Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191316 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aufi Zaha Yuniar
"Pemerintah Republik Indonesia memiliki target penanganan kawasan kumuh hingga 0% sebagai permulaan pengembangan smart city di tahun 2045. Identifikasi tingkat kekumuhan yang dilakukan pemerintah serta metode penanganannya lebih fokus terhadap lingkungan hunian sehingga ada kemungkinan munculnya permukiman kumuh yang tidak terlihat kumuh, atau sebaliknya. Indeks komposit telah digunakan sebagai metode penilaian sustainabilitas di berbagai skala dan sektor, salah satunya dalam skala permukiman. Penelitian dilaksanakan pada 4 kampung kota di Jabodetabek: kampung Cikini, kampung Gedong Pompa, kampung Cimone-Cincau & kampung Markisa. Dengan menggunakan indikator yang menggambarkan 3 parameter sustainabilitas, kampung Cimone-Cincau memiliki tingkat sustainabilitas terbaik (0,75) dan kampung Gedong Pompa memiliki tingkat sustainabilitas terendah (0,52). Belum ada kampung yang berhasil mencapai target program nasional penanganan permukiman kumuh KotaKu, 100% akses sanitasi & 100% akses air bersih. Pencapaian terhadap akses sanitasi di area studi berkisar di angka 87-97%, sementara akses air bersih hanya maksimal di angka 98% dengan pencapaian terendah 4%. Rendahnya akses sanitasi dan air bersih ini ditambah dengan permasalahan area terbuka dan vegetasi peneduh dapat berdampak pada kualitas hidup dan lingkungan serta kerentanan terhadap perubahan iklim. Penanganan kampung kumuh yang menyeluruh perlu melibatkan penegang kepentingan dari beragam sektor untuk mengatasi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan usaha program partisipasi masyarakat.

Republic of Indonesia’s Government has a target of 0% slum area as a starting point for smart city development in 2045. Slum identification and intervention method carried out by the government focuses mainly on the settlement’s environment with a possibility of slum that does not look like a slum or vice versa. Research is done on 4 urban slums in Jakarta Greater Area, Kampung Cikini, Kampung Gedong Pompa, Kampung Cimone-Cincau, and Kampung Markisa. By using indicators to describe the 3 sustainability pillars, Kampung Cimone-Cincau has the best sustainability with 0,75 and Kampung Gedong Pompa has the worst sustainability with 0,52. No urban slum has achieved the target of the national slum intervention program, KotaKu with 100% access to sanitation, and 100% access to clean water. All study locations reach 87-97% sanitation access, while access to clean water maxed out at 98% with 4% as the lowest. Low access to sanitation and clean water, with open area and tree cover problem can have an impact on dweller’s quality of life and environment, making them vulnerable to climate change. A thorough urban slum intervention needs to involve stakeholders from various sectors to overcome problems that cannot be resolved with community participation efforts.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Pradana Cahyadi
"Penelitian ini dilakukan di kawasan kampung kota Kukusan, Depok untuk menganalisis fenomena kejahatan seks di kampung kota dan bagaimana lingkungan berkontribusi terhadap keselamatan perempuan, atau malah menempatkan mereka pada risiko menjadi pelaku kejahatan seksual. Tulisan ini mencakup ruang lingkup perencanaan kota, CPTED, ruang patriarki, dan pengetahuan multidisiplin seputar kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ruang kota. CPTED adalah seperangkat aturan dan prinsip dalam proses desain urban yang membantu menciptakan ruang yang aman bagi penggunanya. Konsep utama CPTED adalah menghentikan potensi kejahatan di ruang publik secara alami sekaligus memungkinkan penggunanya membantu melakukan intervensi jika terjadi kejahatan. Kejahatan seks memiliki sifat yang tidak dapat diprediksi, dan terdapat research gap yang besar dalam teori CPTED yang banyak membahas kejahatan yang lebih berwujud seperti pencurian dan vandalisme. Substansi dari penelitian ini adalah diperlukan pemahaman menyeluruh mengenai korelasi antara kualitas arsitektur dan tata ruang kawasan kumuh perkotaan dengan kekerasan seksual. Disertai dengan studi kasus efektivitas  CPTED di kawasan kukusan yang dilakukan melalui metode survei kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi. Studi ini mengungkapkan bahwa efektivitas CPTED dalam konteks kekerasan seksual harus melibatkan faktor-faktor yang mendasari seperti sosiokultural demografi berdasarkan karakteristik wilayah, dan tidak dapat diaplikasikan secara general. Efektivitas CPTED juga terbukti berbeda-beda di setiap wilayah pengamatan berdasarkan penempatan elemen arsitektur, tata guna lahan, dan tata ruang perkotaan, sehingga dengan penerapan prinsip CPTED yang tepat pada setiap peruntukan lahan dapat menghasilkan pencegahan kejahatan seksual terhadap perempuan secara signifikan.

This research is conducted in urban slums of Kukusan, Depok to analyze the phenomenon of sex crimes within kampung kota areas and how the built environment contributes to the safety of these women, or puts them in risk of sex offenders .This paper encompasses the scopes of urban planning, CPTED, gendered spaces, and multidisciplinary knowledge surrounding sexual assault towards women in everyday spaces. CPTED is a set of rules and principles in the urban design process that helps create a safe space for its users. The main concept of CPTED is to naturally deter potential crime in a public space while enabling its users to help intervene in the event of a crime. Sex crimes possess an unpredictable nature, and there is a huge research gap in CPTED textbook theories that heavily discuss more tangible crimes such as theft and vandalism. The bottom line of this study is within the architecture and spatial qualities of urban slums, fully understanding them in correlation with sexual assault is carried out, along with the case study of the effectiveness of CPTED in Kukusan that is conducted through qualitative methods of survey, interviews, and observations in the field. This study ultimately reveals that the effectiveness of CPTED in context of sexual assault must implicate underlying factors such as socioculture of the demographics in the designated region and that textbook CPTED cannot be placed in an area without fully understanding the nature and context of the people living in the area. The effectiveness of CPTED is also proven to differ within each observed area based on the placement of architectural elements, land use, and urban settings, hence with the right CPTED principles for each designated land use can result in significant deterrence of sexual crimes towards women."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasdiman Rasyad
"Tingginya angka laju pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia dalam 3 dekade terakhir menyebabkan permintaan akan pelayanan prasarana kota meningkat tajam. Hal ini mendorong pemerintah untuk membangun prasarana kota secara besar-besaran, meluas dan terencana. Pembangunan prasarana kota dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk, untuk memacu perkembangan ekonomi dan mengarahkan perkembangan fisik kota. Kepentingan pembangunan prasarana kota untuk mengarahkan perkembangan fisik kota adalah untuk mencapai kualitas tata ruang perkotaan yang baik sehingga kota layak untuk dihuni oleh penduduknya.
