Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128161 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pratiwi Kesuma
"Latar Belakang. Subtipe delirium, terutama delirium hipoaktif merupakan salah satu prognostik buruk terhadap terjadinya mortalitas pada pasien usia lanjut. Sampai saat ini belum ada penelitian kohort prospektif di Indonesia mengenai hubungan keduanya.
Tujuan. Mengetahui gambaran subtipe delirium serta pengaruhnya terhadap mortalitas satu tahun pada pasien usia lanjut.
Metode. Penelitian ini merupakan kohort prospektif dari 138 pasien delirium di rawat inap geriatri RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2019 hingga Maret 2020. Pasien dilakukan penilaian subtipe delirium saat dirawat. Dilakukan analisis cox regression untuk menilai hubungan subtipe delirium terhadap mortalitas 1 tahun pada pasien usia lanjut.
Hasil. Pada penelitian ini didapatkan proporsi subtipe delirium, hiperaktif 34,1% dan hipoaktif 65,9%. Terdapat hubungan secara statistik bermakna antara subtipe delirium hipoaktif dengan mortalitas 1 tahun pada pasien usia lanjut, yaitu dengan adjusted HR 1,835 (IK 95% 1,145-2,941), dengan p=0,012. Kesintasan satu tahun subtipe delirium hiperaktif, median 143 hari (IK 95% 0- 461) dan survival rate satu tahun 36,2%, sedangkan delirium hipoaktif 19 hari (IK 95% 13-25) dan survival rate satu tahun 5,5%, log rank p < 0,001. Geriatric Comorbidity Index menjadi faktor perancu dalam penelitian ini.
Kesimpulan. Lebih dari setengah subjek mengalami delirium hipoaktif. Delirium hipoaktif meningkatkan risiko kematian sebesar 1,8x lipat dibandingkan delirium hiperaktif.

Background. Delirium subtype, especially hypoactive delirium, is one of poor prognostic factors of mortality in geriatric patients. There have never been studied about the effect of delirium subtype and mortality in Indonesia.
Objective. This study aims to describe delirium subtype in geriatric patients, their effect and survival on one year mortality and survival in geriatric patients.
Method. This was a prospective cohort study of 138 delirium geriatric patients at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital who were hospitalized from Januari 2019 to March 2020. Patients were examined for delirium subtype. Cox regression analysis was performed to assess the effect between delirium subtype and 1-year mortality.
Results. The proportion of delirium subtypes were hyperactive (34.1%) and hypoactive (65.9%) respectively. 1-year survival rate of hyperactive delirium was 36.2%, with median of 143 days (95%CI 0-461) and hypoactive delirium was 5.5%, with median of 19 days (95%CI 45-85), p < 0.001. Hypoactive delirium was associated with 1-year mortality, with adjusted HR 1.835 (IK 95% 1.145- 2.941), p=0.012. The Geriatric Comorbidity Index was a confounding factor in this study.
Conclusion. More than half of the total subjects experienced hypoactive delirium. Hypoactive delirium increased the risk of death by 1.8 times compared to hyperactive delirium.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Asylia Dinakrisma
"Latar Belakang: Delirium pasca operasi merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi dan berdampak pada banyak luaran buruk. Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G) dan stratifikasi risiko perioperatif pasien geriatri diperlukan sebagai strategi awal pencegahan serta model prediktor prognosis yang efisien dan aplikatif.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kejadian delirium pasca operasi dan mengembangkan model prediksi delirium pasca operasi elektif mayor non kardiak pada pasien lanjut usia berdasarkan faktor prediktor.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien lanjut usia rawat inap yang menjalani pembedahan mayor elektif non kardiak di RS Cipto Mangunkusumo periode Januari 2020-Juni 2023.
Hasil: Didapatkan 370 subjek memenuhi kriteria dan dilakukan analisis. Kejadian delirium pasca operasi pada penelitian ini adalah 6,8% (IK 95%, 4,4%-9,8%). Faktor prediktor yang dianalisis yakni usia (HR=3,43; IK95% 1,544-7,635), status kognitif (HR=2,74; IK95% 1,156-6,492), dan status nutrisi (HR=3,35; IK95% 1,459-7,679). Model prediksi komplikasi delirium pasca operasi memiliki kalibrasi yang baik (p>0,05) dan performa skor sedang untuk memprediksi kejadian delirium pasien geriatri [AUC 0,750 (p<0,001; IK 95% 0,640-0,860)].
