Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ernita Tantawi
"Telah diteliti perbandingan tekanan bola mata hasil
pengukuran tonometri aplanasi Goldmann dengan tonometri diferensial posisi responden setengah duduk dan posisi berbaring, pada 100 mata dari 50 responden pria bangsa Indonesia usia 40 - 60 tahun. Dari hasil penelitian, tekanan bola mata rata-rata dalam batas normal. Pada penelitian ini terbukti obahwa terdapat perbedaan yang sangat bermakna antara tekanan bola mata hasil pengukuran tonometri aplanasi Goldmann dan tonometri diferensial posisi responden setengah duduk dan posisi berbaring. Juga terdapat perbedaan yang bermakna antara tekanan bola mata hasil pengukuran tonometri diferensial posisi responden setengah duduk dengan tonometri diferensial posisi responden berbaring.

Comparative eyeball pressure results have been studied Goldmann appliquency tonometry measurement with tonometry Differential of half-sitting and lying positions, in 100 eyes of 50 male respondents Indonesians aged 40 - 60. From the results of the study, the average eyeball pressure was within normal limits. In this study, it was proven that there was a very significant difference between the eyeball pressure measured by Goldmann's appliation tonometry and the differential tonometry of the respondent's half-sitting and lying positions. There was also a significant difference between the eyeball pressure resulting from the differential tonometry measurement of the half-sitting respondent position and the differential tonometry of the lying respondent's position."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Hitam
"BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengukuran tekanan bola mata merupakan hal yang panting pada pemeriksaan mata karena dapat dipakai untuk menilai salah satu parameter dinamika cairan akuos. Alat yang paling banyak dipakai mengukur tekananan bolamata pada saat ini adalah tonometer indentasi Schiotz dan tonometer aplanasi Goldmann (1).
Hasil pemeriksaan tonometri aplanasi Goldmann diakui paling teliti, hal ini disebabkan perubahan volume cairan akuos selama pemeriksaan sedikit sekali Yaitu ± 4,5 ul, sehingga dianggap hasil pemeriksaan tersebut tidak dipengaruhi oleh kekakuan
dinding bola mata (ocular rigidity) seperti halnya hasil pemeriksaan dengan tonometri indentasi Schiotz {2,3). Keadaan di atas menyebabkan tonometri aplanasi Goldmann menjadi rujukan dari pemeriksaan tonometri Schiotz. Sayangnya bila tidak digunakan dengan hati-hati dapat terjadi kerusakan epitel kornea akibat obat anestesi yang dipakai dan tersentuhnya kornea oleh alat tersebut. Dilaporkan bahwa pemeriksaan tonometer ini dapat pula menyebarkan infeksi seperti radang konjungtiva, hepatitis,
maupun penyakit AIDS melalui alat yang terkontaminasi (3).
Oleh karena itu kebutuhan terhadap alat yang dapat mengukur tekanan bola mata dengan teliti tanpa menyentuh kornea amat terasa. Baru pada tahun 1972 alat yang demikian diperkenalkan oleh Bernard Goldman yang disebutnya tonometer nonkontak (4). Pengukuran tekanan bola mata dilakukan dengan jalan meniupkan udara ke kornea, jadi tanpa menyentuhnya secara langsung. Penilaian tingginya tekanan bola mata dilakukan dengan mengamati pantulan cahaya dari kornea pada saat aplanasi terjadi, lalu diproses oleh komputer dan hasilnya disajikan dalam bentuk angka angka.
Penelitian di beberapa negara Barat memperlihatkan bahwa hasil pemeriksaan tonometri nonkontak tidak banyak berbeda secara bermakna dibandingkan tonometer aplanasi Goldmann pada tekanan bola mata yang normal (5). Akan tetapi penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Hitam (8) di Indonesia memperlihatkan keadaan yang sebaliknya. Dalam laporannya setelah memeriksa 20 penderita, ia menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna dari kedua cara pemeriksaan di atas, walaupun yang dilakukannya bukan suatu pemeriksaan tersamar ganda yang selama ini dianggap blebih ideal. Perbedaan hasil yang didapat dari beberapa penelitian di luar negri dibandingkan penelitian pendahuluan yang dikerjakan Hitam di Indonesia, mendorong penulis untuk melanjutkan penelitian pendahuluan tersebut dengan jumlah sampel yang lebih banyak disertai pemeriksaan yang lebih baik yaitu dengan milakukannya secara tersamar ganda.
