Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169457 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Verrel Wibisono Surjatin
"Latar Belakang Kateterisasi jantung adalah prosedur diagnostik atau terapeutik yang penting bagi pasien penyakit jantung bawaan (PJB). Meskipun prosedur ini efektif, prosedur ini mempunyai risiko komplikasi dengan minimnya informasi yang dipublikasikan dari negara-negara berpendapatan menengah ke bawah di Asia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian komplikasi mayor saat kateterisasi jantung pada pasien PJB di pusat rujukan nasional di Indonesia. Metode Data cross-sectional pasien anak PJB yang menjalani kateterisasi jantung dengan anestesi umum pada bulan Januari 2020 hingga Februari 2022 di Pelayanan Jantung Terpadu, rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dikumpulkan melalui rekam medis. Data yang dikumpulkan meliputi demografi pasien, jenis PJB, laporan prosedur, dan komplikasi. Kami meninjau dan menjelaskan data kateterisasi jantung anak untuk PJB selama periode 14 bulan. Hasil Tercatat sebanyak 179 prosedur kateterisasi jantung, dengan total 13 komplikasi yang terjadi pada 9 (5,0%) kasus. Dari jumlah tersebut, 7 merupakan komplikasi mayor, yang terjadi pada 5 (2,79%) prosedur. Komplikasi mayor meliputi bradikardia, desaturasi dan hipotensi yang menyebabkan upaya resusitasi atau pemindahan ke unit perawatan intensif jantung (CICU), serta aritmia, dan hipoksemia berat. Komplikasi minor terjadi pada 4 tindakan (2,23%). Komplikasi mayor lebih sering terjadi pada penyakit jantung bawaan yang kompleks dan memiliki median usia dan berat badan yang lebih rendah dibandingkan prosedur tanpa komplikasi. Kesimpulan Insiden prosedur dengan komplikasi mayor selama kateterisasi jantung untuk PJB dengan anestesi umum dalam penelitian ini adalah 2,79%, hal ini konsisten dengan studi lain. Komplikasi mayor masih dapat terjadi dalam prosedur diagnostik, hal ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam penempatan staf, persiapan, dan pemantauan peri-prosedural, terutama pada pasien berisiko tinggi dan penyakit jantung bawaan kompleks.

Introduction Cardiac catheterisation is an essential diagnostic and therapeutic tool in patients with congenital heart disease (CHD). While it is effective, the procedure carries a risk of complications, with little information published from low-middle income countries in Asia. This study aimed to investigate the incidence of major complications during cardiac catheterisation in patients with CHD at a national referral centre in Indonesia. Method Cross sectional data for paediatric patients with CHD who underwent cardiac catheterisation under general anaesthesia from January 2020 to February 2022 at Pelayanan Jantung Terpadu, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, were collected via medical records. Data on patient demographics, types of CHD, procedural details, and complications were collected. We review and describe the data on paediatric cardiac catheterisations for CHD over a period of 14 months. Results A total of 179 cardiac catheterisation procedures were recorded, with a total of 13 complications which occurred in 9 (5.0%) cases. Of these, 7 were major complications, which occurred in 5 (2.79%) procedures. Major complications included bradycardia, desaturation and hypotension leading to resuscitation efforts or transfer to cardiac intensive care unit, as well as arrhythmias, and severe hypoxemia. Minor complications occurred in 4 procedures (2.23%). Major complications occurred more often in complex congenital heart disease cases and had a lower median age and weight relative to procedures without complications. Conclusion The incidence of procedures with major complications during cardiac catheterisation for CHD under general anaesthesia in this study was 2.79%, which is consistent with other studies. Major complications can still occur in diagnostic procedures, highlighting the importance of careful staffing, preparation and peri-procedural monitoring, especially in higher risk patients and complex congenital heart disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prasojo
"Pendahuluan: Kembar siam adalah gangguan kongenital yang langka dengan insiden 1/50.000 hingga 1/500.000 kelahiran di seluruh dunia.1 Operasi pemisahan adalah pengobatan utama yang memiliki tingkat kematian tinggi hingga 60%. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kembar siam memiliki tingkat kejadian penyakit jantung kongenital hingga 66%, dengan kejadian tertinggi terlihat pada kembar siam thorakopagus.2 Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara penyakit jantung kongenital (PJK) dan mortalitas kembar siam setelah operasi pemisahan.