Simpulan: Usia, status kognitif, dan status nutrisi merupakan prediktor kuat delirium pasca operasi pada pasien lanjut usia yang menjalani pembedahan elektif mayor non kardiak.

Background : Postoperative delirium is one the most common complications and will impact many adverse outcomes. Comprehensive Geriatric Assessment (CGA) and perioperative risk stratification of geriatric patients are needed as an initial prevention strategy as well as an efficient and applicable prognosis predictor model.
Objective: This study aims to determine the incidence of post-operative delirium and develop a prediction model for delirium in elderly patients after major non-cardiac elective surgery based on predictor factors.
Methods: This research is a retrospective cohort study using secondary data from medical records of elderly inpatients who underwent major elective non-cardiac surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2020-March 2023.
Result: Total of 370 subjects that met the criteria were analyzed. The incidence of post-operative delirium was 6.8% ( 95% CI, 4,4% - 9,8%). The predictor factors analyzed were age (HR=3.43; 95%CI 1.544-7.635), cognitive status (HR=2.74; 95%CI 1.156-6.492), and nutritional status (HR=3.35; 95%CI 1.459- 7,679). The postoperative delirium complication prediction model had good calibration (p>0.05) and moderate score performance for predicting the incidence of delirium in geriatric patients [AUC 0.750 (p<0.001; 95%CI 0.640-0.860)].
Conclusion: Age, cognitive status, and nutritional status are strong predictors of postoperative delirium in elderly patients undergoing major non-cardiac elective surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hanif Rahim
"Salah satu komplikasi pascabedah yang sering dialami pasien geriatri adalah delirium. Insiden delirium pascabedah sangat beragam berkisar 3,6-28,3% dari seluruh pembedahan elektif. Delirium pascabedah berkaitan erat dengan komorbiditas, mortalitas dan peningkatan biaya serta lama perawatan di Rumah Sakit, oleh karena itu pencegahan terhadap kejadian delirum merupakan hal yang penting. Tekanan darah yang rendah dapat menyebabkan hipoperfusi area korteks dan subkorteks serebral. Keadaan ini diduga dapat menyebabkan terjadinya delirium. Adanya abnormalitas perfusi lobus frontal dan parietal otak juga diduga berhubungan erat dengan timbulnya delirium. Masih terdapat kontroversi terhadap pengaruh dari hipotensi intrabedah terhadap kejadian delirium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hipotensi intrabedah terhadap kejadian delirium pascabedah pada pasien geriatri.Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif terhadap 134 subjek penelitian selama Januari-April 2022 yang dialokasikan ke dalam kelompok dengan hipotensi (n=67) dan tanpa hipotensi (n=67) dikaji dari nilai tekanan darah, durasi hipotensi, dan pemberian topangan kardiovaskular. Penelitian menggunakan uji fungsi kognitif berupa CAM (Confusion Assesment Method) yang dilakukan 24 jam pascabedah.
Hasil : Pada penelitian ini didapatkan proporsi kejadian delirium pascabedah  dikaji dari nilai tekanan darah (Tekanan darah sistolik <90 mmHg dan Tekanan darah rerata <65 mmHg), durasi, dan pemberian topangan kardiovaskular bermakna secara statistik (p <0.05). Insidens kejadian delirium pascabedah pada pasien geriatri adalah 36.5%.
Kesimpulan : Terdapat hubungan antara hipotensi intrabedah terhadap kejadian delirium pascabedah pada pasien geriatri dikaji dari nilai tekanan darah, durasi, dan pemberian topangan kardiovaskular.

One of the postoperative complications that are often experienced by geriatric patients is delirium. The incidence of postoperative delirium varies widely, ranging from 3.6 to 28.3% of all elective surgeries. Postoperative delirium is closely related to comorbidities, mortality and increased costs and length of hospital stay, therefore prevention of delirium is important. Low blood pressure can cause hypoperfusion of the cerebral cortex and subcortical areas. This situation is thought to cause delirium. The presence of perfusion abnormalities of the frontal and parietal lobes of the brain is also thought to be closely related to the onset of delirium. There is still controversy about the effect of intraoperative hypotension on the incidence of delirium. This study aims to determine the relationship between intraoperative hypotension and the incidence of postoperative delirium in geriatric patients.
Methods : This study is a prospective cohort study of 134 study subjects during January-April 2022 who were allocated to groups with hypotension (n=67) and without hypotension (n=67) assessed from the value of blood pressure, duration of hypotension, and cardiovascular support. The study used a cognitive function test in the form of CAM (Confusion Assessment Method) which was carried out 24 hours after surgery.
