Ditemukan 141196 dokumen yang sesuai dengan query
Murni Kemala Dewi
"Tesis ini bertujuan untuk menganalisis dinamika perdebatan terhadap usaha sekuritisasi terhadap isu perubahan iklim di Dewan Keamanan PBB. Pertanyaan dari penelitian ini adalah mengapa Inggris, Jerman, Swedia dan Republik Dominika gagal menjadikan isu perubahan iklim sebagai isu keamanan di Dewan Keamanan PBB. Metode penelitian tesis ini adalah metode analisis kualitatif menggunakan teknik analisis wacana atau istilah lainnya analisa diskursus. Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara dan studi pustaka yang dikumpulkan dari laman resmi PBB, buku, artikel, laman berita, dan laman resmi dari organisasi-organisasi terkait. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan ide dari Externalist School of Securitization (ESS) yang dirangkumkan dalam kerangka pemikiran milik Dagmar Rychnovska (2014) yang akan membantu dalam menganalisa hubungan sosio politik dan sosio-linguistik dalam perdebatan terhadap isu tersebut, terutama menganalisa peran dari Anggota Tetap Dewan Keamanan. Argumen utama dalam penelitian ini adalah adanya penolakan narasi hingga terjadi benturan kekuatan politik dalam menanggapi tindak tutur para aktor sekuritisasi yang ingin membingkai isu perubahan iklim sebagai masalah keamanan oleh audiensi, sehingga tidak ada kebijakan penanggulangan yang dapat disepakati bersama. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya kegagalan dalam proses sekuritisasi isu perubahan iklim di Dewan Keamanan PBB (2007-2019).
This thesis aims to analyze the dynamics of the debate on the securitization of climate change issues at the UN Security Council. The question of this research is why the UK, Germany, Sweden and the Dominican Republic failed to make the climate change issue a security issue in the UN Security Council. The research method of this thesis is a qualitative analysis method using discourse analysis techniques. The data collection method used interview and literature studies collected from the official website of the United Nations, books, articles, news pages, and official websites of related organizations. To answer the research question, the researcher uses ideas from the Externalist School of Securitization (ESS) which are summarized in Dagmar Rychnovska's (2014) framework which will help in analyzing socio-political and socio-linguistic relations in the debate on the issue, especially analyzing the role of the Security Council Permanent Members. The main argument in this research is the rejection of the narrative so that there is a clash of political power between actors and the audience in the Security Council, in response to the speech acts of the securitization actors who want to frame the issue of climate change as a security problem, hence no mitigation policy nor resolution that can be mutually agreed upon. This has resulted in a failure in the process of securitizing the climate change issue at the UNSC (2007-2019). "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Andreas Aghyp
"Negara berdaulat merupakan negara yang memiliki kekuasaan tertinggi di wilayahnya sendiri. Hal itu tidak dapat diganggu gugat oleh negara manapun. Dewan Keamanan PBB yang bertujuan menjaga perdamaian dan keamanan internasional dapat memiliki wewenang terhadap suatu konflik internal. Konflik internal tersebut menjadi kewenangan Dewan Keamanan apabila dapat berkembang menjadi ancaman terhadap perdamaian dunia, pelanggaran terhadap perdamaian dunia dan tindakan agresi. Selama ini dalam prakteknya sering dilakukan intervensi dari suatu negara terhadap negara lain. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjawab mengenai masalah intervensi Dewan Keamanan PBB pada konflik yang terjadi di wilayah Pantai Gading.