Metode: Kami melakukan studi retrospektif, pada semua pasien kembar siam yang menjalani operasi pemisahan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dari tahun 2009 hingga 2022. Dua puluh enam subjek ditemukan telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kami. Kompleksitas penyakit jantung kongenital didefinisikan oleh klasifikasi kompleksitas penyakit Bethesda. Hubungan antara kompleksitas PJK dan mortalitas dalam satu tahun pada pasien kembar siam yang menjalani operasi pemisahan dianalisis menggunakan uji Fisher.
Hasil: Penyakit jantung kongenital terjadi pada kembar omfalopagus di RSCM. Tingkat kematian kembar siam dengan PJK yang menjalani operasi pemisahan di pusat kami adalah 40%, menunjukkan tidak adanya korelasi signifikan antara PJK dan mortalitas setelah operasi pemisahan, (p= 0,369).
Kesimpulan: Kembar siam dengan PJK tidak menunjukkan korelasi dengan tingkat mortalitas setelah operasi pemisahan dalam studi awal ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan lebih banyak subjek untuk mendapatkan hasil yang lebih konklusif.

Introduction: Conjoined twins are a rare congenital disorder with an incidence of 1/50.000 up to 1/500.000 births around the world.1 Separation surgery is the mainstay treatment which yields a high mortality rate of up to 60%. Previous studies show conjoined twins have a high incidence of congenital heart disease up to 66%, with the highest incidence evident in thoracopagus conjoined twins.2 This study aimed to evaluate the relationship between congenital heart disease (CHD) and conjoined twins mortality after separation surgery.
Methods: We performed a retrospective study, on all conjoined twin patients who underwent separation surgery in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) from 2009 until 2022. Twenty-six subjects were found to have fulfilled our inclusion and exclusion criteria. Congenital heart disease complexity was defined by Bethesda disease complexity classification. The relationship between CHD complexity within one-year mortality in conjoined twins patients who underwent separation surgery was analysed using Fischer’s exact test.
Results: Congenital heart disease occurs in omphalopagus twins in CMH. The mortality rate of conjoined twins with CHD who underwent separation surgery in our centre was 40%, showing no significant correlation between CHD and mortality after separation surgery, (p= 0,369).
Conclusion: Conjoined twins with CHD showed no correlation to mortality rates following separation surgery in this preliminary study. Further research is needed with more subjects to make more conclusive results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Armanda Zaintama
"Sekitar 1% anak terlahir dengan penyakit jantung bawaan (PJB). Sebagian akan memerlukan kateterisasi jantung baik diagnosis maupun terapeutik. Prosedur ini memerlukan kooperasi pasien dan imobilisasi sehingga dibutuhkan anestesia yang mungkin berulang. Penelitian ini bertujuan melihat efek anestesia umum terhadap fungsi kontraktilitas jantung anak dengan PJB. Kontraktilitas jantung dilihat dari fraksi ejeksi dan TAPSE yang diukur dengan ekokardiografi. Pengukuran dilakukan sebelum anestesia umum, 5 menit pascaintubasi dan akhir tindakan kateterisasi. Metode penelitian kohort observasional dengan consecutive sampling telah dilakukan. Analisis dilakukan terhadap 42 anak berusia 6 bulan hingga 18 tahun dengan PJB yang menjalani kateterisasi jantung dalam anestesia umum pada periode Juni – Agustus 2018. Uji T-test berpasangan dilakukan untuk analisis perubahan fraksi ejeksi dan TAPSE dan analisis multivariat untuk melihat pengaruh usia, jenis PJB, lama dan jenis tindakan kardiologi terhadap perubahan kontraksi. Perubahan fraksi ejeksi turun bermakna pada 5 menit pascaintubasi dan akhir tindakan kardiologi dan TAPSE turun bermakna hanya pada 5 menit pascaintubasi. Pengaruh usia, jenis PJB, lama dan jenis tindakan kardiologi tidak bermakna terhadap perubahan fraksi ejeksi dan TAPSE. Dengan demikian diharapkan kewaspadaan dalam penanganan pasien PJB, termasuk ketika memberikan informasi sebelum persetujuan tindakan medis (informed consent), dan jika memungkinkan menghindari tindakan anestesia umum yang berulang.

