Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112566 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pria Agustus Yadi
"Dilakukan studi Kohort retrospektif untuk menilai pengaruh kelebihan cairan pasca operasi terhadap hasil akhir penatalaksanaan trauma dengan syok hemoragik di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. Data diperoleh dari rekam medik 42 penderita yang terbagi menjadi kelompok I (24 penderita) menerima cairan ~ 10.000 cc dan kelompok II (18 penderita) yang menerima cairan < 10.000 cc selama 24 jam I. Dari seluruh penderita, 18 penderita diantaranya meninggal dunia dan kelompok I mempunyai risiko kematian 6 kali lebih tinggi dibanding kelompok II dan perbedaan diantara keduanya bermakna secara statistik (p < 0,05). Timbulnya 2 atau 3 dari kematian (koagulopati, asidosis metabolik dan hipotermi) meningkatkan risiko kematian 28 kali lebih tinggi dan hubungannya bermakna (p < 0,001). Mereka yang hidup dan menerima cairan ~ 10.000 cc mempunyai lama rawat lebih panjang dibandingkan mereka yang menerima cairan <10.000 cc (P<0,05). Resusitasi cairan masih meningkatkan risiko kematian dan lama perawatan lebih panjang dan risiko kematian terutama dihubungkan dengan ditemukannya 2 atau 3 dari trias kematian. Diperlukan pemahaman kompleksitas respon tubuh yang terjadi pasca trauma dan syok hemoragik sehingga dapat melakukan resusitasi yang benar diikuti monitoring yang ketat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas penatalaksanaan trauma dengan syok hemoragik.

A retrospective cohort study was conducted! to assess the effect of postoperative excess fluid on the final outcome of trauma management with hemorrhagic shock at RSUPN- Dr.Cipto Mangunkusumo. Data was obtained from the medical records of 42 patients who were divided into group I (24 patients) receiving ~ 10,000 cc of fluid and group II (18 patients) who received 10,000 cc < liquid for 24 hours I. Of all the patients, 18 of them died and group I was at risk mortality was 6 times higher than group II and the difference between the two was statistically significant (p < 0.05). The occurrence of 2 or 3 of mortality (coagulopathy, metabolic acidosis and hypothermy) increased the risk of death 28 times higher and the association was significant (p < 0.001). Those who lived and received ~10,000 cc of fluid had a longer treatment time than those who received < 10,000 cc (P <0.05). Fluid resuscitation still increases the risk of death and length of treatment longer and the risk of death is mainly associated with the discovery of 2 or 3 of the triad of death. Understanding is required the complexity of the body's response that occurs after trauma and hemorrhagic shock so that it can perform correct resuscitation followed by strict monitoring to reduce morbidity and mortality in the management of trauma with hemorrhagic shock."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
D784
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
2006
D844
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saptadi Yuliarto
"Tingginya angka mortalitas syok anak dapat dicegah dengan deteksi dini dan terapi adekuat. Parameter hemodinamik digunakan sebagai dasar tatalaksana syok. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perubahan parameter hemodinamik pada pasien syok anak pasca resusitasi cairan dan obat-obatan vasoaktif. Penelitian deskriptif ini dilakukan di instalasi gawat darurat dan rawat intensif RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Januari 2013-September 2014, pada seluruh anak yang mengalami syok. Pengukuran hemodinamik dengan USCOM dilakukan pada jam I dan VI. Sebagian besar pasien mengalami syok hipodinamik dan refrakter cairan pasca resusitasi. Pasca pemberian obat-obatan vasoaktif, terjadi peningkatan inotropy pada sebagian besar kasus, namun diikuti oleh peningkatan afterload.

