Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208770 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arnold Keane
"Latar Belakang
Sistitis akut non komplikata (SANK) adalah kondisi urologis tersering pada perempuan dan umumnya dikelola oleh dokter umum. Meskipun Panduan Tatalaksana Infeksi Saluran kemih dari Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) telah tersedia, terdapat variasi dalam praktik klinis sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian antara manajemen dan panduan tatalaksana SANK oleh dokter umum di Indonesia. Metode
Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang yang dilakukan dari November 2023 hingga April 2024 melalui survei daring kepada dokter umum di Indonesia. Survei ini mengevaluasi demografi dokter dan pasien, modalitas diagnostik, serta tatalaksana SANK. Data dari 385 dokter umum dianalisis menggunakan statistik deskriptif.
Hasil
Sebagian besar dokter umum melakukan anamnesis (98,7%) dan pemeriksaan fisik (92,4%) untuk diagnosis. Gejala tersering yang dilaporkan adalah disuria (75,8%) dan nyeri suprapubik (72,1%). Urinalisis sering digunakan (82,8%), sementara dipstik urin (9,6%) dan kultur urin (7%) jarang diterapkan. Sebanyak 96,6% dokter umum meresepkan antibiotik, dengan ciprofloxacin sebagai pilihan paling umum (77,6%). Penggunaan antibiotik lini pertama yang dianjurkan IAUI seperti nitrofurantoin dan fosfomisin trometamol sangat rendah, diresepkan oleh kurang dari 2% dokter. Selain itu, 59,5% dokter umum meresepkan pengobatan non-antibiotik, dengan analgesik sebagai yang tersering (68,5%).
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan beberapa kesesuaian antara manajemen SANK oleh dokter umum dengan panduan tatalaksana IAUI, namun masih terdapat ketidaksesuaian dalam pemilihan antibiotik lini pertama. Oleh karena itu, dibutuhkan optimalisasi penyediaan fasilitas dan obat untuk SANK yang dicakup oleh Jaminan Kesehatan Nasional dan sosialisasi panduan di tingkat layanan primer.

Introduction
Acute uncomplicated cystitis (AUC), a prevalent urological condition among women, is predominantly managed by general practitioners (GPs). Despite clinical guidelines provided by Indonesian Urology Association (IUA), variations in management practices persist. This study aims to evaluate the concordance between management approaches and guideline employed by GPs in Indonesia for AUC.
Method
A cross-sectional observational study was conducted from November 2023 to April 2024 through an online survey targeting GPs across Indonesia. The survey assessed GP and patient demographics, diagnostic practices, and management pattern. Data from 385 GPs were analyzed using descriptive statistics.
Results
Most general practitioners performed anamnesis (98.7%) and physical examinations (92.4%) for diagnosis. The most frequently reported symptoms were dysuria (75.8%) and suprapubic pain (72.1%). Urinalysis was commonly used (82.8%), while urine dipstick (9.6%) and urine culture (7%) were less frequently applied as additional tests. Antibiotics were prescribed by 96.6% of general practitioners, with ciprofloxacin being the most common choice (77.6%). The use of first-line antibiotics recommended by the IAUI guidelines, such as nitrofurantoin and fosfomycin trometamol, was very low, prescribed by less than 2% of practitioners. Additionally, 59.5% of general practitioners prescribed non-antibiotic treatments, with analgesics being the most common (68.5%).
Conclusion
The findings of this study reveal that while several aspects of AUC management by GPs are already in accordance with IUA guidelines, discrepancies remain, particularly in the selection of first-line antibiotics for AUC treatment. Therefore, it is necessary to optimize the provision of facilities and drugs for SANK covered by the National Health Insurance and socialize the guidelines at the primary care level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Anggraeni
"Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di wilayah Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang menempati posisi pertama dari sepuluh besar penyaldt berdasarkan Laporan Tahunan Puskemas. Hal ini berhubungan dengan kondisi fisik rumah, kualitas udara dalam rumah antara lain PM10, dan karakteristik balita penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar PM10 dan faktor lingkungan rumah yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita.
