Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128804 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulianah
"COVID-19 merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). terdapat populasi yang rentan terinfeksi virus SARS-CoV-2 salah satunya adalah penyakit komorbid yang banyak dialami pasien COVID-19 yaitu Congestive Heart Failure (CHF). Pasien dengan komorbid CHF lebih rentan terinfeksi SARS-CoV-2 dan dapat mengalami manifestasi klinis yang lebih berat. Hal tersebut berhubungan dengan proses infalamasi yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah paru, sehingga sebagian cairan dari pembuluh darah akan terdorong keluar dan masuk ke dalam alveoli. Volume darah balik dari ventrikel dan atrium kiri ke vena pulmonal yang kemudian menyebabkan edema paru. Edema paru adalah salah satu tanda masalah hipervolemia sehingga perlu dicegah melalui manajemen cairan. Pada studi kasus ini penulis melaporkan kasus seorsnh perempuan berusia 54 tahun dengan keluhan sesak setelah beraktivitas, pasien mengatakan sulit tidur karena sesak di malam hari dan setelah batuk berdahak, serta terdapat edema di kedua kaki. Pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dan memiliki riwayat CHF. setelah dilakukan intervensi manajemen cairan selama sembilan hari perawatan pasien mengalami perbaikan antara lain peningkatan saturasi oksigen, keluhan sesak yang sudah tidak dirasakan serta derajat edema yang berkurang. Studi kasus ini menunjukkan bahwa manajemen cairan merupakan intervensi yang efektif untuk mengatasi masalah hipervolemi pada pasien.
COVID-19 merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). terdapat populasi yang rentan terinfeksi virus SARS-CoV-2 salah satunya adalah penyakit komorbid yang banyak dialami pasien COVID-19 yaitu Congestive Heart Failure (CHF). Pasien dengan komorbid CHF lebih rentan terinfeksi SARS-CoV-2 dan dapat mengalami manifestasi klinis yang lebih berat. Hal tersebut berhubungan dengan proses infalamasi yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah paru, sehingga sebagian cairan dari pembuluh darah akan terdorong keluar dan masuk ke dalam alveoli. Volume darah balik dari ventrikel dan atrium kiri ke vena pulmonal yang kemudian menyebabkan edema paru. Edema paru adalah salah satu tanda masalah hipervolemia sehingga perlu dicegah melalui manajemen cairan. Pada studi kasus ini penulis melaporkan kasus seorsnh perempuan berusia 54 tahun dengan keluhan sesak setelah beraktivitas, pasien mengatakan sulit tidur karena sesak di malam hari dan setelah batuk berdahak, serta terdapat edema di kedua kaki. Pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dan memiliki riwayat CHF. setelah dilakukan intervensi manajemen cairan selama sembilan hari perawatan pasien mengalami perbaikan antara lain peningkatan saturasi oksigen, keluhan sesak yang sudah tidak dirasakan serta derajat edema yang berkurang. Studi kasus ini menunjukkan bahwa manajemen cairan merupakan intervensi yang efektif untuk mengatasi masalah hipervolemi pada pasien.