Results : In this study, the proportion of postoperative delirium incidence was assessed from the value of blood pressure (systolic blood pressure <90 mmHg and mean blood pressure <65 mmHg), duration, and the provision of cardiovascular support was statistically significant (p <0.05). The incidence of postoperative delirium in geriatric patients is 36.5%.
Conclusion : There is a relationship between intraoperative hypotension and the incidence of postoperative delirium in geriatric patients assessed from the value of blood pressure, duration, and the provision of cardiovascular support.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Supriadi
"Latar Belakang. Sindrom delirium memberikan dampak yang sangat besar yaitu dengan mengakibatkan bertambahnya lama perawatan, timbulnya komplikasi dan angka ketergantungan serta kematian yang tinggi. Beberapa penelitian di luar negeri mengenai faktor prognosis berupa retrospektif dan prospektif telah dilakukan dengan hasil yang bervariasi.
Tujuan. Mengetahui hubungan antara risiko kematian pada penderita sindrom delirium pada geriatri dengan pneumonia, skor APACHE II tinggi, klasifikasi ADL ketergantungan total, hipoalbuminemia dan anemia.
Metodologi. Desain penelitian prospektif kohort dari bulan Desember 2004 sampai dengan agustus 2005 di ruang rawat inap penyakit dalam RSUPNCM Jakarta. Subyek pada pasien usia >60 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Sindrom delirium dinilai dari anamnesis dengan menggunakan Confusion Assessment Method (CAM).
Hasil. Didapatkan dari 96 sampel, 49 orang pria (51%) dan 47 orang wanita (49%), 38 meninggal di rumah sakit. Kisaran umur antara 60 hingga 89 tahun dengan rerata 70,50 tahun. Angka kematian sindrom delirium di rumah sakit adalah 39,60%, dengan variabel bebas pneumonia angka kematian 68,40%, klasifikasi ADL ketergantungan total 34,30%, hipoalbumin 65,80% dan anemia 76,30%. Berdasarkan analisis bivariat didapatkan antara pneumonia dengan risiko kematian RR 1,32 (IK 95% 0,51-3,45)p= 0,67, rerata skor APACHE II tinggi dengan risiko kematian 20,2 +SB 5, p= 0,001, ldasifikasi ADL ketergantungan total dengan risiko kematian RR 8,23 (IK 95% L60-47,88) p= 0,001, hipoalbuminemia < 2,50 g/dL dengan risiko kematian RR 2,71 (1K 95% 1,32-8,79) p= 0,001 dan anemia dengan risiko kematian RR 3,22 (1K 95% 1;19-8,87) p= 0,01. Berdasarkan regresi logistik didapatkan skor APACHE II dengan titik potong ? 16, anemia dan tingkat ketergantungan total yang berhubungan dengan risiko kematian pada sindrom delirium dengan RR masingmasing adalah 30,80 (IK 95% 7,79-122,12) p= 0.001, 4,80 (IK 95% 1,25-18,36) p-0.02 dan 1,59 (IK 95% 1,05-2,40)p= 0,03.
Simpulan. Skor APACHE II > 16, anemia dan ADL ketergantungan total merupakan faktor prognosis kematian yang paling berperan pada pasien sindrom delirium pada geriatri.

Backgrounds. Delirium syndrome can give very big impact such as prolonged hospitalization, complication, high number of dependence and increasing the mortality rate. Some researches on prognostic factors of delirium syndrome in the form of retrospective and prospective studies have been done with vary result.
Objectives. Knowing death risk relation between delirium syndrome patient with 'pneumonia, high score of APACHE II, ADL total dependence classification, hypo albumin and anemia.
Methods. Design of the research is prospective cohort study at the patient with delirium syndrome from December 2004 up to August 2005 which hospitalized in RSUPNCM Jakarta Subject of age patient > 60 years fulfilling criterion inclusion. Delirium syndrome is assessed from anamnesis by using Confusion Assessment Method (CAM).