Approximately 1% of children borned with congenital heart disease (CHD). Some will require cardiac catheterization which repeated anesthesia may be needed. This study aims to see the effect of general anesthesia on the cardiac contractility in children with CHD. Cardiac contractility seen from ejection fraction and TAPSE as measured by echocardiography. Measurements were taken before general anesthesia, 5 minutes post-intubation and at the end of the catheterization. An observational cohort with consecutive sampling was conducted. Analysis was carried out on 42 children aged 6 months to 18 years with CHD who underwent cardiac catheterization under general anesthesia in the period June - August 2018. Paired T-test was performed to analyze changes in ejection fraction and TAPSE and multivariate analysis to analyze the effect of age, type of CHD, duration and type of cardiology intervention. Ejection fraction decreased significantly at 5 minutes post-intubation and at the end of cardiology intervention and TAPSE decreased significantly only at 5 minutes post-intubation. Changes of contratility was not significant affected by age, type of CHD, duration and type of cardiology intervention. Therefore, alertness in handling patients with CHD is expected, including when providing information prior to informed consent, and if possible avoid repeated general anesthesia."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latifa Hernisa
"ABSTRAK
Latar belakang: Kardioplegia merupakan komponen penting dalam proteksi miokard operasi jantung. Meskipun telah banyak penelitian yang mencoba membuktikan keunggulan kardioplegia darah dibanding kardioplegia kristaloid, namun kesepakatan kardioplegia terbaik untuk operasi jantung bawaan asianotik belum tercapai. Metode: Penelitian eksperimental dengan simple randomization pada 54 populasi pasien VSD, AVSD dan gangguan katup mitral yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 24 pasien kelompok crystalloid cardioplegia CC sebagai kontrol, dan 30 pasien kelompok blood cardioplegia BC . Dilakukan pemeriksaan selisih kadar laktat darah arteri dan sinus koronarius, serta ekstraksi oksigen koroner segera, menit ke-15 dan menit ke-30 setelah CPB dihentikan. Dilakukan observasi terhadap durasi ventilasi mekanik, penggunaan inotropik, aritmia jantung, lama rawat icu dan lama rawat rumah sakit. Hasil: Selisih kadar laktat darah dan ekstraksi oksigen koroner tidak berbeda bermakna p>0,05 . Pada pasien tutup VSD, penggunaan intoropik lebih sedikit pada kelompok BC. Pasien tanpa inotropik kelompok BC dan CC yaitu 9/25 dan 2/22, 1 jenis inotropik 12/25 dan 13/22, dan lebih dari satu jenis inotropik 4/25 dan 7/22

ABSTRACT
Backgrounds Cardioplegia is an important myocardial protection in cardiac surgery. Many studies conducted to prove blood cardioplegia rsquo s superiority to crystalloid cardioplegia, but no agreement established for which cardioplegia is the best for acyanotic cardiac surgery. Methods Experimental study with simple randomization in 54 VSD, AVSD, and mitral valve disease patients, 24 crystalloid cardioplegia CC , and 30 blood cardioplegia BC . Lactate levels in arterial blood and coronary sinus, also coronary oxygen extractions were measured immediate, 15 and 30 minutes after CPB deactivated. Postoperative mechanical ventilation durations, inotropic administrations, arrhytmias, ICU and hospital length of stay were observed. Results No significant difference in the difference of lactate levels and coronary oxygen extractions immediate, 15 and 30 minutes after CPB P 0.05 . Less inotropics needed in VSD closure patients in BC group. No inotropic needed in 9 25 BC group to 2 22 in CC group, 1 inotropic needed in 12 25 BC group to 13 22 in CC group, and more than 1 intropic needed in 4 25 BC group to 7 22 in CC group p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ace Trantika