Penelitian mengenai manfaat pembangunan prasarana kota untuk memenuhi kebutuhan penduduk telah banyak dilakukan. Namun pengaruh pembangunan prasarana kota terhadap kualitas tata ruang belum banyak diteliti. Kualitas tata ruang merupakan salah satu faktor yang membentuk kualitas Iingkungan hidup perkotaan. Dengan meneliti kualitas tata ruang suatu wilayah, dapat diketahui gambaran kualitas lingkungan hidup wilayah tersebut.
Penelitian ini menilai kualitas tata ruang suatu kawasan dengan mengukur variabel-variabel tertentu sebagai indikator dari kualitas tata ruang tersebut. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa (i) kualitas tata ruang pada koridor perkembangan perkotaan ditentukan oleh faktor-faktor kepadatan hunian, koefisien dasar bangunan, penggunaan tanah, garis sempadan bangunan, dan pohon peneduh; dan bahwa (ii) perkembangan fisik perkotaan di lokasi penelitian cenderung menyebabkan rendahnya kualitas tata ruang kawasan tersebut.
Lokasi penelitian merupakan penggalan prasarana jalan yang telah mengalami perubahan kondisi sebagai akibat dari pelebaran pada tahun 1997 - 1999. Jalan yang menghubungkan Kota Cibinong dengan Kota Citeureup sekarang ini telah berkembang menjadi koridor perkembangan perkotaan yang memiliki peran ekonomi yang cukup penting bagi Kabupaten Bogor.
Metode penelitian yang digunakan adalah metoda deskriptif dan survey. Variabel yang diteliti adalah Kepadatan Hunian dan Koefisien Dasar Bangunan (dua indikator terpilih yang mewakili faktor daya dukung lingkungan), Kecocokan Penggunaan Tanah (indikator terpilih yang mewakili faktor fungsi lingkungan), Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh (dua indikator terpilih yang mewakili faktor estetika lingkungan). Variabel dipilih berdasarkan pertimbangan batasan operasional kualitas tata ruang dan kemungkinan ketersediaan data.
Penilaian kualitas rata ruang dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian setiap variabel terhadap tolak ukur tertentu. Tolak ukur dikembangkan dari ketentuan variabel-variabel tersebut yang dialur di dalam berbagai peraturan daerah Kabupaten Bogor terkait dan beberapa referensi lainnya. Skala penilaian yang digunakan di dalam tolok ukur adalah 1 (sangat buruk) sampai dengan 5 (sangat baik).
Hasil analisis univariat dengan metoda distribusi frekuensi memperlihatkan bahwa variabel Kepadatan Hunian dan Koefisien Dasar Bangunan memiliki nilai buruk. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di lokasi penelitian telah melampaui ketentuan sebagaimana yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang wilayahnya, dan sebagian besar bangunan dibangun dengan melanggar ketentuan koefisien dasar bangunan yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang wilayahnya.
Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa variabel Kecocokan Penggunaan Tanah memiliki nilai menengah. Hal ini menunjukkan bahwa banyak bangunan yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan rencana tata guna lahan dibandingkan bangunan yang digunakan sesuai dengan ketentuan rencana tata guna lahan. Hal ini membelikan gambaran bahwa perkembangan fisik perkotaan yang terjadi di lokasi penelitian tidak sepenuhnya mendukung fungsi lingkungan yang diinginkan.
Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa variabel Ketaatan Garis Sempadan Bangunan memiliki nilai yang cukup baik dan Ratio Pohon Peneduh memiliki nilai yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa cukup banyak bangunan yang menaati ketentuan garis sempadan bangunan, namun sebagian besar halaman bangunan tidak memiliki pohon peneduh atau memiliki pohon peneduh kurang bila dibandingkan dengan luasnya.
Secara keseluruhan, nilai rata-rata kualitas tata ruang lokasi penelitian adalah menengah, namun secara distributif, sebagian besar bangunan sampel berada pada kelompok yang berkualitas buruk dan sangat buruk. Hal ini menunjukkan bahwa Kualitas Tata Ruang Lokasi Penelitian yang dibentuk oleh variabel-variabel Kepadatan Hunian, Koefisien Dasar Bangunan, Kecocokan Penggunaan Tanah, Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh berada dalam keadaan yang cenderung buruk.
Hasil analisis univariat juga memberikan petunjuk bahwa variabel Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh merupakan variabel yang berpengaruh terhadap pembentukan kualitas tata ruang di lokasi penelitian. Hasil analisis multivariat dengan metoda analisis faktor menunjukkan bahwa faktor yang dibentuk dari kombinasi variabel Koefisien Dasar Bangunan, Ketaatan Garis Sempadan Bangunan, dan Ratio Pohon Peneduh merupakan faktor yang berdasarkan uji validasi sampel, sangat stabil, Artinya faktor tersebut dapat digeneralisasi untuk menganalisis populasi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tata ruang di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel Koefisien Dasar Bangunan, dan oleh variabel Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh.
Dari hasil analisis tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan kualitas tata ruang di lokasi penelitian sangat di pengaruhi oleh variabel Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh.
Dengan memperhatikan hasil-hasil penelitian di atas, dapatlah diajukan saran sebagai berikut:
1) Indikator/variabel yang digunakan di dalam penelilian ini adalah merupakan ketentuan di dalam rencana kata ruang wilayah daerah. Oleh karena itu penelitian ini dapat dijadikan model bagi pemerintah daerah untuk menilai dan mengevaluasi pencapaian kualitas tata ruang bagian-bagian wilayahnya.
2) Indikator/variabel yang dinilai berpengaruh kuat terhadap kualitas tata ruang di lokasi penelitian perlu mendapat perhatian oleh pemerintah daerah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan perkembangan fisik perkotaan.
3) Pemerintah daerahn perlu menyusun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) setiap bagian wilayah yang telah menunjukkan perkembangan yang cepat.
4) Penelitian serupa sebaiknya menggunakan variabel yang lebih beragam dan sampel yang lebih banyak.

The high rate of urban population growth in Indonesia in the last 3 decades increasing high demand of urban infrastructures. This situation encourage the Government to build a huge, wide and planned urban infrastructure. The development of urban infrastructure were intended to fulfill the basic needs of inhabitant, to spur ahead economic development of the city, and to lead physical development of the city. The significances of urban infrastructures development in leading physical development of the city is to accomplish a good urban area spatial quality suitable to be inhabited by its inhabitants.
The research concerning to the benefits of urban infrastructure development in fulfilling the basic needs of inhabitant were mostly performed. However the influence of urban infrastructure development to the urban area spatial quality is lessly examined. The urban area spatial quality is one of the factors which is generating the urban area environment quality. By examining the urban area spatial quality, we could have an outline of environment quality of the area.
The research is assessing the area spatial quality by measuring selected variables as the indicators of spatial quality. Hypothesis which is set forward are that (i) the spatial quality on urban development corridor is detemiined by the factor of dwelling density, building coverage ratio, land use, building line, and shade trees; and that (ii) the physical development in the research location tend to depleting the area spatial quality.