Main Results. From 96 sample, 49 men (51%) and 47 women (49%), 38 are death in hospital. The age range is from 60 to 89 years of age, with mean 70.50 years. The mortality rate of syndrome delirium in hospital is 39.60%, with independent variable of pneumonia is got prevalence of death 68.40%, ADL total dependence classification 34.30%, hypo albumin 65.80% and anemia 76.30%. Based on bivariate analysis got result between pneumonia with risk of death RR 1.32 (Cl 95% 0.51-3.45) p= 0.67, between mean high score of APACHE II with risk of death 20.20 ± SD 5, p= 0.001, ADL total dependence classification with risk of death RR 8.23 (CI 95% 1.60-47.88) p= 0.001, between hypoalbumin < 2.50 gldL with risk of death RR 2.71 (CI 95% 1.32-8.79) p= 0.001, and between anemia with risk of death RR 3.22 (Cl 95% 1.19-8.87) p= 0.01. By logistics regression got score of APACHE II with cut of point 16, anemia and ADL total dependence classification which deal with death risk at delirium syndrome with RR each is 30,8 (CI 95% 7.79-122.12)p- 0.001, 4.08 (CI 95% 1.25-1836) p= 0.02 and 1.59 (CI 95% 1.05-2.40)p= 0.03.
Conclusions. APACHE II scores X16, anemia and the ADL total dependence classification represent factor of most prognosis death share at geriatric patient with delirium syndrome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soni Akhmad Nulhaqim
"Peningkatan jumlah penduduk lansia disatu sisi menggembirakan yaitu mencerminkan meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat, namun pada sisi lain menimbulkan permasalahan bagi lansia berupa permasalahan umum, permasalahan fisik, psikologis dan sosial ekonomi, juga bagi pemerintah yaitu berkaitan dengan penyediaan berbagai pelayanan. Keluarga diharapkan dapat menjadi lingkungan utama dalam pelayanan lansia. Dengan demikian, program-program pelayanan lansia yang berbasiskan pada keluarga merupakan program yang perlu dikembangkan.
Penelitian ini berupaya untuk mengkaji sistem pelayanan BKL di Kelurahan Batununggal Kecamatan Bandung Kidul Kota Bandung. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah : (1) bagaimana keadaan kelompok BKL sebagai sistem pelaksana perubahan; (2) bagaimana keadaan sistem kegiatan kelompok BKL; (3) bagaimana keadaan sistem sasaran kelompok BKL dan; (4) bagaimana keadaan sistem klien kelompok BKL. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif Berdasarkan hal tersebut, maka jenis penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sistem pelayanan kelompok BKL Bougenville di Kelurahan Batununggal Kecamatan Bandung Kidul Kota Bandung. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan kuantitatif. Populasi penelitian adalah para pengurus 18 orang dan para anggota kelompok BKL sebanyak 92 orang. Dengan menggunakan teknik sensus maka keseluruhan responden diambil dalam penelitian ini, sedangkan key person untuk wawancara mendalam digunakan teknik purposive sampling sebanyak tiga orang.
Kerangka teori utama yang digunakan adalah sistem dasar praktek pekerjaan sosial. Kerangka ini mengacu pada pendekatan pekerjaan sosial yaitu dualistic aproach maksudnya pekerja sosial berusaha melakukan perubahan terhadap masalah yang dihadapi oleh klien, juga melakukan usaha perubahan terhadap lingkungan sosial klien tersebut. Dengan demikian, suatu usaha perubahan yang dilakukan oleh pekerja sosial memunculkan sub-sub sistem dalam sistem dasar praktek pekerjaan sosial yaitu sistem pelaksana perubahan, sistem kegiatan, sistem sasaran, dan sistem klien. Kerangka analisis penunjang menggunakan pelayanan sosial dan teori tentang lansia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kelompok BKL merupakan kelompok sosial yang berada di dalam iingkungan RW yang berusaha mengadakan perubahan dalam meningkatkan kepedulian dan peran serta keluarga dalam mewujudkan kesejahteraan lansia. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan kelompok BKL adalah kegiatan agama, kegiatan kesehatan, kegiatan olah raga, kegiatan keterampilan dan kegiatan usaha, kegiatan anjang sana, serta kegiatan pertemuan lansia. Kegiatan tersebut melibatkan orang-orang yang diangggap berkompeten dalam bidangnya. Sistem sasaran BKL mengacu pada kelompok-kelompok yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan kelompok BKL, sedangkan sistem kliennya adalah orang-orang yang menjadi anggota BKL.
Dilihat dari sistem dasar praktek pekerjaan sosial, maka kelompok BKL dianggap: (a) sebagai sistem pelaksana perubahan yaitu kelompok yang berada dilingkungan RW yang berusaha mengadakan perubahan dalam meningkatkan kepedulian dan peran serta keluarga dalam mewujudkan kesejahteraan lansia; (b) sistem kegiatan kelompok BKL adalah orang-orang yang dianggap ahli dalam bidangnya masih terbatas pada kegiatan tertentu saja; (c) sistem sasaran seharusnya adalah keluarga bukan kelompok-kelompok yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya; dan (d) sistem klien seharusnya adalah lansia bukan semua orang yang menjadi peserta BKL.