Rancangan penelitian ini adalah kasus kontrol dengan populasi balita di wilayah Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang yang menjadi sampel adalah balita yang terpilih dengan sampel acak secara sistimatika dari Laporan Bulanan (LB1) Puskesmas dengan sampel 195 balita, terdiri Bari kasus 65 dan kontrol 130 dimana sampel kasus adalah balita ISPA sedangkan sampel kontrol adalah tetangga kasus yang tidak menderita ISPA dan berjenis kelamin sama. Data yang dikumpulkan dengan pengukuran adalah kadar PM10, kelembaban, suhu dan pencahayaan sedangkan data variabel lainnya dengan observasi dan wawancara mengg unakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil analisis chi square terdapat empat variabel yang berbeda bermakna pada balita yang tinggal di rumah memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat yaitu kadar PM10 kelembaban, pencahayaan dan suhu pada tingkat kemaknaan 5% dengan kejadian ISPA balita, yaitu PMIQ dengan nilai p = 0,000 (5,21:2,7 - 10,04), kelembaban dengan nilai p = 0,001 (3,02: 1,57 - 5,81), pencahayaan dengan nilai p = 0,000 (15,06: 6,77 - 33,49), dan suhu dengan nilai p = 0,000 (36,49:10,85 -122,71).
Variabel ventilasi, jenis lantai, kepadatan hunian, bahan bakar, asap rokok, that nyamuk bakar, status gizi dan imunisasi tidak bermakna secara statistik karena mempunyai nilai p > 0,05.
Hasil analisis regresi logistik secara stafistik tidak ditemukan adanya interaksi antara variabel yang diteliti, tetapi suhu rumah ditemukan sebagai faktor pengganggu antara PM10 dengan kejadian ISPA.
Dari penelitian ini sangat penting disarankan untuk mengurangi sumber pencemaran kualitas udara dalam rumah terutama bagi Dinas Kesehatan Kabupaten agar secara rutin memantau secara kondusif kondisi dan standar kualitas udara dalam ruang dan saran bust Puskesmas agar mengaktilkan klinik sanitasi untuk memberikan penyuluhan dan pendidikan tentang hubungan kondisi lingkungan rumah dengan ISPA."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T19081
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risma Muthia
"Latar belakang: Skor SAPS 3 (Simplified Acute Physiology Score 3) merupakan sistem skor mutakhir yang dikembangkan untuk memprediksi mortalitas pasien di unit perawatan intensif (UPI). Sebelum suatu sistem skor dapat diterapkan pada populasi yang berbeda maka harus dilakukan penilaian kesahihannya terlebih dahulu. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai kesahihan skor SAPS 3 dan persamaan baru SAPS 3 pada pasien UPI RSCM.
Metode: Studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien yang dirawat di UPI RSCM Januari-Juli 2012 dengan metode pengambilan sampel konsekutif. Dilakukan analisis bivariat dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan persamaan regresi logistik metode stepwise backward. Kemampuan kalibrasi skor SAPS 3 dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow sedangkan kemampuan diskriminasi dianalisis dengan nilai AUC.
Hasil: Selama penelitian terkumpul 550 pasien yang dirawat di UPI RSCM. Persamaan baru SAPS 3 didapatkan y = -4,765 + (0,319 x total skor) dengan 7 variabel sebagai prediktor kuat. Skor SAPS 3 baru dan Australasia memiliki kemampuan kalibrasi dan diskriminasi yang baik dengan uji Hosmer-Lemeshow p = 0,383 dan p = 0,123 dengan nilai AUC 0,901 dan 0,945.
Kesimpulan: Skor SAPS 3 memiliki kemampuan yang baik (sahih) dalam memprediksi mortalitas pasien di UPI RSCM.

Background: Simplified Acute Physiology Score 3 (SAPS 3) has been developed to estimate mortality in intensive care unit. However, this model need to be validated before it use in different populations. The aim of this study was to validate the performance of SAPS 3 score in the intensive care unit (ICU) Cipto Mangunkusumo Hospital population and to find new equation of SAPS 3 for ICU Cipto Mangunkusumo Hospital population.
