Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166652 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kiara Nadhifa
"Tren video pendek mengalami peningkatan yang pesat selama beberapa tahun terakhir akibat lockdown COVID-19. Penggunaan aplikasi video pendek berhubungan dengan salah satu fungsi eksekutif, yaitu memori kerja. Meskipun begitu, mekanisme hubungan antara keduanya belum banyak diketahui. Dalam penelitian ini, sustained attention diduga berperan sebagai mediator dalam hubungan antara durasi menonton video pendek dan memori kerja pada dewasa awal. Padahal, studi menemukan bahwa performa fungsi eksekutif mencapai perkembangan optimal pada masa dewasa muda. Sebanyak 81 partisipan berusia 18-25 tahun mengikuti seluruh rangkaian penelitian. Durasi menonton video pendek diukur dengan rata-rata individu menonton TikTok dalam sebulan. Sementara itu, sustained attention diukur menggunakan Sustained Attention to Response Task dan memori kerja diukur menggunakan Symmetry Span Task. Hasil analisis mediasi menggunakan PROCESS Hayes model 4 di SPSS menunjukkan bahwa hubungan antara durasi menonton video pendek dan memori kerja tidak dimediasi oleh sustained attention melalui indirect effect-nya. Namun, direct effect dari analisis mediasi dan analisis korelasi antara durasi menonton video pendek dan memori kerja memiliki hasil yang signifikan sehingga kedua variabel berhubungan secara langsung. Direct effect menunjukkan hasil signifikan negatif yang mengindikasikan bahwa durasi menonton video pendek TikTok yang berlebihan dapat menurunkan performa dari memori kerja. Penelitian ini berimplikasi pada pentingnya mengelola durasi menonton video pendek terhadap performa memori kerja individu.

The trend of short videos has increased rapidly over the past few years due to the COVID-19 lockdown. The use of short video applications is related to one of the executive functions, namely working memory. However, the mechanism of the relationship between the two is not widely understood. In this study, sustained attention is suspected to have a mediating role between the duration of watching short videos and working memory in emerging adults. Meanwhile, early studies found that the performance of executive functions reaches optimal development in emerging adulthood. A total of 81 participants aged18-25 years participated in the entire series of this study. The duration of watching short form videos was measured by the average time of watching TikTok in a month. Meanwhile, sustained attention was measured using the Sustained Attention to Response Task and working memory was measured using Symmetry Span Task. The result of the mediation analysis using PROCESS Hayes model 4 in SPSS showed that the relationship between the duration of short form video watching and working memory was not mediated by sustained attention through its indirect effect. However, the direct effect of the mediation analysis and the correlation analysis between the duration of short form video watching and working memory had significant results, thus the two variables had direct relationship. The direct effect is significantly negative which indicates that the duration of watching short videos excessively can reduce working memory performance. This study has implications for the importance of managing the duration of watching short videos on individual working memory performance. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Supriawan
"Latar belakang : Sepak bola merupakan olahraga open motor skill sehingga harus memiliki atensi dan memori kerja yang baik untuk menghadapi lingkungan pertandingan yang dinamis. Pemain yang berpengalaman akan mempunyai level atensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemain yang tidak pengalaman. Memori kerja menggambarkan kemampuan seorang atlet dalam mempersepsikan informasi sensoris menjadi sebuah aksi yang bertujuan sehingga akan mempengaruhi performa atlet. Di Indonesia belum ada pemeriksaan objektif mengenai hal ini. Tujuan penelitian mengetahui performa atensi dan memori kerja pada atlet sepak bola berdasarkan pemeriksaan Trail Making Test (TMT) B, Letter Cancellation Test (LCT) dan neurofisiologis event-related potential (ERP) P300.
Metode Penelitian : Studi potong lintang yang membandingkan atlet sepak bola liga 3 dengan kelompok non-atlet untuk mengidentifikasi waktu tercepat melakukan tugas TMT B, LCT dan performa P300 seperti latensi, simetrisitas kedua hemisfer, kecepatan reaksi serta tingkat kesalahan berdasarkan omission error dan commission error. Analisa menggunakan uji t test berpasangan, Wilcoxon dan uji Fisher
Hasil : Dari 14 subjek pada masing masing kelompok, waktu pengerjaan LCT pada atlet cenderung lebih cepat namun tidak bermakna (p=0,168), lebih lama pada TMT B (p=615), latensi P300 lebih cepat pada semua sadapan kecuali di FP2 dan bermakna pada daerah temporal (T3, T5,T6), parietal (Pz) dan oksipital (01), latensi P300 yang simetris di semua sadapan dan amplitudonya P300 yang simetris dibandingkan non-atlet yang terdapat frontal asimetris serta tingkat ketelitian yang lebib baik dengan tidak adanya kesalahan pada omission error (0 vs 4subjek ) dan sedikitnya kesalahan pada commission error (2 vs 6 subjek).
Kesimpulan : Pemerikaan ERP P300, TMT B dan LCT dapat digunakan sebagai pemeriksaan objektif untuk menilai atensi dan memori kerja pada atlet sepak bola. Latensi yang lebih cepat dan simetris, amplitudo frontal yang simetris, tingkat kesalahan yang sedikit menunjukkan performa atensi dan memori kerja yang cepat dan akurat, namun belum tergambarkan secara fenotip (TMT B dan LCT).