The research location is a section of access road with its condition changing due to widening project in 1997 - 1999. The section that linking Kota Cibinong and Kota Citeureup recently has been developed as urban development corridor with its important economic role for Bogor Regency.
The research methodology is descriptive and survey methodology. The variables examined are Dwelling Density and Building Coverage Ratio (two selected indicators which represent the factor of environment carrying capacity), Land Use Suitability (selected indicator which represent the factor of environment function), Building Line Obedience and Ratio of Shade.
Trees (two indicators which represent the factor of environment aesthetic). The variables were selected by considering the operational definition of spatial quality and the situation of research location.
The assessment of spatial quality was executed by comparing the result of each variabel to a certain standard. The standards are developed from the stipulation of variables which are stipulated in various relevant local regulations of Bogor Regency and other references. The assessment scale used in the standard is from 1 (very bad) to 5 (very good).
The results of univariate analysis with frequency distribution methodology shows that the values of Dwelling Density and Building Coverage Ratio variable is bad. These figures show that the level of population density in the location has exceeded the ideal standard as stipulated in its spatial plan, and most of buildings are built by violating the stipulation of building coverage ratio which stipulated in its spatial plan.
The results of analysis also show that the value of land Use Suitability variable is moderate. It shows that more buildings are used in incompatible way to the land me plan rather than the buildings in compatible way to the plan. This situation describes that the physical development of the area is not fully support the expected environment functions.
The analysis show that the level of Building Line Obedience variable is good and Ratio of Shade Trees is bad. These figures show that sufficient amount of buildings comply with the regulation of building lines, and most building's yard does not have shade trees or have little compare to the wide of the yard.
As a whole, the level of Spatial Quality of Research Location is moderate, however distributively, most of sample buildings are in the group with bad and very bad quality. This point indicates that the spatial quality which created by the variables of Dwelling Density, Building Coverage Ratio, Land Use Suitability, Building Line Obedience and Ratio of Shade Trees tends to be in bad situation.
The result of univariate analysis also show that the variable of Building Line Obedience and Ratio of Shade Trees are the variables with influence to the creation of spatial quality of research location.
The result of multivariate analysis by using factor analysis method shows that the factor developed from the combination of Building Coverage Ratio, Building Line Obedience, and Ratio of Shade Trees are the factors which, based on validation examination of sample, very stable. It means that factor might be generalised to analyse the population. This indicates that the spatial quality of research location is intensely influenced by the variables of Building Coverage Ratio, Building Line Obedience, and Ratio of Shade Trees.
From the result of these analysis, it might be summarized that the creation of spatial quality of research location intensely influenced by Building Line Obedience and Ratio of Shade Trees variables.
Taking into account the results above, the following recommendations could be submitted:
1) Indicators/ variables used in the research are parts of the stipulation of the local spatial plan. Therefore the research could be used as model to the Local Government to assessing and evaluating the gain of spatial quality of its parts area.
2) Indicators/ variables assessed that intensely influencing the spatial quality of research location need to be noticed by Local Government in order to control the physical development of the area.
3) The Local Government needs to prepare Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL/ Building and Environment Code) of every part of its area which is inclining fast development.
4) It is better for the next similar research, if any, to use more various variables and sample size."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernadewita
"Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat,khususnya di Kota Cilegon disebabkan oleh pertumbuhan alamiah dan migrasi. Pertumbuhan ini mengakibatkan tekanan yang berat terhadap kota, apalagi mengingat fungsi kota Cilegon yang dijadikan sebagai kota industri, perdagangan dan jasa.
Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan bertumpu pada lahan sebagai ruang yang dapat menyediakan (mengalokasikan) ruang bagi kegiatan-kegiatan tersebut beserta fasilitas dan utilitas penunjang yang dibutuhkan. Keterbatasan luas lahan yang tersedia, sementara tuntutan terhadap peningkatan berbagai fungsi lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan terus meningkat. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan diberbagai bidang seiring dengan fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, baik langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang.
Perubahan struktur dan fungsi ruang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pola adaptasi masyarakat. Proses adaptasi akan dialami baik oleh masyarakat pendatang maupun masyarakat asli. Adaptasi yang dituntut terjadi tidak hanya dari segi budaya tetapi juga dalam keikutsertaan berperan pada kegiatan pembangunan.
Berdasarkan karakteristik tersebut, penelitian dilakukan di wilayah Cilegon, yang saat ini terbagi atas 4 (empat) kecamatan, yaitu: Cilegon, Ciwandan, Cibeber, dan Pulomerak. Cilegon berada 90 km dari Barat Jakarta. Sebagai pusat penataan ruang, Cilegon merupakan pusat perdagangan, perkantoran, dan wilayah permukiman; Ciwandan memiliki pelabuhan Banten dan kawasan industri; Pulomerak sebagai kawasan industri, pelabuhan Merak dan wilayah pemukiman; Cibeber adalah wilayah permukiman dan juga terdapat waduk yang digunakan untuk menyuplai air ke sebagian komunitas masyarakat di Cilegon dan juga untuk PT. Krakatau Steel.
Luas Cilegon (17.550 Ha), dan jumlah penduduk sebesar 294,936 jiwa (talrun 1999), tersebar pada 4 (empat) Kecamatan di Kota Cilegon, dengan rincian:
  1. Kecamatan Ciwandan dengan luas wilayah (7.483 Ha), kepadatan penduduk sebesar 83.861 jiwa, yang terdiri dari 42.897 jiwa laki-laki dan 40.964 jiwa perempuan.
  2. Kecamatan Cilegon dengan luas wilayah (1.753 Ha), kepadatan penduduk sebesar 69.488 jiwa, yang terdiri dari 35.352 jiwa laki-laki dan 34.136 jiwa perempuan.
  3. Kecamatan Cibeber dengan luas wilayah (2.466 Ha), kepadatan penduduk sebesar 41.362 jiwa, yang terdiri dari 20.911 jiwa laki-laki dan 20.451 jiwa perempuan.
  4. Kecamatan Pulomerak dengan luas wilayah (5.848 Ha), kepadatan penduduk sebesar 100.225 jiwa, yang terdiri dari 51.527 jiwa laki-laki dan 48.698 jiwa perempuan.
Pada tahun 1990 penduduk Cilegon terdaftar sebesar 226.461 jiwa. Pada 1998 jumlah tersebut meningkat menjadi sebesar 257.864 jiwa dan pada tahun 1999 menjadi 278.462 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tersebut terus berlangsung pada tahun 2000, mencapai 294.936 jiwa, hal itu berarti bahwa pada tahun 1999 terjadi pertambahan penduduk sebesar 8,06%, dibandingkan dengan tahun 1998 terjadi peningkatan sebesar 6,13% (terjadi penurunan peningkatannya sebesar 1,93% dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 1998-1999). Sementara luas Cilegon tetap pada 17.550 Ha, yang berarti tingkat kepadatan penduduk pada tahun 1998 adalah sebesar 1.469 jiwa per Ha, sedangkan tahun 2000 menjadi 1.681 jiwa per Ha.
Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di daerah ini erat kaitannya dengan perkembangan industri yang dimulai semenjak tahun 1965 dengan berdirinya industri baja pertama yang sekarang dikenal dengan PT. Krakatau Steel, dan pembangunan berianjut sampai tahun 1990 (di mana industri lain juga dibangun di Cilegon, yang sebagian besar industri kimia, seperti: PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (DOW Chemical), PT Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri. dan lain-lain). Nampaknya pertumbuhan penduduk yang tidak merata persebarannya di Cilegon itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan industri tersebut. Hal ini menimbulkan penyebaran penduduk yang terkonsentari di pusat kegiatan bisnis (Cilegon).
Perkembangan industri dan konsentrasi serta distribusi penduduk tersebut, tidak terlepas dari penataan wilayah yang direncanakan sedemikian rupa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Cilegon ditetapkan sebagai pusat utama untuk kawasan andalan Bojonegara-Merak-Cilegon dan sekitarnya. Sektor unggulan untuk kawasan ini adalah: industri, pertanian tanaman pangan, pariwisata, perikanan, dan pertambangan. Khusus untuk RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), Cilegon berfungsi sebagai pusat (simpul). Dengan adanya RTRW yang menetapkan fungsi sebagai pusat, maka fungsi-fungsi yang diemban oleh Cilegon adalah sebagai pusat industri, pusat kegiatan perdagangan dan jasa, pusat kegiatan komersial, pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan pelabuhan dan sebagai pintu gerbang Barat PuIau Jawa, serta sebagai kota lintasan pergerakan kegiatan wisata Anyer-Carita dan lalu lintas Jawa-Sumatera.
Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang dan daya dukung wilayahnya.
Dari kenyataan tersebut di atas penataan ruang Cilegon menunjukkan penataan ruang dalam arti sempit. Budihardjo (1997: 1) mengungkapkan bahwa tata ruang sebagai suatu kegiatan penataan yang tidak hanya berarti sempit atau terbatas pada perencanaan dan perancangan fisik semata, tetapi juga melakukan penataan manusia dengan segenap keunikan perilakunya. Bahkan Rapoport menggunakan istilah "cultural landscape" karena kota dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya dengan beraneka ragam karakter, sifat, keunikan, dan kepribadian. Mengingat hal tersebut (Budihardjo, 1997: 2) mengungkapkan bahwa yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota maupun daerah.
Berkaitan dengan penataan ruang dan adaptasi manusia, Weber (dalam Budihardjo, 1997. 2) mengungkapkan bahwa jurang kaya miskin makin menganga mencolok mata, komunitas yang guyub pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan yang dilandasi penalaran kalkulatif. Durkheim (dalam Budihardjo, 1997:2) menambahkan bahwa keadaan demikian menyebabkan kesepakatan moral yang disepakati bersama makin meluntur. Gejala demikian terlihat pada masyarakat yang terdapat di Kota Cilegon.
Permasalahan umum yang terdapat di Kota Cilegon, seperti juga yang dihadapi oleh kota-kota lain di Indonesia, sesuai dengan perkembangannya adalah sebagai berikut :
  1. Penyebaran (distribusi) penduduk di wilayah kota yang tidak merata.
  2. Pertumbuhan penduduk kota yang tinggi, pertumbuhan ini terjadi terutama diakibatkan oleh migrasi penduduk dari tempat lain ke Cilegon untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik.
  3. Ketersediaan fasilitas dan utilitas kota yang tidak atau belum mencapai tingkat yang optimal.
  4. Perkembangan yang sangat pesat terkonsentrasi di sepanjang jalur arteri regional (sepanjang Jalan Raya Cilegon).
  5. Kualitas jaringan jalan yang sebagian besar belum mencapai tingkat kondisi yang baik, terutama jalan-jalan lingkungan atau jalan-jalan desa.
Sementara itu permasalahan khusus yang dihadapi oleh Cilegon adalah adaptasi masyarakat terhadap perubahan fisik dan sosial yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan wilayah. Perubahan yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan seyogyanya dapat meningkatkan mutu hidup masyarakat. Kenyataannya, perubahan kegiatan pembangunan khususnya di bidang industri, ternyata juga membuka lapangan kerja dan menimbulkan dampak lingkungan yang harus dihadapi oleh penduduk setempat dan juga tergusurnya penduduk dari lingkungan hidupnya yang asli. Di mana hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup besar atau akan berdampak pada perubahan sosial dan budaya masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini difokuskan pada penduduk setempat dan kemampuan mereka dalam menghadapi proses penyesuaian terhadap perubahan fungsi lingkungan.
Dari permasalahan yang diuraikan di atas maka formulasi pertanyaan penelitian adalah:
  1. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kualitas hidup masyarakat?
  2. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dirumuskan: tata ruang mikro (yang dilihat dari: ventilasi, pencahayaan, saluran air (drainage)) dan persepsi terhadap pelaksanaan rencana tata ruang (yang dilihat dari struktur dan wujud tata ruang) di jadikan variabel bebas (independent variable) dan kualitas hidup (berisikan kondisi sosial ekonomi, yang dilihat dari: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, daerah asal, pendapatan, pengeluaran, kesehatan, kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban) dijadikan variabel tidak bebas (dependent variable).
Selanjutnya, berdasarkan fokus penelitian, asumsi-asumsi yang dikemukakan, diformulasikan kedalam 2 (dua) hipotesis berikut:
  1. Terdapat hubungan antara kualitas hidup masyarakat dengan penataan ruang.
  2. Terdapat hubungan antara kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban dengan penataan ruang.
Lokasi penelitian adalah Kota Cilegon seperti telah disebutkan di atas, yang meliputi 4 (empat) kecamatan, yaitu: Ciwandan, Cilegon, Cibeber, dan Pulomerak. Sampel yang digunakan dipilih secara acak, yaitu sebesar 130 kepala keluarga (KK/responden), yang terdiri dari: 25 responden di Ciwandan, 55 responden di Cilegon, 15 responden di Cibeber, dan 35 responden di Pulomerak.
Analisis data dilakukan secara deskriptif (dengan menggunakan perhitungan persentase dan populasi) dan analisis kuantitatif (untuk melihat hubungan dari masing-masing variabel, menggunakan uji statistik Chi-Square (x2) dan uji korelasi dengan tingkat signifikansi 95% (a=0,05)).
