Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178794 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nova Gamayanti Putri Akhmad
"Peralihan hak dapat terjadi melalui peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peralihan hak yang terjadi dalam kasus ini karena adanya peristiwa kematian dan hibah. Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa peralihan hak melalui perbuatan hukum dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa peralihan hak melalui pewarisan dibuktikan dengan surat tanda bukti sebagai ahli waris. Peralihan hak dapat menjadi batal apabila syarat dan prosedur peralihan hak tersebut tidak terpenuhi sebagaimana kasus yang terdapat pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 106 K/TUN/2020 jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2568 K/PDT/2019. Penelitian ini mengangkat masalah mengenai keabsahan akta-akta yang dijadikan sebagai dasar peralihan hak milik atas tanah serta keabsahan peralihan hak milik atas tanah itu sendiri dan bagaimana pertanggungjawaban seorang Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terhadap akta yang dibatalkan sehingga mengakibatkan peralihan hak milik atas tanah juga dibatalkan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan analisis data kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa akta-akta yang dijadikan sebagai dasar peralihan hak milik atas tanah cacat materiil sehingga menyebabkan peralihan hak milik atas tanah tersebut menjadi batal. Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak dapat dituntut untuk memberikan kerugian karena akta-akta yang dibatalkan bukan akibat kesalahan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

 

Kata Kunci: peralihan hak, akta batal, pertanggungjawaban Notaris/PPAT


Transfer of rights can occur through the events of the laws and deeds of the law. Transfer of rights that occurred in this case because of the presence of death and grants. Article 37 of Government Regulation Number 24 of 1997 on Land Registration confirms that the transfer of rights through the deeds of the law is evidenced by a deed made by a Land Deed Official (PPAT) and Article 42 of the Government Regulation Number 24 of 1997 on Land Registration confirms that the transfer of rights through inheritance evidenced by a certificate of proof as heirs. Transfer of rights can be void if the terms and the procedure of transfer of rights is not fulfilled as the case contained in the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 106 K/TUN/2020 jo Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 2568 K/PDT/2019. This study raised the issue regarding the validity of the deed-a deed which serve as the basis of the transition of property rights to land as well as the validity of the transition property rights to the land itself and how the accountability of a Notary and Land Deed Official (PPAT) to a deed undone, resulting in the transition of property rights to land are also canceled. This research uses normative juridical research method with qualitative data analysis. The results of this study are that the deed-a deed which serves as the basis of the transition of property rights to land defective material so that the transition of the property rights over the land becomes void. The notary and the Land Deed Official (PPAT) can not be required to provide a loss because of the deed-the deed is cancelled not due to the fault of the Notary and the Land Deed Official (PPAT).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasya Agustyna Rahmaesa
"Hibah mengenai benda tidak bergerak seperti tanah harus dinyatakan dalam bentuk akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan pemindahan haknya. PPAT bewenang dalam pembuatan akta hibah sebagai alat bukti yang secara sah menyatakan telah dilakukannya perbuatan hukum hibah mengenai suatu hak atas tanah. Hibah merupakan pemberian secara sukarela yang dilakukan dengan cuma-cuma dan tidak memuat syarat maka tidak dapat dicabut atau ditarik kembali. Akan tetapi, hibah dapat diberlakukan suatu kebatalan jika ada cacat yuridis yang mengakibatkan perbuatan hukumnya menjadi tidak berlaku. Permasalahan dalam tesis ini adalah status hukum akta hibah yang memuat syarat dan tanggung jawab PPAT terhadap akta yang telah dibuatnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris dan preskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu status hukum akta hibah yang memuat syarat adalah batal demi hukum sehingga kembali pada keadaan semula atau berlaku surut (ex tunc). Hal ini karena hibah yang dilakukan bertentangan dengan undang-undang maka tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sebab yang halal. PPAT yang membuat Akta Hibah harus bertanggungjawab karena secara materiil akta tersebut bertentangan dengan undang-undang.