Methods: A retrospective cohort study with consecutive sampling was done to patients hospitalized in the ICU Cipto Mangunkusumo Hospital from January to July 2012. Bivariate analysis was performed, continued with multivariate analysis with stepwise backward method of logistic regression equation. Calibration was assessed by Hosmer-Lemeshow test while discrimination was analyzed using the area under the receiver operator curve (AUC).
Results: A total of 550 patients were included in this study. New equation of SAPS 3 score is y = -4,765 + (0,319 x total score) with 7 variable found as strong predictor. Both new and Australasia SAPS 3 equation have a good calibration and discrimination performance with Hosmer-Lemeshow test p = 0,383 and p= 0,123 with AUC = 0,901 and 0,945.
Conclusion: SAPS 3 score has a good performance in predicting mortality of intensive care unit patients in Cipto Mangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Arifin
"Sindroma Koroner Akut (SKA) dengan subset tanpa elevasi segmen ST yang terdiri dari APTS dan NSTEMI mempunyai spektrum Minis yang luas dan memiliki prognosis serta tingkat risiko morbiditas.dan mortalitas yang sangat beragam. Subset SKA ini juga memiliki angka kejadian kardiovaskuler yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan subset SKA dengan elevasi segmen ST.
Dilakukan analisa data dari INDORACE untuk mengetahui karakteristik penderita, kejadian kardiovaskuler (angina berulang, infark / infark ulang, gagal jantung, sehingga memerlukan tindakan revaskularisasi dan kematian) selama masa perawatan di rumah sakit. Melakukan skoring penderita menurut skor TIMI sehingga penderita dibagi dalam dua golongan (=kategori) dan mencari besarnya persentase kejadian kardiovaskuler pada penderita dengan kategori risiko tinggi maupun rendah.
Dari hasil analisa, diperoleh data sebagian besar penderita adalah pria 72 (77,4%). Penderita APTS 65 (69,9%) kasus dan NSTEMI 28 (30,1%) dan usia rata-rata penderita 56,55 ± 9,72 tahun. Dibandingkan dengan beberapa hasil survei di luar negeri, usia rata-rata penderita dalam penelitian ini lebih muda antara 8-10 tahun. Tidak ada perbedaan bermakna antara usia rata-rata penderita pria dan wanita, sedangkan usia rata-rata penderita wanita di luar negeri lebih tua 10 tahun dibandingkan dengan laki-laki.
Untuk faktor risiko PJK berdasarkan urutan persentase tertinggi sampai terendah meliputi: hipertensi 55,9%, dislipidemia 48,4%, merokok 43%, diabetes melitus 31,2% dan faktor keluarga 20,4%. Beberapa hasil survei di luar negeri juga menunjukkan faktor risiko hipertensi adalah yang tertinggi persentasenya. Untuk faktor risiko merokok pada penderita wanita dalam penelitian ini adalah yang terendah presentasenya, sedangkan data dari luar negeri presentasenya jauh Iebih tinggi. Untuk faktor risiko diabetes melitus persentase penderita wanita mencapai > 2 kali dibaridingkan dengan penderita pria.
Persentase kejadian kardiovaskuler selama perawatan adalah sebesar 29,03%, Kejadian kardiovaskuler selama masa perawatan di rumah sakit untuk penderita dengan kategori risiko tinggi ( skor TIMI > 4) adalah 66,8%, sedangkan untuk penderita dengan risiko rendah ( skor TIMI < 4 ) sebesar 33,3%.

Acute Coronary Syndrome (ACS) with subset non-ST segment elevation consists of unstable angina pectoris and non-ST segment elevation myocardial infraction (NSTEMI). This subsets of ACS has a wide clinical spectrum, prognostic and also has heterogeneous morbidity and mortality rate. This subsets of ACS also represents higher cardiovascular events than ACS with subset ST segment elevation (STEM!).