Dari hasil pengolahan data terhadap penataan ruang (independent variable) dan kualitas hidup (dependent variable) diperoleh:
1. Tata Ruang Mikro. Variabel uji yang digunakan adalah ventilasi, pencahayaan, dan saluran air. Dari hasil uji statistik diperoleh, penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup (dari variabel kontrol pendapatan). Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan (x2 hitung = 33,815 (ventilasi) dan 25,631 (pencahayaan) lebih besar dari x2 tabel= 24,996; dan 33,015 (saluran air) lebih besar x2 tabel= 18,307),
2. Persepsi terhadap Pelaksanaan Rencana Tata Ruang. Variabel yang diuji dibagi atas dua yaitu struktur tata ruang (meliputi: alih fungsi ruang, dan pembebasan tanah) dan wujud tata ruang (meliputi: persepsi terhadap UUPR, UU, dan pelaksanaan UUPR). Dari hasil uji statistik diperoleh hasil uji terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), untuk struktur tata ruang (x2 hitung = 59,138 (alih fungsi); 32,415 (pembebasan tanah), yang keduanya lebih besar dari x2 tabel = 18,307); perhitungan statistik untuk wujud tata ruang (x2 hitung = 29,569 (pengetahuan), lebih besar dari x2 tabel =11,070) dan (f hitung = 32,415 (pelaksanaan RUTR) dan 92,785 (sikap pemerintah terhadap RUTR), keduanya lebih besar dari (x2 tabel = 18,307). Dapat dikatakan pengetahuan mengenai tata ruang yang tertuang dalam RUTR wilayah berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup yang diwakili oleh pendapatan yang diperoleh sebagai penghasilan perbulan.
3. Daerah Asal. 79 responden (60,80%) menyatakan bahwa mereka adalah penduduk asli daerah Cilegon, karena mereka sudah bermukim dan memperoleh penghidupan di wilayah ini sudah lebih dari 20 tahun. Sementara sisanya, 51 responden (39,20%) adalah penduduk yang datang dan bermukim di Cilegon untuk memperoleh penghidupan kurang dari 20 tahun. Dari hasil analisis statistik menunjukkan, tidak adanya pengaruh daerah asal terhadap pendapatan, dimana (x2 hitung=6,031 lebih kecil dari x2 tabel= 11,070),
4. Sosial Ekonomi
a.Tingkat Pendidikan
Dari tingkat pendidikan sebagian besar responden berada pada tingkat pendidikan menengah (Pendidikan SLTA), 84 responden (64,6%) berada pada tingkat pendidikan menengah (SLTA); 29 responden (22,3%) berada pada tingkat pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi); 17 responden (13,1%) berada pada tingkat pendidikan rendah (SD-SLTP).
b.Jenis Pekerjaan.
42 responden (32,3%) berprofesi sebagai Pegawai Negeri; 30 responden (23,1%) berprofesi sebagai karyawan swasta; 30 reponden (23,1%) mempunyai usaha sendiri sebagai wiraswasta; dan sisanya 28 responden (21,6%) bekerja sebagai buruh dan lain-lain (tukang ojek dan ibu rumah tangga).
c.Pendapatan dan pengeluaran.
Berada pada kisaran (Rp. 500.000 sampai lebih besar dari Rp. 3.000.000 per bulan). Sebahagian besar tingkat pendapatan penduduk Cilegon tersebut dipergunakan untuk pengeluaran kebutuhan pokok (37,75%) dan sekunder (62,25%). Dari hasil ini dapat dikategorikan bahwa masyarakat Cilegon sebagai masyarakat tidak miskin, dikarenakan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok berada dibawah 40% dari seluruh total pengeluaran.
5. Kelembagaan Sosial, Keamanan dan Ketertiban - Kelembagaan Sosial.
Terdapat 11 (sebelas) lembaga sosial masyarakat yang terbentuk di Cilegon, yaitu: PPM (Pemuda Panca Marga); FKKT (Forum Komunikasi Karang Taruna); AMS (Angkatan Muda Siliwangi); KNPI; Pemuda Pancasila; IPSI; FBMC (Forum Bersama Masyarakat Cilegon); MUI (Majelis Ularna Indonesia); LPMC (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Cilegon); AMPI; KMC (Korp Mubalig Cilegon).
- Keamanan dan Ketertiban.
92 responden (70,77%) menyatakan kondisi keamanan lingkungannya aman; 38 responden (29,23%) tidak aman. Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa keamanan lingkungan berpengaruh terhadap terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), yang ditunjukkan oleh (x2 hitung = 84,938 lebih besar dari x2 tabel = 18,307).
6. Kesehatan. Kesehatan masyarakat dilihat dari tingkat kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, dan sanitasi/MCK. Dari perhitungan statistik diperoleh, terdapat pengaruh kesehatan masyarakat terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), dengan variabel uji: Kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, MCK. Dari hasil perhitungan diperoleh untuk kesehatan balita (x2 hitung = 51,154 lebih besar dari x2 tabel = 18,307). Tetapi untuk Kondisi MCK (x2 hitung = 6,108 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307) dan sumber air bersih [x2 hitung = 2,406 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307), yang berarti sanitasi dan air bersih yang digunakan dan dikonsumsi masyarakat sehari-hari tidak berpengaruh terhadap pendapatan (variabel kontrol kualitas hidup).
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil penelitian dan hubungannya dengan perspektif penelitian lingkungan (sebagai acuan dalam penggelolaan lingkungan), penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup, dan tidak terdapat korelasi (hubungan) antara penataan ruang dan keberadaan kelembagaan sosial. Sementara itu, keamanan dan ketertiban lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan). Sesuai dengan keinginan masyarakat, Pemerintah Kota Cilegon harus terbuka dalam penataan kotanya, terutama dalam penataan ruang.

The fast growing of population, especially in Cilegon was caused by natural growth and migration. This growth brought heavy pressure to the city, especially its function in the future as the industrial city, trading, and services.
By the number of its functions, its makes all of activities concentrated to the land as the space with allocated for all of those activities and also provided facilities and utilities as needed. Its need to increase the land functions for all aspect in development activities, meanwhile, its limited on availability of land area. Those activities, direct or indirect, will caused the changed on space utilisations for the number of development sectors.
Eventually, the changed in function of structure and space will be affected to the adaptation pattern in the society. Adaptation process should be concerned by the society, even the foreigner or origin society. It's not just adaptation of cultural needs, but also the participation on the development activity.
Based on those characteristics, this research focuses on the Cilegon area, which is divided by 4 (four) sub-districts area, ie: Cilegon, Ciwandan, Cibeber and Pulomerak. Cilegon is 90 kilometers from west Jakarta. As focused to the spatial planning, Cilegon as the center of trading, offices, and settlement region; Ciwandan has a Banten Port and industrial estate; Pulomerak as industrial estate, Merak Port and settlement region; Cibeber as settlement region and has a reservoir which is supply the water to some area in Cilegon community and PT. Krakatau Steel.
When the monetary crisis came to Indonesia in the middle of 1997, its affected to all of economic sectors in this country, and also to the investment on industrial sector in Cilegon. By 1997, population growth following the crisis not so many people come to work in industrial basis. Industrial sector could not employ `more employee' to work with them. This is another problem that affected to Cilegon government in manage their community.