Grants regarding immovable objects such as land must be stated in the form of a deed made by an authorized official and registered for the transfer of rights. PPAT has the authority to make a grant deed as evidence that legally states that a legal grant act has been carried out regarding a land right. A grant is a voluntary gift made free of charge and does not contain conditions, so it cannot be revoked or withdrawn. However, a grant can be canceled if a juridical defect causes the legal action to become invalid. The problem with this thesis is the legal status of the grant deed, which contains the terms and responsibilities PPAT had to the deed he had made. This study uses a normative juridical research method with explanatory and prescriptive research types. The type of data used in this research is secondary data, which is analyzed qualitatively. The results obtained are the legal status of the grant deed, which contains the condition that it is null and void so that it returns to its original state or applies retroactively (ex tunc). This is because the grant made is contrary to the law, so it does not meet the objective requirements of the agreement's validity according to Article 1320 of the Civil Code, which is a legal cause. The PPAT who made the Deed of Grant must be responsible because materially, the deed is contrary to the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Biyanda Rizky
"Peralihan hak atas tanah melalui perbuatan hukum hibah semestinya memenuhi syarat subjektif dan objektif dalam perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan ketentuan hibah dalam Pasal 1666 KUHPerdata, serta dituangkan ke dalam akta autentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT. Meskipun demikian masih ditemukan hibah yang tidak memenuhi syarat subjektif maupun objektif seperti kasus pada Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 25/PK/PDT/2018. Oleh karena itu masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang keabsahan Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT berkenaan dengan hibah untuk mengalihkan hak atas tanah dari seorang isteri kepada suaminya, dan tanggungjawab PPAT dalam pembuatan Akta Hibah semacam itu. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan melalui studi kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT untuk mengalihkan hak atas tanah dari isteri kepada suaminya adalah tidak sah sehingga batal demi hukum karena tidak dipenuhinya syarat subjektif yaitu larangan pasangan suami isteri dalam melakukan hibah dan tidak dipenuhinya syarat objektif perjanjian yaitu mengenai kausa yang halal, dalam hal ini hibah tidak boleh menyalahi ketentuan perundang-undangan Pasal 1678 KUHPerdata tentang larangan hibah. Namun demikian hibah dari seorang isteri kepada suaminya dapat dilakukan apabila dibuat perjanjian kawin sebelum dilakukannya hibah. Adapun terkait tanggungjawab PPAT dalam pembuatan akta terkait hibah yang semestinya dilarang antara paasangan suami isteri adalah secara adminstrasi/kode etik berupa sanksi teguran dan peringatan tegas berdasarkan Pasal 6 Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Nomor 112/Kep-4.1/IV/2017 tanggal 27 April 2017. Apabila pemberian sanksi tersebut tidak dihiraukan oleh PPAT maka dapat diberikan sanksi berupa pemecatan.

The transfer of land rights through a grant legal act must fulfil the subjective and objective requirements in the agreement as outlined in Article 1666 of the Civil Code and the grant provisions in Article 1320 of the Civil Code. In addition, it must be documented in an authentic deed made by a Land Deed Official (‘PPAT’) as mandated in Article 2 of Government Regulation Number 37 of 1998 concerning Regulations on the Position of PPAT. However, there are still several grants that do not fulfil the subjective and objective requirements, such as the case in the Supreme Court Review Decision Number: 25/PK/PDT/2018. Therefore, the issue raised in this research is related to the validity of the Grant Deed made by PPAT regarding a grant to transfer land rights from a wife to her husband, and the responsibility of PPAT in making such a Grant Deed. This doctrinal legal research is conducted through a literature study to collect secondary data, which is then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be explained that the Grant Deed made by PPAT to transfer land rights from the wife to her husband is invalid so that it is null and void due to the non-fulfilment of subjective conditions, namely the prohibition of married couples in making grants and the non-fulfilment of the objective conditions of the agreement, namely regarding lawful causes. In this case, the grant must not violate the statutory provisions of Article 1678 of the Civil Code. As for the responsibilities of PPAT in making Grant Deeds, is administrative/code of ethics. The administrative responsibility/code of ethics of the PPAT related to the cancellation of the Grant Deed made by the PPAT is in the form of sanctions of reprimand and firm warning based on Article 6 of the Code of Ethics of the Association of Land Deed Officials Number 112/Kep-4.1/IV/2017 dated 27 April 2017. Moreover, if the sanction is ignored by the PPAT, the sanction can be given in the form of dismissal."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najiana Daroini
"Dalam penelitian ini dibahas tentang akta jual beli PPAT yang menjadi dasar timbulnya perkara pertanahan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 470 K/Pdt/2019. Dimana dalam konteks tersebut PPAT menjadi pihak berperkara di pengadilan baik yang disebabkan oleh akta yang dibuatnya maupun perselisihan para pihak terkait akta itu sendiri. Oleh karena itu permasalahan pokok yang diangkat dalam penelitian ini adalah suatu penyangkalan para pihak dalam akta jual beli yang dibuat oleh PPAT sehingga menjadi dasar timbulnya perkara pertanahan serta pertanggungjawaban PPAT terhadap pihak-pihak yang dirugikan atas akta yang dibuatnya. Untuk dapat menjelaskan permasalahan pokok dari penelitian ini maka dipergunakan metode penelitian yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 470 K/Pdt/2019. Dari analisis yang dilakukan secara kualitatif diketahui bahwa PPAT yang membuat akta jual beli dalam kasus tersebut tidak mengindahkan kaidah-kaidah pembuatan akta sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga berakibat merugikan Penggugat sebagai pemegang hak atas tanah yang menjadi objek perkara. Dengan demikian PPAT harus mempertanggung jawabkannya baik secara administratif, perdata maupun pidana. Sehingga akta dibuat sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat memberikan perlindungan hukum serta kepastian hukum bagi para pihak.