"Pemberian air susu ibu ASI merupakan bentuk pemberian makanan yang paling disarankan untuk semua bayi, termasuk bayi dengan kebutuhan medis khusus seperti penyakit jantung bawaan. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan perilaku pemberian ASI pada 165 ibu yang memiliki bayi penderita penyakit jantung bawaan. Metode penelitian menggunakan survey deskriptif kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan kuesioner pemberian ASI dan kuesioner perilaku pemberian ASI yang dimodifikasi dari penelitian Rickman 2017. Pemberian ASI eksklusif pada bayi penderita penyakit jantung bawaan hanya sebesar 36,4. Responden berusia 21-39 tahun tidak memberikan ASI eksklusif, begitupun dengan responden berpendidikan tinggi, tidak bekerja, berpendapatan cukup, multipara, dan berpengetahuan baik. Berdasarkan riwayat persalinan, responden yang melahirkan di fasilitas kesehatan, melahirkan secara sesar, melakukan inisiasi menyusu dini IMD. dan yang dirawat gabung tidak memberikan ASI eksklusif. Pada variabel dukungan sosial, responden yang mendapat dukungan suami dan ibu/mertua tidak memberikan ASI ekslusif. Sebanyak 62,2 bayi penderita kelainan asianotik dan 65,3 bayi penderita kelainan sianotik tidak mendapatkan ASI eksklusif. Kondisi medis bayi yang menyebabkan kendala menyusu pada bayi merupakan faktor utama tidak berhasilnya pemberian ASI eksklusif pada bayi penderita penyakit jantung bawaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tenaga kesehatan kurang memberikan motivasi dan dukungan pada responden untuk memberikan ASI secara eksklusif. Hasil studi ini dapat menjadi informasi untuk menerapkan konseling ASI yang efektif dan tenaga kesehatan diharapkan mampu memberikan dukungan dan motivasi pada ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya.

Breastfeeding is the most recommended feeding for all infants, including infants with special medical needs such as congenital heart disease. This study aims to describe the breastfeeding behavior in 165 mothers who have infants with congenital heart disease. This research method used. quantitative descriptive survey. Data were collected using. modified breastfeeding and breastfeeding behavior questionnaire from Rickman 2017 study. Exclusive breastfeeding in infants with congenital heart disease is only 36.4. Respondents aged 21 39 years old did not provide exclusive breastfeeding, as did high educated, unemployed, fair income, multiparent, and knowledgeable respondents. Based on the history of labor, respondents who gave birth at. health facility, delivered by cesarean section, initiated breastfeeding, and who were treated together with their infants did not provide exclusive breastfeeding. In social support variables, respondents who have the support of husband and mother mother in law did not provide exclusive breastfeeding. As many as 62.2 of infants with asianotic abnormalities and 65.3 of infants with cyanotic abnormalities were not exclusively breastfed. The infant 39. medical condition that causes breastfeeding difficulties in infants is. major factor in the failure of exclusive breastfeeding in infants with congenital heart disease. The results also show that health workers less motivation and support to respondents to exclusively breastfeed. The results of this study can become an information to implement effective breastfeeding counseling and health workers are expected to provide support and motivation in mothers to exclusively breastfeed their babies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thiara Maharani Brunner
"Latar Belakang: Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko perdarah pasca-operasi cardiopulmonary bypass (CPB) yang tinggi .Pada CPB, heparin digunakan sebagai antioagulan, dikembalikan dengan protamine sulfat dan diukur menggunakan activated clotting time (ACT). Heparin dapat menginduksi perdarahan dan protamine sulfat berlebih dapat berperan sebagai antikoagulan. Penelitian mengenai hubungan antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi belum diteliti pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Tujuan: Untuk menilai korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian descriptive-analytical, dengan metode cross-sectional. Pasien berusia 0 hingga 17 tahun, memiliki penyakit jantung bawaan sianotik, dan menjalani operasi jantung terbuka elektif disertakan dalam penelitian ini. Sebanyak 100 rekam medis dari Januari 2016 hingga Maret 2018 di CMGH digunakan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mencari korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca-pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi.