A sovereign state is a state where they have the highest power in their territory. This concept can not be breached by any nations. United Nations Security Council that in purpose to maintain international peace and security can have jurisdiction on an internal conflict. The internal conflict becomes United Nations Security Council's jurisdiction if it can be escalated to threat to peace, breach to peace, and an act of aggression. In practice, there have been a lot of cases about intervention done by states. With this research, there is hope to answer the problems about intervention that had been done by United Nations Security Council in Cote d'Ivoire."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42341
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Kandou, Sheila Hillary
"Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa melarang penggunaan kekuatan atau use of force. Pengecualian terhadap prinsip tersebut adalah apabila penggunaan kekuatan telah mendapatkan otorisasi dari Dewan Keamanan PBB atau dalam rangka pembelaan diri. Namun demikian, penggunaan hak bela diri tidak perlu didahului oleh persetujuan dari Dewan Keamanan PBB sehingga kerap kali disalahgunakan oleh negara untuk melakukan kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Skripsi ini akan membahas pengaturan hukum internasional mengenai hak bela diri serta penerapannya melalui praktik negara-negara, dan secara spesifik akan menganalisis penggunaan hak bela diri oleh Israel dalam Operation Pillar of Defense yang dilakukannya terhadap Palestina pada November 2012. Pembahasan permasalahan ini menggunakan penelitian hukum normative dengan analisis pendekatan yuridis normatif. Pada akhirnya, diungkapkan bahwa tindakan bela diri yang dilakukan oleh Israel sebagai negara anggota PBB tidak sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB maupun hukum kebiasaan internasional karena tidak memenuhi semua ketentuan yang mengatur tentang syarat dapat digunakannya hak bela diri tersebut.
The United Nations Charter explicitly prohibits the use of force. The exceptions to this principle are (i) if use of force has been authorized by the UN Security Council and (ii) self-defense. However, the right of self-defense has been abused by states as a justification to use of force against another state‘s territorial integrity and political independence since it does not need a prior authorization from the UN Security Council. This thesis examines how international law regulates the right of self-defense along with how states apply it in their practices, and in particular analyses how Israel uses its right of self-defense against Palestine during Operation Pillar of Defense, conducted in November 2012. This thesis uses normative legal method of research as well as juridical normative analysis in addressing the issue. This study reveals that the self-defense done by Israel as a state member of the UN is not in compliance with Article 51 of the UN Charter nor customary international law because it did not fulfill all of the provisions concerning the requirements to use the right of self-defense."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56104
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Teguh Islami Sriadiputra
"Pada 10 Mei 2024, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan Tenth Emergency Special Session. Dalam sidang ini, Majelis Umum mengadopsi Resolusi A/RES/ES-10/23 yang meningkatkan hak dan hak istimewa Palestina sebagai non-member observer state di PBB, sambil juga mendesak Dewan Keamanan untuk mempertimbangkan secara positif permohonan Palestina untuk keanggotaan penuh PBB. Berdasarkan Resolusi A/RES/ES-10/23, Majelis Umum memutuskan bahwa Palestina telah memenuhi kriteria untuk keanggotaan penuh sesuai dengan Piagam PBB. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 Paragraf (2) Piagam PBB. Biasanya, agar suatu negara dianggap memenuhi syarat dan dapat menjadi anggota baru PBB, Majelis Umum harus terlebih dahulu menerima rekomendasi dari Dewan Keamanan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Paragraf (2) Piagam PBB. Namun, dalam Resolusi A/RES/ES-10/23, terjadi prosedur yang berbeda di mana yang menyatakan bahwa Palestina telah memenuhi syarat untuk keanggotaan penuh bukanlah Dewan Keamanan, melainkan Majelis Umum PBB. Oleh karena itu, penelitian ini akan meninjau kesesuaian penetapan status Palestina yang ditetapkan oleh Resolusi A/RES/ES-10/23 dengan ketentuan penerimaan anggota baru PBB sesuai dengan Piagam PBB.