The high mortality rate in pediatric shock can be prevented by early detection and adequate management. Hemodynamic parameters is useful for guiding shock management. The aim of study was describing hemodynamic parameters in pediatric shock after fluid resuscitation and vasoactive drugs therapy. This descriptive study was conducted at emergency room and intensive care unit, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, in January 2013 ? September 2014, including all shock children. The hemodynamic was measured by USCOM in 1st and 6th hour. Most patients suffered from hypodynamic and fluid-refractory shock after fluid resuscitation. Post-administration of vasoactive drugs, inotropy and afterload increased in most cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmahwati
"yok kardiogenik yang terjadi pada seseorang dapat disebabkan oleh penurunan kinerja miokard yang parah dan mengakibatkan penurunan curah jantung hingga hipoperfusi organ akhir. Pemberian resusitasi cairan pada manajemen awal syok kardiogenik menjadi tantangan klinis karena seringkali sulit dinilai dan dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Sehingga, salah satu cara untuk mengetahui efektivitas resusitasi cairan dengan syok kardiogenik adalah dengan pemantauan hemodinamik pasien menggunakan tekanan arteri rata-rata/mean arterial pressure (MAP). Metode dalam karya ilmiah ini dengan case study pada praktik klinik keperawatan kegawatdaruratan di RSUI. Pasien kelolaan adalah Tn. A berusia 74 tahun dengan diagnosis syok kombinasi kardiogenik dan intervensi utama yaitu pemantauan status sirkulasi menggunakan tekanan darah arteri rata-rata (MAP) untuk mengukur efektivitas resusitasi cairan. Hasil implementasi pemantauan MAP menunjukkan MAP dapat menjadi pengukuran efektivitas resusitasi cairan pada status sirkulasi pasien dengan syok kardiogenik. Perawat dapat menggunakan pemantauan status sirkulasi menggunakan tekanan darah arteri rata-rata (MAP) sebagai salah satu pengukuran efektivitas resusitasi cairan.

Cardiogenic shock that occurs in a person can be caused by a severe decrease in myocardial performance and result in a decrease in cardiac output to end organ hypoperfusion. Providing fluid resuscitation in the initial management of cardiogenic shock is a clinical challenge because it is often difficult to assess and can vary over time. Thus, one way to determine the effectiveness of fluid resuscitation in cardiogenic shock is to monitor the patient's hemodynamics using the mean arterial pressure (MAP). The method in this scientific work is a case study in clinical of emergency nursing at RSUI. The patient being managed is Mr. A is 74 years old with a diagnosis of combined cardiogenic shock and the main intervention is monitoring of circulation status using mean arterial blood pressure (MAP) to measure the effectiveness of fluid resuscitation. The results of implementing MAP monitoring show that MAP can be a measure of the effectiveness of fluid resuscitation on the circulation status of patients with cardiogenic shock. Nurses can use monitoring of circulation status using mean arterial blood pressure (MAP) as one measure of the effectiveness of fluid resuscitation."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Agus Mardani
"ABSTRAK
Latar belakang: Manifestasi klinis yang bervariasi, patogenesis yang kompleks, dan perbedaan serotipe virus membuat sulit memprediksi perjalanan penyakit dengue. Pencarian faktor-faktor prognosis sangat penting dalam memprediksi kasus yang mungkin berkembang menjadi sindrom syok dengue SSD . Anak yang dirawat di RS dapat mengalami syok. Angka kematian SSD 7,81 dan prevalens SSD 15,53 yang tinggi serta klasifikasi infeksi virus dengue terbaru menurut pedoman WHO 2011 merupakan alasan dilakukan penelitian ini. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prognosis demam berdarah dengue DBD yang berpotensi menjadi SSD. Metode: Studi retrospektif menggunakan data rekam medik pasien anak usia 0 sampai ABSTRACT Background Various clinical manifestations, complex pathogenesis and different virus serotypes make us difficult to predict course of dengue. Prognosis factors finding is important to predict cases progressing to become dengue shock syndrome DSS . Hospitalized children may sustain shock. High mortality rate 7,81 , prevalence of DSS 15,53 1 and new dengue virus infection classification according WHO 2011 guideline are reasons doing this research. Objective To know prognosis factors in Dengue Hemorrhagic Fever DHF which have potency to become DSS. Methods Retrospective study use medical records of children age 0 until "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyono
"Resusitasi cairan yang berlebihan selama pengobatan awal syok septik pediatri berhubungan dengan komplikasi seperti edema paru dan disfungsi organ. Pada pasien dewasa, penggunaan vasopresor dini dianjurkan untuk mengembalikan perfusi tanpa menyebabkan kelebihan cairan. Namun, penelitian mengenai penggunaan awal norepinefrin (NE) pada anak dengan syok sepsis masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh pemberian NE dini terhadap jumlah cairan resusitasi, kadar laktat, dan kejadian edema paru pada anak dengan syok sepsis. Penelitian ini merupakan uji klinis acak dengan label terbuka yang dilakukan di satu pusat yaitu RS Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Maret hingga Mei 2024. Penelitian ini melibatkan 42 pasien anak dengan sepsis. Peserta dibagi secara acak menjadi dua kelompok: kelompok intervensi yang menerima loading cairan dengan tambahan NE dini 0,1 mcg/kg/menit (n=21) dan kelompok kontrol yang mendapat loading cairan sesuai protokol standar (n=21). Parameter jumlah cairan yang diberikan, kadar laktat, edema paru, dan hemodinamik dievaluasi dengan melakukan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan USCOM, dan ultrasonografi paru. Hasil penelitian didapatkan bahwa pemberian NE sejak awal resusitasi tidak terbukti mengurangi jumlah cairan resusitasi pada anak dengan syok sepsis yang bermakna, namun tren jumlah cairan resusitasi lebih sedikit pada kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol (p=0,060), Selain itu, juga tidak terbukti adanya perbedaan kadar laktat pasca-pemberian NE dini dibandingkan kontrol [8/21(38%) vs 4/21 (28,6%), p=0,306], serta tidak terbukti adanya perbedaan kejadian edema paru pasca-pemberian NE dini dibandingkan kontrol [7/21 (33%) vs 5/21 (24%); p=0,734]. Sedangkan untuk pengukuran stroke volume index, cardiac index, dan systemic vascular resistancy index, tidak terbukti terdapat perbedaan antara kelompok loading cairan ditambah NE dini dengan kelompok loading cairan saja. Simpulan dari penelitian ini adalah pemberian NE dini tidak terbukti mengurangi jumlah cairan resusitasi pada anak dengan syok sepsis, namun tren jumlah cairan resusitasi lebih sedikit.

