Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58421 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdullah Saleh
"Dijumpainya late potential (LP) pada penderita-penderita pasca Infark Miokard Aleut (IMA) sangat berhubungan dengan meningkatnya risiko takikardia ventrikel (Ventricular tachycardia=VT) dan kematian jantung mendadak. Trombolisis telah terbukti menurunkan kematian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh terapi trombolisis terhadap kejadian LP. Dilakukan penelitian prospektif observasional terhadap 60 penderita IMA pertama, secara konsekutif di RS Jantung Harapan Kita dan RS Pusat Pertamina pada periode 20 Oktober 1995 sampai dengan 20 April 1996. Sebanyak tiga puluh penderita (semua laki-laki, rata-rata umur 49,1 ± 5,6 tahun) mendapat streptokinase intra vena (kelompok trombolisis) dan sebanyak 30 penderita lainnya (semua laki-laki, rata-rata umur 50,7 ± 5,7 tahun) mendapat pengobatan konservatif saja (kelompok non trombolisis). Pemeriksaan kateterisasi koroner dilakukan terhadap 26 (70 %) penderita dari kelompok trombolisis dan 15 (50 %) penderita kelompok non trombolisis. LP diperiksa menurut metode Simson (time domain analysis), menggunakan mesin Marquette Electronic type 15.

The presence of late potential (LP) in patients after Myocardial Aleut Infarction (IMA) is strongly associated with an increased risk of ventricular tachycardia (Ventricular tachycardia = VT) and sudden cardiac death. Thrombolysis has been shown to lower mortality. The purpose of this study is to assess the effect of thrombolysis therapy on the incidence of LP. An observational prospective study was conducted on the first 60 IMA patients, consequentially at Harapan Kita Heart Hospital and Pertamina Central Hospital in period from October 20, 1995 to April 20, 1996. A total of thirty patients (all males, average age 49.1 ± 5.6 years) received intravenous streptokinase (thrombolysis group) and as many as 30 other patients (all men, average age 50.7 ± 5.7 years) received conservative treatment only (non-thrombolysis group). Coronary catheterization examination was carried out on 26 (70%) patients from the thrombolysis group and 15 (50%) patients from the non-thrombolysis group. LP was examined according to the Samson method (time domain analysis), using a Marquette Electronic type 15 machine."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Syarif
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manuver vagal merupakan usaha lini pertama yang dilakukan pada pasien takikardia supraventrikel untuk mendapatkan konversi irama. Studi sebelumnya menunjukkan pemanjangan interval AH pada manuver Valsava. Mekanisme elektrofisiologi yang mendasari peningkatan efektifitas keberhasilan manuver Valsava termodifikasi belum diketahui dengan pasti. Tujuan: Mengetahui mekanisme elektrofisiologis yang mendasari keberhasilan peningkatan efektifitas manuver Valsava termodifikasi pada praktek klinis dibandingkan manuver Valsava standar. Metode: pasien takikarida supraventrikular TSV yang menjalani studi elektrofisiologi dan/atau ablasi radiofrekuensi di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dengan irama sinus. Pasien dilakukan induksi TSV sebelum dimulai prosedur, kemudian dilakukan manuver Valsava standar dan manuver Valsava termodifikasi secara crossover dan dievaluasi data elektrofisiologi termasuk interval AH selama 1 menit Hasil: Dari 16 pasien TSV didapatkan rerata Dinterval AH fase 4 manuver Valsava standar sebesar 10,6 28,6 ms dan Dinterval AH fase 4 manuver Valsava termodifikasi sebesar 35 27,6 ms dibandingkan kondisi pre-manuver sehingga terdapat peningkatan yang bermakna pada Dinterval AH sebesar 24,4 27,6 ms p=0,003 pada manuver Valsava termodifikasi dibanding manuver Valsava standar. Kesimpulan : Terdapat peningkatan respon vagal pada manuver Valsava termodifikasi yang digambarkan oleh pemanjangan interval AH yang lebih besar pada manuver Valsava termodifikasi dibandingkan manuver Valsava standar.