On May 10, 2024, the United Nations General Assembly held the Tenth Emergency Special Session. In this session, the General Assembly adopted Resolution A/RES/ES-10/23, which enhanced the rights and privileges of Palestine as an observer state at the UN while urging the Security Council to positively consider Palestine's application for full UN membership. According to Resolution A/RES/ES-10/23, the General Assembly decided that Palestine met the criteria for full membership in accordance with the UN Charter. This approach differs from the provisions outlined in Article 4, Paragraph (2) of the UN Charter. Typically, for a country to be deemed eligible for new membership in the UN, the General Assembly must first receive a recommendation from the Security Council as stipulated in Article 4, Paragraph (2) of the UN Charter. However, in Resolution A/RES/ES-10/23, the procedure differed as it was the General Assembly, not the Security Council, that declared Palestine as meeting the criteria for full membership. Therefore, this study will review the compliance of Palestine's status determination, as established by Resolution A/RES/ES-10/23, with the admission of new member provision of the UN Charter."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Pariama Carolin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S25631
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Didi Soleman
"Perluasan anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) hanya terjadi pada tahun 1965 dengan menambahkan empat kursi anggota tidak tetap. Reformasi pasca 1965 terus diupayakan selama berdekade oleh berbagai aktor internasional, karena mereka melihat terdapat banyak urgensinya. Bahkan, saat ini mayoritas negara secara terbuka mendukung adanya reformasi DK PBB. Tidak ada satu pun negara yang secara terbuka menolak reformasi. Mengingat signifikasi institusi, isu reformasi DK PBB juga telah menjadi pembahasan arus utama dalam studi Hubungan Internasional. Tugas Karya Akhir ini berusaha membahas proses upaya reformasi tersebut dengan meninjau 56 literatur akademik di laman SCOPUS. Dalam rangka menjelaskan proses reformasi secara benar penulis menggunakan metode taksonomi, sehingga Bab Pembahasan Tugas Karya Akhir ini terdiri dari empat subbab, yaitu (1) Pengantar: Perkembangan Upaya Reformasi DK PBB; (2) Urgensi Reformasi DK PBB Pasca 1965; (3) Gagasan dan Proposal Reformasi DK PBB Pasca 1965; dan (4) Kritik dan Tantangan Reformasi DK PBB Pasca 1965. Dengan keempat subbab tersebut, Tugas Karya Akhir ini dapat memberikan penjelasan komprehensif. Pembahasan mengungkapkan bahwa upaya reformasi telah dilakukan sejak masa Perang Dingin, tetapi banyak tantangan yang hadir. Meskipun mayoritas negara setuju dengan urgensi reformasi dan hadir berbagai gagasan dan proposal reformasi, tetapi beberapa akademisi melihat klaim urgensi tersebut tidak sesuai dengan tujuan pendirian (DK) PBB dan di antara negara pendukung reformasi juga masih terdapat perbedaan pendapat mengenai realisasi reformasi. Selain itu, tantangan juga hadir dari anggota tetap saat ini yang terkesan ingin mempertahankan status quo mereka. Tantangan-tantangan tersebut telah menjadikan perkembangan reformasi DK PBB berjalan dengan lambat.
The expansion of the United Nations Security Council (UNSC) membership only occurred in 1965, with the addition of four non-permanent seats. Post-1965 reforms have been pursued for decades by various international actors due to their perceived urgency. Currently, the majority of nations openly support the reform of the UNSC, with no country openly opposing it. Given the significance of the institution, the issue of UNSC reform has become a mainstream discussion in International Relations studies. This study attempts to discuss the process of these reform efforts by reviewing 56 academic literatures on the SCOPUS. To explain the reform process properly, the author employs a taxonomic method, resulting the Discussion Chapter consisting of four sub-chapters: (1) Introduction: Development of UNSC Reform Efforts; (2) Urgency of UNSC Reform Post-1965; (3) Ideas and Proposals for UNSC Reform Post-1965; and (4) Criticism and Challenges of UNSC Reform Post-1965. With these four sub-chapters, this study can provide a comprehensive explanation. The discussion reveals that reform efforts have been undertaken since the Cold War era, but many challenges have emerged. Although the majority of countries agree with the urgency of reform and ideas and proposal of reform have emerged, some academics see that the claim of urgency does not align with the founding objectives of the UN(SC), and among the countries supporting reform, there are still differences of opinion regarding the realization of reform. In addition, challenges also come from the current permanent members who seem to want to maintain their status quo. These challenges have made UNSC reform progress slow."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Sitompul, Poppy Luciana
"Tesis ini membahas pemberlakuan sanksi ekonomi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Analisis permasalahan dilakukan dengan melihat mekanisme penetapan sanksi ekonomi berdasarkan Bab VII Piagam PBB, pemberlakuan sanksi ekonomi melalui resolusi Dewan Keamanan yang mengikat negara anggota PBB yang membutuhkan kerjasama internasional untuk mengoptimalkan pemberlakuan sanksi ekonomi, serta dampak sanksi ekonomi ditinjau dari perspektif hukum internasional dikaitkan dengan kondisi internal negara, dampak sanksi bagi rakyat sipil serta bagi negara ketiga.
