Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98189 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syaharani
"Diskursus mengenai keterkaitan hak asasi manusia dengan dampak perubahan iklim mulai berkembang dan menjadi sorotan internasional seiring munculnya dampak terhadap manusia yang tidak pernah terjadi atau dirasakan sebelumnya. Dampak-dampak yang timbul dari perubahan iklim dianggap akan menghambat perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia seperti hak hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perkembangan diskusi mengenai perubahan iklim dan kaitannya dengan hak asasi manusia juga ditunjukkan melalui penggunaan argumen hak asasi manusia dalam praktik-praktik litigasi perubahan iklim—yang merupakan respons kegagalan atau ketidaklayakan kebijakan suatu negara dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Litigasi perubahan iklim berbasis hak asasi manusia kemudian menjadi salah satu alat yang paling banyak digunakan dan paling efisien dalam meminta negara melakukan upaya mitigasi dan adaptasi yang serius guna menjamin perlindungan hak asasi manusia dari dampak perubahan iklim. Berbagai putusan pengadilan yang mengadili gugatan litigasi perubahan iklim berbasis hak asasi manusia telah merumuskan kewajiban-kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia dari ancaman perubahan iklim yang kemudian mereformasi kebijakan mitigasi dan adaptasi negara yang bersangkutan.  Argumen hak asasi manusia pun menjadi strategi yang relevan bagi Indonesia untuk mendorong upaya mitigasi dan adaptasi yang serius sebab Indonesia termasuk dalam negara yang rentan berhadapan dengan dampak perubahan iklim. Di sisi lain, pengaturan dan jaminan mengenai hak atas lingkungan hidup di Indonesia cukup komprehensif. Oleh karena itu, penelitian ini hendak melihat tanggungjawab negara atas perlindungan hak asasi manusia dari dampak perubahan iklim, mekanisme yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban negara atas perlindungan dari dampak perubahan iklim, dan bagaimana argumen hak asasi manusia relevan digunakan dalam mekanisme tersebut.

The discourse on the relationship between human rights and climate change impacts began to develop and became an international spotlight as the unprecedented impacts on human emerged. The impacts arising from climate change are considered to intervene with the protection and enjoyment of human rights such as the right to life, the right to health, and the right to a good and healthy environment. The development of the discussion on climate change and its relation to human rights is also shown by the use of human rights arguments in climate change litigation practices—which is a response to the failure or inadequacy of a country's climate policies. Human rights-based climate change litigation hitherto has become one of the most widely used and most efficient tools in demanding countries to undertake serious mitigation and adaptation efforts to ensure the protection of human rights from climate change impacts. Various court decisions adjudicating human rights-based climate change litigations have formulated state obligations to protect human rights from the threat of climate change which in turn reformed the country's mitigation and adaptation policies. The human rights argument has also become a relevant strategy for Indonesia to encourage serious mitigation and adaptation efforts as Indonesia is one of the countries that is vulnerable to the impacts of climate change. On the other hand, the constitution and other relevant laws also guarantee the right to the environment in Indonesia. Therefore, this study aims to look at the state's obligations to protect human rights from the impacts of climate change, the mechanisms that can be used to hold the state accountable for the protection from climate change impacts, and how relevant human rights arguments are used in these mechanisms. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alfitras Tavares
"Perubahan iklim merupakan permasalahan besar manusia saat ini. Dampak dari perubahan iklim dapat melanggar hak asasi manusia. Mengutip beberapa penelitian mengenai Carbon Majors, ditemukan bahwa emisi yang utamanya berasal dari industri bahan bakar fosil merupakan salah satu pihak yang berkontribusi besar terhadap perubahan iklim melalui gas rumah kacanya. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah korporasi yang berkontribusi menyebabkan dampak perubahan iklim dapat dimintakan pertanggungjawaban atau tidak. Penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis bagaimana perubahan iklim berdampak pada hak asasi manusia, bagaimana kewajiban hak asasi manusia oleh korporasi terkait dampak perubahan iklim serta bagaimana pertanggungjawaban korporasi melalui mekanisme litigasi perubahan iklim berbasis hak asasi manusia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dan analisis kualitatif terhadap berbagai jenis data. Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder mulai dari peraturan, putusan pengadilan, jurnal ataupun buku. Hasil penelitian ini menemukan bahwa perubahan iklim memang berdampak pada hak asasi manusia dan bahwa korporasi memiliki kewajiban hak asasi manusia dan dapat dimintakan tanggung jawab atas kontribusinya terhadap perubahan iklim. Terdapat dua jalur yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dengan menggunakan argumen hak asasi manusia atas dampak perubahan iklim, yaitu melalui gugatan pelanggaran hak dan gugatan perdata perbuatan melawan hukum. Alangkah baiknya apabila Pemerintah membuat peraturan yang mengikat yang mengatur mengenai kewajiban korporasi terkait hak asasi manusia dan perubahan iklim. Hal ini diperlukan agar setiap tindakan melakukan pencegahan pelanggaran hak asasi manusia perubahan iklim melalui aktivitasnya.