COVID-19 is a respiratory tract infection caused by the Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). There is a population that high risk to infection with the SARS-CoV-2 virus, one of which is a comorbid disease that many COVID-19 patients experience, namely Congestive Heart Failure (CHF). Patients with comorbid CHF are more susceptible to infection with SARS-CoV-2 and may experience more severe clinical manifestations. It is thought to be related to the inflammatory process that increases the permeability of the pulmonary blood vessels. Some of the fluid from the blood vessels will be pushed out and into the alveoli. The volume of blood returns from the left ventricle and atrium to the pulmonary veins which then causes pulmonary oedema. Pulmonary oedema is one of the signs of hypervolemia, so it needs to be prevented through fluid management. In this case study, the author reports woman 54 years old with complaints of shortness of breath after activities. The patient said it was difficult to sleep due to shortness of breath at night and after coughing up phlegm, and there was oedema in both legs. The patient is confirmed positive for COVID-19 and has a history of CHF. after the intervention of fluid management for nine days of treatment, the patient experienced improvement, including an increase in oxygen saturation, complaints of shortness of breath and a reduced degree of oedema. This case study shows that fluid management is an effective intervention to treat the problem of hypervolemia in patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianah
"COVID-19 merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). terdapat populasi yang rentan terinfeksi virus SARS-CoV-2 salah satunya adalah penyakit komorbid yang banyak dialami pasien COVID-19 yaitu Congestive Heart Failure (CHF). Pasien dengan komorbid CHF lebih rentan terinfeksi SARS-CoV-2 dan dapat mengalami manifestasi klinis yang lebih berat. Hal tersebut berhubungan dengan proses infalamasi yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah paru, sehingga sebagian cairan dari pembuluh darah akan terdorong keluar dan masuk ke dalam alveoli. Volume darah balik dari ventrikel dan atrium kiri ke vena pulmonal yang kemudian menyebabkan edema paru. Edema paru adalah salah satu tanda masalah hipervolemia sehingga perlu dicegah melalui manajemen cairan. Pada studi kasus ini penulis melaporkan kasus seorsnh perempuan berusia 54 tahun dengan keluhan sesak setelah beraktivitas, pasien mengatakan sulit tidur karena sesak di malam hari dan setelah batuk berdahak, serta terdapat edema di kedua kaki. Pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dan memiliki riwayat CHF. setelah dilakukan intervensi manajemen cairan selama sembilan hari perawatan pasien mengalami perbaikan antara lain peningkatan saturasi oksigen, keluhan sesak yang sudah tidak dirasakan serta derajat edema yang berkurang. Studi kasus ini menunjukkan bahwa manajemen cairan merupakan intervensi yang efektif untuk mengatasi masalah hipervolemi pada pasien.
COVID-19 merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). terdapat populasi yang rentan terinfeksi virus SARS-CoV-2 salah satunya adalah penyakit komorbid yang banyak dialami pasien COVID-19 yaitu Congestive Heart Failure (CHF). Pasien dengan komorbid CHF lebih rentan terinfeksi SARS-CoV-2 dan dapat mengalami manifestasi klinis yang lebih berat. Hal tersebut berhubungan dengan proses infalamasi yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah paru, sehingga sebagian cairan dari pembuluh darah akan terdorong keluar dan masuk ke dalam alveoli. Volume darah balik dari ventrikel dan atrium kiri ke vena pulmonal yang kemudian menyebabkan edema paru. Edema paru adalah salah satu tanda masalah hipervolemia sehingga perlu dicegah melalui manajemen cairan. Pada studi kasus ini penulis melaporkan kasus seorsnh perempuan berusia 54 tahun dengan keluhan sesak setelah beraktivitas, pasien mengatakan sulit tidur karena sesak di malam hari dan setelah batuk berdahak, serta terdapat edema di kedua kaki. Pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dan memiliki riwayat CHF. setelah dilakukan intervensi manajemen cairan selama sembilan hari perawatan pasien mengalami perbaikan antara lain peningkatan saturasi oksigen, keluhan sesak yang sudah tidak dirasakan serta derajat edema yang berkurang. Studi kasus ini menunjukkan bahwa manajemen cairan merupakan intervensi yang efektif untuk mengatasi masalah hipervolemi pada pasien.