We analyze data from INDORACE (Indonesia Registry of Acute Coronary Events) to describe the baseline characteristics of the patients and cardiovascular events (recurrent angina, reinfarction, congestive heart failure that needs revascularization and death). We use TIMI risk score to divide the patients into two categorized, the high risk and low risk, and we search the percentage of cardiovascular events in each categorized.
Result of the analyze shows that most of the patients are male 77,4%, unstable angina pectoris 66,9%, NSTEMI 30,1% and the mean age of all patients was 56,55 f 9,72 years. Compared to other studies in foreign countries mean age of patients in this study is 8-10 years younger. We found no significants differences of age between male and female in this study, but mean age in other studies represent female is 10 years older or more than male.
The percentage risk factors of coronary artery disease are: hypertension 55,9% (the highest), dyslipidemia 48,4%, smoker 43%, diabetes mellitus 31,2 % and family history 20,4%. Other studies in foreign countries show that the highest percentage is also hypertension.
This study shows that female smokers are at the lowest percentage; however, some studies show that they are at a high percentage. Female who sufferer diabetes mellitus has the percentage twice or more than male in this study.
The total cardiovascular events was 29,03%, cardiovascular events in high risk patients is 66,8% and low risk is 33,3%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ulfah
"Diare merupakan salah satu penyebab utama kematian pada bayi dan anak-anak di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas pemberian zink dalam mengatasi diare akut pada balita di salah satu puskesmas di Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimental dengan jenis nonequivalent control group after only design. Jumlah sampel berjumlah 40 anak balita yang dibagi menjadi dua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada frekuensi defekasi dan durasi diare pada kedua kelompok (p= 0,000; α= 0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberian zink efektif untuk menangani diare akut pada balita sehingga dapat mencegah akibat lanjut dari diare.

Diarrhea is one of the major causes of infant and child death in Indonesia. The purpose of this research was to identify the effectiveness of zinc supplementation for acute diarrhea in under five years children in one puskesmas in Kalimantan Barat.The research employed quasi experimental with nonequivalent control group after only design. The samples were 40 participants which were divided into two groups. The result showed that there was significant differences in defecation frequency and duration of diarrhea in both group (p=0.000; α=0.05). To conclude, zinc supplementation was effective for acute diarrhea treatment in under five years children."
Depok: AKPER Pemerintahan Kota Tegal ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
610 UI-JKI 15:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan Mokoagow
"Latar Belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) berkontribusi terhadap masalah kesehatan yang bermakna selama penyelenggaraan haji. Kementerian Kesehatan RI mendokumentasikan PPOK sebagai penyebab ketiga terbesar perawatan jemaah haji yaitu sebesar 7,2% pada tahun 2010. Identifikasi individu yang berisiko lebih tinggi untuk mengalami eksaserbasi akut PPOK selama pelaksanaan haji menjadi penting. Oleh karenanya, penggunaan skor CAT dalam memprediksi risiko eksaserbasi akut pada populasi khusus ini perlu diteliti lebih lanjut.
Tujuan: Mengevaluasi skor CAT sebagai prediktor kejadian eksaserbasi akut pada jemaah haji dengan PPOK.
Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilakukan pada jemaah haji Embarkasi Provinsi DKI Jakarta tahun 2012. Sebelum keberangkatan, subyek diminta mengisi CAT dan diberikan kartu pencatatan harian untuk mencatat gejala eksaserbasi akut selama pelaksanaan haji. Kartu serupa juga diberikan pada dokter kelompok terbang (kloter) mereka. Saat kedatangan di tempat disembarkasi, subyek diwawancarai dan dilakukan pemeriksaan kesehatan serta pengumpulan kartu pencatatan harian dari pasien maupun dokter kloter. Eksaserbasi akut ditentukan dari kartu pencatatan harian dan buku kesehatan haji yang dibawa oleh tiap jemaah.
