indonesia. Nevertheless, the presence of BIT is still necessary and effective to provide protection of investment and increase investor confidence, encourage the creation of favourable regulatory climate, and complement other legal instruments for investment protection. In the future, the Indonesian Investment Coordinating Board (BKPM) should seek to establish international investment agreements that maintain a clear and detailed clause of investment agreements in order to avoid different interpretations between the host state and investors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmeang, Bisuk Martahan M
"

Indonesia-Australia Comprehensive Partnership Agreement (IA-CEPA) akan berkekuatan hukum tetap pada Juli 2020. Seperti perjanjian investasi bilateral pada umunya, perjanjian baru ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai hubungan antara hak-hak investor dan hak regulasi negara. Rumusan-rumusan masalah adalah 1) Bagaimana klausa Fair and Equitable Treatment dalam IA-CEPA mengatur hubungan antara investor dan negara, beserta dengan hak dan kewajiban mereka masing-masing? Dan 2) Mengingat IA-CEPA tidak mengandung klausa explisit mengenai kewajiban investor, apakah ada klausa-klausa lain yang membatasi klaim investor dalam rangka mencapai keseimbangan hak dan kewajiban para pihak secara substantif? Riset dilakukan secara Doctrinal Legal Research dan menggunakan metode-metode komparatif. Kesimpulannya adalah, IA-CEPA tidak memiliki inovasi yang signifikan dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban para pihak di dalam perjanjian investasi bilateral. Namun, IA-CEPA telah mengimplementasikan doktrin Clean Hands untuk menghindari klaim investor yang mungkin illegal. Secara keseluruhan, IA-CEPA masih merefleksikan perjanjian investasi bilateral pada umunya dan tidak mengkontribusikan inovasi signifikan.

 


The Comprehensive Partnership Agreement (IA-CEPA) between Indonesia and Australia will enter into force in July 2020. Similar to any newly ratified bilateral investment treaty, it arises questions towards investors rights and the states right to regulate. The research questions are 1) How does the Fair and Equitable Treatment clause in the IA-CEPA strikes the balance between the host states’ obligations towards foreign investors on the one hand and the foreign investors’ expectations with respect to their investment in the host state on the other? And 2) Considering that IA-CEPA does not include any explicit obligations for investors, is substantive balance between investors and States achieved by placing jurisdictional conditions for foreign investor’s protection under IIA, in particular limitations of an access to Investor-State Dispute Settlement for fraudulent and illegal conduct? The form of research is a doctrinal legal research with comparative methods. The conclusions are that the IA-CEPA has not introduced significant innovations to balance the state’s right to regulate with the investors’ private rights under the treaty. However, it should be mentioned that it has managed to codify the lean hands doctrine to the text of the treaty, in order to dismiss claims for investors that may have been illegal in establishing the investment. Overall, it is still merely a reflection of the previous investment treaties and have not contributed to the development of International Investment Treaties.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamara Ratnasari Thioris
"
Tulisan ini menganalisis tentang perlindungan hukum terhadap WNA dalam kasus penyalahgunaan dana investasi. Jenis dan skala investasi beragam, begitu pula dengan hak-hak atas tanah berdasarkan kewarganegaraan. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah analisis perlindungan hukum terhadap WNA dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 173/Pid.B/2021/PN Mtr dan praktik perlindungan hukum atas dana investasi yang seharusnya diberikan atas kasus serupa di masa depan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan kasus dan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil analisis penelitian adalah agar WNA yang dirugikan dapat mendapatkan ganti rugi maka upaya yang seharusnya dilakukan oleh WNA adalah penyelesaian dengan perdata. Penyelesaian dengan pidana tidak memiliki fokus untuk mengembalikan kerugian karena dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana tidak memberikan sanksi untuk mengembalikan kerugian, dan bentuk restorasi hak yang serupa dengan kasus lain tidak dapat mengembalikan hak ekonomis WNA. Optimalisasi perlindungan hak yang dapat diberikan kepada investor WNA perlu melibatkan seluruh pihak yang terkait. Bagi investor WNA diharapkan para investor dapat melakukan riset secara mandiri dan melakukan konsultasi hukum, bagi notaris dapat memberikan penyuluhan hukum bagi para pihak investor, dan bagi Pemerintah dapat membuat aplikasi atau situs untuk membekali calon investor WNA dan dapat dilakukan optimalisasi hukum dengan dibuatnya peraturan mengenai investasi nominee.

