Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54498 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darmayanti Irawan
"Telah dilakukan penelitian mengenai penurunan tekanan bola mata oleh gabungan suntikan anestesia retrobulbar dan penekanan bola mata dibandingkan dengan penurunan tekanan bola mata oleh penekanan bola mata saja pada 20 pasien katarak di ruang bedah bagian mata RSCM, dengan. umur 40 - 72 tahun, dengan tekanan bola mata awal 10,2 - 17.3 mmHg. Kelompok I yaitu yang diberi suntikan retrobulbar marcain 0,5% 1 ml dan xylocain 2% 1 ml dan penekanan bola mata 30 mmBg selama 15 menit, dilakukan pada mata yang akan dioperasi,sebanyak 20 mata. Kelompok II yaitu yang diberi penekanan bola mata saja 30 mmBg selama 15 menit, dilakukan pada mata sebelahnya, sebanyak 20 mata.

A study has been conducted on the reduction of intraocular pressure by a combination of retrobulbar anesthesia injection and intraocular compression compared to the reduction of intraocular pressure by intraocular compression alone in 20 cataract patients in the chamber surgery of the RSCM eye, with. age 40 - 72 years, with an initial eyeball pressure of 10.2 - 17.3 mmHg. Group I, namely those who were given 1 ml of 0.5% marcain retrobulbar injection and 1 ml of xylocaine 2% and 30 mmBg eyeball pressure for 15 minutes, were performed on the eye to be operated on, as many as 20 eyes. Group II, which is given an eyeball pressure of only 30 mmBg for 15 minutes, is carried out on the next eye, as many as 20 eyes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Jalil
"ABSTRAK
Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar garis pandang akan dibias dan terpusat di depan retina pada keadaan mata tidak berakomodasi. Tidak penuhnya koreksi tajam penglihatan pada penderita miopia tinggi setelah dilakukan koleksi dengan pemeriksaan subjektif dan objektif, merupakan keluhan yang banyak dijumpai pada penderita dengan miopia tinggi dalam praktek sehari-hari. Penelitian ini akan melakukan pengukuran panjang aksis bola mata pada penderita miopoa tinggi dengan koreksi tajam penglihatan penuh dan tidak penuh, dan akan diuji secarastatistik apakah ada perbedaan dalam dua kelompok ini."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Prakoso Wreksoatmodjo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. A. Windu Cahyaningrum Handayani Notonagoro Suryaningrat
"

Latar Belakang: Peningkatan tekanan intrakranial adalah kondisi medis serius yang membutuhkan deteksi cepat dan penanganan yang tepat untuk mencegah komplikasi seperti herniasi otak. Baku emas pengukuran tekanan intrakranial bersifat invasif dan memerlukan sumber daya dan fasilitas yang memadai. Metode non invasif berupa pengukuran diameter selubung saraf optikus (ONSD) berkembang sebagai alternatif dalam menilai tekanan intrakranial. Tujuan: mengevaluasi peran rasio ONSD terhadap diameter bola mata (ED) dalam mendeteksi tanda–tanda peningkatan tekanan intrakranial menggunakan CT dan MRI. Metode: Studi observasional analitik dengan data sekunder dari CT dan MRI kepala-leher periode Januari 2022–Januari 2024, terdiri atas 21 pasien dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial (kasus) dan 21 pasien kontrol. Analisis bivariat menilai perbedaan rerata ONSD dan rasionya terhadap ED pada kelompok kasus dan kontrol. Hasil: Rerata usia ± simpang baku (SB) pasien sekitar 44±11 tahun pada kelompok kasus dan 46±13 tahun pada kelompok kontrol. Rerata ONSD secara signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial dibandingkan kontrol baik pada CT (6,05 mm vs. 3,61 mm; p<0,01) maupun MRI (5,36 mm vs. 3,47 mm; p<0,001). Rasio ONSD terhadap ED secara signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial dibandingkan kontrol baik pada CT (0,255 vs. 0,151; p<0,01) maupun MRI (0,228 vs. 0,150; p<0,001). Analisis kurva ROC menunjukkan nilai AUC yang sangat baik untuk kedua parameter tersebut (AUC=1,000). Korelasi pengukuran ONSD dan rasionya terhadap ED menggunakan CT dan MRI juga menunjukkan korelasi positif yang tinggi (0,8 ≤ r ≤ 1; p<0,001). Kesimpulan: Rasio ONSD terhadap ED memiliki nilai diagnostik yang sangat baik dan memiliki potensi untuk digunakan secara luas dalam praktik klinis dalam mendeteksi tanda peningkatan tekanan intrakranial.


