Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89583 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rafiqa Aswinda Desofi
"Pertanggungjawaban Manajer Investasi pada prinsipnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pertanggungjawaban Manajer Investasi sebagai Perseroan atau Perusahaan Efek, dan pertanggungjawaban Manajer Investasi sebagai perorangan yang dalam melakukan kegiatan usahanya Manajer Investasi diwakilkan oleh Wakil Manajer Investasi (WMI). Adapun terkait pertanggungjawabannya apabila ditinjau dari hukum Pasar Modal, dalam hal Manajer Investasi melakukan pelanggaran maka sanksi yang diterapkan adalah sanksi administrasi. Di lingkup Pasar Modal juga mengenal adanya tindak pidana di bidang Pasar Modal namun yang cukup unik dan baru dalam keterlibatan Manajer Investasi pada kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) adalah Manajer Investasi diduga sebagai turut serta menyebabkan kerugian Negara karena keterlibatanya dalam mengelola dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), yang mana merupakan salah satu entitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penelitian ini berusaha untuk menjawab beberapa permasalahan, yaitu pertama, mengenai pengaturan mengenai fungsi dan pengawasan Manajer Investasi dalam hal melakukan pelanggaran dan pertanggungjawaban Manajer Investasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi pada kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Dalam penelitian ini, Penulis melakukan penelitian yuridis normatif dengan cara studi kepustakaan yang dilakukan terhadap data sekunder. Oleh karena itu, untuk menjawab beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini, maka penting untuk dikaji lebih lanjut mengenai Manajer Investasi ditinjau dari hukum Pasar Modal serta keterlibatan Manajer Investasi dalam tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

The Investment Manager's responsibilities is technically divided into 2 (two), that is the Investment Manager's responsibilities as a Company or Securities Company; and the Investment Manager's responsibilities as individuals represented by an Investment Manager Representative (WMI). As for liability, if analyzed from the Capital Market Law, If the Investment Manager commits a violation, the sanctions applied are administrative. But, Capital Market Law recognizes criminal acts but there is unique and new things in the involvement of the Investment Manager in the cases of PT Asuransi Jiwasraya (Persero) because Investment Manager who participates in causing state losses due to his involvement in managing investment funds of PT Asuransi Jiwasraya (Persero), which is one of the State-Owned Enterprises (BUMN). This study seeks to answer several problems, that is first, regarding the regulation of the functions; and supervision of Investment Managers in terms of committing violations and accountability of Investment Managers involved in criminal acts of corruption in the case of PT Asuransi Jiwasraya (Persero). In this research, the author conducted a normative juridical research by means of a literature study conducted on secondary data. Therefore, to answer some of the problem issues in this research, it is important to have a further review of Investment Managers in terms of Capital Market Law and the involvement of Investment Managers in corruption and money laundry."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketaren, Alexander Edward
"Dewasa ini, tindak pidana dapat dilakukan oleh Yayasan. Yayasan yang pada dasarnya bertujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana. Namun demikian, dalam penelusuran yang Penulis lakukan, tidak terdapat Yayasan yang dibebankan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Dua kasus tindak pidana yang melibatkan Yayasan dalam melakukan tindak pidana adalah kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Yayasan Cakradonya. Skripsi ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai konsep pertanggungjawaban pidana Yayasan serta penerapannya dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Ketua Yayasan Cakradonya. Berdasarkan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi dan Yayasan. Skripsi ini akan menganalisis mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu Yayasan. Dari hasil analisis tersebut, diketahui bahwa Yayasan termasuk dalam definisi korporasi dalam beberapa undang-undang pidana khusus Indonesia, seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Yayasan dapat dibebankan pertanggungjawaban dalam hal tindak pidana dilakukan oleh orang yang berwenang mewakili dan mengatasnamakan Yayasan, untuk menguntungkan Yayasan, oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain, dan dalam lingkungan Yayasan baik secara sendiri maupun bersama-sama. Dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian, tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Berkarya Dalam Pujian, sedangkan dalam kasus Ketua Yayasan Cakradonya, tindak pidana korupsi yang dilakukan tidak dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Cakradonya karena tidak dilakukan untuk menguntungkan Yayasan Cakradonya.