This thesis will analyze how legal protection towards foreign citizens are exercised in cases of investment embezzlement. The types and scale of investing are diverse, and the types of land ownership rights depending on citizenships. The main topics of this thesis are analysis regarding the mishandling of legal proceeding that should have been done in Court Decision Number 173/Pid.B/2021/PN Mtr and how future legal protection on similar cases should be resolved. To answer the problems presented, this research was done with doctrinal approach method and cases approach, with explanatory research typology. The result of this research is to compensate their liability, the victim should had chosen civil law approach than penal law approach. Penal law approach does not place importance to compensate the victim’s liability and the legal protection given to other similar cases cannot be applied as it is. Legal protection should be optimized to foreign citizens for similar cases in the future, which involves every party involved in investing process. Foreign citizens should do pre-investment research and legal consultation, public notary should educate all parties, and the government should demystify investing process to foreign investors. Another suggestion is the legislator can make a new law regarding nominee investing.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Syarlitha Virgasari Sriyanto
"Klausul fair and equitable treatment FET merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap kegiatan investasi asing. Klausul FET tersebut muncul dalam hampir seluruh perjanjian penanaman modal asing antar negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Akan tetapi, klausul FET masih menjadi kontroversi karena definisi dan ruang lingkupnya yang belum diatur secara tegas dalam hukum internasional, sehingga dalam penerapannya, majelis arbitrase yang memeriksa dan memutus sengketa investasi tentang pelanggaran klausul FET menafsirkan klausul FET secara luas. Akibatnya, klausul FET dianggap hanya memihak kepada kepentingan investor asing yang mayoritas merupakan negara maju, dan merugikan kepentingan host state selaku negara yang menerima investasi, yang mayoritas merupakan negara berkembang. Oleh karena itu, diperlukan pembatasan terhadap klausul FET dengan menentukan komponen-komponen yang terkandung dalam klausul FET dan memasukannya ke dalam ketentuan-ketentuan yang lebih spesifik. Selain itu, diperlukan juga keseimbangan antara penerapan klausul FET terhadap negara maju dan negara berkembang, dengan menyesuaikan pada tahap pembangunan negara terkait.

Fair and equitable treatment FET is one of the protection clauses in foreign investment. The FET clause exists in almost all international investment agreements between countries, whether in developed countries or developing countries. However, the existence of the said clause is still an object of controversy, since the meaning and scope of the clause have not been stipulated strictly in international law. As a result, during the implementation, the arbitrators who examine and rule the investment cases regarding breach of the FET clause could interpret the clause widely, resulting in bias that the arbitrators only side with the foreign investors from developed countries, and harm the interest of host states from developing countries. Therefore, the limitation of the FET clause is needed, by deciding the components contained in the FET clause and specify the components into more specific rules. Besides, balance is also needed when implementing the FET clause between developed countries and developing countries, to adjust with the development level currently take place in related countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49485
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Hananto Seto
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana keabsahan perjanjian pinjam meminjam online ilegal, upaya perlindungan hukum terhadap debitur yang menggunakan aplikasi pinjaman Online ilegal dan upaya pemerintah dalam memberantas peredaran pinjaman Online ilegal di Indonesia, perlindungan hukum debitur melibatkan data pribadi (undang-undang), serta upaya preventif dan represif dari pemerintah. Pada dasarnya, kontrak elektronik atau digital ialah perjanjian antar pihak yang dibuat melalui sarana yang berbeda, khususnya sistem elektronik. Dengan mempergunakan metode penelitian doktriner, sumber data diperoleh dari data sekunder. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yang berdampak pada sahnya perjanjian pinjam meminjam online. Perjanjian online dengan demikian sah apabila dianggap sah karena diatur di KUH Perdata, khususnya Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata yang mengatur tentang perjanjian. Akan tetapi, Perjanjian melalui pinjaman online Ilegal tidak sah menurut hukum perjanjian dan hukum nasional. Hal itu disebabkan pinjaman online Ilegal banyak melanggar peraturan hukum nasional seperti melakukan pemerasan sesuai Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan melanggar UU ITE serta perlindungan konsumen. Pemerintah telah melakukan edukasi literasi keuangan, sosialisasi hukum, dan analisis data pinjaman online ilegal. Tindakan represif termasuk larangan, penyelidikan, identifikasi situs berbahaya, rekomendasi tindakan, dan bantuan hukum bagi debitur yang mengalami kerugian.