Pada tekanan bola mata yang lebih tinggi ketelitian tonometer nonkontak berkurang (5). Seperti halnya tonometer aplanasi Goldmann, tonometer nonkontak tidak dapat dilakukan pada keadaan kornea yang tidak normal, penderita dengan fiksasi yang jelek, serta penderita yang tidak dapat bekerjasama (4,5)?
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Nur Aqmarini
"ABSTRAK
Penting bagi perawat untuk melakukan penilaian dan mengevaluasi kondisi pasien kanker, salah satunya dengan mengukur kualitas hidup mereka. Tujuan dari telaah literatur ini adalah untuk mengidentifikasi perbandingan hasil pengukuran kualitas hidup pada pasien kanker dengan menggunakan EORTC QLQ-C30 dan WHOQOL-BREF. Metode: Menggunakan prinsip PRISMA dengan mencari jurnal melalui basis data CINAHL, Google Scholar, ProQuest, dan PubMed yang dilakukan dari bulan Juni-Juli 2020. Pencarian artikel dibatasi dari tahun 2010-2020. Penilaian kualitas artikel jurnal menggunakan Joanna Briggs Institute (JBI) checklist untuk mengurangi risiko bias. Hasil: Dari 955 jurnal yang ditemukan, terdapat 14 jurnal yang sesuai dengan kriteria penelitian. Skor kualitas hidup yang diukur dengan EORTC QLQ-C30 lebih tinggi daripada yang diukur dengan WHOQOL-BREF. EORTC QLQ-C30 dan WHOQOL-BREF memiliki aspek pengukuran yang berbeda. Peneliti merekomendasikan untuk menggunakan EORTC QLQ-C30 dalam mengukur kualitas hidup pada pasien kanker.

ABSTRACT
Nurses need to carry out assessments and evaluate the condition of cancer patients, one of them by measuring their quality of life. The aim of this literature review is to identify the comparison of the results of measurements of quality of life in cancer patients using EORTC QLQ-C30 and WHOQOL-BREF. Method: Using the PRISMA principle by searching journals through databases from ProQuest, CINAHL, Google Scholar, ProQuest, and PubMed conducted from June-July 2020. Article search is limited from 2010-2020. Assessment of journal article quality using the Joanna Briggs Institute (JBI) checklist to reduce the risk of bias. Results: Of 955 journals found, 14 journals fit the research criteria. The quality of life score measured by EORTC QLQ-C30 is higher than that measured by WHOQOL-BREF. EORTC QLQ-C30 and WHOQOL-BREF have different measurement aspects. It is recommended using the EORTC QLQ-C30 to measure the quality of life in cancer patients."
2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grariani Nufadianti
"Uveitis adalah inflamasi intraokular yang terjadi pada saluran uvea mata ataupun jaringan yang berada di dekatnya, diantaranya retina atau vitreous. Uveitis merupakan penyebab kebutaan nomor tiga di dunia dengan prevalensi tertinggi pada kelompok umur pekerja aktif 20-50 tahun . Selama ini diagnosis uveitis infeksi dan non-infeksi di Indonesia ditegakkan secara klinis dan didukung pemeriksaan serologi darah. Pemeriksaan antibodi pada cairan akuos dan serum serta marka genetik, khususnya HLA B-27 belum pernah dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan alternatif pendukung diagnosis klinis yaitu pemeriksaan deteksi molekuler HLA B-27 dan deteksi antibodi dengan perhitungan koefisien Goldmann-Witmer. Subjek penelitian adalah pasien uveitis aktif di Poliklinik Infeksi dan Imunologi RSCM Kirana yang berjumlah 79 orang. Berdasarkan koefisien Goldmann-Witmer, mikroba penyebab uveitis adalah Toxoplasma gondii dan virus Varicella zoster. Gen HLA-B27 ditemukan pada enam subjek penelitian dan terdapat kesesuaian dengan kasus uveitis non-infeksi tetapi belum dapat dibuktikan kemaknaannya secara statistik.