ABSTRACT<>br>
Background Vagal maneuver is a first line treatment for patient with stable supraventrikular tachycardia. Previous study showed prolongation of AH interval in Valsava maneuver. The electrophysiological mechanism of modified Valsava manuerver is not well understood. Objective To understand the electrophysiological mechanism of modified Valsava maneuver in SVT patient. Method Patient with supraventricular tachycardia SVT scheduled for electrophysiological study and or ablation procedure in National Cardiovascular Centre Harapan Kita NCCHK . SVT was induced in these patient and pre manuever data was collected, then standard Valsava and modified Valsava was performed with crossover design. Electrophysiological and hemodynamic data was then analyzed up to 1 minute after the maneuvers. Result From 16 SVT patients, DAH interval in phase 4 of standard Valsava maneuver was 10,6 28,6 ms dan DAH interval in phase 4 of modified Valsava maneuver was 35 27,6 ms compared to pre manuever data. Significant increase of 24,4 27,6 ms p 0,003 in DAH interval in phase 4 for modified Valsava maneuver was achieved compared to standar Valsava maneuver. Conclusion Increase vagal response in modified Valsava was shown by prolongation of AH interval compared to standar vaslsava maneuver."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Amira Callista
"ABSTRAK
Latar Belakang: Studi menunjukkan pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kanan VKa perioperasi, memiliki luaran mortalitas dan morbiditas yang kurang baik. Akan tetapi, studi yang menilai prediktor disfungsi VKa masih sedikit dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan: Mengidentifikasi faktor-faktor yang apa saja yang dapat menjadi prediktor disfungsi sistolik VKa pada pasien yang menjalani pembedahan katup mitral. Metode: Studi kasus kontrol dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK . Subyek penelitian adalah pasien yang menjalani operasi katup mitral sejak Januari 2016 sampai Februari 2017. Karakteristik dasar, data operasi, pemeriksaan ekokardiografi sebelum dan pasca operasi pre- discharge , serta catatan ruang intensif yang diperoleh dari rekam medis dicatat. Data kemudian diolah dengan analisis bivariat dan multivariat. Hasil Penelitian: Subyek sebanyak 282 pasien dengan 75 mengalami disfungsi Vka dengan TAPSE pascapembedahan

ABSTRACT
Background Studies have shown that patients with right ventricle RV dysfunction perioperatively have worse mortality and morbidity outcomes. Yet studies evaluating predictors of RV dysfunction are still scarce and have never been carried out in Indonesia. Objectives To identify which factors may predict the occurence of postoperative RV systolic dysfunction in patients undergoing mitral surgery. Method Case control study taking place in National Cardiovascular Center Harapan Kita NCCHK . Subjects are patients who underwent mitral surgery in NCCHK from January 2016 until February 2017. Data consisting of basic characteristics, surgical data, echocardiography parameters before and after surgery predischarge , and intensive care unit integrated records acquired from medical records are gathered. Bivariate and multivariate analyses are carried out. Results 282 patients were included in the study, 75 having RV dysfunction with postoperative TAPSE of...
"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ganda S
"Komplikasi pada jantung adalah penyebab utama kematian pada penderita penderita penyakit Takayasu. Telah dilaporkan bahwa penderita yang meninggal dunia oleh karena aritmia ventrikuler termyata juga menderita regurgitasi aorta. Untuk meneliti kekerapan aritmia ventrikuler pada penderita penyakit Takayasu dengan komplikasi regurgitasi aorta, 39 penderita penyakit Takayasu dengan usia bervariasi antara 27 sampai 72 tahun (usia rata rata 47±12 tahun) diteliti dengan menggunakan perekaman Holter elektrokardiografi 24 jam. Kekerapan dan keparahan aritnia ventrikuler pada penderita penderita dengan regurgitasi aorta yang penderita bermakna kemudian dibandingkan penderita tanpa regurgitasi aorta. Aritmia ventrikuler yang kompleks lebih sering dijmpai pada penderita penderita dengan regurgitasi aorta yang bermakna bila dibandingkan penderita penderita tanpa regurgitasi aorta (11 dari 16 penderita dibanding 5 dari 23 penderita; p<0,01).