Hasil: Sebanyak 61 pasien PPOK direkrut dengan subyek laki-laki sejumlah 57 orang (93,4%) dan rerata usia 58,8±8,5 tahun. Eksaserbasi akut terjadi pada 35 pasien (57,4%). Skor CAT berkisar antara 0–25 dengan rerata 8,2±5,5. Persentase kelompok kategori CAT rendah (skor<10) sebesar 63,9% sementara 36,1% memiliki kategori CAT sedang-berat (skor CAT 10-30). Didapatkan Risiko Relatif sebesar 1,33 (IK95% 0,875–2,020), Nilai Duga Positif: 0,68 (IK95% 0,47–0,84), dan AUC 0,773 (IK95% 0,647-0,898). Median skor CAT 9 (nilai minimum 1; maksimum 25) untuk kelompok eksaserbasi akut dan median 4 (nilai minimum 0; maksimum 17) untuk kelompok tidak eksaserbasi akut yang bermakna secara statistik (p<0.0001, Uji Mann-Whitney).
Simpulan: Terdapat peningkatan kejadian eksaserbasi akut pada jemaah haji dengan CAT kategori sedang-berat dibandingkan kelompok CAT kategori ringan namun belum terlihat perbedaan risiko yang bermakna pada penelitian ini dan skor CAT memiliki kemampuan untuk memprediksi terjadinya eksaserbasi akut.

Background: COPD contributes to significant health problems during pilgrimage for moslems. Indonesian Ministry of Health COPD as the third leading causes of hospitalization pilgrims with percentage of 7.2% in 2010. Identifying individuals with higher risk to have acute exacerbation during the pilgrimage is essential. Therefore, the use of CAT scores in predicting the risk of acute exacerbation in this special population merits further investigation.
Objective: To evaluate CAT score as predictor of acute exacerbation event in pilgrims with COPD.
Methods: This propective cohort study was conducted to pilgrims from DKI Jakarta Province in 2012. Prior to departure, subjects were asked to complete CAT and given diary card to record any symptoms of exacerbation during pilgrimage. Similar observation card were also given to their pilgrims groups’ doctors. On arrival at disembarkation point, subjects underwent interview and health examination while diary cards were collected from both patients and their doctors. Acute exacerbation were determined from the diary cards and individual health record book carried by every pilgrim.
Results: Sixty one COPD patients were recruited comprising 57 male subjects (93.4%) and mean age for this study is 58.8 ± 8.5 years. Acute exacerbation occurred in 35 patients (57.4%). CAT scores range from 0–25 with a mean of 8.2±5.5. Percentage of low CAT category group (score <10) was 63.9% while the 36.1% of subjects were in medium to high CAT category group (score 10-30). Relative Risk for acute exacerbation was 1.33 (95% CI 0.875 – 2.020), Positive Predivetive Value: 0.68 (95%CI 0.47–0.84), and AUC 0.773 (95% CI 0.647-0.898) and median CAT scores were 9 (minimum value 1; maximum 25) for acute exacerbation group and 4 (minimum value 0; maximum 17) for and non acute exacerbation group which was statistically significant (p<0.0001, Mann-Whitney U test).
Conclusion: An increasead numbers of acute exacerbation was observed in moderate-severe category CAT score compared to those in mild category nevertheless a significant risk difference was not demonstrated in this study and CAT score has the ability to predict acute exacerbation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nababan, Saut Horas H
"ABSTRAK
Pendahuluan
Studi sebelumnya menunjukkan tebal adiposa epikardial pasien sindrom koroner akut (SKA) berhubungan dengan cardiovascular adverse event dalam tiga puluh hari.
Tujuan
Mengetahui peran tebal adiposa epikardial dalam memprediksi cardiovascular adverse event pada pasien SKA di ICCU RS Cipto Mangunkusumo.
Metode
Dilakukan studi kohort prospektif berbasis studi prognostik pada seratus dua puluh satu pasien SKA. Tebal adiposa epikardial dinilai dengan ekokardiografi transtorakal pada fase sistolik akhir (end-systole) tampilan parasternal long axis dari tiga siklus jantung. Dilakukan follow-up dalam tiga puluh hari pada semua pasien.