Uveitis is an intraocular inflammation which occurs on the uvea or its surrounding tissue such as retina or vitreous. Uveitis is known as the third major cause of blindness in the world with the highest prevalence is productive age group 20 50 years old . To date, infectious and non infectious uveitis stipulation in Indonesia is based on clinical examination and serology test. The aqueous and serum antibody titer measurement as well as genetic marker examination, especially on HLA B27, has never been done before. In this research we perform HLA B27 detection through molecular analysis and antibody titer measurement to know the Goldmann Whitmer coefficient. Sample size used in this research is 79 patients with active uveitis obtained from ldquo Poliklinik Infeksi dan Imunologi RSCM Kirana rdquo . The analysis of Goldmann Whitmer coefficient showed that the pathogens responsible for uveitis are Toxoplasma gondii and Varicella zoster. HLA B27 were found in six patients and there is similiarity between non infectious uveitis but this value does not have prove statistically. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Bondan Panular
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang perbedaan hasil pengukuran keluaran linac
precise system di RSPAD Gatot Soebroto menggunakan detektor matriks PTW
dan fantom air, untuk sinar-x pengukuran dilakukan pada lapangan 10 x 10 cm2
dengan SSD 100 cm sedangkan untuk elektron menggunakan aplikator 10 x 10
cm2 dengan SSD 95 cm, dosis yang diberikan 1 Gray (100 MU) pada kedalaman
maksimum. PDD untuk sinar-x dan elektron yang dihasilkan dari pengukuran
detektor matriks memiliki rentang yang lebih pendek pada daerah kedalaman
maksimum dibandingkan dengan hasil pengukuran menggunakan fantom air,
dengan rentang perbedaan 4 mm ? 5 mm untuk sinar x dan 3 mm ? 6 mm untuk
elektron. Sedangkan profil dosis untuk berkas sinar-x antara detektor matriks
dengan fantom air memiliki kesesuaian pada daerah lapangan penyinaran dengan
perbedaan kurang dari 2 %. Untuk berkas elektron terjadi perbedaan yang
signifikan dengan bertambahnya kedalaman, sehingga dapat disimpulkan bahwa
detektor matriks dapat digunakan untuk verifikasi penyinaran pada daerah target
volume penyinaran (Gross Tumour Volume/GTV) tetapi kurang baik untuk daerah
organ sekitarnya (Organ at Risk/OAR). Detektor matriks lebih baik apabila
digunakan untuk sinar-x, tetapi kurang baik digunakan untuk elektron.

ABSTRACT
This thesis discusses about output differences of Elekta Precise linac
treatment system on Gatot Subroto Army Hospital between the use of matrix
detector and water phantom, for x-ray measurement performed on 10 x 10 cm2
field size with a SSD 100 cm, as well as electron measurement using the
applicator 10 x 10 cm2 with SSD 95 cm, both on the given dose of 1 Gray
(100 MU) in the maximum depth. PDD for x-rays and electrons from the
measurement of the matrix detector has shorter range in comparison to the
maximum depth of measurement results with the water phantom. The range of
difference is found to be 4 mm - 5 mm for x-rays and 3 mm - 6 mm for the
electrons. Dose profile for x-ray measurement using the matrix detector is having
compatibility with water phantom measurement at the irradiation field, with the
difference found to be less than 2%. For the electron beam, significant difference
occurs with increasing depth, leading to the conclusion that the matrix detector
can be used to verify radiation on the Gross Tumour Volume (GTV), while being
not good enough for the Organ at Risk (OAR). The matrix detector is better used
for x-rays measurement, with relatively poor compatibility for electron
measurement."
2012
T31257
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sudardjat Sugiri
"Kebutaan, penurunan fungsi penglihatan dan kesakitan mata telah dinyatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting di wilayah Asia Tenggara (WHO). Berdasarkan WHO maka diperkirakan terdapat 12 juta kebutaan dan 60 juta penurunan penglihatan di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri berdasarkan survai morbiditas mata dan kebutaan tahun 1982 yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari angka tersebut prosentase penyebab kebutaan utama ialah :
- katarak 0.70%
- kelainan kornea 0.13%
- penyakit glaukoma 0.10%
- kelainan refraksi 0.06%
- kelainan retina 0.03%
- kelainan nutrisi 0.02%
Banyak macam cara pengobatan penyakit glaukoma baik secara obat-obatan maupun secara operasi. Cara operasi bisa dilakukan dengan membuka aliran akuos dari bilik mata depan ke celah sub konjungtiva pada mata taripa blok pupil, untuk membentuk pengaliran cairan akuos, atau dengan mengurangi pembentukan cairan akuos di badan siliar(3,4,5).