This article analyze the validity of illegal online lending and borrowing agreements, legal protection efforts for debtors who use illegal online loan applications and the government's efforts to eradicate the distribution of illegal online loans in Indonesia, legal protection of debtors involving personal data (law), as well as efforts preventive and repressive measures from the government. Basically, electronic or digital contracts are agreements between parties made through different means, especially electronic systems. By using doctrinal research methods, data sources are obtained from secondary data. Article 1320 of the Civil Code regulates the conditions for the validity of an agreement, which has an impact on the validity of online lending and borrowing agreements. Online agreements are therefore valid if they are inline with the Civil Code, specifically Articles 1320 and 1338 of the Civil Code which regulate agreements. However, agreements via illegal online loans are invalid according to contract law and national law. This is because illegal online loans often violate national legal regulations, such as committing extortion in accordance with Article 368 of the Criminal Code (KUHP) and violating the ITE Law and consumer protection. The government has carried out financial literacy education, legal outreach, and data analysis of illegal online loans. Repressive measures include prohibitions, investigations, identification of dangerous sites, recommendations for action, and legal assistance for debtors who experience losses."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Yulianto
"Hubungan bisnis antara induk dan anak perusahaan sudah sering terjadi, salah satunya dibidang ketenagakerjaan yaitu dengan melakukan pemindahan pekerja antar induk dan anak perusahaan. Salah satu upaya pemindahan pekerja antar perusahaan adalah dengan cara penugasan pekerja, yaitu dengan cara menugaskan pekerja dari perusahaan asal untuk bekerja pada perusahaan penerima tanpa mengakhiri perjanjian kerja dari pekerja yang ditugaskan dengan perusahaan asal. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ada ketentuan yang mengatur bagaimana pelaksanaan pemindahan pekerja antar perusahaan, sehingga dalam tulisan ini terdapat tiga rumusan masalah yaitu bagaimana ketentuan mengenai penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan, bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja yang ditugaskan selama penugasan antar induk perusahaan dan anak perusahaan, serta bagaimana ketentuan yang ideal mengenai pemindahan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian doktrinal yang memberi penjelasan secara sistematis mengenai penugasan pekerja antar perusahaan dengan cara menganilisis hubungan antar peraturan yang relevan dan memprediksi perkembangannya. Dalam penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan melibatkan tiga subyek hukum yaitu perusahaan asal, perusahaan penerima, serta pekerja yang ditugaskan. Hubungan kerja serta hak dan kewajiban antara subyek hukum dalam penugasan harus dipastikan dalam perjanjian penugasan. Karena penugasan antar perusahaan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, untuk memberikan perlindungan hukum kepada pekerja yang ditugaskan, maka ketentuan mengenai penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan harus diatur dalam kaidah otonom yang melibatkan pekerja dalam pembentukannya yaitu Perjanjian Kerja Bersama (PKB), agar terwujud hubungan industrial yang harmonis.