Cilegon area (17.550 Ha), 294.936 persons in number of populations (year 1999); which are 150.687 (male) and 144.249 (female) and they spread on 4 (four) sub-districts in Cilegon, as follows:
1. Ciwandan area (7.483 Ha), by population density of 83.861 persons; 42.897 (male) and 40.964 (female).
2. Cilegon area (1.753 Ha), by population density of 69.488 persons: 35.352 (male) and 34.136 (female).
3. Cibeber area (2.466 Ha), by population density of 41.362 persons; 20.911 (male) and 20.451 (female).
4. Pulomerak area (5.848 Ha), by population density of 100.225 persons; 51,527 (male) and 48.698 (female).
By the 1990, number of populations in Cilegon are 226.461 persons, and in 1998 increased to 257.864 persons, and its increased in 1999 278.462 persons. Its increased continued to year 2000, up to 294.936 persons. Its mean, in 1999 (8,06%) increased than 1998 (6,13%) and the populations decreased (1,93%) than growth in population (1998-1999). Meanwhile, Cilegon areas stay at 17.550 Ha (1998), population density of 1.469 persons per Ha, and 1.681 persons per Ha (2000).
Higher in population growth of Cilegon are related to the development of industrial growth which has started since 1965 by development of PT. Krakatau Steel, and the developing continued to 1990 (when some other industries build in Cilegon area, mostly chemical industries, ie., PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (Dow Chemical), PT. Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri, etc). Population distribution related to the distribution of industries space. Its make the population concentrated into the center of business districts (Cilegon).
Industrial development and population density concentrated in Cilegon area based on Spatial Planning Area, under Regulation No. 47, year 1999 about National of Regional Spatial Planning (RTRWN), and considered to Cilegon, as the center of the pledge area: Bojonegara-Merak-Cilegon. The first development sectors are: industries, agricultural, tourism, fishery, and mining area. Especially, RTRW (Regional Spatial PIanning), Cilegon functions are as the districts of industries, trading and services, center of commercial places, government activities, and as the West Gate' of Java Island, and the center of maritime-tourism (Anyer-Carita-Labuan) and as the matters pertaining traffic of Java-Sumatra.
By the number of that functions, its makes all of activities were concentrated to the land, and for the number of development sectors will caused the changed on space utilisations and capability (carrying capacity).
Based on those characteristics, spatial planning in Cilegon has shown a `constrictive meaning'. Budihardjo (1997: 7) said that spatial planning is a structuring activity that not just limited on planning and physical design, but also how to manage human aspect in all of unique behavior. Even, Rapoport used the `cultural landscape', because the city and region are based on the implementation of the culture in various characteristics, attitude, unique, and personality. Considering to those matters (Budihardjo, 1997: 2) shown that the first things to understand of the culture from various community and the impact of value system, norm, life style, activities and the conviction symbol to the structure and format of the city and region. Understand to the impact in all aspect of human life, its need a human adaptation to their community.
Related to the spatial planning and human adaptation, Weber (in Budihardjo, 1997: 2) shown, that we have to face `the gap' between the richer and the poorer, and the solid community became an individualistic and based on the calculative thinking. Durkheim (in Budihardjo, 1997: 2) also said that situation will affected to the changeable of integrative agreement (integrative needs). Those symptoms have shown by Cilegon community, lately.
General issues in Cilegon area, as also found in the other cities (or entire cities) in Indonesia, following their development are:
1. Inequitability in distribution population, especially in the city region.
2. Higher in population growth, specially in the city region, its caused (especially) by migration from the other city to Cilegon for having `a better income (revenue).
3. The availability of facilities and utilities are not optimise.
4. The fast development concentrated along the arterial road (along Cilegon main road).
5. Most of road network are still in `minor' conditions, especially embraced road and rural.
Meanwhile, the specific issues that have to face by Cilegon are adaptation of community into physical and social change that introduced by the region development activities. The changed that introduced by the development activities should increase the quality of life. In fact, changed in development activities, especially in industries based, beside its open new space for `man power', also affected to `minor community who could not gain to it. Who become `a big problem' or affected to social and culture.
In accordance with these matters, this research focuses on the local society effort to face readjustment process on their environment, which shifted in function.
For this reason, the fundamental problem in this research is formulated in two research questions as follows:
1. Are there any correlations between spatial planning and the quality of life?
2.Are there any correlations between spatial planning and social institution and environmental safety?
To answer research questions as it has been mentioned, the spatial planning (contained society perception on implementation of spatial planning it self; Regulations and the implementation) indicated as independent variable and quality of life (contained in social-economic basis: education, income (revenue), expenditure, health, social institution perception on implementation of the spatial planning and environmental safety), as dependent variable.
Furthermore, to focus to the research problem, assumption has been made through two general hypothesis:
1. There is correlation between spatial planning and the quality of life.
2. There is correlation between spatial planning and social institution and environmental safety.
Research location is Cilegon (as mentioned above) in four sub-districts, ie: Ciwandan, Cilegon, Cibeber and Pulomerak. Sample being used is stratified random sampling for 130 head of family (KK) consist of 25 in Ciwandan, 55 in Cilegon, 15 in Cibeber and 35 in Pulomerak.
Data were analyses descriptively by percentage as well as statistical test of CM-Square (x2) and correlation (0, with significance level 95% (a= 0.05).
As a research results were the spatial planning (independent variable) and the quality of life (dependent variable) in social-economics, which is contained:
1. Micro Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was ventilations, illuminations (sunlight), and drainage. From statistical test, its shown (x2 test 33.815 (ventilations); 25.631 (illuminations); and 33.015 (drainage), which are higher than x2 table= 24.996 (ventilations and illuminations); 18,307 (drainage), its mean these variables significantly affected by spatial planning.
2. Perception on Implementation of Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was spatial planning structures (transferring the right of land and acquittal) and formatted (perception of knowledge and implementation of regulation of spatial planning). From statistical test, its shown that (x2 test = 59.138 and 32.415 for structures) higher than (x2 tables for both = 18.307) and (x2 test = 29.569; 31415; and 92.785 for formatted) higher than (x2 tables = 18.307 for implementations and 11.070 for knowledge). Significantly structure and formatted of spatial planning affected to the quality of life (in income as control variable).
3. Origin Region. 79 respondents (60.0%) from Cilegon (which stayed in Cilegon longer than 20 years) and 51 respondents (39.20%) from outside Cilegon. There is no impact of the origin to income, as shown statistically (x2 test=6,031 lower than x2 table= 11,070).
4. Social-Economics, contained:
Education.
84 respondents (64,6%) from senior high school (SLTA); 29 respondents (22,3%) from college, 17 respondents (13,1%) basic (SD-SLTP).
Job.
42 respondents (32,3%) Government Employee; 30 respondents (23,1%) private workers; 30 respondents (23,1%) running their own business; 28 respondents (others; house wife, laborer, etc).
Income and expenses.
Range between (Rp. 500,000 to higher than Rp. 3,000,000)1 Most of expenses for secondary section needs (62.25%) and the rest for nine staples (37.75%). That's mean Cilegon society are not poor society.