Hasil: Terdapat korelasi positif antara dosis awal heparin dengan perdarahan pasca-operasi (p=0,011). Korelasi antara ACT pasca pemberian protamine dengan perdarahan pasca-operasi adalah p=0,257. Perdarahan pasca-operasi yang dialami pasien adalah 15,3 mL/kgBB (3,0 – 105,6 mL/kgBB).
Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara dosis awal heparin dan perdarahan pasca-operasi; dosis tinggi menghasilkan perdarahan yang lebih banyak pada pasien anak yang sianotik di CMGH. Selanjutnya, tidak ditemukan adanya korelasi antara nilai ACT pasca-protamine dan perdarahan pasca-operasi.

. Background: Pediatric cyanotic CHD patients have an increased risk of post-operative bleeding following cardiopulmonary bypass (CPB). In CPB, heparin is used as an anticoagulant, reversed by protamine sulphate and measured using activated clotting time (ACT). Heparin can induce bleeding and excess protamine sulphate can act as an anticoagulant. No studies of the same kind has been done to assess the relationship between the initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease cases in CMGH.
Aim: To assess the correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease patients in CMGH
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, undergoing elective open heart surgery were included. A total of 100 medical records from January 2016 to March 2018 in CMGH were used. The correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding was analyzed.
Result: Initial heparin dose and post-operative bleeding showed a positive correlation (p=0.011). The correlation between post-protamine ACT value and post-operative bleeding is p=0.257. Post-operative bleeding experienced by the patients is 15.3 mL/kgBW (3.0 – 105.6 mL/kgBW).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Iskandarsyah Agung Ramadhan
"Latar Belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) dikoreksi dengan bedah jantung terbuka dengan bantuan alat mesin pintas jantung paru (cardiopulmonary bypass). Namun teknik ini dapat menyebabkan inflamasi pada paru yang menghasilkan kondisi Acute Respiration Dysfunction Syndrome (ARDS). Meskipun insidensinya pada pasien bedah dengan mesin pintas jantung paru hanya rendah, tingkat mortalitasnya dapat mencapai 50%.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara durasi penggunaan mesin jantung paru dengan insidensi ARDS pada pasien anak dengan PJB pasca bedah jantung terbuka.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 194 anak yang menjalani bedah jantung terbuka atas indikasi PJB di Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM periode Januari 2014-September 2015.
Hasil: 64 (32,99%) pasien mengalami ARDS pasca bedah jantung terbuka dan sisanya sebanyak 130 (67,01%) tidak mengalami ARDS. Median penggunaan mesin pada golongan ARDS dan non-ARDS masing-masing sebesar 80 menit (23-219, IK90%) dan 70 menit (18-320, IK90%). Insidensi ARDS pada kelompok dengan durasi pendek (≤60 menit) adalah 27,5% dan dengan durasi panjang (> 60 menit) adalah 36%. Secara statistik dan klinis tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin dengan munculnya ARDS (p = 0,298, uji chi square).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin pintas jantung paru dengan kejadian ARDS pada pasien PJB pasca bedah jantung terbuka.

Background: Congenital heart disease (CHD) is corrected by open thoracic surgery with the help of cardiopulmonary bypass machine (CPB). This technique can cause pulmonary inflammation resulting in Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Even though its incidence is low, the mortality rate of is up to 50%.
Aim: To find whether the duration of CPB using is related with incidence of ARDS in pediatric patients underwent open thoracic surgery.
Methods: Retrospective cohort study was done involving 194 pediatric patients underwent open thoracic surgery with CHD indication at Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM within January 2014 and 2015 September.
