Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163269 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadya Fitriza Adriyanti
"Indonesia telah memiliki beberapa ketentuan yang melindungi hewan peliharaan dari penganiayaan, yaitu KUHP dan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ternyata peraturan tersebut belum efektif mencegah masyarakat untuk melakukan perbuatan yang dapat menyakiti, melukai, maupun menyebabkan penderitaan lainnya terhadap hewan peliharaan. Pasal 302 KUHP merupakan ketentuan yang sudah lama diatur, namun dipandang masih kurang memuaskan dalam menanggulangi perbuatan penganiayaan hewan peliharaan. Semakin maraknya kasus penganiayaan hewan peliharaan di Indonesia membuat aktivis pecinta hewan dan segenap masyarakat lainnya menghendaki pemberian sanksi pidana yang lebih berat dalam RKUHP. Akan tetapi, pengambilan kebijakan hukum pidana harus tetap dilakukan secara rasional dan upaya tersebut dapat dilakukan dengan melihat pada pengaturan yang telah ada di Indonesia, ketentuan dalam KUHP negara lain, serta dari rancangan ketentuan untuk masa yang akan datang. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan historis dan perbandingan hukum. Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukan bahwa penganiayaan hewan peliharaan masih dipandang sebagai perbuatan yang layak untuk dipidana dan sanksi pidana yang dikenakan di Indonesia lebih rendah daripada yang dikenakan oleh negara lain. Pengaturan tindak pidana penganiayaan hewan peliharaan yang ada di Indonesia sudah dapat menjerat perbuatan – perbuatan yang terjadi dalam praktik. RKUHP pun masih memiliki ketentuan tentang penganiayaan hewan, namun terdapat beberapa perubahan, baik dalam bentuk perbuatan yang termasuk penganiayaan hewan, maupun ancaman sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku. Satu perbuatan yang sebaiknya tetap dipertahankan sebagai tindak pidana adalah penelantaran hewan peliharaan, sebab hal ini akan mendorong pemeliharaan dan kepemilikan hewan secara bertanggungjawab.

Indonesia has several provisions to protect pets from abuse that can be found in Criminal Code and Husbandry and Animal Health Act. The regulation has not been effective to prevent people from doing actions that can hurt, injure, or cause other suffering to pets. Article 302 of the Criminal Code (KUHP) is a provision that has been regulated for a long time, but it is still dissatisfying to overcoming pet abuse. The increasing number of pet abuse cases in Indonesia has affected animal lover activists and all other members of the society want the criminal sanctions in the draft of Criminal Code (RKUHP) more severely punished than before. However, criminal law policy must be carried out rationally, and it can be done by looking at the existing laws (ius constitutum) in Indonesia, regulations in the Criminal Code of other countries, and the draft privisions for the future law (ius constituendum). The research is a juridical-normative research with historical and comparative law approach. The results of the research shows that pet abuse is still seen as an act that deserves to be punished and the criminal sanction in Indonesia is lower than those imposed by other countries. The regulation of pet abuse in Indonesia has been able to ensnare the actions that occur in practice. The draft of Criminal Code still has a provision regarding to animal abuse, but there are some changes in the form of acts that include animal abuse and the threat of criminal sanctions that can be imposed to the perpetrators. One act that should be kept as criminal offense is the neglect of pets in order to encourage responsible animal care and animal ownership. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hubert Josua Paruhum P
"Perkembangan teknologi informasi yang kian pesat secara global termasuk di Indonesia membawa dampak kemudahan terhadap kegiatan yang semula merupakan aktifitas konvensional yang dilakukan oleh masyarakat, seperti praktik perjudian online. Munculnya kejahatan-kejahatan dengan dimensi baru termasuk perjudian online merupakan dampak negatif dari perkembangan masyarakat dan perkembangan IPTEK masa kini yang perlu ditanggulangi dengan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih efektif. Semakin komplek permasalahan yang dihadapi masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menghadapi kejahatan modern perlu diiringi dengan pembedahan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh yang meliputi pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum pidana dengan demikian jelas bahwa kebijakan hukum pidana memainkan peran yang strategis dalam menangani permasalahan kejahatan demi kepentingan pembangunan hukum modern Namun kebijakan hukum pidana dalam memberantas perjudian online menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut diantaranya memastikan penegakan hukum yang efektif dan konsisten terhadap agen dan pemain perjudian online di Indonesia. Penelitian yang penulis lakukan ini memfokuskan pada pembahasan menelaah kebijakan penegakan hukum pidana dalam memberantas tindak pidana perjudian online di Indonesia serta implementasi kebijakan penegakan hukum dalam upaya