Pada penderita penderita dengan regurgitasi aorta yang bermakna, dijumpai perbedaan yang tidak bermakna dalam kekerapan aritmia ventrikuler yang kompleks antara penderita penderita dengan thallium-201 miokardial skintigrafi yang abnormal dibandingkan penderita penderita dengan thallium-201 miokardial skintigrafi yang normal. Pada penderita dengan thallium-201 miokardial skintigrafi yang normal, aritmia ventrikuler yang kompleks ternyata lebih sering dijumpai pada penderita dengan regurgitasi aorta yang bermakna bila dibandingkan dengan penderita tanpa regurgitasi aorta (4 dari 6 penderita dibandingkan 0 dari 12 penderita ; p<0.05). Namun demikian, dijumpai perbedaan yang tidak bermakna dalam kekerapan aritmia ventrikuler yang kompleks pada penderita penderita dengan thalium-201 miokardial skintigrafi yang abnormal (7 dari 10 penderita dibanding 5 dari 11 penderita). Dijumpai massa bilik kiri jantung lebih besar pada penderita dengan aritmia ventrikuler yang kompleks dibanding penderita dengan aritmia ventrikuler yang simpel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57292
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiowati
"ABSTRAK
Latar Belakang. Jaringan parut fibrosis pasca infark berpotensi menyebabkan aritmia fatal, iskemia berulang, gagal jantung, dan kematian jantung mendadak. Deteksi jaringan parut akan menentukan strategi tatalaksana selanjutnya yang menguntungkan setiap pasien. Resonansi magnetik jantung (RMJ) merupakan alat diagnostik baku emas yang tidak dapat diterapkan pada semua pasien. EKG 12 sadapan dapat menjadi pilihan alternatif. Rasio initial dan terminal ventricular activation velocity (vi/vt) pada EKG membandingkan kecepatan impuls listrik pada awal (vi) dan akhir (vt) kompleks QRS. Jaringan parut akan mempunyai vi/vt yang berbeda dari jaringan normal karena kondisi iskemia mengubah aktivitas elektrik dan penjalaran impuls listrik akibat remodeling kanal ion dan proses transport ion.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang, mengikutsertakan subyek yang menjalani RMJ di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita selama Januari 2013-Agustus 2014 yang diambil secara konsekutif. Penilaian jaringan parut miokardium pada RMJ dilakukan dengan teknik late gadolinium enhancement yang dinilai secara kualitatif. Vi/vt diukur secara manual pada EKG 12 sadapan kemudian diambil reratanya pada tiap sadapan bersuaian.
Hasil. Sebanyak 113 subyek laki-laki dengan rerata umur 55.7±9.7 tahun diikutsertakan dalam analisis. Mayoritas subyek mempunyai jaringan parut ≥1 teritori dan melibatkan teritori yang diperdarahi arteri left anterior descending (LAD). Analisis vi/vt secara umum di tiap sadapan menunjukkan nilai vi/vt yang lebih kecil secara signifikan terhadap keberadaan jaringan parut miokardium dengan nilai p<0.001 untuk sadapan V1-V5, p=0.006 untuk sadapan I, aVL, V6 dan p=0.004 untuk sadapan II, III, aVF. Analisis secara spesifik nilai vi/vt sadapan V1-V5 bermakna terhadap teritori LAD yang isolated maupun mixed, sedangkan sadapan I, aVL, V6 dan sadapan II, III, aVF hanya bermakna terhadap jaringan parut yang mixed. Dari analisis ROC didapatkan nilai ambang batas vi/vt ≤1.35 mV di sadapan V1-V5 dengan sensitivitas 71.4% dan spesifisitas 75%. Nilai ambang batas vi/vt di sadapan II, III, aVF adalah ≤1.20 mV dengan sensitivitas 69.4% dan spesifisitas 66.7%.
Kesimpulan. Vi/vt pada EKG 12 sadapan memiliki hubungan dengan lokasi dan keberadaan jaringan parut miokardium. Nilai vi/vt 1.20-1.35 mV berhubungan dengan keberadaan jaringan parut miokardium di teritori LAD dan RCA dengan sensitivitas 69.4-71.4% dan spesifisitas 66.7-75%.

ABSTRACT
Background. Fibrotic scar tissue post infarction may potentially lead to fatal arrhythmias, recurrent ischaemia, heart failure, and sudden cardiac death (SCD). Detecting myocardial scar will guide further treatment which has the most advantages for each patient. Cardiac magnetic resonance (CMR) is still a gold standard which cannot be applied to every patient. A 12-leads ECG might be an alternative. Initial and terminal ventricular activation velocity ratio on surface ECG is comparing elecrical conduction at the beginning (vi) and at the end (vt) of the QRS complex. Myocardial scar tissue will have a different vi/vt than a normal tissue because ischaemia change cellular electrical activity and impulse propagation due to remodelling of intracellular ion channels and transport processes.