Background : Football is an open motor skill sport, therefore to compete in a fast-paced atmosphere, you'll need to pay close attention and have an excellent working memory. Players with more experience will pay more attention than inexperienced players. Working memory is the term used to characterize an athlete's capacity to translate sensory information into intentional action that will impact performance. There hasn't been any impartial investigation of this issue in Indonesia. Using the Trail Making Test (TMT) B,
Letter Cancellation Test (LCT), and neurophysiological event related potential (ERP) P300 tests, the study's objective was to assess soccer players' attention and working memory
abilities.
Method : To determine the quickest time to complete TMT B, LCT, and P300 performance tasks, such as latency, symmetry of both hemispheres, reaction time, and error rate based on omission error and commission error, a cross-sectional study compared groups of league 3 soccer players with non-athlete groups in Indonesia. analysis utilizing the
Wilcoxon, paired t tests and Fisher.
Results : Of the 14 subjects in each group, the time for LCT processing in athletes tended to be faster but not significant (p=0.168), longer in TMT B (p=0,615), P300 latency was faster in all leads except in FP2 and significant in the temporal (T3, T5, T6), parietal (Pz) and occipital (01), symmetrical P300 latency in all leads and symmetrical P300 amplitude compared to non-athletes who have frontal asymmetry and a better level of accuracy with no errors in omission error (0 vs 4 subjects) and least error on commission error (2 vs 6 subjects).
Conclusion : Soccer players' attention and working memory can be evaluated objectively by looking at their ERP P300, TMT B, and LCT. Although not yet phenotypically defined (TMT B and LCT), faster latency and symmetrical, symmetrical frontal amplitude, reduced mistake rate, imply rapid and accurate attentional and working memory function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Tiara Sakti
"Penelitian ini bertujuan untuk memahami hubungan antara durasi bermain video games yang mengandung kekerasan dan tingkat agresivitas pada anak usia sekolah. Seratus enam belas anak berusia 9 hingga 11 tahun diminta untuk mengisi kuesioner guna memperoleh info tentang durasi bermain video games dan tingkat agresivitas nya dengan menggunakan alat ukur The Problem Behavior Frequency Scales (PBFS).
Sesuai dengan hipotesis, hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara durasi bermain video games yang mengandung kekerasan dan tingkat agresivitas. Dengan kata lain, tingginya durasi bermain video games yang mengandung kekerasan berhubungan dengan tingginya agresivitas. Selain itu, durasi bermain video games yang mengandung kekerasan tidak hanya memiliki hubungan dengan agresi fisik, melainkan juga dengan agresi non-fisik dan agresi relasional.

The purpose of the study was to examine the relationship between duration of playing violent video games and the level of aggression displayed by middleschool children. A total of 116 children aged 9 to 11 years old were asked to fill out a questionaire related to their duration playing violent video games and the The Problem Behavior Frequency Scales (PBFS) to measure their level of aggression.
As hypothesized, this study found that there was a positive significant relationship between duration of playing violent video games and the level of aggression in middlechildhood. This study also found that duration of playing violent video games was not only related to physical aggression, but also to non-physical and relational aggression.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S58165
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Julian Devianti
"Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui peran psychological capital (PsyCap) dalam memediasi hubungan antara perceived social support dan subjective well-being pada istri yang bekerja. Penelitian ini penting karena belum ada pemahaman yang jelas terkait dengan bagaimana perceived social support dapat berperan pada subjective well-being istri yang bekerja. Pada penelitian ini, subjective well-being diukur dengan Satisfaction with Life Scale dan Scale of Positive Affect and Negative Experience, perceived social support diukur menggunakan Multidimensional Scale of Perceived Social Support, dan psychological capital diukur dengan PCQ-12. Penelitian ini dilakukan pada 117 istri yang bekerja. Hasil penelitian menemukan bahwa psychological capital memediasi hubungan antara perceived social support dan subjective well-being. Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya literatur terkait variabel perceived social support, psychological capital, dan subjective well-being.