Excessive fluid resuscitation during initial treatment of pediatric septic shock is associated with complications such as pulmonary edema and organ dysfunction. In adult patients, early use of vasopressors is recommended to restore perfusion without causing fluid overload. However, research on the early use of norepinephrine (NE) in children with septic shock is limited. This study aims to assess the effect of early NE administration on the amount of resuscitation fluid, lactate, and pulmonary edema in children with septic shock. This study was a single-site, randomized, open-label clinical trial conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from March to May 2024. This study involved 42 pediatric patients with sepsis. Participants were divided randomly into two groups: the intervention group received fluid loading with additional early NE 0.1 mcg/kg/minute (n=21), the control group received fluid loading according to standard protocol (n=21) Parameters such as the amount of fluid administered , lactate levels, pulmonary edema, and hemodynamics were evaluated using clinical examination, USCOM, and lung ultrasonography. The research results showed that it was not proven to reduce the amount of resuscitation fluid in children with septic shock, but the trend was that the amount of resuscitation fluid was less in the treatment group than the control group (p=0.060), it was not proven that there was no increase in lactate levels after early NE administration compared to controls [8/21 (38%) vs 4/21 (28.6%), p=0.306], and there was no proven difference in the incidence of pulmonary edema after early NE administration compared to controls [7/21 (33%) vs 5/21 (24%) ; p=0.734]. Meanwhile, measurements of stroke volume index, cardiac index, and systemic vascular resistance index did not prove to be a difference between the fluid loading plus early NE group and the fluid loading only group. The conclusion of this study is that early NE administration is not proven to reduce the amount of resuscitation fluid in children with septic shock, but the trend for the amount of fluid to be less."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Choirul Anam
"