Results: 64 (32,99%) patients had ARSD after open thoracic surgery. The mean of CPB machine duration was 80 minutes (23-219, CI90%) in patients with ARDS and 70 minutes (18-320, CI90%) in patients with no ARDS. The incidence of ARDS in patients with short duration of CPB (≤60 minutes) was 27.5% and long duration (>60 minutes) was 36%. There was no such correlation statistically and clinically between duration of CPB and ARDS occurence (p = 0.298, chi square test).
Conclusion: Duration of CPB using is not related with ARDS occurrence in pediatric patients with CHD underwent open thoracic surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Euis Habibah
"Pneumonia menjadi masalah kesehatan yang sering terjadi pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB). Banyak faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia diantaranya adalah: usia, jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, jenis PJB, besarnya defect, pendidikan orang tua, dan status sosial ekonomi. Pneumonia meningkatkan mortalitas pada anak yang menderita PJB. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak yang menderita PJB. Desain yang digunakan adalah case control retrospektif dengan total sampel 180 rekam medis pasien anak. Hasil penelitian dengan regresi logistik didapatkan 4 variabel yang berhubungan signifikan dengan kejadian pneumonia pada anak yang menderita PJB yaitu usia, status gizi, jenis PJB dan besarnya defect. Edukasi dan pemantauan kondisi berdasarkan faktor yang berhubungan mendasari penanganan lebih dini untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien.

Pneumonia is a health problem that often occurs in children with congenital heart disease (CHD). Many factors are associated with the incidence of pneumonia, including: age, gender, birth weight, nutritional status, immunization status, type of CHD, magnitude of disability, parental education, and socio-economic status. Pneumonia increases mortality in children suffering from CHD. The purpose of this research was to identify factors associated with the incidence of pneumonia in children suffering from CHD. The design used was retrospective case control with a total sample of 180. Secondary data sources were from patient medical records. The results of research using logistic regression showed that 4 variables were significantly related to the incidence of pneumonia in children suffering from CHD, namely age, nutritional status, type of CHD and the amount of disability. Education and monitoring of conditions based on factors that regulate the implementation of earlier treatment to improve patient survival.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waworuntu, David Soeliongan
"Latar Belakang: Infeksi menjadi masalah pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB),
terutama pneumonia. Faktor risiko yang mendasari perjalanan pneumonia pada anak adalah:
usia, jenis kelamin, status gizi, pemberian ASI, berat lahir rendah, status imunisasi,
pendidikan orangtua, status sosioekonomi, penggunaan fasilitas kesehatan. Insidens
pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
Tujuan: Mengetahui insidens pneumonia anak dengan PJB pirau kiri ke kanan dan faktor
risiko yang terkait.
Metode: Penelitian ini adalah studi analitik dengan rancangan cohort retrospective
berdasarkan penelusuran rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun 2015 -
2019, Jakarta. Diagnosis PJB pirau kiri ke kanan berdasarkan echocardiography. Dari hasil
yang ada, dilakukan analisis multivariat dan dilaporkan sebagai odds ratio (OR).
Hasil: Dari 333 subyek dengan PJB pirau kiri ke kanan, 167 subyek mengalami pneumonia
(50,2%). Proporsi jenis PJB pirau kiri ke kanan terbanyak yang menyebabkan pneumonia
adalah defek septum ventrikel (VSD), yaitu 41,9%. Defek ukuran besar berhubungan dengan
angka kejadian pneumonia (p=0,001). Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia
pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan antara lain: status gizi buruk [OR 5,152 (95% CI
2,363-11,234)], status imunisasi tidak lengkap [OR 9,689 (95% CI 4,322-21,721)], status
sosioekonomi rendah [OR 4,724 (95% CI 2,003-11,138)], dan ukuran defek yang besar [OR
5,463 (95% CI 1,949-15,307)].
Simpulan: Insidens pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan sebesar 50,2 %.