Today, criminal offenses can be committed by the Foundation. Foundations that are basically aimed at social, religious, and humanitarian fields, are used as instruments for committing criminal acts. However, in the searches that the Author did, there was no foundation charged with liability for the offenses he committed. Two criminal cases involving the Foundation in committing a crime are the case of the Chairman of Berkarya Dalam Puji Foundation and Cakradonya Foundation. This thesis tries to answer questions about the concept of criminal responsibility of the Foundation and its application in the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation and the Chairman of Cakradonya Foundation. Based on theories of corporate criminal liability and foundation, this thesis will analyze the criminal liability in the case of criminal acts committed by a Foundation. From the results of the analysis, it is known that the Foundation is included in the definition of corporations in several special criminal laws of Indonesia, such as the Law on the Eradication of Criminal Trafficking in Persons and the Corruption Eradication Act. The foundation may be liable in the event of a criminal act committed by a person authorized to represent and on behalf of the Foundation, to benefit the Foundation, by a person who has a working relationship or other relationship, and within the Foundation environment either individually or collectively. In the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation, the trafficking of persons trafficked can be attributed as the act of Berkarya Dalam Pujian Foundation, while in the case of the Chairman of Cakradonya Foundation, the criminal act of corruption committed cannot be attributed to Cakradonya Foundation because it is not commited to benefit the Cakradonya Foundation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Herli Saputra
"Pencapaian tujuan pembangunan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945, dihadapkan dengan berbagai masalah, dan salah satunya adalah korupsi. Tindak pidana korupsi terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan yang semakin meningkat, mengakibatkan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998 karena gerakan reformasi. Selain supremasi hukum, salah satu tuntutan reformasi adalah penerapan desentralisasi kewenangan pemerintahan kepada daerah. Tapi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yang semula diharapkan dapat memangkas tindak pidana korupsi tapi dalam kenyataannya justru menimbulkan penyebaran tindak pidana korupsi ke daerah. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya para Kepala Daerah yang ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi di daerah mengakibatkan gangguan iklim investasi di berbagai daerah di Indonesia.
Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya pada penguatan fungsi Polda Banten dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Oleh karena itu penelitian ini akan menjawab efektifitas kebijakan penegakan hukum tindak pidana korupsi, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tindak pidana korupsi; dan konsep strategi Polda Banten dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi untuk mendukung iklim investasi yang kondusif. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris yang diperluas yaitu untuk mengumpulkan, mengkaji dan mensistematiskan kaidah- kaidah hukum yang berlaku berkaitan dengan asas, konsep tentang penguatan fungsi kepolisian dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang didukung dengan penelitian lapangan sebagai penunjang.
Hasil penelitian bahwa prosentase pencapaian penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh Polda Banten telah melampaui target yang telah ditentukan akan tetapi belum efektif untuk mencegah potensi tindak pidana korupsi yang dapat mengganggu iklim investasi yang kondusif. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor diantaranya yaitu: subtansi hukum; sumber daya manusia; sarana dan prasarana; anggaran; pengawasan, dan koordinasi lintas sektoral penegakan hukum tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, Strategi Polda Banten dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi untuk mendukung iklim investasi yang kondusif merupakan konsepsi pemecahan masalah yang dianalisis dengan menggunakan berbagai pendekatan yang kemudian ditransformasikan ke dalam analisa sumber daya manusia, anggaran, sarana prasarana, dan metode, sesuai urutan prioritas melalui implementasi Jangka Pendek, Menengah dan Panjang.