COVID-19 is a respiratory tract infection caused by the Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). There is a population that high risk to infection with the SARS-CoV-2 virus, one of which is a comorbid disease that many COVID-19 patients experience, namely Congestive Heart Failure (CHF). Patients with comorbid CHF are more susceptible to infection with SARS-CoV-2 and may experience more severe clinical manifestations. It is thought to be related to the inflammatory process that increases the permeability of the pulmonary blood vessels. Some of the fluid from the blood vessels will be pushed out and into the alveoli. The volume of blood returns from the left ventricle and atrium to the pulmonary veins which then causes pulmonary oedema. Pulmonary oedema is one of the signs of hypervolemia, so it needs to be prevented through fluid management. In this case study, the author reports woman 54 years old with complaints of shortness of breath after activities. The patient said it was difficult to sleep due to shortness of breath at night and after coughing up phlegm, and there was oedema in both legs. The patient is confirmed positive for COVID-19 and has a history of CHF. after the intervention of fluid management for nine days of treatment, the patient experienced improvement, including an increase in oxygen saturation, complaints of shortness of breath and a reduced degree of oedema. This case study shows that fluid management is an effective intervention to treat the problem of hypervolemia in patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anasthasya Amanda
"Penyakit kardiovaskular merupakan komorbid dengan prevalensi tertinggi pada pasien dengan COVID-19. Individu dengan riwayat gagal jantung memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami manifestasi klinis lebih berat jika terinfeksi COVID-19. Salah satu tanda dan gejala yang dirasakan oleh individu yaitu adanya edema perifer sebagai tanda penumpukan cairan. Studi kasus ini bertujuan untuk mengatasi edema pada pasien COVID-19 dengan komorbid gagal jantung melalui manajemen hipervolemia. Tindakan dalam manajemen hipervolemia yang dilakukan meliputi membatasi asupan cairan pasien, monitoring intake dan output cairan, melakukan posisi semi fowler, monitor hasil hemakonsentrasi dan tekanan onkotik plasma. Keberhasilan intervensi dapat dievaluasi dengan melihat derajat edema dan status hemodinamik. Setelah dilakukan implementasi, evaluasi subjektif yaitu pasien mengatakan tidak ada sesak, tidak ada batuk, bengkak pada kaki kanan tidak ada dan bengkak pada kaki kiri sudah berkurang. Evaluasi objektif menunjukan penurunan derajat edema dengan edema pada kaki kanan dari derajat +2 menjadi tidak ada edema, sedangkan pada kaki kiri turun dari derajat +2 menjadi derajat +1 serta status hemodinamik dalam batas normal.

Cardiovascular disease is the comorbid with the highest prevalence in patients with COVID-19. Individuals who infected COVID-19 with a history of heart failure have a higher risk of experiencing more severe clinical manifestation. One of the signs and symptoms is the presence of peripheral edema as a sign of fluid overload. This case study aims to treat edema in COVID-19 patients with comorbid heart failure through hypervolemia management. Intervention in hypervolemia management include limiting of patient's fluid intake, monitoring intake and fluid output, performing semi fowler positions, monitoring hemaconcentration results and plasma oncotic pressure. The success of the intervention can be evaluated by monitoring degree of edema and hemodynamic status. After of implementation, subjective evaluation were patient said there was no cough,no swelling in the right leg and decreased of swelling in left leg. Objective evaluation showed decrease in the degree of edema with edema in the right leg from degrees +2 to no edema, while in the left leg dropped from degrees +2 to degrees +1 and hemodynamic status within normal limits."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Julianto
"

Congestive Heart Failure (CHF) merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan tingkat mortalitas dan morbiditas tinggi di Indonesia. Pemberian asuhan keperawatan yang tepat melalui intervensi keperawatan non farmakologi memiliki peran dalam mengatasi masalah keperawatan intoleransi aktivitas yang banyak ditemui pada pasien CHF. Latihan fisik active range of motion adalah salah satu dari banyak intervensi keperawatan yang dapat diterapkan. Tujuan dari pelaksanaan latihan aktif ROM ini adalah untuk mengatasi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen tubuh. Dengan memperhatikan kondisi klien sebelum dilakukannya intervensi dan waktu pelaksanaan setelah pemberian terapi farmakologi antihipertensi, maka dapat dianalisis melalui evaluasi setelah dilakukan selama empat hari dalam waktu 20 menit setiap kali intervensi dilakukan. Hasil evaluasi tersebut secara subjektif klien tidak melaporkan adanya keluhan dan klien menunjukkan parameter tanda-tanda vital dan hemodinamik dalam batas normal sebagai bagian dari aspek penilaian dari capaian tujuan masalah keperawatan penurunan curah jantung.