The research discusses the sale and purchase deed made by the Land Deed Official (PPAT) to execute land transfer, which is the cause of the land dispute in the Decision of South Jakarta District Court Number 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel jo. Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 470 K/Pdt/2019. In the case, PPAT deeds as the defendant due to the misrepresented deed led to the dispute. The main issue raised in this research is a claim from the plaintiffs about the sale and purchase deed made by defendant result in the loss and damages as well as the PPAT’s responsibility to the party for the deed it made. To be able to explain the main problem of this research, a normative juridical research method is used through a statute analysis and a case analysis based on the Decision of the South Jakarta District Court Number 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel jo. Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 470 K/Pdt/2019. From those analysis, it is determined that the defendant (PPAT) has violated the rules for making enforcable deeds as stipulated in the statutory regulations, which resulted in plaintiffs loss and damages.. Thus, the defendant (PPAT) must be responsible for remidies and charges of administrative, civil and criminal provisions. In conclusion the deed has to be made in accordance with the provisions of the prevailing laws and regulations to provide legal protection and legal certainty for all parties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustisia Aviyanti
"Tesis ini menganalisis mengenai jual beli atas tanah objek sita jaminan yang tidak didaftarkan oleh para pihak dan/atau juru sita pada Kantor Pertanahan setempat. Tidak terdaftarnya sita jaminan mengakibatkan tanah tersebut beralih kepada pihak ketiga dan diterbitkan sertipikat peralihan haknya, sehingga bertentangan dengan tujuan sita jaminan dalam Pasal 227 HIR dan/atau Pasal 261 RBg yaitu untuk mencegah debitur menggelapkan, memindahkan, atau mengalihkan barang-barangnya. Hal ini memicu diajukannya gugatan hukum oleh pihak yang merasa dirugikan hingga jual belinya dinyatakan batal berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 32/Pdt.G/2017/PN.Mks jo. Putusan Pengadilan Tinggi Makassar No. 142/PDT/2018/PT.MKS jo. Putusan Mahkamah Agung Mahkamah No. 3260 K/PDT/2018 yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai keabsahan jual beli tanah objek sengketa atau sita jaminan dan implikasinya terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanahnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan metode kualitatif sebagai metode analisis data. Pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dengan bentuk hasil penelitian deskriptif-analitis. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa jual beli objek sengketa atau sita jaminan tidak memenuhi syarat sahnya jual beli tanah dan menyebabkan perbuatan hukum yang bersangkutan batal demi hukum. Batalnya jual beli sebagai dasar perolehan hak atas tanah ternyata berimplikasi pula pada kebatalan pendaftaran peralihan haknya. Hal ini dikarenakan Hukum Tanah Nasional menganut sistem publikasi negatif berunsur positif pada pendaftaran tanahnya, sehingga apabila terbukti adanya cacat yuridis atau cacat administratif dalam penerbitan haknya atau berdasarkan perintah putusan pengadilan, dapat menjadi dasar pembatalan peralihan hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang.