The achievement of national development goal which is based on Pancasila and the Constitution of the state of the Republic of Indonesia year 1945, challenged by many constraints and of that is corruption. Corruption crimes exists many aspects of development process. Corruption crimes that rapidly increase caused the falling of New Era regime in 1998 by reformation movement. Beside law supremacy, one of reformation demanding is decentralization. But the implication of decentralization and autonomy, which was expected to be able to cut corruption, in fact, causing the spreading corruption indeed in to local area. That can be seen from many local leaders were charged by corruption. The increasing of corruption in local area is causing inconvenience for investment in many local areas of Indonesia.
This research is limited in empowering the function of Banten Regional Police as a part of Indonesia Police in the context of law enforcement of corruption crimes. This research try to answer the effectiveness of Law Enforcement policy against corruption crimes, the factors that influence law enforcement against corruption; the strategy concept of Banten Regional Police to make better and conducive investment condition. The research method is empirical judiciary which is much more in collecting, studying and systematizing the law principles that concerns to the principle and concept of strengthening the police function in the law enforcement of corruption crimes which is supported by the field studies.
The result of this research is that the percentage of corruption crime cases that handled by Banten regional Police is over the target but has not effective yet to prevent the potency of corruption acts that might disturb the conductivity of investment. That condition was infected by many factors, namely: law substantial, human resource, infrastructure, budget, supervision, and intra- coordination among law enforcement institutions against corruption. Because of that, Banten Regional Police strategies in law enforcement against corruption crime to make better and much more conducive investment condition are problem solving concepts that has been analyzed using many approaching aspect which transformed into analyzing human resource, budget, infrastructure, and method, that sequent according theirs priority through implementing short term, middle term and long term plan strategy.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Sanggalangi
"Automatic Exchange of Information merupakan sistem yang mendukung pertukaran informasi rekening wajib pajak antar negara yang memungkinkan bagi para wajib pajak yang membuka rekening bank di negara lain dan akan langsung terlacak di negara asal. Sehingga nantinya suatu Negara dapat mengetahui warga negaranya yang merupakan wajib pajak di Negara tersebut membuka/memiliki rekening di Negara lain dan mengetahui jika terdapat sebuah kemungkinan praktek penghindaran pajak (transfer pricing) terlebih dalam konteks pajak penghasilan. Terhadap kebijakan tersebut, Pemerintah beranggapan bahwa Automatic Exchange of Information (AEoI) sebagai salah satu langkah strategis untuk memperbaiki sistem pengelolaan informasi keuangan di Indonesia. Automatic Exchange of Information (AEoI) sendiri merupakan pengiriman informasi tertentu tentang wajib pajak pada waktu tertentu, secara periodik, sistematis dan berkesinambungan dari negara sumber penghasilan atau tempat menyimpan kekayaan, kepada negara residen wajib pajak. Di Indonesia, pada saat ini, terkait dengan Automatic Exchange of Information telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan yang selanjutnya diundangkan menjadi undang-undang melalui UU No. 9 Tahun 2017. Melalui undang-undang tersebut, prinsip kerahasiaan yang melekat di dalam setiap produk jasa keuangan yang telah diatur dalam undang-undang, menjadi dikecualikan keberlakuannya. Padahal dipahami bahwa prinsip kerahasiaan merupakan prinsip yang sangat fundamental yang harus dimiliki oleh penyedia jasa keuangan. misalnya Bank, Asuransi, Pasar Mosal, Pedagang Berjangka Komoditi, dll.