Background: Increased intracranial pressure is a serious medical condition that requires rapid detection and appropriate management to prevent complications such as brain herniation. Gold standard for measuring intracranial pressure is invasive and requires adequate resources and facilities. A non-invasive method involving the measurement of optic nerve sheath diameter (ONSD) has emerged as an alternative for assessing intracranial pressure. Objective: To evaluate the role of the ONSD-to-eye diameter (ED) ratio in detecting signs of increased intracranial pressure using CT and MRI. Method: An analytical observational study was conducted using secondary data from head-neck CT and MRI scans performed between January 2022 and January 2024. The study included 21 patients with signs of increased intracranial pressure (cases) and 21 control patients. Bivariate analysis assessed the differences in mean ONSD and its ratio to ED between the case and control groups. Results: The mean age ± standard deviation (SD) of patients was approximately 44±11 years in the case group and 46±13 years in the control group. The ONSD was significantly higher in the group with signs of increased intracranial pressure compared to controls, both on CT (6.05 mm vs. 3.61 mm; p<0.01) and MRI (5.36 mm vs. 3.47 mm; p<0.001). The ONSD-to-ED ratio was also significantly higher in the group with signs of increased intracranial pressure on both CT (0.255 vs. 0.151; p<0.01) and MRI (0.228 vs. 0.150; p<0.001). ROC curve analysis showed excellent AUC values for both parameters (AUC=1.000). Correlation between ONSD measurement and its ratio to ED using CT and MRI also demonstrated a high positive correlation (0.8 ≤ r ≤ 1; p<0.001). Conclusion: The ONSD-to-ED ratio has excellent diagnostic value and potential for widespread use in clinical practice for detecting signs of increased intracranial pressure.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Rauf
"PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil survei morbiditas mata dan kebutaan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1962, prevalensi kebutaan dua mata adalah 1,2 % dari populasi penduduk, dan katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak, yaitu 66,9% dari total kebutaan(1).
Pada kongres pertama Persatuan Dokter Ahli mata Indonesia di Jakarta pada tahun 1968, menteri Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan bahwa kebutaan adalah merupakan bencana nasional, dan adalah merupakan kewajiban setiap warga negara untuk menanggulangi sesuatu bencana nasional (2).
Katarak merupakan penyebab kebutaan yang tak dapat dicegah tetapi dapat ditanggulangi (3). Cara untuk menanggulangi kebutaan karena katarak adalah dengan pembedahan. Pada setiap pembedahan katarak, sebagaimana pembedahan intra okular lainnya dibutuhkan tekanan bola mata yang rendah dengan tujuan untuk mempermudah jalannya pembedahan maupun menghindarkan penyulit-penyulit yang mungkin terjadi(4,5,6).
Usaha-usaha untuk menurunkan tekanan bola mata ada bermacam-macam, antara lain; pemberian manitol intra vena, penghambat karbonik anhidrase, digital oressure, kantong air raksa, balon Honan dan Bantal tekan modifikasi Sidarto (7,8,9,10,11).
Pemakaian balon Honan dengan tekanan 30 mmHg selama 30 menit pada penderita-penderita yang akan dilakukan pembedahan katarak, sebagaimana yang biasa dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat menurunkan tekanan bola rata rata-rata 5,9-10,9 mmHg (9,10,12).
Prolaps badan kaca yang merupakan salah satu komplikasi pembedahan katarak didapatkan 7-2 % pada penderita-penderita yang tidak dilakukan usaha penurunan tekanan bola mata sebelum operasi (13), sedangkan menurut Syarifuddin (10), yang mempergunakan balon Honan 30 nmHg selama 30 menit pada penderita katarak yang akan dilakukan pembedahan, dari 15 penderita yang telah dilakukan pembedahan tidak ada satupun yang mengalami prolaps badan kaca. Tetapi usaha untuk menurunkan tekanan bola mata dengan penekanan tidak selamanya aman, karena secara teori dapat menyebabkan okiusi arteri sentralis retina dengan resiko kebutaan(4).