memberantas dalam tindak pidana perjudian online di Indonesia berdasarkan analisis studi putusan. Penelitian ini juga melakukan perbandingan kebijakan hukum pidana terhadap perjudian online di negara Australia dan Inggris sebagai contoh negara yang memiliki peraturan yang mengizinkan dan mengatur perjudian secara legal. Berbeda dengan di Indonesia, Perjudian di Australia dan Inggris dianggap sebagai industri yang sah dan diatur oleh lembaga pengawas yang berwenang. Dengan memahami realita kebijakan hukum pidana yang dihadapi, penelitian ini diharapkan akan memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat penegakan hukum dan menekan perjudian online di Indonesia. Upaya ini diharapkan dapat melindungi masyarakat, meminimalisir kerugian ekonomi dan menjaga integritas hukum di negara Indonesia.

The rapid development of information technology globally, including in Indonesia, has brought about the ease of activities that were previously conducted conventionally by society, such as online gambling practices. The emergence of new dimension crimes, including online gambling, is a negative impact of societal and technological advancements that need to be addressed with more effective crime prevention efforts. The increasingly complex problems faced by society and law enforcement agencies in dealing with modern crimes need to be accompanied by a comprehensive examination of the development of the criminal law system, which includes the development of the culture, structure, and substance of criminal law. Thus, it is clear that criminal law policies play a strategic role in addressing crime issues for the sake of modern law development. However, the criminal law policy in eradicating online gambling faces several challenges, including ensuring effective and consistent law enforcement against online gambling agents and players in Indonesia. This research focuses on discussing the policy of criminal law enforcement in combating online gambling offenses in Indonesia and the implementation of law enforcement policies in efforts to combat online gambling offenses in Indonesia based on the analysis of court decision studies. This research also compares the criminal law policies on online gambling in Australia and the UK as examples of countries that have regulations allowing and regulating gambling legally. Unlike in Indonesia, gambling in Australia and the UK is considered a legitimate industry and is regulated by authorized regulatory bodies. By understanding the reality of the criminal law policies faced, this research is expected to provide policy recommendations that can strengthen law enforcement and suppress online gambling in Indonesia. These efforts are expected to protect society, minimize economic losses, and maintain legal integrity in the country of Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dila Romi Aprilia
"Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat sehingga menimbulkan kerusakan hutan yang salah satunya adalah illegal logging. Tindak pidana illegal logging sangat marak di Indonesia dan melibatkan banyak pelaku dan merupakan tindak pidana yang rapi dan terorganisasi. Hal mendasar yang menyebabkan sulitnyamemberantas illegal logging adalah karena illegal logging adalah termasuk kategori 'kejahatan terorganisasi'. Oleh karena itu adanya kebijakan hukum pidana yang tegas mengatur dan penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging perlu diwujudkan. Kebijakan hukum pidana yang diterapkan dalam rangka penanggulangan dan penegakan hukum tindak pidana illegal logging diatur dan dirumuskan dalam ketentuan perundang-undangan pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, namun mengenai definisi yang dimaksudkan dengan illegal logging tidak dirumuskan secara limitatif sehingga banyak para praktisi hukum yang menafsirkan illegal logging sendiri-sendiri. Mengenai ancaman pidana yang dikenakan adalah pidana pokok yakni penjara dan denda, pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan atau alat-alat untuk melakukan kejahatan, ganti rugi serta sanksi tata tertib. Kebijakan hukum tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksinya dirasakan tidak memenuhi aspek kepastian dan keadilan. Hal ini terlihat dalam kasus illegal logging yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Blora dan Bojonegoro. Oleh karenanya selain kebijakan hukum pidana dibutuhkan pula penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging yang dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana terdiri dari komponen antara lain kepolisian, PPNS kehutanan, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam prakteknya proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sangat lemah. Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging ditandai dengan penanganannya yang tidak integral (menyeluruh) karena pelaku intelektual yang berkaitan langsung seperti pemodal, pemesan, pengirim, pemalsu dokumen, sawmill yang berperan sebagai penghubung jarang sekali dipidana dan hanya orang-orang lapangan saja yang dipidana. Selain itu banyak faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sehingga hal tersebut menjadi kendala dalam dalam penegakan hukum.