Automatic Exchange of Information is a system that supports the exchange of taxpayer account information between countries which makes it possible for taxpayers who open bank accounts in other countries and will be directly traced in the country of origin. So that later a country can find out its citizens who are taxpayers in that country open/have accounts in other countries and know if there is a possibility of tax avoidance practices (transfer pricing) especially in the context of income tax. Regarding this policy, the Government considers the Automatic Exchange of Information (AEoI) as one of the strategic steps to improve the financial information management system in Indonesia. Automatic Exchange of Information (AEoI) itself is the delivery of certain information regarding taxpayers at a certain time, periodically, systematically and continuously from the country of income source or place of storing wealth, to the resident country of the taxpayer. In Indonesia, at this time, the Automatic Exchange of Information has been regulated in Government Regulation Number 1 of 2017 concerning Access to Financial Information for Tax Purposes which was subsequently promulgated into law through Law no. 9 of 2017. Through this law, the principle of confidentiality inherent in every financial service product that has been regulated by law is excluded from its application. Even though it is understood that the principle of confidentiality is a very fundamental principle that must be owned by financial service providers. e.g. Banks, Insurance, Mosal Markets, Commodity Futures Traders, etc."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy Sunanda
"Pelaku tindak pidana yang disebut sebagai Pemilik manfaat/penerima manfaat menggunakan korporasi sebagai sarana/kendaraan (corporate vehicle) untuk menyembunyikan/menyamarkan hasil tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Terkait pelaku tindak pidana tersebut belum ada pengaturan khususnya dalam tindak pidana korupsi terkait korporasi sebagai penerima/pemilik manfaat sehingga terjadi kekosongan hukum. Sehingga untuk mengambil hasil tindak pidana yang telah dialihkan atau dinikmati atau dimiliki oleh penerima manfaat tersebut hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata atau memprosesnya dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, apabila digunakan instrumen-instrumen tersebut maka akan melalui proses yang panjang dan dikhawatirkan hasil tindak pidana akan dialihkan atau dinikmati oleh pelaku tindak pidana sebelum kedua proses tersebut selesai. Berdasarkan hal tersebut disertasi ini melakukan telahaan mengenai konsep pemilik manfaat dalam rezim hukum di Indonesia, alasan pemilik manfaat dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan praktek pertanggungjawaban pidana pemilik manfaat dalam tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia. Metode penelitian ini kualitatif mengkaji secara sistematis mengenai aturan hukum, perbandingan, konsep, doktrin, putusan kasus, dan dokumen-dokumen yang didukung dengan wawancara kepada akademisi dan praktisi. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Korporasi dapat menjadi pemilik manfaat selain orang perorangan karena Indonesia mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, dan kebutuhan dalam praktik hukum untuk merampas hasil tindak pidana menjadikan korporasi sebagai pemilik manfaat; berdasarkan kasus-kasus di Indonesia antara lain tindak pidana korupsi, pemilik manfaat/penerima manfaat atau penikmat manfaat dari hasil tindak pidana menggunakan modus operandi baru antara lain pelaku tindak pidana berada diluar struktur korporasi, tetapi dapat mempengaruhi kebijakan korporasi untuk menghindari pertanggungjawaban pidana oleh karena itu perlu dibuat aturan yang lebih jelas dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi; dalam praktik hukum belum ada korporasi yang disangkakan korupsi karena menerima manfaat dan dalam hal terjadi peralihan harta kekayaan kepada penerima manfaat sementara itu harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal Ultimate Beneficial Owner atau Beneficial Owner statusnya melarikan diri atau meninggal dunia untuk perampasan hasil tindak pidana tersebut dapat menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi KUHP, UU Tipikor dan Perma No.1 Tahun 2013 terkait dengan pertanggungjawaban pidana pemilik manfaat (Beneficial Owner) dalam kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.