5. Social Institutions and Environmental Safety
Social Institutions. There are 11 (eleven) social institutions in Cilegon, ie., PPM, AMS KNPI, Youth Pancasila, IPSI, FBMC, MIA and KMC (Moslem organization), LPMC, and AMPI. According to the information, these institutions not affected to the lower level community. They trapped into the conflict of interest (certain community).
- Environmental Safety.
92 respondents (70.77%) said there were no crime (safe); 38 respondents (20.77%) unsafe. It was found from the statistical test that environmental endurance was affected to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 84.938 higher than x2 table = 18.307).
6. Health. The society health test by children under five years old category, clean water resources, and sanitations. From statistical test results: for health conditions affected to quality of life (income), which has shown by (x2 test = 51.154 higher than x2 table = 18.307) and sanitations did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 6.108 lower than x2 table = 18.307); clean water resources did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 2.406 lowest than x2 table = 18.307).
As a whole, based on research results and in conjunction with the perspective of environmental research (basic guidance on managing the environment), spatial planning affected to quality of life, and there was correlated between spatial planning to environmental safety but not affected to social institutions. In order to the community requested, Cilegon government should have open management in manage their town.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 2953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelia Merianty
"Sungai Ciliwung sebagai sungai yang paling berdampak di Ibukota DKI Jakarta diketahui memiliki kualitas air yang buruk. Tidak hanya itu, daerah di sekitarnya pun diketahui memiliki kadar oksigen, penataan ruang, penggunaan lahan, dan kebersihan lingkungan yang buruk. Kondisi Sungai Ciliwung yang buruk dan rawan banjir ini dapat berdampak pada kepuasan hidup penduduk di sekitarnya. Penelitian ini dilakukan pada penduduk di sekitar Sungai Ciliwung (N=248) dengan menggunakan alat ukur Perceived Residential Environment Scale dan The Satisfaction with Life Scale. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara kualitas lingkungan tempat tinggal yang dirasakan dan kepuasan hidup penduduk. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat peran ketergantungan spasial dalam hubungan kedua variabel tersebut di tingkat kelurahan (N=84). Hasil analisis dengan menggunakan Pearson Correlation menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kualitas lingkungan tempat tinggal yang dirasakan dan kepuasan hidup (r=0,308, p<0,01). Penelitian ini juga menemukan bahwa hubungan kualitas lingkungan tempat tinggal yang dirasakan dan kepuasan hidup di tingkat kelurahan tidak diprediksi oleh ketergantungan spasial. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kepuasan hidup pada kelurahan di sekitar Sungai Ciliwung hanya diprediksi langsung oleh kualitas lingkungan tempat tinggal (R2=0,17, p=0,000). Dengan adanya limitasi yang dimiliki, diperlukan penelitian lebih lanjut terkait topik ini.

The most impactful river, Ciliwung, is known as a river that has poor quality of the water. The surrounding area of the river is also known has poor condition of oxygen levels, public space layout, land use, and environmental hygiene. This poor condition and high risk of flood could impact the life satisfaction level of the residents around the river. Was conducted on 248 residents around the Ciliwung River and was measured using The Perceived Residential Environment Scale and The Satisfaction with Life Scale, this study aims to investigate the relationship of perceived residential environment quality and life satisfaction. In addition, this study also aims to investigate the role of spatial dependence in the relationship between the two variables at urban village level (N=84). The results of Pearson Correlation analysis showed that there is a significant positive relationship between perceived residential environment quality and life satisfaction (r=0,308, p<0,01). This study also found that the relationship between perceived residential environment quality and life satisfaction is not predicted by spatial dependence. This result indicates that life satisfaction at urban village level around the Ciliwung River is predicted by the perceived residential environment quality directly (R2=0,17, p=0,000). Given the limitations of this study, further research is needed on this related topic."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halimah Muhdastiani
"Membangun kepuasan pelanggan menjadi salah satu yang dapat membentuk kesuksesan bisnis. Karena itu memnentukan faktor-faktor yang menentukan kepuasan pelanggan menjadi penting. Penelitian ini memiliki tujuan guna menganalisis pengaruh kualitas makanan, kewajaran harga dan lingkungan fisik terhadap kepuasan pelanggan pada konsumen di KFC Kota Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data penelitian dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner secara online kepada 100 responden yang merupakan konsumen berusia lebih dari 18 tahun di KFC yang mengunjungi KFC di Kota Jakarta minimal tiga kali dalam setahun terakhir dan digunakan untuk analisis deskriptif dan analisis statistik inferensial berupa regresi berganda dengan menggunakan SPSS versi 25.0 untuk Windows. Hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas makanan, kewajaran harga dan lingkungan fisik memiliki pengaruh terhadap kepuasan pelanggan. Hasil penelitian ini memberikan saran dan pedoman yang berguna bagi pembuat kebijakan di industri restoran cepat saji untuk mengkonfirmasi pentingnya faktor-faktor yang dipilih dalam mempengaruhi kepuasan pelanggan.

Building customer satisfaction is one that can shape business success. Therefore, determining the factors that effect customer satisfaction is important. This study aims to analyze the effect of food quality, fairness of price and physical environment on customer satisfaction in consumers in KFC, Jakarta. This research uses a quantitative approach with research data collected through the distribution of online questionnaires to 100 respondents who are consumers over 18 years of age at KFC who visited KFC in Jakarta at least three times in the last year and used for descriptive analysis and inferential statistical analysis in the form of regression using SPSS version 25.0 for Windows. The results showed that food quality, fairness of price and physical environment had an influence on customer satisfaction. The results of this study provide useful advice and guidelines for policy makers in the fast food restaurant industry to confirm the importance of selected factors in influencing customer satisfaction.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitya Safira Birahmatika
"Kualitas diet pada wanita dewasa masih menjadi masalah. Memiliki perhatian khusus terhadap kesehatan (health concern) dapat berkaitan dengan pola makan. Wanita, khususnya ibu yang memiliki anak usia balita dan pra-sekolah umumnya makan di rumah. Sehingga lingkungan pangan rumah juga berkontribusi terhadap perilaku makan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara health concern dan kualitas diet, serta mengetahui apakah lingkungan pangan rumah memediasi untuk hubungan ini. Studi potong lintang ini berlokasi di Jakarta Utara, dengan sampel sebanyak 229 subjek dengan metode penarikan sampel consecutive. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Health concern diukur dengan General Health Interest Scale (GHIS). Lingkungan pangan rumah diukur dengan Consumer Behavior Questionnaire (CBQ). Data kualitas diet dinilai dari 2x24-hour dietary recall dan skor Diet Quality Index-International (DQI-I). Sebagian besar subjek memiliki kualitas diet yang rendah (nilai mean skor DQI-I: 41.44).