Dalam tesis ini, dirumuskan beberapa rekomendasi berkaitan dengan penetapan definisi dan parameter situasi yang merupakan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi sebagai landasan memberlakukan sanksi ekonomi; pelaksanaan mekanisme monitoring rutin ditindaklanjuti dengan peninjauan sanction exemption bagi alasan kemanusiaan; kerjasama Dewan Keamanan dengan badan internasional maupun badan regional keuangan dalam menyusun dan melaksanakan action-oriented proposal bagi negara ketiga.
The focus of this thesis discussess the imposition of economic sanction of the United Nations Security Council for the maintenance of international peace and security under Chapter VII of the United Nations Charter. Problems analysis is conducted by observing the mechanism to impose economic sanction under Chapter VII of the United Nations Charter, the imposition of economic sanction by means of Security Council resolution which is binding to the United Nations member states that requires cooperation to optimize the imposition of economic sanction, and impact of economic sanction from the perspective of international law in relation with state's internal situation, impact on civil population and on the third state. This thesis provides some recommendations in relation with the determination on definition and parameter of situation that constitutes action with respect to threats to the peace, breached of the peace and acts of agression as a basis to impose economic sanction; implementation of routine monitoring mechanism and review sanction exemption for humanitarian reasons; cooperation between the Security Council and international or regional financial institution in developing and implementing an action-oriented proposal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31892
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Soares, Fridolino Gama
"Reformasi sektor keamanan menjadi fokus penting bagi pembangunan jangka panjang Timor-Leste. Tulisan ini mengeksplorasi tantangan kegagalan PBB dalam menginisiasi SSR di Timor-Leste periode 2000-2006. UNTAET dengan mandat yang luas menginisiasi proses SSR di Timor-Leste pada awal mandatnya. Pembentukan sektor keamanan menjadi bagian penting yang harus dikerjakan, termasuk pembentukan institusi pertahanan dan keamanan. Misi berikutnya UNMISET juga dibekali dengan mandat eksekutif terhadap PNTL. Sayangnya dengan mandat yang luas, PBB gagal dalam menciptakan sektor keamanan yang dapat menjamin keamanan setiap individu di negara baru tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan disajikan dalam enam bagian penting guna , antara lain, efektivitas kinerja dan kekuatan institusi keamanan, manajemen dan pengawasan, hubungan dengan masyarakat, keberlanjutan penyelenggaraan sektor keamanan, dan yang terakhir Disarmament, Demobilisation dan Reintegration (DDR). Dari analisis tersebut, terungkap bahwa upaya reformasi sektor keamanan tidak hanya memerlukan pendekatan teknis, tetapi juga perlunya penanganan terhadap isu-isu politik dan sosial yang kompleks. Rekomendasi diberikan untuk pemerintah Timor-Leste, termasuk perlunya fokus pada pembangunan institusi yang akuntabel dan transparan, serta penggalangan dukungan internasional untuk mendukung upaya reformasi. Dalam konteks ini, kerja sama yang erat antara Timor-Leste dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi kunci untuk mencapai tujuan keamanan yang berkelanjutan dan stabil di masa depan.
SSR is an important focus for Timor-Leste's long-term development. This paper explores the challenges of the UN's failure to initiate SSR in Timor-Leste from 2000-2006. UNTAET with a broad mandate initiated the SSR process in Timor-Leste at the beginning of its mandate. The establishment of the security sector became an important part to be done, including the establishment of defense and security institutions. The subsequent mission UNMISET was also equipped with an executive mandate towards PNTL. Unfortunately, with such a broad mandate, the UN failed to create a security sector that could guarantee the security of every individual in the new country. Therefore, this research will be presented in six key sections in order to examine, among others, the effectiveness of the performance and strength of security institutions, management and oversight, community relations, the sustainability of security sector operations, and finally Disarmament, Demobilisation and Reintegration (DDR). The analysis revealed that security sector reform efforts require not only a technical approach, but also need to address complex political and social issues. Recommendations were made for the government of Timor-Leste, including the need to focus on building accountable and transparent institutions, and mobilizing international support for reform efforts. In this context, close cooperation between Timor-Leste and the United Nations is key to achieving the goal of sustainable and stable security in the future. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
New York : Routledge, 2015
341.584 GEN
Buku Teks Universitas Indonesia Library
New York: Cambridge University Press, 2014
341.48 UNI
Buku Teks Universitas Indonesia Library