The perpetrator of a criminal act is referred to as the beneficial owner/beneficiary to hide/disguise the proceeds of criminal acts can be held criminally liable. Regarding the perpetrators of these criminal acts, there are no regulations, especially for criminal acts of corruption related to corporations as recipients/beneficial owners, resulting in a legal vacuum. So, retrieving the proceeds of criminal acts that have been transferred or enjoyed or owned by the beneficiary can only be done through a civil lawsuit or processed in accordance with Article 5 of Law Number 8 of 2010 concerning Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. However, if these instruments are used, it will go through a long process and it is feared that the proceeds of the crime will be transferred or enjoyed by the perpetrator of the crime before both processes are completed. Based on this, this dissertation examines the concept of beneficial owners in the legal regime in Indonesia, the reasons why beneficial owners can be held criminally liability and the practice of criminal liability for beneficial owners in criminal acts of corruption based on court decisions in Indonesia. This qualitative research method systematically examines legal rules, comparisons, concepts, doctrine, case decisions, and documents supported by interviews with academics and practitioners. From the results of the research conducted it can be concluded that corporations can be beneficial owners other than individuals because Indonesia recognizes corporations as subjects of criminal law, and the need in legal practice to confiscate the proceeds of criminal acts makes corporations as the beneficial owners; based on cases in Indonesia, including criminal acts of corruption, the beneficial owners/beneficiaries or beneficiaries of the proceeds of criminal acts using new modus operandi, among others, the perpetrators of criminal acts are outside the corporate structure but can influence corporate policy to avoid criminal liability, therefore it is necessary clearer regulations are made in the Corruption Crime Law; In legal practice, no corporation has been suspected of corruption because it received benefits and in the event of a transfer of assets to the beneficiary, the assets were the proceeds of a criminal act. In the case that the Ultimate Beneficial Owner or Beneficial Owner has the status of running away or dies, to confiscate the proceeds of the crime, you can use Supreme Court Regulation (Perma) Number 1 of 2013 concerning Procedures for Settlement of Applications for Handling Assets in the Crime of Money Laundering or Other Crimes. This research recommends that reformulation of the Criminal Code, the Corruption Law and Perma No.1 of 2013 be carried out regarding the criminal liability of beneficial owners in cases of criminal acts of corruption in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfanisa
"Korporasi tidak dikenal sebagai subyek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana melalui undang-undang di luar KUHP, termasuk Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkembangan ilmu hukum pidana pun semakin maju dengan kemunculan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun dalam praktik, putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi masih minim dan berbeda-beda penerapan hukumnya. Untuk pertama kalinya, pada tahun 2010 PT. Giri Jaladhi Wana korporasi yang dituntut sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Kemudian diikuti oleh kasus tindak pidana korupsi dengan Terdakwa direktur utama PT. Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan yang sebenarnya lebih mengarah kepada tindak pidana korporasi. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah ada kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. Bagaimana pelaksanaan pertanggungjawaban pidana korporasi dan apa saja kesulitan dalam pelaksanaannya akan dibahas pada skripsi ini.

Corporation is not known as a subject of criminal law in Indonesia Criminal Code. Corporation is recognized as a subject of criminal law in the acts outside of Indonesia Criminal Law, such as Law No. 31 Year 1999 on Eradication of Corruption (as amended by Law No. 20 Year 2001). The development of criminal law become more advanced with existence of corporate criminal liability doctrines. On the other side, in practice there is lack of jurisprudence that corporation become a subject of criminal law. For the first time, in 2010 Giri Jaladhi Wana Ltd was charged as perpetrator of corruption. This followed by corruption case where the director of Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, as a defendant although this case leads to corporate criminal offence. The question arises whether there are difficulties to implement corporate criminal liability in corruption. How the implementation of corporate criminal liability and the difficulties to implement it will be discussed in this thesis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55781
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iswendy Sohe
"Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini sangat merugikan keuangan negara dan menghambat keberlangsungan pembangunan nasional. Dalam kasus tindak pidana korupsi, yang melibatkan tindak kriminal dilakukan oleh banyak pelaku, dimana pelakunya telah mengembangkan ikatan yang satu sama lainnya selama jangka waktu tertentu, baik melalui koneksi pribadi, koneksi bisnis ataupun melalui perkumpulan berdasarkan profesi dan kelembagaan. Ikatan seperti inilah yang seringkali menguntungkan posisi dan kepentingan si pelaku tersebut hal ini akan menyebabkan pelaku selalu bersatu padu dalam menghadapi penyidikan atau kemungkinan adanya sebuah tuntutan pidana. Untuk membongkar jaringan pelaku korupsi sangatlah sulit karena apabila koruptor tersebut terjerat hukuman maka orang-orang yang membantunya akan ikut terseret. Kondisi seperti inilah yang selalu di hadapi oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
Oleh karena itu perlu dibuat sebuah mekanisme hukum yang mampu menerobos dan memecahkan problem sehingga aparat hukum di Indonesia dapat terbantu dari kerjasama yang berasal dari "orang dalam", dan mereka yang memiliki pengetahuan langsung mengenai kejahatan ini atau keterlibatan di dalamnya. Kadangkala, "orang dalam" ini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan dengan caranya tersendiri. Mereka ini dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa saja peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan.