This study aimed to examine the role of psychological capital (PsyCap) in mediating the relationship between perceived social support and subjective well-being of working wives. This study is important because there is yet a clear understanding on how perceived social support can contribute to subjective well-being of working wives. In this study, subjective well-being was measured by Satisfaction with Life Scale and Scale of Positive Affect and Negative Experience, perceived social support was measured using Multidimensional Scale of Perceived Social Support, and psychological capital was measured by PCQ-12. This study was conducted on 117 working wives. The results found that psychological capital mediates the relationship between perceived social support and subjective well-being. The results of this study can be useful for enriching the literature related to the variables of perceived social support, psychological capital, and subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renata Ratnasari
"Lima tahun pertama pernikahan merupakan periode yang membutuhkan penyesuaian diri.Dalam periode ini individu dan pasangan rentan mengalami konflik karena menghadapi berbagai perbedaan nilai, pandangan, persespi hingga kebiasaan. Kerentanan terhadap konflik berkontribusi menambah tekanan yang dialami oleh individu dalam menyesuaikan diri terhadap kehidupan pernikahan. Dalam periode penyesuaian ini, salah satu faktor protektif individu dalam menghadapi tekanan, yaitu mindfulness. Salah satu mekanisme yang menjembatani hubungan antara mindfulness dan penyesuaian pernikahan diduga melalui penerapan strategi konflik baik secara konstruktif maupun destruktif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah strategi konflik konstruktif maupun destruktif memediasi hubungan antara mindfulness trait dengan penyesuaian pernikahan. Partisipan penelitian berjumlah 150 orang (74% perempuan; M = 27,49, SD = 2,4). Penyesuaian pernikahan diukur melalui DAS, mindfulness diukur menggunakan MAAS, dan strategi konflik diukur melalui RPCS. Melalui analisis mediasi, ditemukan adanya hubungan mediasi antara mindfulness dan penyesuaian pernikahan secara penuh melalui strategi konflik konstruktif (a1b = 0,334; SE = 0,148; 95%; CI [0,06 , 0,65]) dan strategi konflik destruktif (a2b = 0,137; SE = 0,07; 95%; CI [0,03 , 0,30]). Hal ini menunjukkan  peran strategi konflik berbasis mindfulness khususnya, berkolaborasi dalam pemecahan masalah bersama pasangan dan penurunan reaktivitas emosi, berperan penting terhadap penyesuaian pernikahan di lima tahun pertama.  