Dari pengalaman klinis dapat terjadi suatu keadaan glaukoma yang berat misalnya glaukoma refrakter atau glaukoma absolut, glaukoma hemaragik atau glaukoma neovaskular, dimana tindakan operasi kurang berhasil. Pada keadaan diatas perlu dipikirkan cara pengobatan yang lebih efektif lain untuk menurunkan tekanan intra okular. Di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo, pada glaukoma neovaskular dilakukan tindakan transkleral kriokoagulasi dan transkleral diatermi dengan tujuan mengurangi keadaan iskemia retina/koroid, untuk menurunkan tekanan intra okular.
Sikatrik korioretina terjadi karena kerusakan epitel pigmen retina dan reseptor retina, terjadi penggabungan dari lapisan retina luar ke membrana Bruch, terjadi perubahan jaringan ikat korio-kapiler dan lapisan pembuluh darah koroid dalam, degenerasi dan disorganisasi dari retina sensoris dan sel-sel penyokong (6,8). Keadaan ini dapat terjadi akibat perubahan atau setelah tindakan krioterapi atau diatermi dari pada retina, baik pada perubahan penyakit retina maupun pada terapi glaukoma diatas.
Pada suatu kelainan di retina , dapat di ikuti dengan penurunan tekanan intra okular (T.I.O.) yang moderat, pengurangan aliran humor akuos melalui bilik mata depan, suar ringan di akuos dan peningkatan kadar protein cairan subretinal. Ada 2 hipotesa kemungkinan terjadinya keadaan tersebut. Hipotesa pertama menyatakan bahwa kelainan retina akan menimbulkan inflamasi ringan sistem traktus uvea, disebabkan kegagalan sawar darah-akuos, disertai suar akuos & pengurangan produksi akuos, mengakibatkan peninggian protein cairan sub retinal. Hipotesa kedua mengatakan bahwa terjadi kegagalan ringan sawar darah akuos. Dan juga, produksi akuos tetap normal tetapi terjadi perubahan aliran dari bilik mata belakang kerongga badan kaca, melalui kelainan diretina dan melewati epitel pigmen retina.
Aliran yang tidak lazim ini (misdirected/unconvention al route) dari humor akuos menyebabkan penurunan tekanan intra okular, dan membawa protein dari bilik mata belakang yang akan mengumpui di celah subretinal.
Pembuktian adanya aliran cairan dari badan kaca ke celah retina ini terlihat pada percobaan binatang kera yang disuntikan cairan fluoresin iso tiosianat dextran. Disini terjadi kerusakan intregitas retina sensoris, yang diikuti pengaliran cairan badan kaca ke celah subretinal dan akan di absorpsi pembuluh darah koroid dan menimbulkan penurunan tekanan intra okular."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidarta Ilyas
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
617.741 SID g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Oka Semadhi
"Dalam penelitian ini telah dilakukan pengukuran dan perhitungan nilai Tissue Maximum Ratio (TMR) untuk dua berkas sinar-X yaitu 6 dan 10 MV. Pengukuran nilai TMR dilakukan untuk 18 macam ukuran lapangan radiasi dengan variasi kedalaman. Perhitungan nilai TMR dilakukan dengan menggunakan data Percentage Depth Dose (PDD) Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum nilai TMR hasil pengukuran bernilai lebih kecil dari nilai TMR hasil perhitungan. Hal ini disebabkan karena perhitungan nilai TMR mengabaikan rasio Peak Scatter Factor (PSF). Deviasi antara keduanya bernilai maksimum sebesar 4,73 % untuk lapangan 40x40 cm2 pada kedalaman 14 cm untuk kualitas berkas sinar-X 6 MV.