Selain memberikan petunjuk bagi para penyidik, orang dalam ini kadangkala berpartisipasi juga dalam penyidikan dengan menyamar, merekam bukti suara atau video sebagai bukti penting dalam penuntutan. Akhirnya, orang dalam ini dapat menjadi saksi yang penting sewaktu persidangan, memberi bukti sebagai orang pertama, saksi mata dan kejahatan dan atas kegiatan para terdakwa. Dengan demikian diperlukan suatu bentuk perlindungan bagi saksi yang terlibat tindak pidana korupsi dari segala bentuk ancaman fisik dan tuntutan hukuman dari jaringan pelaku korupsi. Namun, hingga kini belum ada peraturan khusus yang dibuat untuk menjadi payung hukum bagi perlindungan saksi tindak pidana korupsi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ismet Karnawan
"Tesis ini membahas mekanisme dan penentuan pihak-pihak yang terlibat tindak pidana korupsi dalam Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Penggunaan Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) BPKP sebagai alat bukti dalam Sistem Peradilan Pidana. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan (statute-approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach) yang hasilnya lalu dideskripsikan. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa mengingat bahwa banyaknya peraturan yang digunakan dalam pelaksanaan audit investigasi yang tumpang tindih satu sama lain, diperlukan sinkronisasi peraturan terutama tentang jenis-jenis bukti audit, pembicaraan dengan obrik (obyek yang diperiksa) pasca audit serta unsur-unsur perbuatan yang perlu diungkap dalam suatu audit investigasi. Dalam LHAI, secara hukum seyogyanya BPKP tidak melakukan penentuan pelaku yang diduga terlibat tindak pidana korupsi, karena penentuan pelaku adalah domain hukum pidana, dalam hal ini penyidik. BPKP lebih tepat kalau hanya hanya melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dengan penggambaran secara deskriptif modus operandi tindak pidana korupsi sesuai dengan kompetensi BPKP selaku auditor intern pemerintah, MOU atau nota kesepahaman antara lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dengan BPKP tidak perlu dipertahankan. Kerjasama penanganan perkara sebaiknya dilakukan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berdasar undang-undang, agar lebih kuat dan independen dari sisi pembuktian bilamana dipertanyakan oleh pihak-pihak di persidangan.