Climate change is a major problem for mankind right now. The impact of climate change can violate many human rights. Citing several studies on Carbon Majors, it was found that emissions mainly from the fossil fuel industry are one of the major contributors to climate change through their greenhouse gases. This raises the question of whether corporations that contribute to climate change impacts can be held accountable or not. This research will examine and analyze how climate change impacts on human rights, how the obligations of human rights by corporations are related to the impacts of climate change as well as how the corporation is accountable through human rights-based climate change litigation mechanisms. This research is a juridical-normative research and qualitative analysis of various types of data. This research used secondary data ranging from regulations, court decisions, journals or books. The results of this study find that climate change does have an impact on human rights and that corporations have human rights obligations and can be held accountable for their contribution to climate change. There are two ways that can be used to hold corporations accountable, those are, using human rights arguments for the impacts of climate change through lawsuits for violation of rights and civil lawsuits for unlawful acts. It would be better if the Government made binding regulations governing corporate obligations related to human rights and climate change. This is necessary so that every action takes to prevent climate change human rights violations through their activities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matthew Nathan
"Penelitian ini membahas mengenai potensi dan tantangan pelaksanaan gugatan derivatif sebagai strategi penanggulangan dampak perubahan iklim oleh Perseroan Terbatas di Indonesia. Pemegang saham melalui hak derivatifnya memiliki wewenang untuk menggugat Direksi apabila terjadi penyelewengan dari fiduciary duty yang dimilikinya, termasuk kewajibannya atas risiko perubahan iklim. Terdapat tiga pokok permasalahan dalam penelitian ini, yakni tanggung jawab korporasi terhadap penanggulangan dampak perubahan, hak derivatif yang dimiliki oleh pemegang saham yang diimplementasikan dalam kasus gugatan derivatif berbasis perubahan iklim dalam berbagai yurisdiksi, dan potensi pelaksanaan gugatan derivatif berbasis perubahan iklim melalui gugatan perbuatan melawan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal yang memparkan peraturan terkait suatu kategori hukum tertentu secara sistematis, menganalisis hubungan antar peraturan, dan mengidentifikasikan hambatan dan potensi dari peraturan tersebut di masa depan. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa pertanggungjawaban korporasi atas dampak perubahan iklim dapat dilihat dari tiga bentuk, yakni pengaturan wajib oleh instrumen hukum domestik, pengatusan secara sukarela, dan litigasi perubahan iklim. Selanjutnya, terdapat perkembangan positif terkait dengan gugatan derivatif berdasarkan perubahan iklim di berbagai yurisdiksi. Terakhir, pengajuan gugatan derivatif dalam konteks perubahan iklim berdasarkan hukum Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dan didukung dengan kedudukan hukum yang jelas, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This research discusses the potential and challenges of implementing derivative lawsuits as a strategy to mitigate the impacts of climate change by Limited Liability Companies in Indonesia. Shareholders through their derivative rights have the authority to sue the Board of Directors if there is a misappropriation of their fiduciary duty, including their obligations for climate change risks. There are three main issues in this research, namely corporate responsibility for mitigating the impacts of change, derivative rights owned by shareholders implemented in climate change-based derivative lawsuit cases in various jurisdictions, and the potential implementation of climate change-based derivative lawsuits through tort lawsuits. This research is a doctrinal research that systematically describes regulations related to a certain legal category, analyzes the relationship between regulations, and identifies the obstacles and potential of these regulations in the future. The results of this study state that corporate liability for climate change impacts can be seen in three forms, namely mandatory regulation by domestic legal instruments, voluntary attribution, and climate change litigation. Furthermore, there are positive developments related to derivative lawsuits based on climate change in various jurisdictions. Finally, the pursuit of derivative claims in the context of climate change under Indonesian law is possible and supported by a clear legal position, but there are still some obstacles to be observed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deniza Ariani
"ABSTRACT