Methods. This is a cross-sectional study. A consecutive subjects who underwent CMR in National Cardiac Centre Harapan Kita during January 2013 and August 2014 were included. Myocardial scar were analyzed visually using late gadolinium enhancement CMR. Vi/vt on 12-leads ECG were measured manually on each lead and mean of each contiguous leads were included into analysis.
Results. A total of 113 male subjects with average age of 55.7±9.7 years old were enrolled. Myocardial scar were located in 1 territory or more in most of subjects and left anterior descending (LAD) territory as the most common territory. General analysis of vi/vt in each contiguous leads shows significantly smaller vi/vt value in myocardial scar presence with p value <0.001 in V1-V5 leads, p=0.006 in I, aVL, V6 leads, and p=0.004 in II, III, aVF leads. Specific analysis of vi/vt in V1-V5 leads show significant difference of vi/vt in isolated and mixed scar in LAD territory, meanwhile vi/vt in I, aVL, V6 and II, III, aVF leads show significant difference of vi/vt only in mixed scar in each territory according to contiguous leads. A cut-off value ≤1.35 mV of vi/vt in V1-V5 leads with 71.4% sensitivity and 75% specificity and a cut-off value ≤1.20 mV of vi/vt in II, III, aVF leads with 69.4% sensitivity and 66.7% specificity were obtained by ROC analysis.
Conclusion. Vi/vt on 12-leads ECG associated with myocardial scar presence and location. A value of vi/vt 1.20-1.35 mV associated with myocardial scar presence in LAD territory and RCA territory with 69.4-71.4% sensitivity and 66.7-75% specificity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Bhukkar A. S.
"Latar Belakang: Risiko aritmia pasta infark miokard akut 5-11%. Perlu adanya stratifikasi risiko tedadinya aritmia pasca infark miokard akin. Aritmia yang terjadi pasta infark miokard akut dapat disebabkan karena perubahan elektrofisiologi, milieu (transient factors) dan aritmia spontan. Penelitian menggunakan late potential sebagai salah satu modalitas untuk mendapat gambaran perubahan elektrofisiologi yang terjadi pasta infark miokard akin dan sebagai prediktor risiko terjadinya aritmia. Late potential didapatkan dengan pemeriksaan SA-ECG.
Subyek: Dikurnpulkan 38 kasus infark miokard akut barn, sejak bulan Juni 2004 sampai dengan Februari 2005. Usia berkisar antara 35 - 65 tahun. Kriteria inklusi diagnosis infark miokard akut dengan menggunakan kriteria WHO. Kriteria eksklusi: infark sebeluinnya, blok cabang berkas, angina pektoris tak stabil, atrial fibrilasi dan fluter, infark miokard dengan strok iskemia, bedah pintas koroner dan riwayat angioplasti (sten atau balon).
Metodologi: Penelitian ini menggunakan disain kohor, dilakukan pemeriksaan Signal Averaged ECG untuk mendapatkan late potential, kontrol internal late potential negatif Dilakukan uji hipotesis yang sesuai untuk mendapatkan nilai kemaknaan pada penelitian ink Pemeriksaan SA-ECG dilakukan pada hari 6-16 perawatan di RS Harapan Kita, late potential sesuai dua dari 3 kriteria WHO.
Hasil : Laki-laki 30 (78,9%), wanita 8 (21,1%) dan usia rerata 52,34 tahun. Jens infark Q wave 18 (47,4%) dan non Q wave 20 (52,6%). Aritmia terutarna PVC 7 (18,4%), ventrikular takikardia (VT) 2 (5,3%) dan 29 (76,3%) normal. Lokasi infark terutama inferior 17 (44,7%) , non inferior 21 (55,3%).Rerata seat dilakukan pemeriksaan SA-ECG yaitu 9,6 hail dengan SB ± 2,6 hari. Parameter pemeriksaan SA-ECG yaitu 1. QRSD rerata 114,8 ins, SB ±15,8 ms, 2_ HFLA rerata 36,2 ms, SB ± 12,8 ms, 3, RMS rerata 30,2 u.V, SB ± 15,9 µV. Didapatkan late potential positif 13 (34,2%). Kadar kalium bulan pertarna dan bulan kedua dalann Batas normal. Aritmia terjadi pada bulan pertama 2 (5,3%) dan 9 (23.5%). Pada bulan pertama aritmia terjadi pada pasien dengan satu late potential positif dan satu dengan late potential negatif.Sedangkan pada bulan ke 2 didapatkan terjadi aritmia 7 (53,8%) dengan late potential positif dan 2 (8%) dengan late potential negatif, p < 0.003, IK 95% dan relatif risk (RR) 6.73.Tidak didapatkan hubungan bermakna lokasi infark, slat pemeriksaan SA-ECG dengan terbentuknya late potential. Tidak didapat hubungan bermakna antara kaliurn dan kejadian aritmia.