This thesis discusses about the mechanism and the determination of the parties involved corruption in the Audit Report of Investigation (LHAI) Board of Finance and Development Control (BPKP) and the use of the Audit Report of Investigation (LHAI) BPKP as evidence in the Criminal Justice System. This study is a normative juridical approach to research legislation (Statute-approach), conceptual approach and the comparative approach the results and then described. The results of this study suggest that the number of rules used in the audit investigations that overlap each other, the synchronization rules are needed, especially regarding the types of audit evidence, talks with the ?obrik? (the object being examined) the post audit and elements that need to act disclosed in an audit investigation. In LHAI, legally BPKP should not make the determination of the parties allegedly involved in corruption, because the determination of the parties is the domain of criminal law, and not the investigator. BPKP more appropriate if only just calculating financial losses in a descriptive depiction of the state with the ?modus operandi? of corruption in accordance with the competence of internal auditors BPKP as government, MOU or a memorandum of understanding between National Police and State Prosecutor with BPKP not need to be maintained. Cooperation case handling should be done by the Supreme Audit Board (BPK) is based on legislation, to be more robust and independent of the evidence when questioned by the parties in court. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28984
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Haryokresno Tripradipto Hendarso
"ABSTRAK
Pasar modal merupakan bidang yang berkembang di Indonesia. Maraknya produk investasi yang ditawarkan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia, salah satunya adalah reksadana dikarenakan produk investasi ini memiliki tingkat resiko yang relatif rendah. Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, reksadana dikelola oleh Manajer Investasi yang telah memiliki izin dari pihak otoritas yaitu Otoritas Jasa Keuangan OJK . Dalam prakteknya, fungsi pengelolaan investasi Manajer Investasi yang merupakan badan hukum dilakukan oleh individu yang memiliki izin sebagai Wakil Manajer Investasi. Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah kasus yang melibatkan Dewan Direksi PT Minna Padi Aset Manajemen yang menyelewengkan dana salah satu nasabahnya. OJK selaku otoritas menjatuhkan sanksi berupa pencabutan izin bagi para pelaku, tetapi tidak menjatuhkan sanksi kepada PT Minna Padi Aset Manajemen selaku Manajer Investasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan jenis data sekunder serta analisis data bersifat kualitatif. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah PT Minna Padi Aset Manajemen selaku Manajer Investasi seharusnya turut dijatuhi sanksi oleh OJK karena telah melanggar ketentuan mengenai kewajiban menjalankan pengawasan.

ABSTRACT
Capital market is a growing field in Indonesia. The rise of investment products has its own attraction for the people of Indonesia, one of them is a mutual fund investment product because it has a relatively low level of risk. Based on the regulations in Indonesia, mutual funds managed by the Investment Manager that has permission from the authorities, namely the Financial Services Authority OJK . In practice, the investment function of Investment Manager as a legal entity made by individuals licensed as Vice Investment Manager. The case examined in this study is a case involving the Board of Directors of PT Minna Padi Aset Manajemen that misuse client 39 s fund. OJK as the authority to impose sanctions in the form of revocation of license for the perpetrators, but didn 39 t penalize PT Minna Padi Aset Manajemen as the Investment Manager. This research used normative juridical research using secondary data as well as data analysis that are qualitative. The conclusions obtained from this study is PT Minna Padi Aset Manajemen as Investment Manager should sanctioned by the OJK for violating the provisions regarding the obligation to carry out supervision. "
2017
S66000
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Famal
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai pembebanan tanggung jawab hukum kepada Manajer
Investasi akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Anggota Direksi sehingga
menyebabkan Manajer Investasi tersebut dijatuhi sanksi administratif oleh Otoritas
Jasa Keuangan. Dalam tesis ini akan menggunakan studi kasus pencabutan izin usaha
Manajer Investasi PT. Eurocapital Peregrine Securities (PT EPS). Terdapat dua
pertanyaan utama dalam tesis ini, yaitu mengenai kesesuaian putusan OJK mencabut
izin PT EPS sebagai Manajer Investasi dengan peraturan di bidang pasar modal dan
mengenai ketepatan putusan Lembaga Peradilan yang menyatakan pelanggaran
Anggota Direksi PT EPS menjadi tanggung jawab pribadi Anggota Direksi dan bukan
tanggung jawab Manajer Investasi. Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif untuk menunjukkan bahwa suatu Manajer Investasi dapat dibebankan
tanggung jawab akibat pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota Direksi
menggunakan Teori Badan Hukum Sebagai Kenyataan Yuridis (juridische
Realiteitsleer). Berdasarkan penelitian, ditemukan Putusan OJK yang mencabut izin
PT EPS sebagai Manajer Investasi telah sesuai dengan peraturan di bidang pasar
modal karena dalam UUPM pembebanan tanggung jawab atas pelanggaran yang
dilakukan oleh Anggota Direksi Manajer Investasi merupakan beban Manajer
Investasi. Sedangkan Putusan Lembaga Peradilan yang menyatakan pelanggaran
Anggota Direksi PT EPS menjadi tanggung jawab pribadi Anggota Direksi sehingga
menyatakan batal pencabutan izin usaha Manajer Investasi atas nama PT EPS adalah
kurang tepat. Hal ini dapat karena PT EPS sendiri lemah dalam pengawasan
kegiatannya. Namun, pembebanan tanggung jawab kepada Manajer Investasi bukan
berarti membebaskan tanggung jawab Anggota Direksi atas pelanggaran yang
dilakukannnya. Anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi kepada Manajer
Investasi yang telah dirugikannya.