Climate change has become an issue that is increasingly raising concerns. Scientific studies have portrayed the possible detrimental effects it could have towards human life. Consequentially, governments have started to regulate and implement measures in response. States have also convened together and negotiated international legal instruments in order to collectively address climate change. Nevertheless, an issue that remains of concern is compliance. The most recent international legal instrument, which is the Paris Agreement on Climate Change addresses compliance through a Compliance Committee, but limits possible responses in case of non compliance to not include adversarial and punitive responses. This brings the question on how can a State rsquo s citizens ensure that their government indeed complies with obligations and commitments under the climate change regime. In finding the answer to such question, this undergraduate thesis uses the normative juridical method in order to research, then analyse and evaluate a possible solution to the issue of compliance. After using such method, this thesis concludes that a possible solution is to use climate change litigation as a venue to hold governments accountable to their international, as well as national obligations. This is possible in Indonesia through Citizen Lawsuits. Nevertheless, there are external factors that may affect the success of cases, including the time needed for the central or regional government to adhere to court decisions, and how the resulting measure will be implemented and supervised. Therefore, it is suggested for further research to be conducted in order to understand the possibilities of climate change litigation.

ABSTRAK
Perubahan iklim telah menjadi isu yang semakin meningkatkan kekhawatiran. Studi ilmiah telah menggambarkan dampak merugikan yang mungkin terjadi terhadap kehidupan manusia, jika persoalan perubahan iklim tidak ditangani dengan benar. Akibtanya, pemerintahan berbagai negara telah mulai mengatur dan menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi. Negara-negara juga telah menegosiasikan instrumen hukum internasional untuk bersama-sama menangani persoalan perubahan iklim. Namun demikian, masalah yang masih menjadi perhatian adalah kepatuhan. Instrumen hukum internasional terbaru, yaitu Paris Agreement on Climate Change telah membahas persoalan kepatuhan melalui diaturnya sebuah Komite Kepatuhan. Tetapi terdapat pembatasan terhadap tanggapan yang mungkin diberi oleh Komite Kepatuhan jika terdapat ketidakpatuhan terhadap Paris Agreement, yakni, tidak boleh bersifat adversarial dan punitif. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana warga negara dapat memastikan bahwa pemerintahannya mematuhi kewajiban dan komitmen di bawah rezim perubahan iklim. Dalam menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut, riset skripsi ini menggunakan metode normatf yuridis untuk meriset, lalu menganalisis dan mengevaluasi solusi yang mungkin diterapkan terhadap masalah kepatuhan Negara. Dengan menggunakan metode tersebut, tesis ini menyimpulkan bahwa solusi yang mungkin adalah menggunakan litigasi perubahan iklim sebagai tempat untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah terhadap kewajiban internasional, serta kewajiban nasional mereka. Hal ini dimungkinkan di Indonesia melalui Tuntutan Warga. Namun demikian, ada faktor eksternal yang dapat mempengaruhi keberhasilan kasus, termasuk waktu yang diperlukan bagi pemerintah pusat atau daerah untuk mematuhi keputusan pengadilan, dan bagaimana ukuran yang dihasilkan akan dilaksanakan dan diawasi. Oleh karena itu, disarankan supaya riset lebih lanjut mengenai kemungkinan-kemungkinan dan akibat terkait litigasi perubahan iklim untuk dilaksanakan oleh pihak berkepentingan."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiah Salsabilla
"Perubahan iklim dapat memberikan dampak negatif terhadap penikmatan dari hak asasi manusia (HAM), salah satu hak yang dianggap paling signifikan terancam adalah hak untuk hidup. Hak untuk hidup merupakan non-derogable rights yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Salah satu akibat dari perubahan iklim dapat dilihat melalui fenomena terpaksanya perpindahan manusia terhadap mereka yang disebut sebagai Environmentally-Displaced Persons (EDPs). Terlepas dari urgensi permasalahan ini, belum terdapat instrument hukum internasional yang dapat melindungi mereka. Namun, Human Rights Committee (HRC) memberikan peluang perlindungan terhadap para EDPs akibat perubahan iklim untuk tidak dikembalikan ke negara asalnya. HRC menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan salah satu ancaman yang paling mendesak dan serius serta dapat menghadapkan individu terhadap pelanggaran atas hak untuk hidup. Hal ini maka dapat memunculkan kewajiban bagi Negara untuk tidak mengembalikan mereka ke negara asal atau non-refoulement obligations. Walaupun demikian, terdapat komponen-komponen yang harus dipenuhi oleh EDPs akibat perubahan iklim untuk mendapatkan perlindungan tersebut, termasuk risiko yang ia hadapi haruslah nyata dan tidak dapat diperbaiki, serta bersifat pribadi. Pemenuhan komponen hak untuk hidup dalam konteks lingkungan ini dapat dilihat dalam kasus Ioane Teitiota v. New Zealand yang dianggap sebagai suatu landmark decision dalam perlindungan EDPs akibat perubahan iklim