The first-five years of marriage is a period that requires adjustment. In this period, individuals and spouse more likely to argue during this time because of differences  values, opinions, perceptions, and habits. The vulnerability of conflict increased the pressure on individuals attempting to adjust to married life. During the adjustment period with the spouse, one of the individual protective factors in dealing with pressure is mindfulness. One of the mechanisms bridging the relationship between mindfulness and marital adjustment is postulated to be through the application of conflict strategies both constructively and destructively. This study aims to see whether constructive or destructive conflict strategies mediate the relationship between the mindfulness and marital adjustment. There were 150 study participants (74% female; M = 27,49, SD = 2,4). Marital adjustment was measured through DAS, mindfulness was measured using MAAS, and conflict strategies were measured through RPCS. Through mediation analysis, it was found that there was a mediation relationship through a constructive conflict strategy (a1b1 = 0,334; SE = 0,148; 95%; CI [0,06 , 0,65]) and destructive conflict strategy (a2b2 = 0,137; SE = 0,07; 95%; CI [0,03 , 0,30]). This shows that the role of mindfulness-based conflict strategies, particularly collaboration in solving problems with the spouse and the decreasing emotional reactivity, play an important role in the marriage adjustment in the first five-years."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, James Indra Saputra
"Rasa iri dijelaskan oleh Smith & Kim (2007), merupakan sebuah emosi yang dapat mendorong seseorang menuntut kesetaraan. Studi lainnya dari Harris & Henniger (2013), menemukan hasil bahwa semakin tinggi rasa iri maka semakin liberal seseorang. Berdasarkan dua penelitian tersebut penelitian ini memilih ideologi feminisme yang memperjuangkan isu kesetaraan gender secara global. Feminisme merupakan sebuah ideologi liberal yang memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Beberapa ahli menjelaskan bahwa perempuan memiliki status yang lebih rendah dibanding laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari rasa iri terhadap status sosial laki-laki pada dukungan feminisme perempuan. Penelitian ini merupakan studi eksperimen online dengan kelompok kontrol dan eksperimen. Pada kelompok eksperimen, partisipan diberikan paparan statistik partisipasi kerja laki-laki dan perempuan kemudian membaca teks skenario di lingkup dunia kerja. Kelompok kontrol hanya membaca teks skenario tanpa diberikan teks statistik. Hasil yang ditemukan rasa iri tidak dapat memprediksi dukungan terhadap nilai feminisme dengan peran mediasi dari psychological entitlement.

Envy explained by Smith & Kim (2007), is an emotion that can drive someone to demand equality. Another study from Harris & Henniger (2013) found that the higher the envy, the more liberal a person was. Based on these two studies, this study chooses feminism ideology which advocates the issue of gender equality globally. Feminism is a liberal ideology that fights for equality between women and men. Some experts explain that women have lower status than men. This study aims to look at the effect of envy on men's social status on the support of women's feminism. This research is an online experimental study with control and experimental groups. In the experimental group, participants were given exposure to statistics of work participation of men and women then read the text of the scenario in the world of work. The control group only reads the scenario text without being given a statistical text. The results found that envy cannot predict support for the value of feminism with the mediating role of psychological entitlement.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusfiatra
"ABSTRAK
Latar Belakang : Gangguan sustained attention merupakan gangguan kognitif yang paling sering terjadi pascacedera kepala, yang akan mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas kerja pasien dan faktor yang mempengaruhinya belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi gangguan sustained attention visual dan auditorik pascacedera kepala dan faktor yang mempengaruhinya.Metode : Studi ini dilakukan secara potong lintang deskriptif pada pasien pascacedera kepala di IGD, Ruang Rawat dan Poliklinik Neurologi RSCM bulan Oktober 2016 - Januari 2017. Faktor yang dianalisis adalah derajat cedera kepala, dan gambaran CT scan kepala berupa jumlah lesi dan lokasi lesi. Penilaian sustained attention visual dilakukan dengan pemeriksaan Ruff 2 7 Selective Attention Test RSAT dan penilaian sustained attention auditorik dengan lsquo;A rsquo; Random Letter Test. Gangguan sustained attention visual ditetapkan jika T Score Total Speed atau T Score Total Accuracy < 40. Gangguan sustained attention auditorik ditetapkan jika terdapat kesalahan > 2 pada lsquo;A rsquo; Random Letter Test.Hasil : Diantara 38 orang subjek pascacedera kepala, didapatkan prevalensi gangguan sustained attention visual sebesar 60,5 dan gangguan sustained attention auditorik sebesar 57,9 . Subjek cedera kepala sedang 55,3 memiliki potensi risiko 15,7 kali mengalami gangguan sustained attention dibandingkan cedera kepala ringan 34,2 IK 95 1,21-204,5 . Subjek dengan lesi fokal di hemisfer bilateral 23,7 memiliki potensi risiko 7,92 kali mengalami gangguan sustained attention dibandingkan subjek dengan CT scan normal 50 IK 95 1,19-131,54 .Kesimpulan : Gangguan sustained attention banyak dijumpai pascacedera kepala. Cedera kepala sedang dan lesi fokal di hemisfer bilateral merupakan faktor yang mempengaruhi gangguan sustained attention