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harlyjoy
"Penelitian ini merupakan penelitian prospektif dan dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara pemberian 1000 cc larutan Ringer laktat (RL) dengan 500 cc larutan Starch (HAES) 6% terhadap perubahan tekanan darah maternal dan nilai Apgar neonatus pada anestesia bedah sesar. Pada penelitian ini dipilih dengan cara random 40 wanita hamil aterm dengan status fisik ASA kelas I - II yang akan menjalani bedah sesar berencana dengan anestesia subarakhnoid. Ke 40 pasien ini terbagi dalam dua kelompok. Kelompok I akan menerima 1000 cc larutan RL dan kelompok II akan menerima 500 cc larutan HAES 6% sebagai larutan pengisian awal sebelum tindakan anestesia subarakhnoid. Perubahan tekanan darah maternal dalam penelitian ini adalah terjadinya hipotensi yang didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik dibawah 100 mmHg Hipotensi terjadi 50% pada kelompok yang mendapat 1000 cc larutan RL sementara pada kelompok II yang menerima 500 cc larutan HAES 6% hipotensi terjadi 25% penderita. Namun pada uji statistik ternyata perbedaan tersebut tidak bermakna (p>0,05). Sementara itu nilai apgar menit 1 dan 5 pada ke 40 neonatus tidak menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa penurunan tekanan darah maternal dan nilai Apgar neonatus menit pertama dan ke lima pada penggunanaan 1000 cc larutan RL sebagai larutan pengisian awal sebelum anestesia subarakhnoid pada bedah sesar tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p>0,05) di bandingkan dengan 500 cc larutan HAES 6%. Hal ini berarti penggunaan 1000 cc larutan RL sebagai larutan pengisian awal sebelum tindakan anestesia subarakhnoid masih dapat digunakan untuk mencegah penurunan tekanan darah maternal.

This study was a prospective study and was conducted to determine whether there was a difference between administering 1000 cc of Ringer's lactate (RL) solution and 500 cc of 6% Starch solution (HAES) on changes in maternal blood pressure and neonatal Apgar scores during cesarean section anesthesia. In this study, 40 term pregnant women with ASA class I - II physical status were randomly selected who would undergo planned caesarean section with subarachnoid anesthesia. These 40 patients were divided into two groups. Group I will receive 1000 cc of RL solution and group II will receive 500 cc of 6% HAES solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia. The change in maternal blood pressure in this study was hypotension which was defined as a decrease in systolic blood pressure below 100 mmHg. Hypotension occurred in 50% of the group that received 1000 cc of RL solution, while in group II which received 500 cc of 6% HAES solution, hypotension occurred in 25% of patients. However, in statistical tests it turned out that the difference was not significant (p>0.05). Meanwhile, Apgar scores at 1 and 5 minutes in the 40 neonates did not show a statistically significant difference (p>0.05). It can be concluded that the reduction in maternal blood pressure and the first and fifth minute Apgar scores of neonates when using 1000 cc of RL solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia for caesarean section does not show a statistically significant difference (p>0.05) compared with 500 cc of 6% HAES solution. This means that the use of 1000 cc of RL solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia can still be used to prevent a decrease in maternal blood pressure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sidarta Ilyas
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
617.741 SID g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
"Latar Belakang: Periode apnea yang cukup lama yang dapat terjadi pada saat dilakukan tindakan intubasi memiliki risiko tinggi untuk terjadinya penurunan saturasi dan hipoksia jaringan. Pada beberapa kasus dimana dibutuhkan safe apnea time yang lebih lama, preoksigenasi saja tidak cukup untuk mempertahankan saturasi oksigen. Apneic oxygenation (AO) merupakan suatu prosedur klinis pemberian suplemental oksigen secara kontinyu selama periode apnea sebelum dan selama dilakukan tindakan intubasi, tindakan ini dapat meningkatkan durasi safe apnea time. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh dari pemberian apneic oxygenation terhadap safe apnea time, saturasi minimal dan waktu resaturasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif acak tersamar tunggal pada 40 pasien yang menjalani beragam operasi dengan general Anestesi. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, kelompok AO dan kelompok kontrol, setiap kelompok terdiri dari 20 pasien. Kelompok AO diberikan preoksigenasi dan apneic oxygenation sedangkan kelompok kontrol diberikan preoksigenasi saja. Dokumentasi durasi safe apnea time, saturasi minimal dan waktu resaturasi dicatat pada masing-masing kelompok dan dianalisis statistik dengan uji Mann-whitney U.