ABSTRACT
This thesis discusses about legal liability assessed to an Investment manager due
to tort committed by its Member of Board of Directors, causing the Investment
Manager administrative sanctions by the Financial Services Authority. This thesis
will use case studies permit revocation Investment Manager PT. Eurocapital
Peregrine Securities (PT EPS). There are two main questions in this thesis,
regarding the suitability of the FSA's decision to revoke permit PT EPS as
Investment Manager with the capital market regulations and the suitability of the
Institute of Justice ruling stating tort of the member of the Board of Directors
(member of BOD) of PT EPS is the liability of the member of BOD in personal
and not the liability of Investment Manager. This thesis using normative legal
research methods to indicate that an Investment Manager can be charged with the
liability for tort committed by the member of BOD using the Theory of Legal
Entity In fact Juridical (Juridische Realiteitsleer). Based on the research, it was
found that the FSA verdict revoked the licenses of PT EPS as Investment Manager
in accordance with the regulations of the capital market since the imposition
UUPM liability for tort committed by the member of BOD of the Investment
Manager an Investment Manager burden. Meanwhile, the Institute of Justice
ruling stating tort of member of BOD of PT EPS is the liability of the member of
BOD to declare null and revocation of business licenses on behalf of the
Investment Manager PT EPS is less precise. This could be because PT EPS
themselves weak in monitoring activities. However, the imposition of liability to
the Investment Manager not absolve the liability of member of BOD for his tort.
The member of BOD is personally liable to the Investment Manager who has been
harmed., This thesis discusses about legal liability assessed to an Investment manager due
to tort committed by its Member of Board of Directors, causing the Investment
Manager administrative sanctions by the Financial Services Authority. This thesis
will use case studies permit revocation Investment Manager PT. Eurocapital
Peregrine Securities (PT EPS). There are two main questions in this thesis,
regarding the suitability of the FSA's decision to revoke permit PT EPS as
Investment Manager with the capital market regulations and the suitability of the
Institute of Justice ruling stating tort of the member of the Board of Directors
(member of BOD) of PT EPS is the liability of the member of BOD in personal
and not the liability of Investment Manager. This thesis using normative legal
research methods to indicate that an Investment Manager can be charged with the
liability for tort committed by the member of BOD using the Theory of Legal
Entity In fact Juridical (Juridische Realiteitsleer). Based on the research, it was
found that the FSA verdict revoked the licenses of PT EPS as Investment Manager
in accordance with the regulations of the capital market since the imposition
UUPM liability for tort committed by the member of BOD of the Investment
Manager an Investment Manager burden. Meanwhile, the Institute of Justice
ruling stating tort of member of BOD of PT EPS is the liability of the member of
BOD to declare null and revocation of business licenses on behalf of the
Investment Manager PT EPS is less precise. This could be because PT EPS
themselves weak in monitoring activities. However, the imposition of liability to
the Investment Manager not absolve the liability of member of BOD for his tort.
The member of BOD is personally liable to the Investment Manager who has been
harmed.]"
2015
T44248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>