The wealth of forests is a gift and trust from God Almighty that is priceless. Therefore, forests must be managed and be best utilized by noble character as the embodiment of worship and gratitude to God Almighty. Forests are many benefits to the sustainability of human life and other living creatures. One benefit is the direct result of forest wood that has high economic value. Timber is harvested and then used by the community. Utilization of wood should be based on permission from the Ministry of Forestry. But in reality there are many violations committed by the community, causing damage to the forest, one of which is illegal logging. Crime is rampant illegal logging in Indonesia and involves many actors and a crime is neat and organized. The basic thing that it is difficult to eradicate illegal logging is due to illegal logging is categorized as "organized crime". Therefore the policy of strict criminal laws regulating and enforcing criminal laws against illegal logging needs to be realized. Criminal law policy adopted in the framework of prevention and criminal law enforcement of illegal logging is regulated and defined in the statutory provisions of article 50 and article 78 of Law No. 41 of 1999, but the definition is meant by illegal logging limitatif formulated not so much legal practitioners who interpret their own illegal logging. Regarding the penalty imposed is the principal criminal imprisonment and fines, an additional penalty of deprivation of proceeds of crime and the or tools to do the crime, compensation and discipline sanctions. Criminal law policy of illegal logging and the application of sanctions does not meet the perceived certainty and fairness aspects. This is seen in cases of illegal logging that occurred in the District Court jurisdiction Blora and Bojonegoro. Therefore in addition to criminal law policy also required law enforcement against illegal logging crimes committed through the criminal justice system. The Criminal Justice System consists of components such as police, investigators forestry, Attorney, Justice and Correctional Institutions. In practice the process of criminal law enforcement against illegal logging is very weak. One of the weak enforcement of laws against illegal logging crimes marked with handling that is not integral (holistic) as intellectual actors who are directly related to such investors, buyers, shippers, document forgers, which acts as a liaison sawmill rarely convicted, and only those field are convicted. In addition, many factors that led to weak law enforcement against illegal logging crimes so they are a constraint in law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29475
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chelsea Astafirla Andrea
"ABSTRACT
Asuransi hewan peliharaan merupakan salah satu produk asuransi baru di Indonesia. Skripsi ini membahas mengenai (1) risiko yang timbul dari serangan hewan peliharaan dalam asuransi hewan peliharaan; (2) bagaimana timbulnya prinsip insurable interest dalam asuransi hewan peliharaan ditinjau dari hukum asuransi, dan; (3) kewajiban pemilik hewan peliharaan untuk memiliki asuransi terkait dengan perilaku hewan peliharaannya. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Selain itu, Penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa, (1) risiko yang timbul dalam serangan hewan peliharaan dapat diasuransikan dalam asuransi hewan peliharaan, namun hanya terbatas pada kucing dan anjing; (2) insurable interest dalam asuransi hewan peliharaan timbul karena hubungan kepemilikan, dan; (3) pemilik hewan peliharaan di Indonesia tidak dapat diwajibkan untuk memiliki asuransi terkait dengan perilaku hewan peliharaannya karena sampai saat ini tidak ada peraturan yang mewajibkan. Penulis menyarankan kepada asosiasi asuransi atau perusahaan asuransi agar memperluas definisi hewan peliharaan tidak hanya terbatas pada anjing dan kucing.