Business relationships between parent and subsidiary companies often occurred, including in the field of employment, especially transferring workers between parent and subsidiary companies. One way to transfer workers between companies is by assigning employees from the original company to work at the host company without terminating the work agreement between workers and the original company. It's called employee secondment. There are no provisions governing how to carry out employee secondment between companies in Indonesian regulations, so in this paper there are three problem formulations, first of all, what are the provisions regarding employee secondment between parent companies and subsidiaries? Secondly, what is the legal protection for employee secondment during intercompany secondment? And the third, what are the ideal provisions regarding the employee secondment? The research method used in this research is doctrinal research, which provides a systematic explanation of employee second-met between companies by analyzing the relationship between relevant regulations and predicting their development. The second employee meeting between parent companies and subsidiaries involves three legal subjects, namely the originating company, the receiving company, and the assigned workers. The employment relationship as well as the rights and obligations between legal subjects in the secondment must be confirmed in the secondment agreement. Intercompany secondment is not regulated by Indonesian laws and regulations, so to provide legal protection for the secondee, provisions regarding employee secondment must be regulated by autonomous rules that involve employees in its formation. The Collective Labor Agreement is the best autonomous rule in order to realize harmonious industrial relations."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathasya Victoria Ruswandana
"PT Bukit Pembangkit Innovative PT BPI merupakan sebuah Independent Power Producer IPP yang mendapatkan Power Purchase Agreement PPA ,dari PLN pada tahun 2011. PPA adalah perjanjian jual beli tenaga listrik antara IPP dan PLN selama 30 tahun. Untuk pendanaan pembangunan PLTU Mulut Tambang Banjarsari, PT BPI mengeluarkan ekuitas sebesar 30 dan BNI sebesar 70 dari biaya pembangunan PLTU. Kebutuhan pembiayaan pada proyek PLTU diberikan dalam bentuk kredit investasi secara sindikasi. Sejak dimulainya operasi komersial, timbul permasalahan dalam hal ketersediaan PLTU dan juga jaringan transmisi yang menyebabkan munculnya masalah keuangan. PT BPI mendapatkan kendala yang serius dalam pemenuhan kewajibannya mengembalikan pinjaman baik pinjaman pokok maupun bunga dari pinjaman sesuai yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit antara PT BPI dan BNI. Sehingga terjadi potensi default atau kegagalan dalam pelunasan utang baik besaran maupun waktu pelunasan pinjaman oleh PT BPI. Dalam tesis ini, telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisa mengenai kesesuaian perjanjian kredit antara PT BPI dan BNI denga nketentuan yang berlaku, menganalisa mengenai perlindungan hukum yang diberikan kepada debitur dalam klausula-klausula pada perjanjian kredit serta menganalisa mengenai perlindungan hokum bagi debitur jika terjadi resiko default yang timbul dari luar perjanjian kredit. Penelitian ini merupakan penelitian hokum normatif dengan pendekatan kasus dan pendekatan peraturan perundang-undangan yang dilakukan melalu I studi kepustakaan dengan studi dokumen atas bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa perjanjian kredit antara PT BPI dan BNI telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Namun, Klausula-klausula pada perjanjian kredit PT BPI dan BNI tidak sepenuhnya memberikan perlindungan hokum kepada debitur karena BNI masihmencantumkan klausula yang dilarang oleh Undang-Undang No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, mengenai resiko default yang timbul dari luar perjanjian kredit dalam hal ini disebabkan oleh pihak PLN, yaitu pada saat PLN tidak dapat mengambil seluruh energy yang dihasilkan PLTU karena kesalahan PLN walaupun ada perlindungan ldquo;take or pay rdquo; tapi tidak melindungi potensi kerugian karena adanya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Klausul ldquo;take or pay rdquo;menyatakan bahwa jika PLN tidak dapat membeli listrik sesuai dengan jumlah yang disediakan oleh IPP maka PLN diharuskan untuk membayar minimal 80 dari listrik yang diproduksi.