Hasil: Dari hasil analisis penelitian didapatkan tidak ada perbedaan karakteristik antar kelompok. Pemberian preoksigenasi dan apneic oxygenation memperpanjang durasi safe apnea time secara signifikan dibandingkan dengan pemberian preoksigenasi saja (308,75 ± 48,35 vs 160,6 ± 38,54, P = 0,000). Saturasi minimal pada kelompok AO lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol tetapi tidak signifkan secara statistik (P = 0,413). Waktu resaturasi pada kelompok AO lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol tetapi tidak signifikan secara statistik (P = 0,327)
Simpulan: Pemberian preoksigenasi dan apneic oxygenation dapat meningkatkan durasi safe apnea time pada pasien yang menjalani operasi dengan general anestesi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk membuktikan temuan ini.

Backgrounds: Oxygen desaturation might happen on apneic period when endotracheal intubation was performed had hazardous hypoxic effect on body tissue. Longer safe apneic time required for some airway management cases since preoxygenation alone is not adequate to sustain oxygen saturation. Apneic oxygenation (AO), administration of oxygen during the apneic period of the intubation procedure, is one of the techniques to increase duration of safe apneic time. The aim of this study was to evaluate the role of AO on safe apneic time, minimal saturation and resaturation time.
Method: A single blinded randomized clinical trial was conducted among 40 patients who received general anaesthesia during various surgery procedures. The patients were divided into two groups, AO and control group, each group consisted 20 patients. AO group treated with preoxygenation and apneic oxygenation, while control group with preoxygenation only. Duration of safe apneic time, minimal saturation, and renaturation time were observed in both groups. Association between AO and all three indicators was assessed using Mann-whitney U.
Results: Our results indicates no difference in the demographics of these two groups. Combination of preoxygenation and apnoeic oxygenation prolonged the duration of safe apnoeic time significantly compared to preoxygenation only (308.75 ± 48.35 vs 160.6 ± 38.54), p=0.000). Although combination of preoxygenation and apnoeic oxygenation increased minimal saturation and decreased resaturation time, the effects were not statistically significant compared to control group with p=0.413 and p=0.327, respectively.
Conclusion: Initial data indicates that combination of preoxygenation and apnoeic oxygenation is able to increase duration of safe apnoeic time during general anaesthesia. Further study with bigger number of samples is need to confirm this finding.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58909
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Susanto
"Penyandang hipertensi banyak yang beralih dari terapi medik ke terapi komplementer. Banyak terapi komplementer yang sudah dilakukan namun pada kenyataannya masih menunjukkan effect size yang relatif kecil dalam penurunan tekanan darah, penurunan level stress dan peningkatan retensi short term memory. Kondisi ini menunjukkan belum tuntasnya penanganan hipertensi. Metode penelitian Tahap I Identifikasi jenis intervensi dan uji coba pada 164 responden penyandang hipertensi. Tahap II dilakukan uji coba Model Intervensi Keperawatan Ramah Hipertensi pada 40 responden. Hasil Tahap I diperoleh tiga jenis terapi komplementer yaitu progressive muscle relaxation, aroma lavender dan terapi warna hijau. Tahap II diperoleh hasil pengaruh Model Intervensi Keperawatan Ramah Hipertensi terhadap penurunan sistolik sebesar -16,90 mmHg dengan effect size 0,78 (sedang) dan p value < 0,005. Penurunan diastolik sebesar -12,45 dengan  effect size 0,90 (besar). Penurunan level stress -4,92 dengan effect size 0,82 (besar). Peningkatan retensi short term memory sebesar +2,33 dengan effect size 0,78 (sedang). Kesimpulan Model Intervensi Keperawatan Ramah Hipertensi berpengaruh terhadap penurunan tekanan darah, penurunan level stress dan peningkatan retensi short term memory.

Many people with hypertension are switching from medical therapy to complementary therapy. Many complementary therapies have been implemented but in fact they still show relatively small effect sizes in reducing blood pressure, reducing stress levels and increasing short term memory retention. This condition indicates the incomplete management of hypertension. Phase I research methods Identify the types of intervention and trials on 164 respondents with hypertension. Phase II, a hypertension-friendly nursing intervention model was tested on 40 respondents. The results of there search in Phase I obtained three types of complementary therapies namely progressive muscle relaxation, lavender aroma, and green color therapy. In Phase II, the results of the effect of the Hypertension Friendly Nursing Intervention Model on systolic reduction of -16.90 mmHg with an effect size of 0.78 (moderate). The diastolic reduction is -12.45 with an effect size of 0.90 (large). Stress level decreases up to -4.92 with effect size 0.82 (large). Short-term memory retention increases by +2.33 with an effect size of 0.78 (moderate) and p-value<0.005. In conclusion,the Hypertension-Friendly Nursing Intervention Model affects the  decrease in blood pressure, a decrease in stress levels, and increase retention of short-term memory."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Arief Fadli
"Latar belakang PONV dapat terjadi pada 20-30% pasien, bahkan pada pasien- pasien yang berisiko tinggi bisa mencapai sekitar 70%. PONV menyebabkan peningkatan morbiditas, menurunnya kepuasan pasien dan meningkatnya biaya yang dikeluarkan pasien. Salah satu cara nonfarmakologi yang dapat dilakukan untuk menurunkan mual muntah pascaoperasi adalah dengan pemakaian akupresur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemakaian akupresur Sea-Band® untuk menurunkan angka kejadian mual muntah pascaoperasi pada pasien yang menjalani anestesia umum inhalasi.