ABSTRACT
Pet insurance is one of the new insurance products in Indonesia. This thesis discusses (1) the risks that arise from pet attacks in pet insurance; (2) how the principle of insurable interest arises in pet insurance in terms of insurance law, and (3) the obligation of pet owners to have insurance related to the behavior of their pets. This is a judicial-normative research. In addition, the author used quality analysis method. The result of the analysis shows that (1) the risks that arise in pet attacks can be insured in pet insurance, but limited to cat and dog only, (2) insurable interest in pet insurance arises because of ownership relationship, and (3) pet owners in Indonesia cannot be obliged to have insurance related to the behavior of their pets because, until now, there is no obligatory regulation. The author advises insurance associations in Indonesia or the insurance company to expand the definition of pet, not only to cat and dog."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Indah Chairunnisa
"Penelitian ini membahas tentang pengaturan hukum pidana terhadap kasus-kasus investasi ilegal dengan skema money game seperti Skema Ponzi, Skema Piramida, dan skema lainnya, mengingat hukum pidana di Indonesia belum mengatur secara khusus mengenai tindakan tersebut dan investasi berskema money game belum dilihat sebagai suatu kejahatan yang berdiri sendiri dan hanya dipandang sebagai isu temporer belaka. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, penelitian ini membahas permasalahan yang dituangkan dalam 3 (tiga) pertanyaan penelitian: Pertama, apa itu money game dalam bentuk investasi ilegal; Kedua, bagaimana pengaturan money game di Indonesia dan perbandingannya dengan negara-negara lain; Ketiga, bagaimana penegakan hukum terhadap money game di Indonesia dan perbandingannya dengan negara-negara lain. Penelitian ini membandingkan pengaturan dan penegakan hukum terhadap money game di Indonesia dengan 3 (tiga) negara lain yaitu Malaysia, Persemakmuran Australia, dan Amerika Serikat. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa money game belum diatur secara khusus di Indonesia, begitu pula di tiga negara yang menjadi pembanding. Pengaturan yang ada di Indonesia juga dinilai belum dapat mengakomodasi kejahatan skema money game secara keseluruhan. Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk regulator untuk mengatur skema money game sebagai suatu kejahatan berdiri sendiri, atau setidak-tidaknya melakukan perubahan terhadap rumusan pasal-pasal yang dapat menghukum pelaku money game. Rumusan pasal-pasal tersebut harus mencakup karakteristik dari sebuah skema money game pada praktik.

This study discusses the criminal law regulation against cases of illegal investment with money game schemes such as Ponzi Scheme, Pyramid Scheme, and other schemes, considering that Indonesian criminal law has not specifically regulated money game and an investment using money game scheme is not seen as a stand-alone crime, yet is only seen as a temporary issue. By using normative research methods, this study discusses the problems outlined in 3 (three) research questions: First, what is a money game as an illegal investment; Second, how money game is regulated in Indonesia and its comparison with other countries; Third, how is the law enforcement against money game in Indonesia and its comparison with other countries. This study compared the regulation and law enforcement against money game in Indonesia with 3 (three) other countries, which comprised of Malaysia, Commonwealth of Australia, and United States. The findings of the study show that money game has not been specifically regulated in Indonesia, as well as in the three comparison countries. The existing regulation in Indonesia are considered not to be able to accommodate the crime of money game entirely. Therefore, there is an urgency for the regulators to stipulate the money game scheme as a stand-alone crime, or at least amend the elements of the regulation that could punish the actors of money game. The elements amendment must cover the characteristics of a money game scheme in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Joseph Eliazer Sumanti
"ABSTRAK
Upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bagian integral dari pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi suatu keharusan disamping menjatuhkan pidana terhadap pelakunya. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang saat ini diterapkan melalui pemidanaan pengadilan tidak efektif dan efisien ketika aparat penegak hukum dihadapkan pada situasi-situasi sulit akibat pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri dari proses hukum dengan membawa serta aset hasil tindak pidana korupsinya ke luar yurisdiksi Indonesia. Diperlukan suatu mekanisme alternatif dalam rangka melaksanakan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang tidak bergantung pada putusan pemidanaan. Mekanisme ini perlu diimplementasikan sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana di Indonesia dibarengi penguatan dan sinergitas pelaksanaan kerja sama internasional, mengingat begitu banyak jumlah nilai aset hasil tindak pidana korupsi yang dialihkan dan disimpan di negara-negara luar.