Saran yang dirumuskan meliputi saran akademik adalah perlunya penelitian pekerjaan sosial dengan menggunakan perspektif pekerjaan sosial, sedangkan saran praktis ditujukan bagi pengembangan pelayanan sosial bagi lansia meliputi pengembangan pelayanan bagi keluarga lansia dengan menggunakan pendekatan sistem dasar praktek pekerjaan sosial, dan pendekatan budaya berupa sosialisasi nilai-nilai kepada anggota keluarga dan pelayanan sosial bagi lansia secara umum berupa pemberdayaan lembaga panti werda baik yang bersifat komersial maupun non komersial, sedangkan penciptaan pelayanan sosial yang baru yaitu mengupayakan pelayanan baru terutama pelayanan yang ditujukan untuk menunjang aktivitas lansia misalnya penyediaan fasilitas umum."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T5081
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoan Utami Putri
"Pendahuluan:
Fungsi tidur adalah masalah yang kurang diperhatikan pada lanjut usia (lansia). Diperkirakan 50-70% lansia di dunia mengalami gangguan tidur kronis. Kualitas tidur yang baik sangat berkorelasi dengan status mental, kesehatan kognitif, fungsi kardiometabolik, faktor risiko
jatuh, kemandirian aktivitas sehari-hari, dan kualitas hidup lansia. Sleep hygiene dikenal sebagai pendekatan lini pertama untuk mempromosikan sikap tidur yang sehat bagi lansia, meliputi aspek aktivitas fisik, diet dan modifikasi lingkungan.
Metode: Tujuan dari studi one group pre-post ini adalah untuk menilai pengaruh teleedukasi
video sleep hygiene yang dirancang khusus untuk populasi lansia guna meningkatkan kualitas tidur. Skor The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) akan dinilai pada awal dan akhir minggu ke lima. Penelitian ini juga bertujun untuk mengetahui kepatuhan lansia terhadap intervensi
edukasi jarak jauh.
Hasil: Sebanyak 39 subjek direkrut dalam penelitian ini, dengan mayoritas subjek perempuan
(61,5%). Terdapat penurunan skor global PSQI yang signifikan sebesar 5,7 poin (95%CI 4,2-
7,3 p<0,001) setelah lima minggu intervensi. Empat dari total enam domain mengalami perbaikan, yaitu latensi tidur, durasi tidur, gangguan tidur, dan disfungsi siang hari. Presentasi kepatuhan lansia diperoleh sebesar 89%.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan kualitas tidur yang signifikan pada lansia pasca lima minggu tele-edukasi sleep hygiene.

Sleep is an underdiagnosed problem in elderly. It is estimated that 50-70% of global elderly experience chronic sleep disturbance. Good sleep quality is strongly correlated with cognitive health, fall risk factors, independence of activity of daily living, and quality of life. Sleep hygiene is known as a first line approach for promoting healthy sleep for elderly. The aim of this one group pre-post design study is to assess the effect of innovative sleep hygiene educational videos particularly designed for older population to improve sleep quality. The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) score will be assessed in baseline and after five weeks. The secondary outcome is to investigate the adherence of elderly to tele-education intervention.A total thirty-nine subjects was recruited, with majority of women (61.5%). There is significant decreasing of global PSQI score for 5,7 points (95%CI 4,2-7,3 p <0.001) after five weeks of intervention. Four of total six domains are improved, that is sleep latency, sleep duration, sleep disturbance, and daytime functioning. The adherence of elderly is 89% in total. There is significant improvement of sleep quality in elderly after five weeks of tele-educational sleep hygiene intervention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mudiarnis
"Tujuan.Mendapatkanserta menentukan performa model prediksi delirium pasca-operasi pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi.
Metode. Penelitian dengan desain kohort prospektif pada pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi dari Gedung A dan PJT RSCM, dari 1 Februarisampai 30 April 2018. Prediktor yang dianalisis yaitu usia, frailty, komorbiditas, status nutrisi, kadar albumin, status kognitif, status depresi, polifarmasi dan jenis operasi. Analisis multivariat dengan cox regression untuk mendapatkan Hazzard Ratio dilakukan pada prediktor yang bermakna. Model prediksi dibuat dari prediktor yang bermakna pada analisis multivariat. Kemampuan kalibrasi model prediksi ditentukan dengan uji Hosmer Lameshow dan kemampuan diskriminasinya ditentukan dengan menghitung AUC dari kurva ROC.