Hasil
Nilai median tebal adiposa epikardial adalah 2,23 mm (kisaran 0,37 – 10,8 mm). Cardiovascular adverse event terjadi pada 23 pasien (19%) dalam 30 hari; 9 subjek mengalami syok kardiogenik, 3 subjek mengalami infark miokard berulang, 4 subjek mengalami stroke iskemik, dan 7 subjek meninggal. Titik potong terbaik tebal adiposa epikardial dalam memprediksi cardiovascular adverse event adalah 2,95 mm dengan sensitivitas 65%, spesifisitas 70%, nilai duga positif 34%, nilai duga negatif 90% dengan AUC sebesar 0,690 (IK 95% 0,564-0,816, p=0,005).
Simpulan
Tebal adiposa epikardial 2,95 mm dapat digunakan untuk memprediksi cardiovascular adverse event dalam tiga puluh hari pada pasien SKA dengan sensitivitas 65%, spesifisitas 70% dan AUC 0,690.

ABSTRACT
Background
Previous study showed that epicardial adipose thickness in acute coronary syndrome (ACS) patients was associated with cardiovascular adverse events during thirty days.
Objective
To determine the role of epicardial adipose thickness in predicting cardiovascular adverse events in ACS patients at ICCU of Cipto Mangunkusumo Hospital
Method
A prospective cohort prognostic study was conducted on one hundred twenty-one ACS patients. Epicardial adipose thickness was measured with transthoracic echocardiography at end-systole from parasternal long-axis view of three cardiac cycles. 30 days follow-up was obtained in all patients.
Results
Median value of epicardial adipose thickness was 2.23 mm (range 0.37-10.8 mm). Cardiovascular adverse events were developed in 23 patients (19%) during 30 days; 9 cases of cardiogenic shock, 3 of recurrent myocardial infarction, 4 of ischemic stroke, and 7 of death. Best cut-off point of epicardial adipose thickness in predicting cardiovascular adverse events was 2.95 mm with a sensitivity of 65%, specificity 70%, positive predictive value 34%, negative predictive value 90% and AUC of 0.690 (95% CI 0.564 - 0.816, p = 0.005).
Conclusion
Epicardial adipose thickness with cut-off point 2.95 mm could be used to predict cardiovascular adverse events during thirty days in ACS patients with a sensitivity of 65%, specificity 70% and AUC of 0.690."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Fransiska
"Jumlah penderita diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar mengalami kenaikan dari tahun 2014 sampai 2016. Kelurahan Kebon Pala menjadi penyumbang terbanyak dari keseluruhan kasus diare. Jumlah penderita diare balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kebon Pala tahun 2014 sebesar 182 kasus kemudian naik tahun 2015 sebesar 251 kasus dan mengalami penurunan pada tahun 2016 sebesar 238 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kebon Pala. Disain penelitian yaitu case control, kasus adalah penderita diare yang tercatat dalam register puskesmas selama 14 hari terakhir waktu penelitian berlangsung dan kontrol adalah tetangga kasus. Jumlah sampel masing-masing kontrol dan kasus 60 responden. Pengumpulan data dengan wawancara langsung dan observasi menggunakan kuesioner. Kuesioner berisikan pertanyaan perilaku cuci tangan pakai sabun, pemberian ASI eksklusif, sumber air bersih, sarana jamban dan sarana pembuangan sampah. Penelitian ini didapatkan hasil adanya hubungan yang signifikan antara perilaku cuci tangan pakai sabun nilai p 0.005; OR 5,107 , pemberian ASI eksklusif nilai p 0,005; OR 4,030 , sarana jamban nilai p 0,022; OR 2,993 dan sarana pembuangan sampah niali p 0,003; OR 3,406 dengan kejadian diare pada balita.