Congestive Heart Failure (CHF) are progressive health problems with high mortality and morbidity in Indonesia. The provision of appropriate nursing care through non-pharmacological nursing interventions has a role in overcoming the nursing problem of activity intolerance as the major problem of CHF. Active range of motion is one of many nursing interventions that can be applied. The purpose of performing active ROM exercises is to overcome the imbalance between the bodys oxygen supply and demand. By paying attention to the clients condition before the intervention and the time of implementation after the administration of antihypertensive pharmacological therapy, evaluation of the evaluation can be carried out for four days within 20 minutes of each intervention. The results of the subjective evaluation that the client did not report complaints and the client showed vital signs and hemodynamic parameters within normal limits as part of the report on nursing goals that determine the reduction in cardiac output.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Euntong Army
"Penelitian ini membahas mengenai pemantauan terapi obat pada pasien hipertensi dengan komorbid diruang rawat inap RSUD Cengkareng. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-eksperimental yang dilakukan secara observasional yang bersifat kualitatif dengan cara pengamatan dan wawancara. Hasil penelitian ini menyarankan untuk melakukan pemantauan lebih cepat pada saat pasien pertama kali dirawat agar dapat dilakukan pemantauan secara berkala dan dapat diidentifikasi masalah terkait obat serta dapat diberikan intervensi. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terapi yang diberikan pada pasien sudah sesuai walaupun terdapat masalah interaksi dan polifarmasi yang telah ditangani dengan pengaturan dosis dan waktu pemberian.

This study discusses the monitoring of drug therapy in hypertensive patients with comorbidities in the inpatient room of Cengkareng Hospital. The method used in this study is a non-experimental method conducted in an observational manner that is qualitative in nature by means of observations and interviews. The results of this study suggest monitoring more quickly when the patient is first admitted so that regular monitoring can be carried out and drug-related problems can be identified and interventions can be given. Based on the observations that have been made, it can be concluded that the therapy given to patients is appropriate even though there are problems of interaction and polypharmacy that have been handled by adjusting the dose and time of administration.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Destia Anggraini Rahmawati
"ADHF (Acute decompensated heart failure) merupakan suatu kondisi gagal jantung dengan perubahan mendadak pada jantung untuk berkontraksi, sehingga mengancam nyawa dan dapat menyebabkan edema paru. Gagal jantung dapat dikategorikan menurut nilai ejeksi fraksi, salah satunya heart failure with reduce ejection fracktion (HFrEF) dengan nilai EF ≤40%. Tanda klinis ADHF salah satunya edema pada tungkai. Hal ini terjadi karena kegagalan LV untuk berkontraksi sehingga menyebabkan aliran balik dengan penumpukan cairan diparu, kemudian kembali ke RV dan keluar melalui atrium kanan ke seluruh tubuh, salah satunya ke tungkai. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi edema tungkai yaitu ankle pumping exercise. Intervensi ini dilakukan selama 3 hari dengan frekuensi 10 kali/jam, kemudian dievaluasi selama 6 jam dengan metode pitting edema. Hasil intervensi menunjukkan terdapat perubahan derajat edema tungkai dari +3/+3 menjadi +1/+2. Hasil karya ilmiah ini diharapkan menjadi salah satu alternatif intervensi untuk mengurangi edema tungkai.