Syok pada anak masih menjadi masalah utama karena mortalitas yang tinggi. Penilaian respons terhadap resusitasi cairan dapat menggunakan parameter klinis dan parameter hemodinamik invasif maupun non-invasif. Modalitas ultrasound cardiac output monitor (USCOM) pada populasi anak dengan syok memiliki korelasi yang baik dengan baku emas parameter hemodinamik invasif, tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Modalitas lain yang semakin berkembang yaitu menggunakan point of care ultrasound (POCUS), dengan salah satu penilaian yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan indeks kolapsibilitas vena jugularis interna (IKVJI). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara stroke volume dengan IKVJI dalam menilai respons resusitasi cairan pada anak syok. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret hingga Juni 2024. Subyek penelitian adalah anak usia 1 bulan hingga 18 tahun yang mengalami syok yang memenuhi kriteria inklusi. Parameter klinis, penilaian stroke volume dengan USCOM dan IKVJI dinilai sebelum dan sesudah resusitasi cairan. Berdasarkan analisis studi didapatkan 47 subyek sampel penelitian, 27 orang perempuan (57,4%), dengan median usia 82,9 (4,0–212,0) bulan. Status gizi, terbanyak adalah gizi baik (42,6%). Diagnosis terbanyak adalah syok hipovolemik (74,5%) diikuti syok sepsis (25,5%). Sebanyak 2 pasien meninggal dalam 24 jam pertama.  Pemantuan post-resusitasi cairan menunjukkan perbaikan laju nadi, tekanan darah, dan mean arterial pressure (p<0,0001), peningkatan nilai stroke volume (p<0,0001), dan perubahan nilai IKVJI (p<0,0001). Korelasi delta stroke volume dan delta IKVJI adalah negatif lemah (r=-0,309, p=0,035). Korelasi MAP dan IKVJI juga negatif lemah  (r=-0,359, p=0,013).


Shock in children is still a major problem due to high mortality. Assessment of the response to fluid resuscitation can be done using clinical and hemodynamic parameters through invasive and non-invasive tools. The ultrasound cardiac output monitor (USCOM) among children with shock has a good correlation with the gold standard of invasive hemodynamic parameters but has some limitations. Another commonly used modality is point-of-care ultrasound (POCUS), with one of the assessments being the examination of the internal jugular vein collapsibility index (IJV-CI). The aim of this study is to determine the correlation between stroke volume and IJV-CI changes in order to assess fluid responsiveness in children with shock. Between March and June 2024, an analytical observational study was undertaken in the emergency department and pediatric intensive care unit of a tertiary referral hospital. The study subjects were children aged 1 month to 18 years who experienced shock and met the inclusion criteria. A thorough history taking, physical examination, and stroke volume assessment using the Ultrasonic Cardiac Output Monitor, and IJV-CI utilizing ultrasound before and after fluid resuscitation were conducted. This study included 47 subjects, of which there were 27 females (57.4%), with a median age of 82.9 (4.0–212.0) months. For nutritional status, most were normal (42.6%). The most common diagnosis was hypovolemic shock (74.5%) followed by septic shock (25.5%). Mortality in the first 24 hours was 2 patients. After fluid resuscitation, there was an improvement in pulse rate, blood pressure, and mean arterial pressure (p<0.0001), as well as increased stroke volume post fluid resuscitation (p<0.0001) and changes in IJV-CI post fluid resuscitation (p<0.0001). The correlation between stroke volume delta and IJV-CI delta was negative and weak (r=-0.309, p=0.035). The correlation between IJV-CI and MAP was also negative and weak (r=-0.359, p=0.013).

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Gatot Sunyoto Sumowidagdo
"Penelitian fundamental gelombang kejut menggunakan shock tube untuk mempelajari gelombang kejut dan efek gelombang kejut untuk aplikasi tertentu telah banyak dilakukan. Shock tube mampu menghasilkan permukaan gelombang kejut yang dapat dikendalikan sehingga dimungkinkan untuk menganalisa energi gelombang kejut yang timbul dengan bermacam metode. Dalam penelitian ini gelombang kejut dihasilkan dari shock tube dengan memanfaatkan udara terkompresi kemudian karakter kekuatan gelombang kejut yang dihasilkan akan diukur menggunakan sensor tekanan dan strain gage yang dipasang pada spesimen pelat yang diletakkan di ujung tabung.