The number of diarrhea sufferers in under five children in the working area of Puskesmas Kecamatan Makasar increased from 2014 to 2016. Kebon Pala village became the biggest contributor of all diarrhea cases. The number of diarrhea sufferers in the work area of Kebon Pala Public Health Center in 2014 amounted to 182 cases and then increased in 2015 by 251 cases and decreased in 2016 by 238 cases. This study aims to determine the risk factors of diarrhea occurrence in infants in the working area of Kebon Pala Public Health Center. The case study design was case control. The case was diarrhea sufferer recorded in the puskesmas register for the last 14 days while the study took place and the control was neighboring case. The number of samples of each control and case are 60 respondents. Data was collected by direct interview and observation using questionnaire. The questionnaire contains questions on handwashing behavior with soap, exclusive breastfeeding, clean water sources, toilet facilities and garbage disposal facilities. The results of this study showed that there was a significant relationship between handwashing with soap p 0.005, OR 5,107 , exclusive breastfeeding p value 0.005, OR 4.030 , toilet facilities p value 0.022, OR 2,993 and garbage disposal facilities Niali p 0,003 OR 3,406 with the incidence of diarrhea in infants."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S68519
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misbahul Fitri Hanifah
"COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome-related Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang telah ditetapkan sebagai pandemik sejak tanggal 11 Maret 2020 oleh World Health Organization (WHO). Diketahui bahwa paru-paru yang terinfeksi langsung oleh virus dapat mengakibatkan manifestasi klinis berupa pneumonia virus. Sistem kekebalan tubuh dapat mengalami perubahan imunologis dalam tubuh seperti leukopenia, limfopenia, dan inflamasi badai sitokin, sehingga dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi lainnya. Maka dari itu, diperlukan adanya Pemantauan Terapi Obat (PTO) untuk mengoptimalkan efek terapi dan menekan angka morbiditas pasien COVID-19. Pada penulisan ini akan dibahas mengenai PTO pada pasien COVID-19 dengan pneumonia, hipokalemia berulang, dan anemia defisiensi zat besi di ruangan Melati COVID di RSUD Tarakan, Jakarta. Hal ini diharapkan dapat menggambarkan peran apoteker klinis dalam Pemantauan Terapi Obat sehingga mampu meminimalisasi risiko masalah terkait obat, progresivitas penyakit, serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengambilan data dilakukan dengan pemantauan data rekam medik pasien dari sejak pertama kali masuk rumah sakit hingga pasien dapat dipulangkan. Selanjutnya, dilakukan penetapan asesmen dan rencana yang akan didiskusikan bersama apoteker penanggung jawab ruangan tersebut. Hasil analisis PTO yang dilakukan terhadap pasien tersebut ialah terdapat satu obat yang tidak tepat dosis, yaitu urotractin. Selain itu, terdapat masalah terkait kegagalan penerimaan vitamin C yang diresepkan dan interaksi antarsuplemen kalsium karbonat dan vitamin D3 yang dapat meningkatkan risiko hiperkalsemia pada pasien.

COVID-19 is a disease caused by Severe Acute Respiratory Syndrome-related Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) which has been comes up as a pandemic since March 11, 2020 by World Health Organization (WHO). It is known that lungs directly infected by viruses can result in clinical manifestations in the form of viral pneumonia. The immune system can experience immunological changes in the body such as leukopenia, lymphopenia, and inflammatory cytokine storms, which can cause an increased risk of other infections. Therefore, there is a need for Monitoring Drug Therapy (MDT) to optimize the therapeutic effect and reducing the morbidity rate of COVID-19 patients. In this article, we will discuss MDT in COVID-19 patients with pneumonia, recurrent hypokalemia, and iron deficiency anemia in the Melati COVID room at Tarakan Hospital, Jakarta. It is hoped that this will illustrate the role of clinical pharmacists in MDT so that they can minimize the risk of drug-related problems (DRPs), disease progression, and can improve the patient's quality of life. Data collection is carried out by monitoring the patient's medical record data from the time they are first admitted to the hospital until the patient can be discharged. Next, an assessment and plan is carried out which will be discussed with the pharmacist in charge of the room. The results of the MDT analysis carried out on this patient were that one drug was not dosed correctly, urotractin. In addition, there are problems related to failure to receive prescribed vitamin C and interactions between calcium carbonate and vitamin D supplements which can increase the risk of hypercalcemia in patients.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>