Climate change can have a negative impact on the enjoyment of human rights, one of the rights that is considered to be the most significantly threatened is the right to life. The right to life is a non-derogable right which cannot be reduced under any circumstances. One of the consequences of climate change can be seen through the phenomenon of forced displacement of people against them which is called Environmentally-Displaced Persons (EDPs). Despite the urgency of this problem, there is no international legal instrument that can protect them. However, the Human Rights Committee (HRC) provides an opportunity to protect EDPs due to climate change from being returned to their countries of origin. The HRC states that climate change is one of the most urgent and serious threats and can expose individuals to violations of the right to life. This can then give rise to an obligation for the State not to return them to the country of origin or non-refoulement obligations. However, there are components that must be met by EDPs due to climate change in order to obtain such protection, including the risks that they face must be real and irreversible, as well as personal. The fulfillment of the right to life component in this environmental context can be seen in the case of Ioane Teitiota v. New Zealand that is considered as a landmark decision in protecting EDPs due to climate change."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andiko
"Tesis ini membahas kelayakan hukum Karbon (CO2) menjadi objek perdagangan karbon dalam skema mitigasi perubahan iklim dalam kacamata hukum dan etika lingkungan. Penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat analitis dengan pendekatan normatif. Penelitian ini kemudian menemukan bahwa secara normatif Karbon (CO2) dapat menjadi benda karena Undang-Undang dan menjadi objek perdagangan karbon, namun mengandung sejumlah pertanyaan dalam pendekatan secara etika lingkungan karena merupakan benda milik bersama serta tetap menggunakan pendekatan Antroposentris dalam memposisikan alam diikuti sejumlah masalah teknis kehutanan dan perdagangan.

This thesis discusses about the legal feasibility of carbon (CO2) become an object to carbon offset in climate change mitigation scheme in legal perspective and environmental ethic. This research is conducted in legal normative methode with analytical aproach. By this research, I found Carbon (CO2) could be defined as a goods, hence it could become an object of carbon offset. However, in perspective of environment ethics there are questions regarding how we see carbon as common property and remain use Anthropocentric approach to observe nature besides other number of technical problems such forestry and trade."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juhyeon, KANG
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019
551.6 JUH w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Sayogie
"Tesis ini membahas konsep hak kebebasan beragama dalam Islam ditinjau dari perspektif perlindungan negara dan hak asasi manusia universal. Implementasi kebebasan beragama dalam Islam masih memiliki permasalahan yang belum tuntas. Berdasarkan perspektif Piagam Madinah, Islam dapat memberikan perlindungan kebebasan beragama dan memberikan hak-hak non-muslim. Namun, dalam praktiknya, di beberapa negara Islam dewasa ini, yang sering terjadi justru berbagai penyimpangan yang mengaburkan makna serta semangat yang dikandung dalam Piagam Madinah. Beberapa negara Islam saat ini masih memformalisasi dan merumuskan penerapan syariah dalam ruang publik. Negara menjadi tidak bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan dan selalu berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundang-undangan negara. Hal ini juga tercermin dalam Deklarasi Kairo yang memberikan legitimasi kepada negara-negara Islam untuk tetap mempertahankan dan menjalankan doktrin berbasis syariah yang lebih menekankan perlindungan agama daripada memberikan perlindungan hak fundamental dalam kebebasan beragama. Oleh karena itu, perlunya doktrin pemisahan agama dan negara yang bertujuan agar negara lebih independen dan diharapkan dapat memberikan perlindungan organ-organ dan institusi-institusi negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama. Hak kebebasan beragama hanya bisa direalisasikan dalam kerangka kerja negara yang konstitusional dan demokratis didasarkan oleh semangat yang dianut hak asasi manusia universal.

