Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180005 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitri Aulia
"Kanker kolorektal menempati peringkat ketiga berdasarkan angka kematian di Indonesia. Cluster of differentiation 44 (CD44) merupakan biomarker yang dapat digunakan dalam mendeteksi kanker kolorektal. Ekspresi gen CD44 dapat dideteksi pada circulating tumor cell (CTC) yang diisolasi dari darah perifer, akan tetapi CTC merupakan rare cell. Ekspresi gen CD44 pada peripheral blood mononuclear cells (PBMC) berpotensi untuk dijadikan biomarker dalam deteksi kanker kolorektal karena kelimpahannya yang banyak jika dibandingkan dengan CTC, akan tetapi penelitian tentang deteksi ekspresi gen CD44 pada PBMC masih terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi ekspresi gen CD44 pada sampel CTC dan PBMC sebagai potensi biomarker kanker kolorektal menggunakan metode semi-kuantitatif RT-PCR dan direct immunofluorescence. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdeteksinya gen CD44 baik pada sampel CTC maupun PBMC dengan menggunakan metode semi-kuantitatif RT-PCR. Gen CD44 terdeteksi pada beberapa sampel PBMC dengan menggunakan direct immunofluorescence. Gen CD44 berpotensi sebagai biomarker kanker kolorektal, namun penelitian ini perlu diteliti lebih lanjut.

Colorectal cancer ranks third based on mortality in Indonesia. Cluster of differentiation 44 (CD44) is a biomarker that can be used to detect colorectal cancer. CD44 gene expression can be detected in circulating tumor cells (CTC) isolated from peripheral blood, but CTC is a rare cell. The expression of the CD44 gene in Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC) has the potential to be used as a biomarker in the detection of colorectal cancer because of its high abundance when compared to CTC, but research on the detection of CD44 gene expression in PBMCs is still limited. The purpose of this study was to detect the expression of the CD44 gene in CTC and PBMC samples as a potential colorectal cancer biomarker using semi-quantitative RT-PCR and direct immunofluorescence methods. The results showed that the CD44 gene was not detected in both CTC and PBMC samples using the semi-quantitative RT-PCR method. The CD44 gene was detected in several PBMC samples using direct immunofluorescence. The CD44 gene has potential as a biomarker of colorectal cancer, but this research needs to be investigated further. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Azizah
"Kanker kolorektal merupakan jenis kanker dengan jumlah penderita terbanyak ketiga di dunia. Metode deteksi kanker kolorektal yang banyak digunakan yakni kolonoskopi, namun metode tersebut bersifat invasif dan mahal. Salah satu metode deteksi yang dapat digunakan sebagai alternatif adalah melalui deteksi penanda molekuler adalah CK20 pada Circulating Tumor Cells (CTC) yang terdapat dalam darah perifer. Permasalahan muncul akibat rendahnya jumlah CTC dalam darah. Deteksi gen CK20 pada serum darah berpotensi menjadi metode deteksi kanker kolorektal karena serum darah mengandung cell-free nucleic acid (cfNA) yang dilepaskan oleh sel tumor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi gen CK20 pada CTC dan serum darah dari penderita kanker kolorektal. Isolat RNA diisolasi dari sampel CTC dan serum darah yang berasal dari empat penderita kanker kolorektal RSUPN Cipto Mangunkusumo kemudian diamplifikasi melalui Quantitave RT-PCR dan dianalisis melalui metode Melt Curve Analysis (MCA). Hasil menunjukkan bahwa gen CK20 memiliki Tm ~81°C dan terdeteksi pada satu sampel serum dan dua sampel jaringan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa gen CK20 tidak terdeteksi pada CTC dan terdeteksi pada satu serum darah penderita kanker kolorektal.