ABSTRACT
The effort to return the proceeds of corruption crime as an integral part of the prevention and eradication corruption crime has been an obligation beside to punish the offender itself. The return of the proceeds of crime nowadays through the conviction based asset forfeiture has not been effective and efficient because the law enforcement officers face a difficult circumstances when the offender fled the jurisdictions taking with him the proceeds of corruption crime. It needed an alternative mechanism to confiscate the proceeds of corruption crime which is not dependent on the sentencing conviction as known as the non-conviction based asset forfeiture mechanism. This mechanism should be implemented as an comprehensive part of the criminal law policy in Indonesia side by side with the strengthen effort of international cooperation with foreign jurisdiction as a consequences which should be consider that there too many the value of proceeds of corruption crime removed to foreign jurisdictions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38763
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryono
"Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy) terhadap Tindak Pidana Pronografi di Dunia Maya (Cyberporn) melalui Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia Tesis ini membahas permasalahan utama mengenai bentuk kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang dapat diterapkan terhadap tindak pidana pornografi di dunia maya (cyberporn), prospek bentuk criminal policy terhadap tindak pidana cyberporn dalam KUHP Nasional di masa mendatang, serta implikasi dari keberadaan KUHP Nasional terhadap undang-undang lainnya dalam pengaturan tindak pidana cyberporn. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif), maka berdasarkan data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumen seperti: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, telah dihasilkan suatu kesimpulan bahwa bentuk criminal policy yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan tindak pidana cyberporn melalui sarana penal adalah dengan menerapkan ketentuan undang-undang, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, sementara bentuk kebijakan non-penal yang dapat dilakukan adalah melalui berbagai pendekatan seperti: pendekatan teknologi (techno prevention), pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif, dan pendekatan global (kerjasama internasional). Di dalam RUU-KUHP telah dimuat beberapa ketentuan baru berkaitan dengan tindak pidana cyberporn, antara lain meliputi: pengaturan mengenai ruang lingkup berlakunya peraturan perundang-undangan pidana Indonesia terhadap tindak pidana di bidang teknologi informasi, pengaturan mengenai tindak pidana pornografi anak (child pornography) melalui komputer, serta pengaturan khusus mengenai tindak pidana pornografi. Keberadaan KUHP Nasional di masa mendatang dapat menimbulkan suatu implikasi terhadap udang-undang lainnya dalam pengaturan tindak pidana cyberporn berupa adanya tumpang tindih (overlaping) diantara KUHP Nasional dengan berbagai undang-udang tersebut, namun persoalan ini dapat diatasi dengan melakukan pencabutan sebagian atau seluruh ketentuan dari undang-undang di luar KUHP Nasional atau dengan menerapkan azas ?lex specialis derogat legi generalis? secara kasuistis.