PT Bukit Pembangkit Innovative PT BPI is anIndependent Power Producer IPP which has been awarded aPower Purchase Agreement PPA by PLN on 2011. The PPA is a contract or agreement between an IPP and PLN to sell the electricity power for the period of 30 years. To finance the development of Mine Mouth Power Plant of PLTU Banjarsari 2 x 110 MW, PT BPI uses the structure of Debt to Equity ratios of 75 to 25 . It means that PT BPI has to put the equity as much as 30 of the total project cost and the 70 of project cost was financed by the loan from lender. This loan needed to finance the project is given by a syndication bank as stated in the loan agreement. Started from the commercial operation there is a problem of the availability of the power plant and also the performance of the transmission line which has resulted the financial problem. PT BPIhas faced a serious problem in the process of repayment of the loan including the interest of the loan. This problem lead to a potential default or the failure in returning the money that has been borrowed by PT BPI. In this thesis, a thoroughly study has been executed, in order to analyse in depth concerning the compliance of the loan agreement to the valid law and regulation related to such agreement. Also it has been studied all the clauses in accordance with the legal protection for the debtor if there is a default that arisen outside of the loan agreement. This study is a normative study with the case to case approaches and also by the valid regulation approach which is done through the literature study, with the study through all of the legally related documents which can be categorized as primary, secondary and tertiary documents. The results of the study and research has shown that the loan facility agreement between PT BPI and BNI is in compliance with the valid law and regulation however its clauses of the loan agreement has not given all the complete legal protection to the debtor, because BNI still incorporated a clause that is prohibited by the Law Number 8 1999 concerning Consumer Protection and POJK Number 1 POJK.07 2013 concerning Consumer Protection in Financial Services Authority, concerning the default risks that arise from the outside of the loan agreement. In this case because of the default caused by PLN whenever PLN can not take the whole energy because their fault, there will be an opportunity lose for IPP. Even though there is the so called ldquo take or pay rdquo clause in which whenever PLN could not take the power as stated in the contract, PLN must pay the amount of 80 from the availability of the power plant to ensure the IPP will still pay the loan to the bank.So the ldquo take or pay rdquo clause is a kind of protection for the Bank. Also for the Bank itself there is a protection in which as stated in the loan agreement ie. the pledge of shares agreement in which the Share Holders of IPP will pledge all of their share in the IPP."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Nuswantari
"Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas harta kekayaan yang dipisahkan dengan tujuan social, keagamaan dan kemanusiaan. Dengan diundangkannya Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, sudah seharusnya yayasan dijalankan dengan prinsip non-profit oriented. Pokok Permasalahan yang dibahas dalam penulisan tesis ini adalah perlindungan hukum terhadap harta kekayaan yayasan yang tidak berstatus sebagai badan hukum, perlindungan terhadap harta kekayaan yayasan yang telah berstatus sebagai badan hukum dan perlindungan terhadap harta kekayaan yayasan berdasarkan Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004,serta penerapan asas keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan harta kekayaan yayasan.
Penulisan ini menggunakan metode yuridis normative yaitu menitikberatkan pada peraturan yang berlaku, referensi dan literature-literatur serta pelaksanaan peraturan dalam prakteknya. Dari hasil penelitian ini ditemukan dalam praktek bahwa dengan diundangkannya Undang-undang nomor 16 tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004 sebenarnya harta kekayaan yayasan mendapatkan perlindungan hukum dari Undang-undang Yayasan tersebut. Untuk itu masih dibutuhkan peran aktif yang terkait kepada masyarakat dan juga kepada instansiinstansi yang terakut dengan permasalahan ini agar amanat Undang-undang dapat tercapai.