Colorectal cancer occupies the third-highest number of cancer patients worldwide. The most widely used colorectal cancer detection method is colonoscopy. However, colonoscopy is invasive and expensive. One alternative detection method is the detection of molecular markers such as CK20 in circulating tumor cells (CTC) found in the peripheral blood. The problem arises due to the low number of CTCs in the blood. Detection of the CK20 gene in blood serum is potentially used as a colorectal cancer detection method because blood serum contains cell-free nucleic acid (cfNA) released by tumor cells. This study aimed to detect the CK20 gene in CTCs and blood serum from colorectal cancer patients. RNA isolates were isolated from CTC samples and blood serum from four colorectal cancer patients at Cipto Mangunkusumo Hospital and then amplified by quantitative RT-PCR and then analyzed using the Melt Curve Analysis method. The results showed that the CK20 gene had a melting temperature of an average of ~81°C and was detected in one blood serum sample and two cancer tissue samples. Based on the results obtained, it can be concluded that the CK20 gene was undetected in CTCs and detected in one blood serum of colorectal cancer patients."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Riski Amanda
"Kanker kolorektal (KKR) menempati urutan ketiga sebagai kanker penyebab kematian tertinggi di dunia. Diperkirakan sekitar 63% kematian akibat KKR terjadi karena kurangnya screening dan keterlambatan diagnosis. Saat ini metode standar yang digunakan dalam diagnosis KKR adalah kolonoskopi dan biopsi jaringan. Namun metode tersebut memiliki risiko yang tinggi, besifat invasif, serta tidak efisien untuk monitoring perkembangan tumor. Gen Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) telah umum digunakan sebagai marka prognostik KKR, salah satunya melalui studi ekspresi gen pada Circulating Tumor Cells (CTCs). Namun CTC memiliki beberapa kelemahan, seperti konsentrasi yang rendah dan heterogenitas yang beragam. Di sisi lain, serum darah penderita kanker mengandung cell-free Nucleic Acid (cfNA) yang membawa informasi genetik dari jaringan tumor asal. Hal tersebut menjadikan cfNA berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu metode alternatif untuk diagnosis dan monitoring KKR. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi gen EGFR dari CTC dan serum darah penderita KKR menggunakan metode quantitative PCR with Melting Curve Analysis (qPCR MCA). Penelitian dilakukan terhadap 4 pasien KKR dengan karakteristik dan stadium kanker yang bervariasi. Hasil penelitian menunjukkan gen EGFR terdeteksi pada seluruh sampel serum dan hanya terdeteksi pada 1 sampel CTC. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa deteksi biomarker EGFR pada serum memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan CTC.<

Colorectal cancer (CRC) ranks as the third leading cause of cancer death in the world. It is estimated that around 63% of deaths from CRC occur due to lack of screening and delay in diagnosis. Currently, the standard methods used in the diagnosis of CRC are colonoscopy and tissue biopsy. However, this method has a high risk, invasive, and inefficient for tumor monitoring. The Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) has been commonly used as a prognostic marker for CRC through gene expression analysis of Circulating Tumor Cells (CTCs). However, CTC have some limitations such as heterogeneity and low concentrations. On the other hand, the blood serum of cancer patients contains cell-free Nucleic Acid (cfNA) which carries genetic information from the original tumor tissue. Hence, cfNA have great potential to be developed as an alternative method for CRC diagnosis and monitoring. This study aims to detect the EGFR gene from CTC and blood serum of CRC patients using the quantitative PCR with the Melting Curve Analysis (qPCR MCA). The study was conducted on 4 CRC patients with various characteristics and stages of cancer. The results showed that the EGFR gene was detected in all serum samples and only in 1 CTC sample. Therefore, the results suggest that the detection of EGFR biomarkers in serum has better effectiveness than CTC."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saskia Aziza Nursyirwan
"Latar Belakang: Kanker kolorektal (KKR) adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas terkait kanker. Pemeriksaan baku emas yang dilakukan untuk mendiagnosis kanker kolorektal hingga saat ini adalah histopatologi, yang didapat dari biopsi saat kolonoskopi. Oleh karena tidak semua pasien mau untuk menjalani pemeriksaan invasif di awal rencana diagnosis, maka pendekatan non-invasif baru yang dapat melengkapi dan meningkatkan strategi untuk diagnosis non invasif dan manajemen kanker kolorektal sangat dibutuhkan. Circulating tumor cell (CTC) dalam darah diharapkan dapat digunakan sebagai penanda diagnostik yang non-invasif pada pasien dengan KKR.