Hasil.Terdapat187 pasien dengan median usia 67 tahun rentang 60-69 tahun . Kejadian Delirium pasca-operasi didapatkan sebesar 20,3 . Analisis multivariat mendapatkan usia HR 1,739;IK95 0,914-3,307 , polifarmasi HR 2,125 ;IK95 1,117-4,043 , dan status nutrisi HR 3,044 ; IK95 1,586-5,843 , sebagai prediktor model prediksi. Model Prediksi Delirium berdasarkan jumlah skor dari usia skor 1 , polifarmasi skor 1 , dan status nutrisi skor 2 , distratifikasikan menjadi kelompok risiko rendah skor le; 1 , risiko sedang skor 2-3 , dan risiko tinggi skor 4 . Uji Hosmer-Lemeshow menunjukan kalibrasi yang baik p=0,885 dan AUC menunjukan kemampuan diskriminasiyang cukup baik [ 0,71 IK95 0,614-0,809 ].
Kesimpulan. Model prediksi delirium pasca-operasi pasien usia lanjut menggunakan usia, status nutrisi dan polifarmasi, distratifikasi menjadi 3 kelas risiko rendah, sedang, dan tinggi Model ini memiliki kalibrasi yang baik dan diskriminasi yang cukup."
Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin
"Latar Belakang : lnstabilitas postural I jatuh adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan pusat kekuatan anti gravitasi pada dasar penyanggah tubuh (misalnya, kaki saat berdiri), atau memberi respon secara cepat pada setiap perpindahan posisi atan keadaan staffs. Prevalensi instabilitas postural di AS 30% dari penduduk usia lebih 60 tahun pernah jatuh, di RSCM tahun 2003 sebesar 23,3%. Faktor risiko yang melatar belakangi terjadinya jatuh adalah faktor ekstrinsik an faktor intrinsik. Faktor intrinsik terbagi dua sistemik (pneumonia, hipatensi ortostatik, hiponatremi, gagal jantung, infeksi saluran kemih) dan lokal (OA servikal, OA gem, Benign paroxiysmalpositional vertigo (BPPV), gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, kelemahan otot tungkai bawah). Jatuh memiliki penyulit yang cukup serius, mulai dari cedera ringan sampai fraktur femur. Dengan mengetahui faktor risiko jatuh sedini mungkin, maka kita dapat mencegah terjadinya jatuh dan penyulitnya.
Tujuan : mengetahui sebaran faktor intrinsik lokal serta hubungannya dengan instabilitas postural I jatuh.
Metodologi : Studi potong lintang dengan basal-sampel 97 orang usia Lanjut yang memenuhi kriteria inklusi. Waktu : Januari-Juni 2005 di Divisi Geriatri RSCM. Tingkat instabilitas diukur dengan posturografri.
Hasil : Dari penelitian ini didapat hasil prevalensi instabilitas postural sebesar 64.9%. Prevalensi perempuan 52,3% dan laki-laki 47,7%. Menurut kelompok umur prevalensi tertinggi pada umur > 80 taken sebesar 75,0%. Pada analisa bivariat osteoariritis servikal merupakan faktor intrinsik lokal yang mempunyai hubungan bermakna terhadap kejadian instabilitas postural dengan OR 3,28 (1K 95% 1,25-8,63) p= 0,02 dan pada analisa multivariat dengan inetode backward regresi logistitik didapatkan nilai OR 3,22 (1K 95% 1,18-89,74) p = 0,02. Gangguan pendengaran merupalcan faktor intrinsik lokal yang mernpunyai hubungan bermalma terhadap instabilitas postural pada analisa bivariat dengan nilai OR : 3,95 (1,29-12,11) p= 0,02 dan pads analisa multivariat dengan ailai OR 3,22 (1,18-89,74) pr= 0,02. Osteoartritis genii, BPPV, gangguan penglffiatan dan kelemaban otot tungkai bawah hell m dapat dibuktilcan mempunyai hubungan bermakna dengan instabilitas postural pada penelitian ini.