The thesis discusses the concept of religious freedom in the perspective of state protection and universal human rights. The implementation of religious freedom in Islam still has unresolved issues. Based on the perspective of the Madinah Charter, Islam can provide protection of freedom of religion and give the rights of non-Muslims. Nowadays, however, in practice, in some Islamic countries, there is actually a variety of aberrations that obscures the meaning and spirit of the Madinah Charter. In some Muslim countries, the formalization and formulation of syariah are still implemented in the public sphere. State does not remain neutral toward all religious doctrines and always strives to apply the principles of syariah as a policy or state legislation. This is also reflected in the Cairo Declaration that gives legitimacy to Muslim countries to maintain and run a syariah-based doctrine that emphasizes the protection of religion rather than the protection of the fundamental rights of freedom of religion. Therefore, the need for the doctrine of separation of religion and state is intended to make state more independent and is expected to provide protection of the organs and institutions of the state against the abuse of power in the name of religion. Right to freedom of religion can only be realized within the framework of the constitutional and democratic state based on the spirit of universal human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30001
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Susanti
"Salah satu isu lingkungan hidup yang memberikan pengaruh signifikan terhadap semua komponen kehidupan dan sistem kehidupan banyak kalangan saat ini adalah mengenai fenomena perubahan iklim (climate change). Perubahan Iklim tidak hanya berdampak di permukaan bumi saja, namun dampak Perubahan Iklim juga menjadi masalah di lingkungan antariksa, hal ini disebabkan aktifitas manusia seperti pembakaran fosil, kegiatan industri, dan penggunaan lahan secara eksploitatif telah berkontribusi dalam peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) dan zat sejenis lainnya seperti methane (CH4), yang pada akhirnya akan berujung pada peningkatan suhu global secara keseluruhan. proses tersebut mengakibatkan peningkatan konsentrasi Karbondioksida (CO2) dan Methana (CH4) di atmosfer bawah (terjadi pemanasan atmosfer bawah) yang menyebabkan pendinginan atmosfer atas yang berdampak menurunkan kerapatan atmosfer atas tempat satelit-satelit LEO berada (Satelit di Orbit menengah bumi). Karena ada indikasi kecenderungan penurunan kerapatan atmosfer atas, maka debris dan satelit-satelit akan semakin lama berada di orbitnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Potensi ancaman Sampah Antariksa terhadap Keamanan Nasional dan Peran Kelembagaan LAPAN dalam Mitigasi Ancaman Keamanan Nasional dalam Bidang Keantariksaan terkait dampak dari Perubahan Iklim. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dan hasil dari analisis yang diperoleh adalah Bagi Indonesia, isu sampah antariksa tergolong krusial karena dua alasan, Pertama ukuran negara dan populasi yang besar dan yang kedua perkembangan jumlah/populasi sampah antariksa yang semakin bertambah, salah satunya adalah Praktik RPO sebagai misi rawan, Terkait Panduan Mitigasi sampah antariksa untuk saat ini LAPAN belum membuat panduan tersebut tetapi LAPAN sudah melakukan Mitigasi Benda jatuh antariksa sebagai bagian dari sampah antariksa. LAPAN telah melakukan pengamatan dengan Sistem/program tracking sampah antariksa dengan menggunakan kode pemodelan prediksi dari CELESTRAC. Pemantauan ini dilakukan dengan memanfaatkan data orbit satelit yang saat ini dipublikasikan oleh USSPACECOM. Walaupun demikian ternyata di lapangan dalam melakukan pengamatan dan pemodelan yang bergantung dari data orbit negara lain masih banyak memiliki kekurangan.