Kesimpulan : Late potential dapat digunakan sebagai salah satu modalitas untuk stratifikasi risiko teijadinya aritmia, didapatkan aritmia dengan late potential positif pada bulan 2,.p < 0,003 dan risiko relatif sebesar 6,73. Perlu dilakukan penelitian dengan populasi yang lebih banyak, melibatkan beberapa seater, dilakukan menggunakan halter monitor untuk mengawasi terjadinya aritmia dan dalam waktu 1 tahun pasca infark miokard akut.

Background: Risk of arrhythmias in post acute myocardial infarction in first 2 years was within range 5-i 1%. The stratification of arrhythmia event in post acute myocardial infarction was needed. There are several factors in arrhythmias mechanism, such as electrophysiology alteration, milieu (transient factors) and spontaneous arrhythmias. In this study, late potential as cardio electrophysiology state post infarction is used to be arrhythmias predictor. Late potential description was obtained used by Signal-Averaged ECG.
Subjects: Thirty eight consecutive patients admitted to coronary care unit in Dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan hospitals with documented acute myocardial infarction, since Juny 2004 to February 2005. Their ages were ranging from 35 to 65 years: Patients were included according to WHO acute myocardial infarction criteria.
Methods: This is a cohort study. SA-ECG was performed to obtained late potential, negative late potential patients as internal control. Signal-Averaged ECG was done in 6 - 16 days post acute myocardial infarction in Harapan Kita hospital. An abnormal (positive) SA-ECG is considered if two or more of the following three criteria from WHO.
Results: Subjects consisted of 30 (78,9%) male patients and female of 8 (21,1%). The mean age was 52,34 years.The incidence Q wave and non Q wave of acute myocardial infarction were 18 (47,4%) and 20 (52,6%). Type of arrhytrnias were premature ventricle contraction (PVC) 7 (18,4%), ventricular tachycardia (VT) 2 (5,3%) and normal 29 (76,3%). The inferior and non inferior wall site of infarction were 17 (44,7%) and 21 (55,3%). The mean time (days) recording of SA-ECG was 9,6 days, SD 1 2,6 days. There were three parameters of SA ECG included L QRSD mean 114,8 ms, SD 115,8 ms, 2. HFLA mean 36,2 ms, SD ± 12,8 ms, 3, RMS mean 30,2 p.V, SD ± 15,9 IN. The incidence abnormal SA-ECG was 13 (34,2%), Kalium level in first and second month of following was within normal range. The arrhytmias event in first and second month were 2 (5,3%) and 9 (23,7%). in first month, arrhytmia event in one positive and one negative late potential. In second month, seven of 9 patients had positive late potential. There was significant relation between abnormal SA-ECG and arrhytmia event in second month, p < 0.003 (CI 95%: 1,63-27,89), relative risk (RR) 6,73. There was no significant relation in site of infarction, time recording of SA-ECG, and kalium level with arrhytmia event.
Conclusion: The late potential could be used as one of arrhytmia predictors of post acute myocardial infarction. There was significant relation between late potential and arrhytmia in second month, p < 0,003, relative risk (RR) 6,73. Furthere study is needed with greater samples size and appropriate instruments (eg. Holter monitor).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. R. Kongko Herry N.
"Dalam penelitian ini terbukti secara bermakna bahwa depresi menurunkan kualitas bidup penderita pria pasca IMA dalam jangka pendek. Dalam penelitian ini tidak terbukti secara bermakna adanya hubungan antara pengobatan psikofarmaka (diazepam) pada saat teIjadinya IMA, usia, bipertensi, DM, lama pendidikan formal, aspek spiritual dan dukungan sosial dengan kualitas bidup setelah 2 bulan pasca IMA.