Tujuan: Penelitian ini merupakan uji diagnostik CTC pada KKR menggunakan metode isolasi dan analisis CTC imunomagnetik seleksi negatif menggunakan Easysep™ dan marker mesenkimal kanker CD44.
Metode: potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa yang diduga kanker kolorektal di RSCM selama bulan September 2020 hingga September 2021. Analisis uji diagnostik digunakan untuk mencari titik potong beserta nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), rasio kemungkinan positif (RKP), dan rasio kemungkinan negatif (RKN) CTC dalam mendeteksi KKR.
Hasil: Sebanyak total 80 subjek penelitian, didapatkan mean umur 56 ± 11 tahun. Proporsi subjek berdasarkan jenis kelamin yaitu 46,3% pasien perempuan dan 53,8% pasien lelaki. Sebanyak 77,5% subjek mengalami kanker kolorektal, 7,5% polip adenoma, dan 15% polip inflamasi/ hiperplastik. Uji diagnostik CTC untuk mendeteksi KKR (KKR dibandingkan dengan polip inflamasi/hiperplastik + polip adenoma), dengan titik potong CTC >1,5 sel/mL, didapatkan hasil sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, RKP, RKN berturut-turut sebesar 50%; 88,89%; 93,94%; 34,04%; 4,5; dan 0,56. Selain itu didapatkan variabel diferensiasi kanker memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan jumlah CTC.
Simpulan: Pemeriksaan CTC memiliki sensitifitas yang rendah dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis KKR. Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan menjadi pemeriksaan penunjang diagnostik non-invasif kanker kolorektal sebelum menjalani pemeriksaan yang lebih invasif yaitu kolonoskopi dan biopsi histopatologi.

Background: Colorectal cancer (CRC) is one of the leading causes of cancer-related morbidity and mortality. The gold standard for diagnosing colorectal cancer is histopathology, which is obtained from a biopsy during colonoscopy. Since not all patients are willing to undergo invasive testing at the outset of the first diagnotic plan, new non-invasive approaches that can complement and enhance strategies for non-invasive diagnosis and management of colorectal cancer are urgently needed. Circulating tumor cells (CTC) in the blood are expected to be used as a non-invasive diagnostic marker in patients with CRC.
Purpose: This research is a diagnostic test of CTC on CRC using the isolation and analysis of negative selection immunomagnetic method with Easysep™ and CD44 cancer mesenchymal marker.
Method: Cross-sectional study of adult patients with suspected colorectal cancer at RSCM during September 2020 to September 2021. Diagnostic study analysis was used to find the cut-off point along with sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), positive likelihood ratio (PLR), and negative likelihood ratio (NLR) of CTC in detecting CRC.
Results: A total of 80 research subjects, the mean age was 56 ± 11 years. The proportion of subjects by gender was 46.3% female and 53.8% male patients. A total of 77.5% of the subjects had colorectal cancer, 7.5% adenoma polyps, and 15% inflammatory/ hyperplastic polyps. The CTC diagnostic analysis to detect CRC (CRC compared with inflammatory/hyperplastic polyps + adenoma polyps), with a CTC cut-off point of  > 1.5 cells/mL, showed that the sensitivity, specificity, PPV, NPV, PLR, NLR were 50%; 88.89%; 93.94%; 34.04%; 4.5; and 0.56, respectively. In addition, it was found that the cancer differentiation variable had a significant relationship (p<0.05) with the number of CTCs.