Tipe PJB dengan insidens pneumonia terbanyak adalah VSD. Status gizi, imunisasi, status
sosioekonomi dan ukuran besar defek mempengaruhi angka kejadian pneumonia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Nur Aini
"Latar belakang. Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan penyebab kelainan kongenital dengan 9 per 1.000 kelahiran hidup bayi dengan PJB per tahun. Angka kematian karena PJB sendiri mencapai 250.000 kematian per tahun di seluruh dunia. Pasien PJB memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi, terutama infeksi respirasi. Penyakit infeksi pada pasien PJB berisiko untuk berprogres menjadi komplikasi yang serius. Penyakit menular seperti pneumonia merupakan sumber utama morbiditas dan angka kematian pada anak-anak penderita PJB di bawah usia lima tahun, oleh karena itu, menghindari infeksi sangat penting bagi populasi PJB. Imunisasi merupakan salah satu strategi yang penting untuk mencegah timbulnya morbiditas dan mortalitas pada anak dengan PJB. Masih ditemukan banyak anak dengan PJB yang belum mendapatkan imunisasi secara lengkap. Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa cakupan imunisasi pada anak PJB hanya mencapai 34%. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kelengkapan imunisasi pada pasien PJB dan faktor yang berhubungan. Metode. Penelitian merupakan studi potong lintang yang melibatkan anak PJB berusia 6 bulan hingga 5 tahun yang berobat ke RSCM. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner dan wawancara, serta rekam medis. Analisis dengan regresi logistik dilakukan untuk mendapatkan akurasi pengaruh gabungan dari parameter yang diuji. Hasil. Penelitian melibatkan 127 pasien dengan PJB. Imunisasi yang lengkap didapatkan pada 26,77% subyek. Dari subyek yang memiliki imunisasi lengkap, 35,29% diantaranya diberikan imunisasi tepat waktu. Imunisasi dengan cakupan yang paling tinggi adalah Hepatitis B yang diberikan segera setelah lahir. Pengetahuan, sikap, dan perilaku orang tua terhadap imunisasi secara umum baik. Lama rawat, perilaku orang tua, dan penundaan imunisasi oleh tenaga kesehatan berhubungan dengan kelengkapan imunisasi. Simpulan. Kelengkapan dan ketepatan waktu imunisasi pada pasien PJB di Indonesia masih rendah. Rawat inap, perilaku orang tua terhadap imunisasi, dan penundaan oleh tenaga kesehatan merupakan faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi.

Background. Congenital heart disease (CHD) is a most common cause of congenital abnormalities, accounting for 9 per 1,000 live births each year. CHD causes 250,000 mortalities per year worldwide. CHD patients have an increased risk of infections, particularly respiratory infections. Infectious illnesses in CHD patients can lead to significant consequences. Infectious infections such as pneumonia are the leading cause of morbidity and mortality in children with PJB under the age of five; hence, avoiding infection is critical for the CHD patients. Immunization is an important strategy for reducing morbidity and mortality in children with CHD. There are still many children with CHD who have not been fully immunized. Studies in various countries show that the scope of immunization in children only reaches 34%. Objectives. This study aims to assess the completeness of immunization in PJB CHD and related factors. Method. This research was a cross sectional study of pediatric patients aged 6 months to 5 years who came to Cipto Mangunkusumo Hospital. Data were collected via questionnaires, interviews, and medical records. Analysis with logistic regression was used to determine of the combined effect of the parameters investigated. Result. The study involved 127 patients with CHD. Complete immunization was obtained in 26.77% of subjects. Of the subjects who had complete immunization, 35.29% were given timely immunization. The immunization with the highest coverage was Hepatitis B which was given immediately after birth. Parental knowledge, attitudes, and behavior towards immunization were generally good. Length of stay, parental practice towards immunization, and delays in immunization by health workers were associated with completeness of immunization. Conclusion. The completeness and timeliness of immunization in CHD patients in Indonesia are still low. Hospitalization length of stay, parents' attitude towards immunization, and delay by health workers are factors related to immunization completeness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>