In this study, it was proven that depression significantly decreased the quality of male bids after IMA in the short term. In this study, it was not proven that there was a significant relationship between psychopharmaceutical treatment (diazepam) at the time of IMA, age, bitenasis, DM, length of formal education, spiritual aspects and social support with the quality of bidup after 2 months after IMA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Fauziah
"Latar belakang: Prosedur Fontan merupakan tindakan pembedahan bagi penyakit PJB dengan fungsi ventrikel tunggal. Angka mortalitas pasca operasi Fontan di negara maju cukup rendah, sementara di Indonesia berkisar antara 8.6-9.1 . Perbedaan struktur dan karakteristik VKa dan VKi berakibat pada perbedaan kesiapan memerankan fungsi pompa sistemik pada fisiologi PJB dengan ventrikel tunggal dan luaran klinis pascaoperasi Fontan. Pengaruh jenis morfologi ventrikel sistemik terhadap kelangsungan hidup jangka menengah ataupun panjang saat ini masih kontroversial.Tujuan: Mengetahui pengaruh jenis morfologi ventrikel sistemik dan faktor-faktor lain terhadap kelangsungan hidup 10 tahun pasien pascaoperasi Fontan.Metode: Penelusuran data registri, konferensi bedah, rekam medis, laporan bedah, ekokardiografi dan kateterisasi, serta follow up pasien per telepon dilakukan pada 162 pasien yang keluar hidup setelah perawatan pertama pascaoperasi Fontan pada periode 2008 - Februari 2018. Analisis waktu terjadinya event ditentukan berdasarkan titik awal dan titik akhir penelitian. Hasil: Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan morfologi ventrikel sistemik, yaitu 74 kasus dengan morfologi VKi dominan dan 88 pasien dengan morfologi VKa dominan. Jenis morfologi ventrikel sistemik tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup 10 tahun pasien pascaoperasi Fontan. Tromboemboli pascaoperasi berpengaruh terhadap kelangsungan hidup 10 tahun pascaoperasi Fontan HR 4.84, IK 95 1.26-18.55, p = 0.021 Kesimpulan: Jenis morfologi ventrikel sistemik tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup 10 tahun pasien pascaoperasi Fontan. Namun komplikasi tromboemboli pascaoperasi meningkatkan risiko kematian sebesar 4.84 kali lipat setelah prosedur Fontan.

Background Fontan procedure has been applied to many patients with single ventricle physiology with quite low mortality rate all over the world, with 8.6 9.1 rate in Indonesia. Structure and characteristic difference of morphologically left and right ventricle influence systemic ventricle role of functionally univentricular heart and impacts on postoperative outcomes. The question regarding mid and long term survival based on dominant ventricle morphology remains controversial. Objectives To investigate the impact of dominant ventricle morphology on ten year survival after Fontan procedure.Methods 162 patients who underwent Fontan operation at our institution between 2008 and February 2018 and survived after first hospital postoperative care were reviewed and followed up until March 2018. Data were extracted from registry and pediatric surgical conference, medical record, surgery report, echocardiography, catheterization report, and follow up call at the end of time cohort. Median follow up period was 816 340 1660 days.Results Subjects are divided into 2 groups based on dominant ventricle morphology. Seventy four patients are included in left morphology group and 88 patients in right morphology group. There were no difference on 10 year survival rate after Fontan between the two type of dominant ventricle morphology. Postoperative thromboembolic event influenced 10 year survival rate after Fontan procedure HR 4.84, CI 95 1.26 18.55, p 0.021 Conclusion Dominant ventricle morphology was not associated with 10 year survival rate after Fontan procedure. Postoperative thromboembolic event increase mortality risk 4.84 times higher after Fontan procedure. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Irawati Soeria Santoso
"Latar belakang. Latihan fisik yang dijalankan secara teratur dengan intensitas dan durasi tertentu akan merangsang remodeling jantung sebagai usaha untuk mempertahankan fungsi ventrikel terhadap peningkatan beban biomekanik pada jantung. Diperkirakan bahwa latihan fisik jangka panjang menimbulkan remodeling jantung menyerupai hipertrofi kardiomiopati, berupa hipertrofi miosit dengan kekacauan tatanan miosit, fibrosis, apoptosis dan ko-lokalisasi gap junction. Tujuan penelitian. Mengetahui dampak latihan fisik jangka panjang dan henti-latih pada remodeling kardiomiosit.