This thesis analyses the sale and purchase of seized land which has not yet registered in Land Register Office. Not registering the security seizure has caused the land being transferred to a third party and the transfer of rights registration being issued, so it is contrary to Article 227 HIR and/or 261 RBg which aimed to prevent the debtor from embezzling, moving, or transferring his properties. This triggered the filing of lawsuit by the parties who suffered losses, so that the deed of sale and purchase is declared null and void by the Decision of the Makassar District Court No. 32/Pdt.G/2017/PN.Mks jo. Makassar High Court Decision No. 142/PDT/2018/PT.MKS jo. Supreme Court Decision No. 3260 K/PDT/2018 with permanent legal force. In connection with the issues above, the problems raised in this study are regarding the legality of the sale and purchase of disputed or seized land and its implications on the registration of the transfer of rights. To answer these problems, this study uses a normative juridical research method with qualitative method as a method of data analysis. Data collection used is document study with the form of descriptive-analytical research results. This research results in the conclusion that the sale and purchase of disputed or seized object does not fulfill the legal requirements of the land sale and purchase which may cause such legal action to be null and void. The null and void of the sale and purchase as the basis of land transfer has implication on its registration of rights as well. This may happen because the National Land Law uses a negative-positive publication system on its land registration system, therefore if it is proven that there has a juridical or administrative defect in the issuance of the land certificate or there has a court decision’s order, those may become the basis of the nullification of the registration of rights by the authorized official."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manik, Endang Swarni
"Penulisan tesis ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, spesifikasi penelitian adalah preskriptif analitis, pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Yang jadi pokok permasalahan adalah bagaimanakah jual beli hak atas tanah no. 8/Cikande tersebut dapat dikatakan telah memenuhi syarat jual beli; bagaimana akta jual beli tersebut dapat disebut sebagai cacat yuridis sehingga dibatalkan oleh pengadilan dan bagaimanakah pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli hak atas tanah no. 8/Cikande yang cacat hukum. Peralihan hak atas tanah karena jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang, oleh karena itu akta jual beli merupakan akta otentik yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat akan tetapi akta PPAT tersebut masih dapat dibatalkan oleh pengadilan apabila perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta tersebut mengandung cacat yuridis yang disebabkan dalam proses pembuatannya terdapat unsur melawan hukum yang membawa kerugian bagi pihak lain. Dalam hal ini jual beli hak atas tanah menjadi batal disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat materiil dalam pelaksanaan jual beli yaitu penjual bukanlah orang yang berhak menjual maka jual beli hak atas tanah tersebut menjadi batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah terjadi jual beli. Kebatalan akta karena adanya cacat juridis disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat subyektif dalam perjanjian yaitu adanya cacat kehendak dalam membuat kesepakatan seperti adanya kekhilafan/kesesatan (dwaling), adanya paksaan (dwang) dan adanya penipuan (bedrog). PPAT dalam pembuatan aktanya mempunyai tanggung jawab baik perdata, pidana maupun secara etika dan moral. Hasil penelitian dalam sengketa yang menyebabkan kebatalan akta jual beli no. 8/Cikande adalah adanya penipuan dalam pelaksanaan pembuatan akta jual beli yang dilakukan para penghadap yaitu pemalsuan identitas pemegang hak atas tanah yang sah. PPAT dalam proses pembuatan akta hanya mengkonstatir apa yang para penghadap inginkan, bila terbukti PPAT hanya menjalankan jabatannya sesuai dengan prosedur perundang-undangan dengan demikian berlakulah pasal 50 dan 51 KUHPidana kepadanya.