Simpulan : Prevalensi instabilitas postural pada penelitian ini sebesar 64,9%. Ganggaan pendengaran dan OA servikal menrpakan faktor instrinsik lokal yang mempunyai hubungan yang bermakna terhadap instabilitas postural. OA genii, BPPV, gangguan penglihatan dan kelemahan otot tungkai bawah belum dapat dibuktikan mempunyai hubungan bermakna dengan instabilitas postural pada penelitian ini.

Backgrounds : Instability/falls is inability to maintain central anti gravity strength of supporting structures of the body (e.g. feet while standing) or to give adequate response to positional changes or static condition Prevalence of postural instability in US reached > 30% in population aged > 60 years old A Study conducted in RSCM by Handayani (2003) found the prevalence as high as 23.3%. -Risk factors that responsible for falls are intrinsic and extrinsic factors. Intrinsic factors consist of systemic (pneumonia, orthostatic hypotension, hyponatresmia, heart failure, urinary tract infection) and local factors (cervical OA, knee OA, BPPV, visual impairment, hearing impairment, lower lambs weakness). Falls may have mild complication like mild trauma to serious complications such as femoral fracture. By identifying risk factors of instability/falls earlier, we may prevent falls and its complications.
Objective = to determine intrinsic local factors and its relationship with instability/falls.
Methods : Cross sectional study on 97 elderly patients who fullfled inclusion criteria was conducted in RSCM from January to June 2005 in outpatient clinic, Geriatric Division FKUI 1 RSCM.
Results : From this study we found the prevalence of instability was 64.9%. The prevalence in female (52.3%) was higher than male (47.7%) patience According to age group, the highest prevalence was found in age group of > 80 years (75%). After bivariat analysis, we found cervical OA was intrinsic local factor which bad significant relation with incidence of postural instability with OR 3.28 (CI 95% 1.25-8.63); Bivariat and multivariate analysis of logistic regression using backward method we found OR 3.22 (Cl 95% 1.18-89.74); p= 0.02. Hearing impairment was local intrinsic factor that had significant relation with postural instability after bivariat analysis with OR 3.95 (Cl 95% 1.29-12_ l 1); p= 0.02 and multivariate analysis with OR. 3.22 (Cl 95% 1.18$9.74); p= 0.02. BPPV, knee OA, visual impairment and lower limb weakness had not been proven yet to have significant relation with postural instability in this study.
Conclusion : Prevalence of instability in thus study is 64.9%. Hearing impairment and cervical OA were intrinsic local factors that showed statistically significant relation with postural instability. Knee OA, BPPV, visual impairment, and lower limb weakness had not been proven to have significant relation with instability in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Radityo Prabowo
"Latar Belakang : Major Adverse Cardiac Events (MACE) adalah penyebab penting morbiditas dan mortalitas perioperatif pasien usia lanjut yang menjalani operasi non kardiak. Geriatric Sensitive Cardiac Risk Index diketahui memiliki akurasi yang baik dalam memprediksi kejadian henti jantung dan infark miokardium pada usia lanjut yang menjalani operasi non kardiak. Namun, belum pernah dilakukan uji performa index tersebut di Indonesia dengan perbedaan karakteristik usia dan komorbiditas yang berbeda.
Tujuan: Mengetahui performa index GSCRI dalam memprediksi kejadian MACE (Major Adverse Cardiac Event) pada pasien usia lanjut yang menjalani operasi non kardiak dengan karakteristik usia lanjut pada populasi geriatri Indonesia.
Metode : Studi retrospektif berbasis uji prognostik dengan data rekam medis pasien usia > 60 tahun yang menjalani operasi non kardiak di poliklinik perioperatif dan rawat Inap Gedung A yang menjalani operasi pada tahun 2021-2022 di RSCM dengan memasukkan data-data determinan sesuai kalkulator GSCRI dengan luaran berupa persentase kejadian dan dilihat luaran berupa henti jantung dan infark miokardium pasca operasi. Studi ini dianalisa dengan uji diskriminasi dengan Area Under the Curve (AUC).
Hasil : Analisa dilakukan pada 225 subjek dengan median usia 65 tahun dengan proporsi MACE sebesar 3.1% (7 subjek) yang mengalami kejadian MACE pasca pembedahan non kardiak. Performa diskriminasi yang baik (AUC 0.888, IK95% 0.831-0.944).
Kesimpulan : Index GSCRI memiliki performa diskriminasi baik dalam memprediksi kejadian MACE pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan non kardiak.