ABSTRACT
Background Impaired sustained attention is the most common cognitive impairment after head injury, which will affect quality of life and work productivity. Its influencing factors are yet to be known. The objective of this study is to determine the prevalence of impaired visual and auditoric sustained attention as well as its associated factors.Methods This was a descriptive, cross sectional study performed on patients after head injury in the emergency unit, inpatient unit, and outpatient unit of Cipto Mangunkusumo Hospital from October 2016 to January 2017. We analyzed the degree of injury as well as head CT scan, including amount of lesion and location of lesion. Visual sustained attention was evaluated using the Ruff 2 and 7 Selective Attention Test, whereas auditoric sustained attention was evaluated using lsquo A rsquo Random Letter Test. Impaired visual sustained attention was established if the Total Speed T Score or Total Accuracy T Score was "
2017
T55607
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evi
"

Latar belakang: Proses belajar penting bagi seorang anak dalam perkembangannya. Anak dapat belajar dengan baik bila didukung kondisi yang baik pula. Salah satu faktor pendukung tersebut adalah fungsi memori kerja. Penelitian menunjukkan memori kerja merupakan prediktor kapasitas belajar yang lebih bermakna daripada intelligence quotient (IQ). Bila fungsi ini terganggu, anak dapat mengalami kesulitan belajar. Studi melaporkan gangguan memori kerja banyak ditemukan pada gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mendapatkan data proporsi gangguan memori kerja pada anak GPPH dan perbandingan dengan anak tanpa GPPH. Data ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi pengembangan intervensi selanjutnya.

 

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang pada bulan Mei 2017 hingga Mei 2019. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode randomized sampling menggunakan program SPSS. Instrumen Mini International Neuropsychiatry Interview KID (M.I.N.I. KID) digunakan untuk membantu menegakkan 24 diagnosis gangguan jiwa anak dan remaja yang terdapat di DSM-IV dan ICD-10 secara komprehensif dan Working Memory Rating Scale (WMRS) dgunakan untuk menentukan ada tidaknya defisit memori kerja pada anak berusia 5-11 tahun dan telah divalidasi dalam Bahasa Indonesia oleh Wiguna, dkk. (2012).

 

Hasil: Proporsi gangguan memori kerja pada kelompok anak dengan GPPH berbeda bermakna dibandingkan kelompok anak tanpa GPPH (44% vs 0%, p<0,05). Pada uji analisis, didapatkan prevalence ratio (PR) sebesar 40,4 (95%CI 2,22 - 738,01), artinya anak dengan GPPH berisiko mengalami gangguan memori kerja 40,4 kali lebih besar dibandingkan anak tanpa GPPH. Rerata WMRS juga menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok subjek dengan GPPH dan kelompok subjek tanpa GPPH [50,48 (SB=11,08) vs 30,60 (SB=8,04), p<0,05] namun tidak berbeda bermakna antara kelompok subjek dengan GPPH yang mengkonsumsi metilfenidat hidroklorida  dan yang tidak mengkonsumsi metilfenidat hidroklorida [50,93 (SB=10,25) vs 50,09 (SB=11,26), p=0,85].

 

Simpulan: Gangguan memori kerja lebih banyak ditemukan pada anak dengan GPPH. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian lainnya. Oleh karena itu, pemeriksaan memori kerja pada anak dengan GPPH sebaiknya dilakukan untuk mengantisipasi kesulitan belajar yang mungkin timbul di kemudian. Intervensi tambahan, seperti game therapy dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki gangguan memori kerja yang ditemukan pada anak-anak dengan GPPH.


Background: Learning process is important in child’s development. Children may learn well if supported by good conditions. One of the supporting factors is working memory. Research shows working memory is more meaningful learning capacity’s predictor than intelligence quotient (IQ). If this function is interrupted, children can experience learning difficulties. Studies reporting working memory impairment often found in attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Therefore, this study tried to obtain data on the proportion of working memory impairment in ADHD children and its comparison with healthy children. Results is expected to be the basic data for the development of further interventions.

 

Method: This study was conducted in a cross-sectional design in May 2017 to May 2019. Sampling was done by randomized sampling method using the SPSS program. The Mini International Neuropsychiatry KID Interview Instrument (MINI KID) was used to establish 24 diagnoses of child and adolescent mental disorders comprehensively as in the DSM-IV and ICD-10, and the Working Memory Rating Scale (WMRS) was used to determine the presence or absence of working memory deficits in children aged 5-11 years and have been validated in Indonesian by Wiguna et al. (2012).