Tissue Maximum Ratio (TMR) measurements and calculations have been done in this work for 6 and 10 MV LINAC beams with 18 of field sizes at varying depths from zmax to 15 cm. Alternate TMR calculations been done by using Percentage Depth Dose (PDD) data?s. The results generally showed that values of measured TMR was smaller than calculated TMR. This is caused by ignoring Peak Scatter Factor (PSF) ratio. Deviation between measured and calculated data reach maximum for 4.73 % for 40x40 cm2 field at depth of 14 cm for 6 MV beams."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S28862
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahrulloh
"Dalam setiap pengukuran sinar-X dengan menggunakan detector, noise dan spektrum yang bukan berasal dari sumber yang kita inginkan pasti akan terjadi sehingga menyebabkan interpretasi hasil pengukuran tidak akurat. Noise spektrum lain yang muncul dalam pengukuran dapat dikoreksi dengan menggunakan bantuan metode unfolding. Metode unfolding membutuhkan bantuan matrik respon detektor pada kondisi ideal untuk mengkoreksi hasil pengukurann. Matrik respon dibuat pada rentang 2keV-100keV menggunakan simulasi spektrum diskrit dengan program simulasi monte carlo egsnrcMP. Matrik respon yang dibuat telah berhasil menghilangkan noise pada hasil pengukuran spektrum pada tegangan tabung sinarX 40kV, 50kV, 70kV dan 80kV. Akan tetapi noise akibat noise respon dari matrik respon pada eneri rendah muncul cukup signifikan pada energy 20keV-30keV.

In every x-ray measurement using a detector, noise and spectrum which not from the source that we did not expected is always created so it makes an inaccurate result interprentation. Other spectrum which appear in measurement can be corrected using unfolding method. Unfolding method needs a matrix respone detector help in ideal condition to correct measurement result. Matrix respone is created in 2keV-100keV using diskrit spectrum simulation in monte carlo egsnrcMP program. Matrix respone that made dissapeared the noise in spectrum measurement result in 40kV, 50kV, 70kV and 80kV x-ray voltage tube. But noise respone which from lower energy matrix respone is appear signivicanly in 20keV-30keV energy."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S201
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Agung Santoso
"Tujuan :
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan hasil pengukuran tekanan intraokular sebelum dan sesudah lindakan laser-assisted in situ keratomileusis (LASIK).
Subyek dan metode :
Penelitian ini merupakan uji klinis analitik dengan desain pre post .study. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan menjalani bedah LASIK dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok dengan nilai spherical equivalent (SE) < 6 dioptri (D) dan kelompok SE 6 D. Parameter yang dinilai adalah tekanan intraokular (T1O) yang diperiksa dengan alat Tonopen dan ketebalan komea sebelum dan minimal 4 minggu sesudah bedah LASIK.
Hasil :
Hasil pengukuran tekanan intraokular sebelum LASIK pada kelompok SE < 6 D adalah 13.10 ± 2.05 mmHg, dan pada kelompok SE ? 6 D adalah 13,05 } 2,69 rrunHg. Hasil pengukuran tekanan intraokular sesudah LASIK pada kelompok SE < 6 D adalah 11.70 f 1,49 mmHg. dan pada kelompok SE 6 D adalah 10,50 ± 1,00 mmHg. Hasil pengukuran TIO sesudah LASIK lebih rendah dibandingkan sebelum LASIK dan secara statistik bermakna. Selisih basil pengukuran tekanan intraokular sebelum - sesudah LASIK kelompok SE 6 D (2,55 ± 2,32 mmHg) lebih besar dibandingkan kelompok SE < 6 D (1,40 = 1,30 mmHg) dengan p=0,06.
Kesimpulan :
Tindakan bedah refraktif LASIK akan mengurangi ketebalan kornea dan merubah rigiditas kornea sehingga mempengaruhi hasil pengukuran tekanan intraokular.

Purpose :
To evaluate the intraocular pressure (IOP) measurement with Tonopen before and after laser-assisted in situ keratommileusis (LASIK).
Patients and Methods :
In a prospective study of clinic-based population undergoing elective LASIK surgery for myopia correction, lOP measurements were obtained preoperatively and postoperatively with Tonopen. Central corneal thickness was also obtained before and after surgery. Subject were assigned into two groups, spherical equivalent (SE) less than 6 dioptri (D) and 6 D above.
-Results
Four weeks after LASIK, mean IOP in two groups were lower than before surgery (P=0,00), as measured by Tonopen were 11,70 * 1,49 mmHg (SE < D) and 10,50 ± 1,00 mmHg (SE > 6 D). The mean 1OP reduction in SE a 6 D was higher than in SE < 6 D (2,55 ± 2,32 mmHg, 1,40 ± 1,30 mmHg, respectively, p=0.06).
Conclusion :
After LASIK, corneal thickness and corneal rigidity were reduced, causing it to undervalue IOP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>