Writing of this thesis used judicial normative method, research of specification was prescriptive analysis, for collecting data used library research with secondary data. The main of problems are how buying and selling land of rights number 8/Cikande can fulfill requirement of buying and selling, how deed of sale called as disability law which had been cancelled by court and how responsibility of PPAT toward deed of sale land of rights number 8/Cikande which as disability law. The transition of land rights because of buying and selling only can be registered if can be proved with deed which made by authorized PPAT, therefore deed of sale constitute of authentic deed which had perfect verification strength value and binding but the deed can be cancelled by court therefore legal act can be occur in the deed contain disability of law that caused in process made of deed had substance unlawful law that gave loss to other side. In this case the nullification buying and selling land of rights is caused by who didn’t have the authority to sell in the material requirement buying and selling which caused of from the beginning the transaction never happened. The nullification deed caused disability law not fulfill the requirement subjective in the agreement there are any willing disability in the agreement like digression (dwaling), compulsion (dwang) and fraud (bedrog). PPAT in deed have a responsibility of private law, criminal law, as well as ethical and moral. Responsible of PPAT in this case was responsible of private law there is unlawful made by PPAT which raises of loss by litigants caused of issued deed of sale number 57/2003. As a public official who make deed can not be punished even though do unlawful in process the deed caused that PPAT only doing what parties wanting and implementation refer to process regulation order Article 50 and article 51 KUHPidana."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Prajna Damayanti
"Perjanjian perdamaian merupakan perjanjian obligatoir, yang merupakan perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu. Asas bersifat obligatoir dalam perjanjian perdamaian memiliki arti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut hanya hak dan kewajibannya saja yang baru timbul. Untuk pemenuhan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut, dapat dilaksanakan perjanjian berupa pembayaran maupun penyerahan. Akta perdamaian semestinya dapat memberikan kepastian hukum kepada para pihak untuk mengakhiri ataupun mencegah timbulnya suatu perkara dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang yang telah disepakati. Namun, pada praktiknya akta perdamaian tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa karena objek perjanjian perdamaian merupakan tanah dalam keadaan sengketa, seperti kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1127/Pdt.G/2020/PN.Dps. Penelitian ini menganalisis tentang keabsahan perdamaian dalam bentuk akta notaris serta pembatalan perjanjian perdamaian yang dibuat oleh notaris. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum doktrinal. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh adalah perdamaian dalam bentuk notaris dapat dikatakan sah jika notaris berwenang membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak serta secara lahiriah, formil, dan materil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta notaris. Pembatalan perjanjian perdamaian yang dibuat oleh notaris dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam akta pembatalan. Selain itu, karena objek perdamaian merupakan tanah yang sedang diletakkan sita jaminan, maka perjanjian perdamaian batal demi hukum karena melanggar ketentuan dalam Pasal 199 HIR, sehingga peralihan hak atas tanahnya tidak dapat dilaksanakan karena melanggar ketentuan pada Pasal 39 ayat (1) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

A settlement agreement is an obligatory agreement, which is an agreement that obliges someone to deliver or pay something. The obligatory principle in a settlement agreement means that the agreement made by the parties only creates new rights and obligations. To fulfil the obligations arising from the agreement, the agreement can be implemented in the form of payment or delivery. A deed of settlement should be able to provide legal certainty to the parties to end or prevent a case from arising by delivering, promising or withholding an agreed item. However, in practice, the peace deed cannot provide legal certainty for the parties to the dispute because the object of the peace agreement is land in a state of dispute, such as the case in Denpasar District Court Decision Number 1127/Pdt.G/2020/PN.Dps. This research analyses the validity of settlement in the form of notarial deeds as well as the cancellation of settlement agreements made by notaries. This doctrinal legal research was conducted through a literature study to collect secondary data which was then analysed qualitatively. The results of the research obtained are that settlement in the form of a notary can be said to be valid if the notary is authorised to make a deed in accordance with the wishes of the parties, outwardly, formally, and materially in accordance with the legal rules regarding the making of notarial deeds. The cancellation of a settlement agreement made by a notary is carried out based on the agreement of the parties as outlined in the deed of cancellation. In addition, because the object of peace is land that is being placed under security seizure, the peace agreement is null and void because it violates the provisions in Article 199 HIR, so that the transfer of land rights cannot be implemented because it violates the provisions in Article 39 paragraph (1) letter f of Government Regulation Number 24 of 1997."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ijmatul Murtika
"Dalam proses pembuatan akta wasiat umum di hadapan notaris berlaku ketentuan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 jo. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 (UUJN) dan juga ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(KUHPer). Dalam kedua peraturan tersebut bisa saja terdapat ketentuan yang berbeda, salah satunya ketentuan syarat saksi dalam sebuah proses pembuatan akta. Dalam KUHPer karyawan notaris dilarang untuk menjadi saksi dalam proses pembuatan akta wasiat, sedangkan dalam UUJN tidak ada larangan tersebut. Pelanggaran terhadap kedua ketentuan tersebut mempunyai akibat yang berbeda. Jadi, harus dipahami ketentuan manakah yang berlaku dalam pembuatan akta wasiat di hadapan notaris. Salah satu kasus yang berkaitan adalah dalam kasus Putusan Mahkamah Agung No. 400K/Pdt/2018 dimana akta wasiat dalam kaus tersebut telah dibatalkan dengan alasan melanggar ketentuan KUHPer. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana keabsahan saksi dalam proses pembuatan akta wasiat yang dilakukan di hadapan notaris dan bagaimana akibat terhadap pelaksana wasiat atas akta wasiat yang dibatalkan oleh Pengadilan dalam kasus Putusan No. 400K/Pdt/2018. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian berbentuk yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis.