One environmental issue that has significant impact on all components of life and the lives of many systems today is the phenomenon of climate change (climate change). Climate change not only impacts on the earth's surface, but the impact of climate change is also an issue in the space environment, this is due to human activities such as burning fossil, industrial activities, and exploitative land use has contributed to the increase in the concentration of carbon dioxide (CO2) and substance other such as methane (CH4), which in turn will lead to an overall increase in global temperatures. The process resulted in an increase in the concentration of carbon dioxide (CO2) and Methane (CH4) in the lower atmosphere (atmospheric warming below) which cause cooling of the upper atmosphere that impact on reducing the density of the upper atmosphere where satellites are LEO (satellites in medium earth orbit). Because there is an indication of the downward trend in the density of the upper atmosphere, the debris and satellites will longer be in orbit.
The purpose of this study was to analyze the potential threat to the National Security Space Trash and Space agency Institutional Role in National Security Threat Mitigation in a field related to the impact of Keantariksaan Climate Change. The method used in this study is descriptive, and the results obtained from the analysis is For Indonesia, the issue of space junk classified crucial for two reasons, first the size of the country and the large population growth and the second number / population growing space debris, one of which Practice RPO is as mission-prone, manual Mitigation Related to the current space debris space agency has not made the guide but did Mitigation space agency already falling object space as part of the space debris. Space agency has made observations with the system / program tracking space debris using predictive modeling code of CELESTRAC. Monitoring is done by utilizing the satellite orbit data is currently published by USSPACECOM However it turns out in the field making observations and modeling that relies on the orbital data of other countries still have many shortcomings.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Pratiwi
"Salah satu dampak adanya perubahan iklim adalah penurunan kualitas habitat alami flora dan fauna yang terdapat di Indonesia sehingga memberikan risiko hilangnya sebagian besar biodevirsitas yang ada. Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai habitat alami beberapa spesies endemik, Pulau Obi tidak dapat terlepas dari ancaman dampak perubahan iklim. Selain itu, adanya konsesi wilayah tambang dengan luas 38.911,51 ha dapat berdampak secara langsung terhadap potensi habitat satwa endemik yang ada. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemodelan potensi habitat satwa endemik Pulau Obi dan mengetahui ancaman akibat perubahan iklim serta adanya konsesi wilayah tambang agar dapat dilakukan upaya preventif untuk menghindari punahnya satwa endemik yang ada. Species Distribution Models (SDM) memainkan peran penting dalam mengukur hubungan antara spesies dengan habitat dan memprediksi distribusi spesies dalam kajian terkait ekologi, konservasi, dan pengelolaan lingkungan. Di antara model distribusi tersebut, MaxEnt digunakan secara luas karena kinerja prediktifnya yang sangat baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pola distribusi spesies endemik pada kondisi iklim saat ini, mensintesa model dampak perubahan iklim terhadap distribusi potensi habitat spesies endemik dan menganalisis dampak secara langsung dan tidak langsung adanya konsesi wilayah pertambangan terhadap distribusi potensi habitat spesies endemik di Pulau Obi. Hasilnya Dengan memodelkan potensi habitat spesies endemik di Pulau Obi menggunakan metode Maximum Entropy pada kondisi iklim saat ini, diperoleh model potensi habitat untuk 3 spesies dari total 6 spesies. 