ADHF (Acute decompensated heart failure) is a condition of heart failure with sudden changes in the heart to contract, so it is life threatening and can cause pulmonary edema. Heart failure can be categorized according to the value of the ejection fraction, one of which is heart failure with reduced ejection fracture (HFrEF) with an EF value of ≤40%. One of the clinical signs of ADHF is edema in the legs. This occurs due to the failure of the LV to contract causing backflow with a buildup of fluid in the lungs, then back into the RV and out through the right atrium to the rest of the body, including the legs. The intervention to treat leg edema is ankle pumping exercise. This intervention was carried out for 3 days with a frequency of 10 times/hour, then evaluated for 6 hours using the pitting edema. The results of the intervention showed that there was a change in the degree of leg edema from +3/+3 to +1/+2. The results of this scientific work are expected to be an alternative intervention to reduce leg edema."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Kunto Prabowo
"ABSTRAK
Kecemasan merupakan suatu masalah yang sering dialami oleh pasien Congestive Heart
Failure (CHF). Masalah ini dikaitkan dengan adanya tekanan psikologis dan masalah
fisik yang dihadapi oleh pasien Congestive Heart Failure (CHF) yang akan berdampak
pada penurunan Health-Related Quality of Live (HRQoL). Penelitian ini bertujuan
mengetahui pengaruh pemberian terapi SEFT terhadap tingkat kecemasan pada pasien
Congestive Heart Failure (CHF). Desain yang digunakan adalah quasi eksperimen
dengan melibatkan 40 orang responden yang dipilih dengan menggunakan teknik
concecutive sampling yang dibagi menjadi dua kelompok. Hasil uji bivariat dengan
menggunakan uji parametrik yakni independent t test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan penurunan kecemasan yang bermakna antara kelompok kontrol (p value
=0,0001). Disimpulkan bahwa terapi SEFT berpengaruh terhadap penurunan kecemasan
pada pasien Congestive Heart Failure (CHF). Hasil penelitian ini dapat
direkomendasikan untuk diterapkan sebagai upaya mengatasi kecemasan pada pasien
Congestive Heart Failure (CHF).

ABSTRACT
Anxiety is a problem that is often experienced by patients with Congestive Heart Failure
(CHF). This problem is attributed to the psychological pressure and physical problems
faced by those patients that will impact on the decrease on Health-Related Quality of
Live (HRQoL). This study aimed to determine the effect of SEFT therapy on anxiety
among patients with Congestive Heart Failure. A Quasi experiment design was used in
this study by involving 40 respondents which selected by using a consecutive sampling
technique and divided into two groups. The result of independent t-test showed that
there is a significant difference mean of anxiety between two groups (p value = 0.0001).
It was concluded that SEFT therapy has effect on anxiety reduction among patients with
Congestive Heart Failure (CHF). The results of this study can be recommended as an
intervention to overcome anxiety among patients with Congestive Heart Failure."
2018
T49271
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hetty Christine
"Latar Belakang: Penuaan merupakan proses fisiologis yang terjadi pada semua organ tubuh. Usia lanjut dan sejumlah komorbid yang terjadi seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, penyakit paru obstruktif kronik dan penyakit ginjal kronik, merupakan faktor risiko mayor gagal jantung kongestif. Pasien usia lanjut dengan gagal jantung kongestif berisiko tinggi readmisi rumah sakit, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, dehidrasi atau kelebihan cairan, dan mengalami penurunan ambang rasa. Pada tata laksana gagal jantung kongestif, penting untuk membatasi asupan natrium dan cairan yang dapat menyebabkan penurunan asupan nutrisi, sehingga terapi nutrisi diperlukan sejak awal perawatan.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus pasien usia lanjut dengan gagal jantung kongestif, berusia 65-78 tahun dengan minimal satu penyakit komorbid yaitu hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit ginjal kronik, penyakit paru obstruktif kronik, dan diabetes melitus. Semua pasien memerlukan dukungan nutrisi. Dua pasien mengalami malnutrisi, satu pasien berat badan lebih dan satu pasien obes I. Masalah nutrisi yang didapatkan antara lain asupan makronutrien dan mikronutrien tidak adekuat dan komposisi nutrisi tidak seimbang selama sakit dan 24 jam terakhir, gangguan elektrolit, hiperurisemia, hiperglikemia, peningkatan kadar kolesterol LDL dan gangguan keseimbangan cairan. Terapi nutrisi gagal jantung kongestif diberikan pada semua pasien disesuaikan dengan penyakit komorbid masing-masing. Suplementasi mikronutrien dan nutrien spesifik diberikan pada keempat pasien. Pemantauan meliputi keluhan subyektif, hemodinamik, tanda dan gejala klinis, analisis dan toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, keseimbangan cairan, dan kapasitas fungsional.