This thesis discusses the main problems of the criminal policy that can be applied to combat cyberporn activities, the prospect of the cyberporn criminal policy in the future Indonesian Criminal Code, and the implication regarding to the existence of the new Indonesian Criminal Code with the other regulations relating with cyberporn offences. Using the normative legal research method (normative-juridical) based on the secondary data that consist of primary legal material, secondary legal material and tertiary legal material wich were gain through documentation study, concludes the cyberporn criminal policy that can be effort with the penal policy is by applying several regulations, such as: The Indonesian Penal Code, The Press Act No. 40/1999, The Broadcasting Act No. 40/1999, The Information and Electronic Transaction Act No. 11/2008, The Pornography Act No. 44/2008, and The Movie Act No. 33/2009, in the other part using the non penal policy can be submit with several approaches, for instance: technological approach, educational approach, cultural approach, and global approach. The new Indonesian Penal Code concept have several new regulations regarding to cyberporn offences, consisting: the regulation of Indonesian jurisdiction involving technology and information crimes, the regulation of child pornography using computers, and the special regulation of pornography offences. The existence of the new Indonesian Penal Code may causes an overlaping condition with the other regulations dealing with cyberporn, but this problem can be solve by eliminating some or the whole guidlines of a regulation, or by applying the ?lex specialis derogat legi generalis? principle based on cases.;This thesis discusses the main problems of the criminal policy that can be applied to combat cyberporn activities, the prospect of the cyberporn criminal policy in the future Indonesian Criminal Code, and the implication regarding to the existence of the new Indonesian Criminal Code with the other regulations relating with cyberporn offences. Using the normative legal research method (normative-juridical) based on the secondary data that consist of primary legal material, secondary legal material and tertiary legal material wich were gain through documentation study, concludes the cyberporn criminal policy that can be effort with the penal policy is by applying several regulations, such as: The Indonesian Penal Code, The Press Act No. 40/1999, The Broadcasting Act No. 40/1999, The Information and Electronic Transaction Act No. 11/2008, The Pornography Act No. 44/2008, and The Movie Act No. 33/2009, in the other part using the non penal policy can be submit with several approaches, for instance: technological approach, educational approach, cultural approach, and global approach. The new Indonesian Penal Code concept have several new regulations regarding to cyberporn offences, consisting: the regulation of Indonesian jurisdiction involving technology and information crimes, the regulation of child pornography using computers, and the special regulation of pornography offences. The existence of the new Indonesian Penal Code may causes an overlaping condition with the other regulations dealing with cyberporn, but this problem can be solve by eliminating some or the whole guidlines of a regulation, or by applying the ?lex specialis derogat legi generalis? principle based on cases."
2012
T30235
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Radius Affiando
"Hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu bentuk tindak pidana yang mengadopsi suatu bentuk kesalahan berupa kealpaan memiliki suatu masalah baru dengan adanya suatu moda transportasi Transjakarta. Hal ini berkaitan dengan suatu kecelakaan yang terjadi dalam jalur khusus bus transjakarta. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan suatu bentuk kealpaan dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta. Adapun metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif, dengan cara menggali secara mendalam mengenai konsep dari kealpaan. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan suatu bentuk kealpaan dengan teori lain yang terkait sehingga penelitian ini memiliki tipe penelitian deskriptif. Dalam melakukan penelitian ini, penulis berpegang pada satu bidang ilmu, yaitu ilmu hukum. Data penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dilengkapi dengan tambahan data primer berupa wawancara dengan beberapa pihak terkait. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan hasil bahwa tidak terdapat suatu perbedaan penerapan mengenai suatu konsep kealpaan pada kecelakaan di jalur transjakarta dengan kecelakaan pada umumnya. Selain itu, suatu hal yang berbeda jauh antara penerapan pertanggungjawaban pidana dalam kereta api dengan jalur khusus transjakarta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu kecelakaan di dalam jalur transjakarta tidaklah ubahnya suatu kecelakaan lalu lintas pada umumnya dan bukan suatu kecelakaan khusus yang mempunyai suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang khusus pula.

Two kind of mistake in criminal law are negligence and deliberate. Traffic accident is one of the negligence criminal offence that become a new problem for DKI Jakarta Local Goverment. While transjakarta as a new public transportation operated and caused numerous traffic accident in transjakarta busway. The aim of this study is to find out how far negligence theory applied in transjakarta traffic accident. The method of this study is normative juridicial using in-depth review of negligence concept and used to explain any negligence type with another theory in a descriptive way. The source used in this method are secondary data consist of primary, secondary, and tertiary law data added with interview as additional primary law data. The result of this study is there are no significant difference in transjakarta traffic accident with common traffic accident. The criminal responsibility of transjakarta traffic accident is not mutual with railway accident. The conclusion of this study are there are no significant difference in transjakarta traffic accident with common traffic accident and no specific criminal responsibility."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43141
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>