Conclusion: CTC examination has low sensitivity and high specificity for diagnosing CRC. This examination can be considered as a non-invasive diagnostic support for colorectal cancer before undergoing more invasive examinations, which are colonoscopy and histopathological biopsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ihya Fakhrurizal Amin
"Pendahuluan: Peningkatan karbondioksida pada atmosfer berdampak pada perubahan iklim. Peningkatan karbondioksida dapat mempengaruhi tubuh manusia terutama pada sistem imun manusia, yang diketahui dapat menurunkan produksi sel T. Pada penelitian ini menggunakan subjek berupa sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) yang menjadi representatif dari sistem imun manusia. Berbagai respon mungkin akan ditunjukkan jika PBMC dipaparkan karbon dioksida dengan konsentrasi lebih tinggi dari normal, tetapi pada penelitian ini hanya spesifik melihat pada kadar hidrogen peroksida melalui pengukuran kadar DCFH-DA.
Metode: PBMC yang sudah diisolasi dari subjek dipaparkan karbon dioksida 5% sebagai kontrol dan 15% sebagai uji. Waktu pemaparan dilakukan selama 24 jam dan 48 jam. Pada waktu akhir waktu inkubasi untuk masing-masing kelompok akan dilakukan pengukuran kadar DCFH-DA dengan fluorometri. Hasil yang didapat berupa absorbansi/sel yang akan dianalisis lebih lanjut melalui SPSS versi 24.
Hasil: Didapatkan jumlah hidrogen peroksida lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol secara signifikan (p<0.05) saat diinkubasi selama 24 jam tetapi tidak signifikan pada waktu inkubasi 48 jam. Perbandingan konsentrasi hidrogen peroksida antara 24 dan 48 jam menunjukkan penurunan secara signifikan konsentrasi saat diinkubasi 48 jam jika dibanding 24 jam.
Kesimpulan: Paparan karbon dioksida selama 24 jam dapat meningkatkan produksi hidrogen peroksida dibandingkan kontrol, namun hal ini tidak terjadi pada PBMC yang dipaparkan karbondioksida selama 48 jam.

Introduction: Increased carbon dioxide in the atmosphere has an impact on climate change. Increased carbon dioxide can affect the human body, especially in the human immune system, which is known to reduce the production of T cells. So as to represent the human immune system, this study uses the subject of Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells. Various responses might be demonstrated if PBMCs were exposed to carbon dioxide concentrations higher than normal, but in this study only specifically looked at hydrogen peroxide levels by measuring DCFH-DA levels.
Method: PBMC which had been isolated from the subject were exposed to 5% carbon dioxide as a control and 15% as a test. Exposure time is 24 hours and 48 hours. At the end of the incubation time for each group, measurement of DCFH-DA with fluorometry will be carried out. The results obtained in the form of absorbance / cells will be further analyzed through SPSS version 24.
Result : There was a significant increase in the amount of hydrogen peroxide compared to the control (p <0.05) when incubated for 24 hours but not significantly at 48 hours incubation time. Comparison of hydrogen peroxide concentrations between 24 and 48 hours shows a significant decrease in concentration when incubated 48 hours when compared to 24 hours (p<0.05).
Conclusion: Exposure to carbon dioxide for 24 hours can increase hydrogen peroxide production compared to control, but there is no significant change in hydrogen peroxide production was observed in 48 hours of carbon dioxide.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amino Aytiwan Remedika
"Perubahan iklim telah terjadi sepanjang sejarah. Di atmosfer, kadar karbon dioksida sudah sangat meningkat sejak seratus tahun terakhir. Perubahan ini berdampak pada kesehatan global melalui berbagai cara. Di dalam tubuh, meningkatnya kadar karbon dioksida juga dapat ditemukan dalam berbagai kondisi, salah satunya adalah dalam lingkungan suatu tumor. Saat hiperkapnia terjadi, hipoksia diasosiasikan untuk terjadi juga. Dalam keadaan hipoksia, hypoxia-inducible factor (HIF) diekspresikan, termasuk HIF2α. HIF2α merupakan gen yang penting dalam pertumbuhan tumor. Pada saat terdapat perubahan dalam tubuh, tubuh merespon dengan mengeluarkan respon imun sebagai perlindungan diri. Salah satu komponen dari respon imun adalah PBMC. Penelitian ini pertujuan untuk menemukan bagaimana efek dari peningkatan karbon dioksida pada ekspresi gen HIF2α dalam PBMC. PBMC diisolasi menggunakan sentrifugasi dari darah. Selanjutnya, sel dikultur dan diberi beberapa perlakuan (5% CO2 24 jam, 15% CO2 24 jam, 5% CO2 48 jam, and 15% CO2 48 jam). Setelah itu, RNA diisolasi dan diukur menggunakan RT-qPCR. Data yang didapatkan lalu dianalisis. Hasil menunjukkan signifikansi pada grup 5% dan 15% CO2 24 jam, sementara pada grup 5% dan 15% CO2 48 jam hasilnya tidak signifikan. Pada perbandingan antara grup 15% CO2 24 jam dan 48 jam tidak ditemukan hasil yang signifikan pula. Sebagai kesimpulan, eksperimen menunjukkan berkurangnya ekspresi gen HIF2α dalam PBMC setelah paparan CO2 tinggi. Namun, paparan yang lebih lama menunjukkan bahwa ekspresi gen HIF2α mengalami sedikit peningkatan.