3 spesies yang tidak dapat dibuat model potensi habitatnya dikarenakan keterbatasan data titik occurrence dimana hanya terdapat satu titik occurrence. Spesies yang dapat dimodelkan potensi habitatnya adalah Eulipoa wallacei, Ptilinopus granulifrons dan Scolopax rochussenii, ketiganya merupakan burung endemik Pulau Obi. Model potensi habitat Eulipoa wallacei dengan AUC= 0,837 memiliki potensi habitat sangat sesuai dengan luas 480,39 km2 atau 19,52%. Model potensi habitat Ptilinopus granulifrons dengan AUC= 0,955 memiliki potensi habitat sangat sesuai dengan luas 66,02 km2 atau 2,68%. Model potensi habitat Scolopax rochussenii dengan AUC= 0,954 memiliki potensi habitat sangat sesuai dengan luas 61,68 km2 atau 2,51%. Adanya perubahan iklim tahun 2041-2060 dengan 4 skenario iklim yang berbeda memberikan dampak pada model potensi habitat spesies endemik Pulau Obi. Pada masing-masing spesies yang dimodelkan dengan 4 skenario iklim tahun 2041-2060, terjadi penurunan luas potensi habitat yang sesuai maupun peningkatan luas potensi habitat yang tidak sesuai. Wilayah Izin Usaha Pertambangan di Pulau Obi yang telah diterbitkan hingga Maret 2022 berjumlah 19 lokasi dengan total luas 373.14 km2 akan memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap potensi habitat spesies endemik di Pulau Obi. Rata-rata berdasarkan 4 skenario perubahan iklim yang ada 36,78 km2 dari 196,76 km2 potensi habitat yang sangat sesuai untuk Eulipoa wallacei akan terdampak secara langsung dengan adanya area-area pertambangan tersebut. Selain itu, 14,17 km2 dari 66,67 km2 potensi habitat yang sangat sesuai untuk Ptilinopus granulifrons dan 13.05 km2 dari 66.67 km2 potensi habitat yang sangat sesuai untuk Scolopax rochussenii.

One of the impacts of climate change is the degradation quality of natural habitats of flora and fauna in Indonesia, risking the loss of most of the existing biodiversity. With high biodiversity and as a natural habitat for several endemic species, Obi Island cannot be avoided from the threat of climate change impacts. Besides that, the existence of a mining concession with an area of ​​38,911.51 ha can have a direct impact on the potential habitat of endemic animals. Therefore, it is necessary to model the habitat potential of Obi Island endemic animals and to know the threats due to climate change and the existence of mining concessions so that preventive efforts can be made to avoid the extinction of endemic animals. Species Distribution Models (SDM) play an important role in measuring the relationship between species, habitats and predicting species distribution. Among the distribution models, MaxEnt is widely used because of its excellent predictive performance. The purpose of this study is to analyze the distribution pattern of endemic species under current climatic conditions, synthesize models of the impact of climate change on the potential distribution of endemic species habitats and analyze the direct and indirect impacts of mining concessions on the distribution of potential habitats of endemic species on Obi Island. By modeling the habitat potential of endemic species on Obi Island using the Maximum Entropy method in the current climatic conditions, a model of habitat potential was obtained for 3 species out of a total of 6 species. 3 species whose habitat potential cannot be modeled due to limited data on occurrence points where there is only one point of occurrence. Species that can be modeled for potential habitats are Eulipoa wallacei, Ptilinopus granulifrons and Scolopax rochussenii, all three are endemic birds of Obi Island. The habitat potential model of Eulipoa wallacei with AUC = 0.837 has a very suitable habitat potential with an area of ​​480.39 km2 or 19.52%. The habitat potential model of Ptilinopus granulifrons with AUC = 0.955 has a very suitable habitat potential with an area of ​​66.02 km2 or 2.68%. The habitat potential model of Scolopax rochussenii with AUC = 0.954 has a very suitable habitat potential with an area of ​​61.68 km2 or 2.51%. The existence of climate change in 2041-2060 with 4 different climate scenarios has an impact on the potential habitat model for Obi Island endemic species. In each species modeled with 4 climate scenarios in 2041-2060, there is a decrease in the area of ​​potential suitable habitat and an increase in the area of ​​potential habitat that is not suitable. Mining Business Permit Areas on Obi Island that have been issued until March 2022 total 19 locations with a total area of ​​373.14 km2 which will have a direct or indirect impact on the habitat potential of endemic species on Obi Island. On average, based on the 4 climate change scenarios, 36.78 km2 of 196.76 km2 of potential habitat that is very suitable for Eulipoa wallacei will be directly affected by the presence of these mining areas. In addition, 14.17 km2 of 66.67 km2 of potential habitat that is very suitable for Ptilinopus granulifrons and 13.05 km2 of 66.67 km2 of potential habitat that is very suitable for Scolopax rochussenii"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>