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa saksi akta dalam pembuatan akta wasiat dalam Kasus di atas tidaklah sah karena tidak memenuhi syarat yang diatur dalam KUHPer dan hanya memenuhi syarat dalam UUJN. Padahal KUHPer merupakan lex specialis dari ketentuan dalam UUJN sehingga pelanggaran ketentuan tersebut menyebabkan akta wasiat tersebut menjadi batal. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah pengangkatan pelaksana wasiat di dalamnya juga menjadi batal sehingga pelaksana wasiat tersebut tidak mempunyai kewenangan lagi untuk mengurus harta pewaris. Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah notaris harus selalu memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya selain UUJN dikarenakan bisa saja terdapat peraturan lain yang berlaku sebagai lex specialis dari ketentuan dalam UUJN.

In the process of making a general testament deed in front of a notary public, the provisions in Law No. 2 of 2014 jo. Law No. 30 of 2004 (UUJN) and also provisions in the Civil Code (KUHPer). There might be different provisions in both regulations, one of which is the provision of witness conditions in a process of making a deed. In the Criminal Code, notary employees are prohibited from being witnesses in the process of making a testament, while in the UUJN there is no such prohibition. Breach on both, of the two provisions have different consequences. So, it must be acknowledged which provision apply in making a testament in front of a notary. One of the related cases is in the case of the Supreme Court Decision No. 400K/Pdt/2018 where the testament of the case has been canceled for the reason that it violates the provisions of the KUHPer. Therefore, the questions raised in this study are how the witness's validity in the process of testament making is carried out in front of a notary and how the consequences of the testament executor of the court-canceled testament (refer to the case of Decision No. 400K / Pdt / 2018)This research is conducted using a normative juridical research method with analytical descriptive research type.
The conclusion of this study is that the deed's witness in making the deed in the case above is not valid because it does not meet the conditions set out in the Criminal Code and only meets the requirements in the UUJN. Even though the KUHPer is a lex specialis of the provisions in the UUJN so that the violation of these provisions cause the testament to be canceled. The legal effect of the cancellation is that the appointment of the executor in it also becomes null and void so that the executor of the testament does not have the authority to take care of the property of the heir. Suggestions that can be given from this research are notaries must always pay attention to other laws and regulations besides UUJN because there may be other regulations that apply as lex specialis from the provisions in UUJN."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T53596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katrine Novia
"PPAT dalam menjalankan jabatannya seharusnya bekerja dengan penuh tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak berpihak dalam proses pemecahan sertipikat hak atas tanah. PPAT juga harus bertanggung jawab atas akta autentik yang dibuatnya, yaitu salah satunya Akta Pembagian Hak Bersama dan Akta Jual Beli. Salah satu permasalahan yang ditemui terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 990 PK/PDT/2020 dimana adanya keterlibatan PPAT dalam proses pemecahan sertipikat dan pembuatan akta autentik. Hal ini menimbulkan permasalahan dimana PPAT melakukan perbuatan melawan hukum terhadap akta autentik yang dibuatnya dimana dalam Akta Pembagian Hak Bersama tanda tangan para pemilik sertipikat hak atas tanah dipalsukan oleh penghadap yang datang sehingga menimbulkan suatu perbuatan hukum bersama-sama dengan salah satu pemilik sertipikat hak atas tanah. Atas permasalahan tersebut, dalam penelitian ini akan menganalisis mengenai tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam proses pemecahan sertipikat hak milik yang dilanjutkan dengan akta pembagian hak bersama dan akta jual beli dan akibat hukum jika akta pembagian hak bersama sebagai dokumen rujukan tidak ditandatangan oleh seluruh ahli waris dalam proses pemecahan sertipikat hak milik. Penelitian ini mengunakan metode penelitian doktrinal yang ditinjau dari sudut sifatnya merupakan penelitian deskriptif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa PPAT bertanggung jawab secara pidana, perdata dan administratif serta dalam proses pemecahan sertipikat hak atas tanah PPAT TN bertanggung jawab sebatas kuasa untuk melakukan pengurusan ke Kantor Pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional dan akibat hukum yang ditimbulkan bahwa Akta Pembagian Hak Bersama dapat dibatalkan dengan dasar penyimpangan syarat formil tata cara pembuatan akta autentik dan Akta Jual Beli dapat dibatalkan dengan dasar adanya penyimpangan dalam pembuatan akta autentik serta pembeli NA tidak termasuk dalam kriteria pembeli yang beritikad baik.