The Foundation is a legal entity consisting of separated assets with social purpose, religious and humanitarian. With the promulgation of Law No.16 Year 2001 Jo. Act No.28 of 2004 on Foundation, it has become a necessity that the foundation should be opearated using the principle of non-profit oriented. Subject to be discussed in this writing is about legal protection of Foundation?s assets as a non legal entity, as a legal entity and based on Law No.16 Year 2001 Jo. Act No. 28 of 2004 on Foundation.
This writing method is using the judicial normative which focuses on promulgation of Law No.16 Year 2001 Jo. Act No. 28 of 2004 on Foundation, Foundation?s assets actually get the legal protection of the Laws that apply Foundation. For it is still needed a very active role of government to socialize the law Foundation and other regulations related to society, to the agencies associated with the foundation so that the mandates of the Law can be achieved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31404
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Sofiyah
"Kepastian dan perlindungan hukum bagi kreditur dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menjadi isu penting, terutama setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor: 2/PUU-XIX/2021. Putusan tersebut memberikan dampak signifikan terhadap mekanisme eksekusi jaminan fidusia di Indonesia, khususnya dalam menyeimbangkan hak-hak kreditur dan debitur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kedua putusan tersebut terhadap kepastian hukum dan perlindungan bagi kreditur dalam praktik eksekusi jaminan fidusia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, serta putusan pengadilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 18/PUU-XVII/2019, ditegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia oleh kreditur hanya dapat dilakukan apabila terdapat kesepakatan terkait wanprestasi antara kreditur dan debitur atau melalui penetapan pengadilan. Sementara itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 2/PUU-XIX/2021 memperkuat perlindungan terhadap debitur dengan memastikan adanya mekanisme keberatan dalam proses eksekusi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua putusan tersebut mengubah orientasi eksekusi jaminan fidusia dari yang sebelumnya berfokus pada kepentingan kreditur menjadi lebih berimbang dengan memperhatikan hak debitur. Namun, perubahan ini memunculkan tantangan berupa potensi keterlambatan dan peningkatan biaya eksekusi. Oleh karena itu, diperlukan penyusunan regulasi yang lebih komprehensif untuk memastikan kepastian hukum bagi kreditur sekaligus melindungi hak-hak debitur. Kesimpulannya, Putusan Mahkamah Konstitusi menghadirkan reformasi hukum yang penting dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Namun, harmonisasi regulasi tetap diperlukan untuk mewujudkan keseimbangan antara kepastian hukum bagi kreditur dan keadilan bagi debitur.

Legal certainty and protection for creditors in the execution of fiduciary guarantees have become significant issues, particularly following the Constitutional Court Decisions No. 18/PUU-XVII/2019 and No. 2/PUU-XIX/2021. These decisions have significantly impacted the mechanism for executing fiduciary guarantees in Indonesia, especially in balancing the rights of creditors and debtors. This study aims to analyse the influence of these decisions on legal certainty and creditor protection in fiduciary guarantee executions. This research employs a normative juridical approach, referencing statutory regulations, legal doctrines, and court rulings. Constitutional Court Decision No: 18/PUU-XVII/2019 stipulates that the execution of fiduciary guarantees by creditors can only be conducted if there is an agreement on default between the creditor and debtor or through a court ruling. Meanwhile, Constitutional Court Decision No: 2/PUU-XIX/2021 reinforces debtor protection by ensuring an objection mechanism during the execution process. The analysis reveals that these decisions have shifted the orientation of fiduciary guarantee executions from being creditor-centric to a more balanced approach that considers debtor rights. However, this shift introduces challenges, including potential delays and increased execution costs. Therefore, comprehensive regulatory reform is necessary to ensure legal certainty for creditors while protecting debtor rights. In conclusion, the Constitutional Court Decisions represent significant legal reforms in fiduciary guarantee executions. However, regulatory harmonization is still required to achieve a balance between legal certainty for creditors and fairness for debtors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>