Background : Major Adverse Cardiac Events (MACEs) is an important cause of perioperative morbidity and mortality in elderly patients undergoing non-cardiac surgery. The Geriatric Sensitive Cardiac Risk Index is known to have good accuracy in predicting cardiac arrest and myocardial infarction in the elderly undergoing non-cardiac surgery. However, this performance index has never been tested in Indonesia with different age characteristics and different comorbidities.
Objective: We aimed to determine the performance of the GSCRI index predicting the incidence of MACE (Major Adverse Cardiac Event) in elderly patients undergoing non-cardiac surgery with elderly characteristics in the Indonesian geriatric population.
Methods : Retrospective study based on prognostic test with medical record data of patients aged > 60 years who underwent non-cardiac surgery at the perioperative outpatient and inpatient who underwent surgery in 2021-2022 at RSCM by entering determinant data according to the GSCRI calculator with outcomes form of cardiac arrest and myocardial infarction postoperative. This study was analyzed by discrimination test with Area Under the Curve (AUC).
Results : The analysis was carried out on 225 subjects with an median age of 65 years with a proportion of MACE of 3.1% (7 subjects) who experienced MACE events after non-cardiac surgery. GSCRI had good discrimination performance (AUC 0.888, CI95% 0.831-0.944).
Conclusion: GSCRI index has good discriminatory performance in predicting the incidence of MACE in elderly patients undergoing non-cardiac surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asminarsih Zainal Prio
"Teknik relaksasi progresif merupakan latihan kontraksi dan relaksasi pada setiap kelompok otot secara sistematis dan dapat digunakan untuk menurunkan nyeri gastritis. Nyeri yang dialami dapat terus menerus mengalami kekambuhan. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektifitas teknik relaksasi progresif dalam menurunkan nyeri dan frekuensi kekambuhan nyeri pada lansia dengan gastritis. Metode penelitian ini adalah quasi experiment dengan pre test and post test design with control group. Pengambilan sampel dengan multistage random sampling dengan sampel 68 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa respon nyeri pada kelompok intervensi sesudah intervensi lebih rendah daripada sebelum intervensi teknik relaksasi progresif, respon nyeri pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol sesudah dilakukan teknik relaksasi progresif (p=0,000) dan frekuensi kekambuhan nyeri pada kelompok intervensi sesudah intervensi lebih rendah daripada sebelum intervensi teknik relaksasi progresif, frekuensi kekambuhan nyeri pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol (p=0,000). Konsumsi obat gastritis berkontribusi terhadap respon nyeri (p=0,000) berarti bahwa respon nyeri tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, pola makan dan konsumsi obat anti inflamasi non steroid tetapi dipengaruhi oleh konsumsi obat gastritis. Jenis kelamin berkontribusi terhadap frekuensi kekambuhan nyeri (p=0,019) berarti bahwa frekuensi kekambuhan nyeri tidak dipengaruhi oleh pola makan, konsumsi obat gastritis, dan konsumsi obat anti inflamasi non steroid tetapi dipengaruhi oleh jenis kelamin. Implikasi penelitian ini adalah agar teknik relaksasi progresif dijadikan kompetensi perawat dan diaplikasikan sebagai intervensi keperawatan dalam mengurangi nyeri gastritis. Direkomendasikan untuk menggunakan teknik relaksasi progresif sebagai strategi koping dalam kehidupan sehari hari.

Progressive muscle relaxation is a systematic contraction and relaxation exercise of muscle that can be used to relieve pain. Elderly population is at risk of experiency gastric pain experience related to degenerative and psychological factors. Gastric pain could happen frequently. This research aimed to examine the effect of progressive muscle relaxation on relieving gastric pain and pain recurrency. The method used in this study was quasi experimental using pretest and posttest design with control group. Data collection was conducted by multistage random sampling to reach 68 participant (34 in intervention group and 34 in control group). The result showed that gastric pain of intervention group was lower than that of control group after progressive muscle relaxation (p=0,000) and pain aecurrency of intervention group was lower than that of control group after progressive muscle relaxation (p=0,000). Medications therapy contributed to gastric pain of elderly (p=0,000),while sex, eating habit, and antiinflamation non steroid drugs were not confounding factors for gastric pain. Sex contributed to pain recurrency in elderly (p=0,019), while eating habit, medications therapy, and antiinflamation non steroid drugs were not confounding factors for pain recurency. This research implied that progressive muscle relaxation can be consider as one of nursing compentencies and applied as a nursing intervention to relieve gastric pain. It is recommended that applying progressive muscle relaxation is necessary to cope with dayly hassles."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>