Land Deeds Officials in its position should work responsibilty, independently, honestly and impartially in the process of splitting freehold title. Also Land Deeds Officials must be responsible for the authentic deeds, namely the Deed of Sharing of Shared Rights and the Deed of Sale and Purchase. The problems is found in the Supreme Court Decision Number 990 PK/PDT/2020 where there is involvement of Land Deeds Officials in the process of splitting freehold title and authentic deeds. This raises problem where the Land Deeds Officials commits an unlawful act against the authentic deed he made where in the Deed of Sharing of Joint Rights the signatures of the owners of the freehold title are falsified by one of the owners who come to sign, causing a legal action. This study will analyze the responsibilities of the Land Deed Official in the process of splitting freehold title followed by the deed of sharing of joint rights and the deed of sale and purchase and the legal consequences if the deed of sharing of joint rights as a reference document is not signed by all the heirs in the process of splitting freehold title. This research uses doctrinal research method which in terms of its nature is descriptive research. The results shows Land Deeds Officials is liable criminally, civilly and administratively and in the process of splitting freehold title, Land Deeds Officials TN is only responsible as power to go to the Land Office and the resulting legal consequences that the Deed of Sharing of Shared Rights can be canceled on the basis of deviation from the formal requirements of the procedure for making an authentic deed and the Deed of Sale and Purchase can be canceled on the basis of irregularities in making an authentic deed and the buyer is not included in the criteria for a good faith buyer."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sebayang, Ninta Sri Ulina
"ABSTRAK
Tesis ini membahas sengketa penerbitan sertipikat hak atas tanah yang didasarkan
pada akta hibah sehingga terjadi tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah.
Penelitian menekankan pada prosedur permohonan hak pada saat pendaftaran
tanah pertama kali. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan
tipologi deskriptif analitis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa akta hibah tanah
yang dibuat di hadapan Notaris adalah untuk tanah-tanah yang belum mempunyai
hak atau belum bersertipikat serta terdapat cacat prosedur pada proses pendaftaran
tanah pertama kali yang berakibat pada pembatalan sertipikat hak atas tanah.
Sertipikat hak atas tanah merupakan alat pembuktian yang kuat, bukan alat
pembuktian yang mutlak karena selalu terdapat kemungkinan pemegangnya
digugat oleh pihak lain yang merasa berkepentingan, sebagaimana ketentuan Pasal
32 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Tidak ada perlindungan
hukum kepada pihak yang sudah terdaftar namanya di dalam sertipikat hak atas
tanah sehubungan dengan telah dibatalkan dan dicabutnya sertipikat hak atas
tanah secara sepihak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.

ABSTRACT
This thesis discusses the dispute over the issuance of the land certificates that was
based on a grant deed resulting in an overlapp of land rights. The study
emphasizes the procedures of the first land registration. The research employs
normative juridist method with descriptive analysis. The study concluded that the
grant deed of the land made before a Notary only covered unregistered or uncertificated
land and procedural errors of the first land registration resulted in the
revocation of the land certificate. Land certificates is a convincing evidence, but
not the absolute evidence as there is always a possibility for the holder to be sued
by other parties with interest, as stipulated in Article 32 paragraph 1 of
Government Regulation No. 24 of 1997. There is no legal protection to those who
have already registered as owner of the land in regard to the unilateral cancellation
and revocation of the land certificate by the State Administrative Tribunal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39070
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>