Hasil: Keempat pasien menunjukkan peningkatan asupan nutrisi, perbaikan klinis berupa penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi, serta peningkatan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutriso yang adekuat dapat memperbaiki kondisi klinis pasien usia lanjut dengan gagal jantung kongestif dan berbagai penyakit komorbid.

Background: Aging is a physiological process, which is occurs in all organs. Elderly people and various comorbidities, such as hypertension, coronary artery disease, diabetes mellitus, chronic obtructive pulmonary disease and chronic kidney disease, are major risk factors of congestive heart failure. Elderly patients with congestive heart failure are at high risk of hospital readmission, malnutrition, micronutrients deficiency, dehydration or fluid overload and decreased sense of taste. In the congestive heart failure therapy, fluid and sodium intake restriction is important, however it may result in decreased nutrition intake so that is necessary to provide early adequate nutrition therapy.
Method: This serial case report describes four cases of congestive heart failure with various comorbidities in the elderly patients, aged 65-78 years old, with at least one comorbid, such as hypertension, coronary artery disease, chronic kidney disease, chronic obstructive pulmonary disease, and diabetes mellitus. All patients required nutrition support. Two patients classified as malnutrition, one overweight and one obese I. Nutrition problems in this serial case report are macromicronutrients intake, and nutrition composition imbalance during ill and 24 hours before hospitalized, electrolyte imbalance, hyperuricemia, hyperglycemia, elevated LDL cholesterol levels, and fluid imbalance. Nutrition therapy for congestive heart failure was given to all patients, and adjusted to the comorbidities in each patient. Micronutrients and specific nutrients supplementation were given to all patients. Monitoring include subjective complaints, hemodynamic, clinical signs and symptoms, analysis and tolerance of food intake, laboratory results, anthropometric, fluid balance, and functional capacity.
Result: During monitoring in the hospital, all patients showed improved food intake, clinical outcomes, such as decreased of blood pressure, heart rate and increased of fungcional capacity.
Conclusion: Adequate nutrition therapy an important role in improving clinical conditions in the elderly patients with congestive heart failure and various comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasyatillah
"Praktik kerja profesi apoteker di RSUP Persahabatan bertujuan untuk mengevaluasi masalah terkait obat/drug related problem (DRP) pada pasien NSTEMI, CHF karena CAD di ruang rawat inap RSUP Persahabatan dengan menggunakan metode Cipolle. Serta memberikan rekomendasi terkait DRP yang ditemukan pada pasien dan monitoring hasil rekomendasi DRP tersebut. Metode pelaksanaan yang digunakan dalam laporan ini adalah studi prospektif melalui lembar instruksi harian pasien (buku list terapi pasien), catatan rekam medik pasien, terapi farmakologi dan catatan SOAP pasien pada sistem rumah sakit (SIMRS PRIMA). Drug Related Problem (DRP) yang ditemukan pada pemantauan terapi obat ini adalah interaksi obat yang terjadi (bisoprolol dan ISDN) dan interaksi obat yang tidak terjadi (fondaparinux dan miniaspi) juga ada indikasi tanpa obat (pasien hipotermia belum mendapatkan terapi). Rekomendasi yang dilakukan pada DRP interaksi obat yang terjadi adalah penghentian penggunaan salah satu atau kedua obat. Sedangkan pada interaksi obat yang tidak terjadi hanya dilakukan monitoring gejala klinis, kadar natrium dan tekanan darah pasien. Pada DRP ada indikasi tanpa obat disarankan penambahan terapi NaCl kapsul dan monitoring kadar natrium.