Shock-tube-generated shock wave has been widely used in many fundamental researches to study shock wave and/or shock wave effect to specific application. A shock tube can generate a controllable shock wave with a planar shock wave thus it is possible to evaluate various energies by shock tube experiment. Within this experimental study shock wave to be generated using compressed-air and its character to be measured by using pressure gages within tube wall and strain gages installed on thin-plate which is assembled at outlet of shock tube."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T33311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endy Jutamulia
"Latar Belakang : Syok sepsis merupakan kondisi mengancam nyawa dengan beban morbiditas dan mortalitas tinggi terutama di Asia Tenggara. Perencanaan resusitasi cairan yang optimal pada pasien sepsis membutuhkan panduan status hemodinamik tubuh, namun pengukuran Central Venous Pressure (CVP) yang saat ini paling umum digunakan merupakan tindakan invasif dengan segala kekurangannya. Sejumlah penelitian sebelumnya mengajukan pemeriksaan ultrasonografi vena cava inferior (USG IVC) sebagai metode alternatif estimasi status hemodinamik tubuh, namun dengan hasil yang bervariasi. Diskrepansi hasil penelitian sebelumnya dan kurangnya data penelitian pada populasi syok sepsis di Indonesia menunjukkan perlunya ada penelitian lebih lanjut. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara parameter USG IVC berupa diameter, Collapsibility Index (CI), dan velositas maksimal (maxV) terhadap nilai CVP. Metode : Desain penelitian merupakan studi korelasi dengan teknik potong lintang. Data primer didapatkan dari hasil pemeriksaan USG IVC dan CVP menggunakan manometer manual dari sampel pasien syok sepsis yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan waktu penelitian Juli hingga Oktober 2020. Pengukuran diameter, CI, dan maxV dari IVC diambil di regio subxiphoid, dilakukan sendiri oleh peneliti dengan supervisi langsung dari spesialis radiologi konsultan abdomen. Hasil : Didapatkan 27 sampel USG IVC tanpa perbedaan proporsi yang bermakna antar subyek berdasarkan umur dan jenis kelaminnya. Didapatkan korelasi positif sedang antara diameter dengan nilai CVP (r = 0,459, p = 0,016), korelasi negatif sedang antara CI dengan nilai CVP (r = - 0,571, p = 0,002), dan tidak ada korelasi yang bermakna secara statistik antara maxV dengan nilai CVP (r = 0,074, p = 0,715). Kesimpulan : Korelasi bermakna antara diameter dan CI IVC terhadap nilai CVP menunjukkan bahwa pemeriksaan USG IVC dapat digunakan sebagai metode pemeriksaan alternatif non-invasif untuk estimasi nilai CVP dalam perencanaan penatalaksanaan pasien syok sepsis.

Background : Septic shock is one of life-threatening condition with high morbidity and mortality rate, especially in the South East Asia. Optimal fluid resuscitation planning requires adequate portrayal of hemodynamic status, but the most often used indicator, Central Venous Pressure (CVP), is an invasive procedure with all its drawbacks. Several studies has been done worldwide to propose Inferior Vena Cava Ultrasonography (IVC USG) as an alternative method to estimate hemodynamic status, to varying degree of success. These discrepancies from previous studies, and the lack of data for septic shock population in Indonesia suggests the need for further study.
Objective : This study aims to determine the correlation strength between IVC USG parameters such as diameter, Collapsibility Index (CI), and maximum velocity (maxV) with CVP. Method : The study design is cross-sectional correlation study. Primary data was acquired from IVC USG examination results and CVP values was acquired by manual measurement from septic shock patients in Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital (RSUPN CM) from July until October 2020. Measurements of diameter, CI, and maxV were done in the subxiphoid region under direct supervision from abdominal consultant radiologist. Result: In total, 27 samples of IVC USG were acquired without statistically significant difference of proportion across age and gender. Moderate positive correlation were found between diameter and CVP (r = 0,459, p = 0,016). Moderate negative correlation were found between CI and CVP (r = - 0,571, p = 0,002). No statistically significant correlation were found between maxV and CVP (r = 0,074, p = 0,715). Conclusion : Significant correlation between IVC diameter and CI with CVP values implies that IVC USG is an acceptable non-invasive alternative method to estimate CVP values in accordance to septic shock therapy planning.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>