Metode penelitian. Penelitian eksperimental in vivo pada tikus Wistar ini dilakukan di Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler, Laboratorium Imunohistologi Departemen Patologi Anatomi dan Bagian Fisiologi, FKUI. Latihan fisik dengan intensitas dan jangka waktu latihan yang berbeda, serta henti latih setelah periode latihan diterapkan pada tikus Wistar jantan dewasa muda. Dilakukan analisis terhadap perubahan morfologi kardiomiosit, fibrosis, apoptosis (ekspresi Caspase-3, Bax dan Bcl-2), gap junction (ekspresi Connexin43) dan pola EKG. Perubahan morfologi kardiomiosit diamati menggunakan pulasan Hematoxylin Eosin, fibrosis diamati menggunakan pulasan Masson?s Trichrome, sedangkan ekspresi Caspase-3, Bax, Bcl-2 dan Connexin43 diamati melalui pulasan imunohistokimia. Rekaman EKG dilakukan dengan filter 100 Hz, pada kecepatan kertas 50 mm/detik dan kepekaan 1 mV = 20 mm.
Hasil dan pembahasan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan aerobik dan anaerobik menimbulkan hipertrofi eksentrik dengan peningkatan fibrosis dan apoptosis serta ko-lokalisasi gap junction ke arah lateral membran. Perubahan kardiomiosit, peningkatan fibrosis dan apoptosis lebih nyata pada latihan anaerobik dibandingkan latihan aerobik. Pola EKG menunjang adanya pembesaran ventrikel akibat latihan aerobik dan anaerobik disertai gangguan repolarisasi yang nyata terutama pada latihan anaerobik. Henti latih tidak mengembalikan morfologi miosit, apoptosis dan lokalisasi gap junction ke keadaan semula. Pola EKG setelah periode henti latih pada latihan aerobik tetap menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel tanpa gangguan penghataran impuls yang berarti, namun pada latihan anaerobik tetap didapatkan gangguan repolarisasi berupa pemanjangan interval QTc yang bermakna.
Kesimpulan. Remodeling kardiomiosit akibat latihan fisik jangka panjang tidak menyerupai struktur hipertrofi kardiomiopati, namun disertai peningkatan apoptosis, kolokalisasi Cx43 dan gangguan penghantaran impuls. Henti-latih tidak memulihkan remodeling jantung maupun gangguan penghantaran impuls listrik.

Background. Regular physical exercise with certain intensity and duration stimulates remodeling of the heart as an effort to preserve ventricular function against an increased biomechanical load. It is postulated that long-term exercise induces cardiac remodeling that resemble cardiomyopathy hypertrophy marked by cardiomyocyte disarray, fibrosis, apoptosis and co-localization of gap junction. Research objective. To study the effect of long-term physical exercise and detraining on cardiomyocyte remodeling.
Methodology. This in vivo experimental study was conducted at the Departement of Biochemistry and Molecular Biology, Immunohistology Laboratory of Departement of Pathological Anatomy and Departement of Physiology FMUI. Physical exercise with different intensity and periods of training was performed in groups of young adult male Wistar rats, followed by a period of detraining. Analysis of cardiomyocyte morphological changes, fibrosis, apoptosis (expression of Caspase-3, Bax and Bcl-2), gap junctions (expression Connexin43) and ECG pattern was conducted. Changes in cardiomyocyte morphology was observed using Haematoxylin Eosin staining, fibrosis was observed using Masson's Trichrome staining, whereas the expression of Caspase-3, Bax, Bcl-2 and Connexin43 was observed through immunohistochemical staining. ECG recording was done with a filter of 100 Hz, the paper speed of 50 mm/sec and the sensitivity of 1 mV = 20 mm.
Results and discussion. The results showed that aerobic and anaerobic exercises cause the development of eccentric hypertrophy, with increased fibrosis and apoptosis as well as co-localization of gap junction to the lateral site of the membrane. Cardiomyocyte remodeling, fibrosis and apoptosis were more prominent in anaerobic compared to aerobic exercise group. The ECG pattern supports enlargement of the ventricles due to aerobic and anaerobic exercises with noticeable repolarization disturbances, especially in the anaerobic group. Detraining did not return myocyte morphology, apoptosis and localization of gap junctions to its basic state. The ECG pattern after a period of detraining following aerobic exercise supports the existence of ventricular hypertrophy without significant disturbances in impulse conduction, however repolarization disturbances in the form of significant prolongation of QTc interval persist in the group with anaerobic exercise.