The professional pharmacist practice at Persahabatan Hospital aims to evaluate drug-related problems (DRPs) in NSTEMI and CHF patients due to CAD in the inpatient ward using the Cipolle method. It also involves providing recommendations regarding identified DRPs in patients and monitoring the outcomes of these recommendations. The implementation method used in this report is prospective study through patient daily instruction sheets (patient therapy list book), patient medical records, pharmacological therapy, and SOAP notes in the hospital's information system (SIMRS PRIMA). Drug-related problems identified during drug therapy monitoring include drug interactions (bisoprolol and ISDN), potential drug interactions (fondaparinux and aspirin), and indication without medication (hypothermia patient without therapy). Recommendations made for the drug interaction that occurred involve discontinuation of one or both drugs. For the potential drug interaction, clinical symptom monitoring, sodium levels, and blood pressure of the patient were recommended. Regarding the indication without medication DRP, the recommendation includes adding NaCl capsules therapy and monitoring sodium levels.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wiji Lestari
"Malnutrisi merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit gagal jantung kronik. Perubahan neurohormonal dan reaksi inflamasi yang terjadi menyebabkan serangkaian perubahan metabolisme. Kondisi ini jika tidak diimbangi asupan nutrisi yang adekuat akan terjadi kaheksia kardiak. Adanya kaheksia kardiak terbukti meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus pasien gagal jantung kongestif dengan etiologi penyakit jantung hipertensi disertai berbagai kondisi penyerta. Semua pasien telah mengalami kaheksia kardiak sehingga memerlukan dukungan nutrisi selama perawatan.
Masalah yang turut menyertai dan berkaitan erat dengan nutrisi pada keempat pasien adalah infeksi, anemia, hipoalbuminemia, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, keseimbangan cairan dan elektrolit serta defisiensi mikronutrien tertentu serta nutrien spesifik. Penentuan kebutuhan energi total dihitung berdasarkan rumus Harris Benedict disesuaikan dengan faktor stres tergantung beratnya kasus dan kondisi penyerta. Pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal pada masing-masing pasien. Restriksi cairan dan natrium disesuaikan dengan keadaan retensi cairan, keadaan hiponatremia dan respon terhadap diuretik yang diberikan. Pemberian mikronutrien tertentu dan nutrien spesifik belum sepenuhnya dapat dilaksanakan pada keempat kasus.
Monitoring dan evaluasi yang diberikan meliputi klinis, antropometri terutama perubahan berat badan akibat retensi cairan, toleransi asupan, keseimbangan cairan dan kapasitas fungsional. Selama pemantauan didapatkan peningkatan asupan nutrisi dengan toleransi yang baik disertai dengan perbaikan klinis, kapasitas fungsional dan kondisi metabolik. Tata laksana penyakit primer yang adekuat disertai dukungan nutrisi yang optimal menghasilkan outcome yang baik selama perawatan. Perlu penatalaksanaan nutrisi berkelanjutan untuk mempertahankan status nutrisi, membantu mengontrol progresifitas penyakit dan mengendalikan komplikasi.

Malnutrition is the one of the most important problem which is frequently occurred in chronic heart disease patients. Neurohormonal changes and inflammatory reactions which developed will cascading metabolism shifts. If this condition is not followed by adequately nutrition intake, patients will have cardiac cachexia. The present of cardiac cachexia is evidenced in increasing the morbidity and mortality. This case series described four congestive heart failure patients which caused by hypertensive heart disease with various morbid conditions. All of the patients had cardiac cachexia and require nutritional support during the inward.
Several problems accompany and strongly relate with nutritional aspect in this cese series were infection, anemia, hypoalbuminemia, renal dysfunction, hepatic dysfunction, water and electrolyte imbalance, and specific micronutrient and nutrient deficiency. Total energy needs based on Harris Benedict formula and stress factors depend on case severity and other morbid conditions. Protein requirement adjusted to renal function for every patient. Water and sodium restriction adjusted to water retention, hyponatremia, and given diuretic responses conditions. Specific micronutrient and nutrient were not fully maintained in those four cases.
Monitoring and evaluation of this case series including clinical, antropometry especially weight changes due to water resistance, tolerance of intake, water balance and functional capacity conditions. During follow up, the improvement of nutrition intake and tolerance were developed as good as improving clinical, functional capacity, and metabolic condition. Adequate treatment for primary disease accompanied by optimal nutritional support resulted great outcome during inward. Further nutritional support are required to maintain nutritional status, help controlling disease progression, and control complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>