Tidak terdapat korelasi bermakna antara health concern dan kualitas diet (r=0.092, P-value=0.166). Setelah di-adjust dengan usia, lingkungan pangan rumah khususnya ketersediaan sayur tidak memediasi hubungan antara health concern dan kualitas diet (IE=0.012, P-value=0.096). Hasil regresi linier berganda juga menunjukkan usia sebagai prediktor kualitas diet (β=0.196, P-value=0.024). Diperlukan upaya kolaboratif untuk memperbaiki kualitas diet pada ibu, dengan meningkatkan health concern serta pemahaman tentang pemilihan jenis makanan berdasarkan kualitas gizi saat membeli makanan. Rekomendasi untuk studi lanjutan dapat meneliti perbedaan health concern menurut usia, serta kaitannya dengan perilaku makan dan kualitas diet.

Diet quality among women remains a major issue. Having health concern may be related to diet. Mothers with young children usually had their meals at home, thus home food environment could play a role in shaping dietary behavior. This study aims to examine the association between health concern and diet quality, and whether home food environment mediates this relationship. This cross-sectional study was conducted in urban slum area in North Jakarta, involving 229 mothers of young children through consecutive sampling. Data was collected using structured questionnaire, including General Health Interest Scale (GHIS) for health concern, Consumer Behavior Questionnaire (CBQ) for home food environment, and 2x24-hour dietary recall to determine the score of Diet Quality Index-International (DQI-I). Statistical analysis included correlation, multiple linear regression, and path analysis. Majority of the mothers had poor diet quality, with mean DQI-I total score of 41.44 out of 100.
There was no significant correlation between health concern and diet quality (r=0.092, P-value=0.166). After adjusted with age, home food environment did not mediate the relationship between health concern and diet quality. Multiple linear regression also showed age as a significant predictor of diet quality (β=0.196, P-value=0.024). Promoting health concern and healthier food choice when eating out or purchasing take-out food would be beneficial to improve diet quality among mothers of young children. Future study is also recommended to explore how age group differs in viewing health as importance, which could lead to dietary practices.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faiqa Fitriani
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas pengeluaran Pemerintah Daerah fungsi lingkungan hidup terhadap kualitas lingkungan hidup, serta menentukan variabel lain yang ikut memengaruhinya pada tingkat provinsi di Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model STIRPAT dengan metode random effect untuk Indeks Kualitas Lingkungan Hidup dengan data panel 28 provinsi di Indonesia dan tahunan dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan APBD fungsi lingkungan hidup belum efektif dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Indonesia. Sementara itu, PDRB, kepadatan penduduk, dan Pulau Jawa memiliki dampak negatif dan signifikan terhadap kualitas lingkungan hidup di Indonesia

ABSTRACT
The objectives of this study is to measure the effectiveness of the local government?s expenditure for environment on the environmental quality, and assessing other factors responsible for environmental quality at the provincial level in Indonesia. This study used STIRPAT model and random effect method for environmental quality index, using a panel of 28 provinces in Indonesia and annual data from 2009 until 2013. The estimation result indicates that local government expenditure for environment is not yet effective in improving the environmental quality in Indonesia. Gross Regional Product, population density, and Java are significantly worsening the environmental quality in Indonesia."
2015
S59230
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Asroruddin
"Tujuan: Mengevaluasi kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan tingkat gangguan penglihatan dan penyakit mata penyebab gangguan penglihatan pada populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia.
Metode: Studi dilakukan di 5 provinsi di Indonesia dengan menggunakan teknik cross sectional melalui pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara terpimpin menggunakan kuesioner NEI-VFQ25 pada 134 responden studi validasi kebutaan Riset Kesehatan Dasar 2013, yang berusia 18 tahun atau lebih dan visus <6/60. Skor kualitas hidup total dan subskala dari kuesioner diperbandingkan berdasarkan kelompok buta dan gangguan penglihatan berat, penyakit mata penyebab, dan kisaran lama kebutaan.
Hasil: Kebutaan dan gangguan penglihatan ditemukan lebih tinggi pada perempuan, usia lanjut, dan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah, dengan katarak sebagai penyebab utama. Skor kualitas hidup pada responden buta lebih rendah secara bermakna dibanding gangguan penglihatan berat dalam skor total (p=0,001), penglihatan dekat (p=0,002), dan penglihatan jauh (p=0,007). Tidak ditemukan perbedaan bermakna pada skor kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma memiliki skor paling rendah. Perbedaan kualitas hidup juga tidak berbeda bermakna berdasarkan kisaran lama gangguan penglihatan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat gangguan penglihatan. Kualitas hidup tidak berbeda bermakna berdasarkan penyakit mata penyebab dan lama gangguan penglihatan.

Purpose: To evaluate vision-related quality of life in severe low vision and blind population based on grade of vision loss and ocular morbidity in Indonesia.
Method: A cross-sectional study was conducted in five provinces in Indonesia by ophthalmological examination and guided-interview using NEI-VFQ25 questionnaire in 134 respondents of Blind Validation Study of Basic Health Survey 2013, aged 18 years or more with presenting visual acuity <6/60. Comparison of composite and subscale score of questionnaire was analyzed in blind and severe low vision group, based on ocular morbidity, and onset (range) of impairment.
Result: Severe low vision and blind was mostly found in female, productive ages, and low education level and income, with cataract as the leading cause. Composite score of blind was statistically significant lower than severe low vision group (p=0,001), also in distance act (p=0,007) and near act (p=0,002), and in almost all subscale score. Total score of glaucoma respondents was the lowest other than cataract and other ocular disease, include all subscale score. Quality of life score and ocular diseases (p=0,052) and also onset (range) of visual impairment were not significantly related.
Conclusion: Visual impairment had impact on vision-related quality of life in blind and severe low vision based on age, sex, and visual impairment grade. No significant difference of quality of life was found based on ocular morbidity and onset of visual impairment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahma Nurika Aisyah
"Perkembangan aktivitas kota dan proses industrialisasi menyebabkan pertumbuhan perumahan sebagai kebutuhan dasar manusia. Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia bukan hanya berfungsi sebagai tempat berlindung melainkan bisa menjadi peluang usaha dalam meningkatkan ekonomi penghuni. Hal ini menjadi menarik ketika ruang ekonomi yang berada di dalam rumah tinggal pada kampung kota mempunyai luas yang sangat terbatas dan menyebabkan penghuninya melakukan berbagai macam cara untuk memanfaatkan ruang di sekitarnya. Pada akhirnya, studi ini bertujuan untuk melihat pola tatanan ruang Usaha Berbasis Rumah Tangga (UBR) yang terbentuk di RT 01/04 Manggarai sebagai kampung kota dengan luas rumah tinggal yang terbatas (kurang dari 20 m2) yang berakibat pada perubahan kualitas lingkungan fisik kawasan.

The development of the city and the process of industrialization to cause housing growth as basic human needs. House as the basic human needs not only serves as a shelter, but could also become business opportunities in improving the economic for people who live there. This seems to be interesting when economic space who inside a dwelling house in slum area have space that is very limited and cause its inhabitants do a great variety of ways to make use of space. In the and, this study tries to analyse the order space pattern home industry that is formed in RT 01/04 Manggarai as slum area with extensive a limited dwelling house (less than 20m2) that led to changes in the quality of the physical environment of the area.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S59379
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>