Conclusion. Cardiomyocyte remodeling due to long-term physical exercise did not resemble cardiomyopathy hypertrophy structure, although increased apoptosis, colocalization of Cx43 and distrbances in impuls conduction were observed. Detraining did not restore cardiac remodeling and disturbances in electrical impulse conduction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Bintoro
"Latar Belakang. Pemacuan ventrikel kanan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari tatalaksana bradikardi simptomatik, bradiaritmia, dan kelainan konduksi lainnya. Sayangnya terdapat efek buruk pemacuan ventrikel kanan terhadap disinkroni dan penurunan fungsi ventrikel kiri. Penelitian ini mencoba melihat secara potong lintang hubungan pemacuan ventrikel kanan terhadap kejadian disinkroni dan penurunan fungsi ventrikel kiri.
Metode. Seratus delapan belas pasien dengan disfungsi nodal AV diambil secara konsekutif untuk studi potong lintang, mulai bulan Maret hingga Mei 2013 didapat dari registri divisi Aritmia Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien menjalani pemeriksaan disinkroni dan fungsi ventrikel kiri dengan ekokardiografi. Dilakukan penilaian terhadap interval elektromekanikal dengan doppler jaringan, kemudian dinilai variabel nilai awal yang didapat dari rekam medis pasien.
Hasil. Dalam studi kami, 70 dari 118 (59.3%) pasien mengalami disinkroni dalam rerata durasi pemacuan 4.7 tahun. Terdapat perbedaan signifikan terhadap durasi waktu di kelompok pasien yang mengalami disinkroni intraventrikel dengan yang tidak mengalami disinkroni intraventrikel (5.29 vs 3.27 tahun). Setelah pemacuan ventrikel kanan 6.1 tahun, pasien paska pacu-jantung berisiko untuk mengalami disinkroni intraventrikel dengan OR 4.07 kali. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara pemacuan di apeks RV ataupun RVOT terhadap kejadian disinkroni. Terdapat kecenderungan kejadian disinkroni intraventrikel, disinkroni interventrikel, dan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien-pasien yang mendapatkan pemacuan apeks RV.
Kesimpulan. Semakin lama durasi pemacuan ventrikel kanan, semakin tinggi risiko kejadian disinkroni intraventrikel pada pasien pacu-jantung permanen dengan OR di atas 6.1 tahun adalah 4.07 kali.

Background. Right ventricular pacing is an established therapy from the management of symptomatic bradycardia, brady-arrhytmias, and other conduction disturbances. Unfortunately there are deleterious effects of right ventricular pacing on cardiac synchrony and left ventricular function. This study tried to look cross sectionaly the variable of pacing duration, lead locations to the occurrence of dyssynchrony and decrease left ventricular ejection fraction.
Method. One hundred and eighteen patients with AV nodal dysfunction (SND with AVN dysfunction, AF slow response, Total AV-Block, and AF post AVJ ablation) taken consecutively for this cross-sectional study, from March to May 2013 obtained from the registry division of the National Cardiac Arrhythmia Center Harapan Kita, Jakarta. Patients then undergone echocardiography assessment for cardiac dyssynchrony and left ventricular function. After we assessed of the electromechanical interval with tissue Doppler, we then assessed the value of the basic variables that was obtained from patient medical records.
Results. In our study, 70 of 118 (59.3%) patients had dyssynchrony at a mean duration of pacing disinkroni in 4.7 years. There are significant differences in the duration of time under pacing in the group of patients who experienced intraventricular dyssynchrony (5.29 vs. 3.27 years). In post-cardiac pacemaker patients, there were increased risk by year with peak after 6.1 years of OR 4.07 times. There were no significant differences between pacing lead at the RV apex or RVOT. There is a downward trend in intraventricular and interventricular dyssynchrony, also with poor left ventricular ejection fraction in patients receiving RV apical pacing.
Conclusion. The longer the duration of right ventricular pacing, the higher the risk of intraventricular dyssynchrony in patients with permanent cardiac pacemaker (OR for patients with RV pacing more than 6.1 years is 4.07x).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>