Metode Dilakukan pembiusan umum pada 88 pasien ASA 1-2 yang menjalani pembedahan risiko tinggi PONV. Tujuh pasien dikeluarkan, akupresur 41 sampel dan kontrol 40 sampel. Pada kelompok perlakukan diberikan lakukan pemasangan akupresur Sea-Band® 30-60 menit sebelum dilakukan pembiusan. Seluruh sampel diberikan antiemetik. Dilakukan pencatatan angka kejadian mual muntah selama 0-2 jam pascaoperasi di ruang pulih dan 2-24 jam di ruang rawat inap. Tidak didapatkan terjadinya efek samping pada kedua kelompok.
Hasil: Didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok dalam insidens mual dan muntah di ruang pemulihan (0-2 jam). Insidens mual dalam 0-2 jam antara akupresur vs plasebo adalah 9,75 % vs 25 % (p > 0,05) dan insidens muntah dalam 0-2 jam antara akupresur vs plasebo adalah 4,87 % vs 17,5 % (p> 0,05). Insidens mual dalam 2-24 jam antara akupresur vs plasebo adalah 2,43 % vs 20 % (p < 0,05). Insidens muntah dalam 2-24 jam antara akupresur vs plasebo adalah 0 % vs 7,5 % (p > 0,05). Tidak didapatkan terjadinya efek samping pada kedua kelompok. Tercatat bahwa 90,2% mengatakan puas dengan manfaat penggunaan akupresur dan pemberian ondansetron, bahkan pada kelompok yang sama sebanyak 4,9% menyatakan sangat puas
Kesimpulan Penggunaan akupresur Sea-Band® dengan Ondansetron terbukti dapat menurunkan angka kejadian mual pada rentang waktu 2-24 jam setelah operasi dengan anestesia umum inhalasi.

Background : PONV may occur in 20-30 % of patients , even in patients at high risk could reach about 70 % . PONV lead to increased morbidity , decreased patient satisfaction and increased patient costs . One way nonpharmacological do to reduce postoperative nausea and vomiting is to use acupressure . This study aims to determine the effectiveness of the use of Sea - Band® acupressure to reduce the incidence of postoperative nausea and vomiting in patients undergoing general anesthesia inhalation .
Methods : Do general anesthesia in 88 ASA 1-2 patients undergoing high- risk surgery PONV . Seven patients were excluded , acupressure 41 samples and 40 control samples . In the treatment group was given did the installation of Sea - Band® acupressure 30-60 minutes prior to anesthesia . The entire sample is given antiemetic . Do recording the incidence of nausea and vomiting for 0-2 hours postoperatively in the recovery room and 2-24 hours in the inpatient unit . There were no side effects in both groups .
Results : Obtained results were not significantly different between the two groups in the incidence of nausea and vomiting in the recovery room ( 0-2 hours ) . The incidence of nausea within 0-2 hours between acupressure vs placebo was 9.75 % vs. 25 % ( p > 0.05 ) and the incidence of vomiting within 0-2 hours between acupressure vs placebo was 4.87 % vs. 17.5 % ( p > 0.05 ) . The incidence of nausea in 2-24 hours between acupressure vs placebo was 2.43% vs. 20 % ( p < 0.05 ) . The incidence of vomiting in 2-24 hours between acupressure vs placebo was 0 % vs. 7.5 % ( p > 0.05 ) . There were no side effects in both groups . It was noted that 90.2 % said satisfied with the benefits of using acupressure and ondansetron administration , even in the same group as much as 4.9 % said very satisfied
Conclusions : The use of acupressure by Sea - Band® Ondansetron shown to reduce the incidence of nausea in the period 2-24 hours after surgery with general anesthesia inhalation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>