 

Results: Proportion of working memory impairments in ADHD group was significantly different compared to group without ADHD (44% vs 0%, p <0.05). Analysis test shows children with ADHD were at risk of experiencing working memory impairment 40.4 times greater than children without ADHD (prevalence ratio 40.4, 95% CI 2.22 - 738.01). The average WMRS scores also showed significant difference between group with ADHD and without ADHD [50.48 (SD = 11.08) vs 30.60 (SD = 8.04), p <0.05]

but not significantly different between who consumed and those who did not consume methylphenidate hydrochloride [50.93 (SD = 10.25) vs 50.09 (SD = 11.26), p = 0.85].

 

Conclusions: Working memory disorders are more common in children with ADHD. This finding is in accordance with the results of other studies. Therefore, examination of working memory in children with ADHD should be done to anticipate learning difficulties that may arise later. Additional interventions, such as game therapy, can be considered to improve working memory impairment found in children with ADHD.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Cahyo Baskoro
"Psikosis adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat memperburuk memori kerja. Teori mengatakan bahwa lama pencarian pengobatan psikosis duration of untreated psychosis, DUP yang panjang menyebabkan memori kerja yang lebih buruk. Namun, hasil penelitian pada pasien dewasa tidak konsisten sementara penelitian pada pasien anak belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara lama waktu pencarian pengobatan psikosis dengan memori kerja pada anak. Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional dengan 45 subjek yang dibagi ke dalam dua kelompok pasien dengan DUP pendek.

Psychosis is a morbid mental disorder which impairs working memory. Theory suggests that longer duration of untreated psychosis DUP results in worse working memory. However, results of previous studies remain inconsistent whereas no study has been conducted in children. This study aims to find out the association between duration of untreated psychosis and working memory in children. This is a cross sectional study with 45 subjects who were divided to two groups of patients with short DUP "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Harmanto
"ABSTRAK
Individu yang termasuk dalam kelompok minoritas memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gejala psikotik, yang telah ditemukan terkait dengan berbagai stresor lingkungan seperti persepsi diskriminasi. Artikel ini bertujuan untuk memeriksa mekanisme yang diterjemahkan status minoritas menjadi gejala psikotik melalui diskriminasi yang dirasakan dalam sampel masyarakat di Indonesia. Gejala psikotik diukur dengan Community Assessment of Psychotic Experiences (CAPE), status minoritas dan persepsi diskriminasi yang diukur dengan survei NEMESIS, serta mengukur gejala depresi menggunakan Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) sebagai variabel kovariat. Analisis mediasi dilakukan untuk memverifikasi peran persepsi diskriminasi dalam memediasi hubungan antara status minoritas dan gejala psikotik. Diskriminasi yang dirasakan ditemukan sepenuhnya memediasi hubungan antara status minoritas dan gejala psikotik positif (ab = 0,57, 95% CI [0,10, 1,05]) tetapi tidak ada efek mediasi dalam gejala psikotik negatif (ab = -0,11, 95% CI [-0,40, 0,17]). Disimpulkan bahwa status minoritas yang dipegang oleh individu meningkatkan persepsi diskriminasi, yang pada gilirannya diterjemahkan menjadi gejala psikotik positif yang lebih tinggi yang dilaporkan. Implikasi dan diskusi mengenai penelitian akan dibahas lebih lanjut dalam artikel.

ABSTRACT
Individuals belonging to a minority group have a higher risk of experiencing psychotic symptoms, which have been found to be associated with various environmental stressors such as discrimination perception. This article aims to examine the mechanism that translates minority status into psychotic symptoms through perceived discrimination in a community sample in Indonesia. Psychotic symptoms were measured by Community Assessment of Psychotic Experiences (CAPE), minority status and discrimination perceptions as measured by the NEMESIS survey, as well as measuring depressive symptoms using Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) as covariate variables. Mediation analysis was carried out to verify the role of perception of discrimination in mediating the relationship between minority status and psychotic symptoms. Perceived discrimination was found to fully mediate the relationship between minority status and positive psychotic symptoms (ab = 0.57, 95% CI [0.10, 1.05]) but there was no mediating effect in negative psychotic symptoms (ab = -0.11 , 95% CI [-0.40, 0.17]). It was concluded that the minority status held by individuals increased the perception of discrimination, which in turn translated into higher positive psychotic symptoms that were reported. Implications and discussion regarding research will be discussed further in the article.
"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>