Climate change has been occuring throughout the history. In the atmosphere, the carbon dioxide level has increased to a great number since the past century. This change in climate is found to be affecting global health in various ways. In the body, increased carbon dioxide level can also be found which leads to a hypercapnic condition which is found in a wide variety of conditions including in a tumor microenvironment. As hypercapnia happens, it correlates with the occurrence of hypoxia, or reduced oxygen level. In response to hypoxic stress, hypoxia-inducible factor (HIF) is expressed, including HIF2α. HIF2α is a gene critical in tumor development. In addition, when there are harmful changes in the body, there are immune responses as a defense. The components of the immune response include the PBMCs. This research intends to find how increased carbon dioxide level can affect HIF2α expression in PBMCs. The PBMCs are isolated by centrifugation from the blood. afterwards, they are cultured and treated under different conditions (5% CO2 24 hours, 15% CO2 24 hours, 5% CO2 48 hours, and 15% CO2 48 hours). After treatment, the RNA is isolated and measured using RT-qPCR. The data collected is then analysed. The 5% and 15% CO2 24 hours groups has a significant result, while the 5% and 15% CO2 48 hours groups are found to be insignificant. In addition, comparison As a conclusion, from the experiment there was a decreased HIF2α expression after increased exposure of CO2. However, longer exposure showed a slight increase in the expression."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amino Aytiwan Remedika
"Perubahan iklim telah terjadi sepanjang sejarah. Di atmosfer, kadar karbon dioksida sudah sangat meningkat sejak seratus tahun terakhir. Perubahan ini berdampak pada kesehatan global melalui berbagai cara. Di dalam tubuh, meningkatnya kadar karbon dioksida juga dapat ditemukan dalam berbagai kondisi, salah satunya adalah dalam lingkungan suatu tumor. Saat hiperkapnia terjadi, hipoksia diasosiasikan untuk terjadi juga. Dalam keadaan hipoksia, hypoxia-inducible factor (HIF) diekspresikan, termasuk HIF2α. HIF2α merupakan gen yang penting dalam pertumbuhan tumor. Pada saat terdapat perubahan dalam tubuh, tubuh merespon dengan mengeluarkan respon imun sebagai perlindungan diri. Salah satu komponen dari respon imun adalah PBMC. Penelitian ini pertujuan untuk menemukan bagaimana efek dari peningkatan karbon dioksida pada ekspresi gen HIF2α dalam PBMC. PBMC diisolasi menggunakan sentrifugasi dari darah. Selanjutnya, sel dikultur dan diberi beberapa perlakuan (5% CO2 24 jam, 15% CO2 24 jam, 5% CO2 48 jam, and 15% CO2 48 jam). Setelah itu, RNA diisolasi dan diukur menggunakan RT-qPCR. Data yang didapatkan lalu dianalisis. Hasil menunjukkan signifikansi pada grup 5% dan 15% CO2 24 jam, sementara pada grup 5% dan 15% CO2 48 jam hasilnya tidak signifikan. Pada perbandingan antara grup 15% CO2 24 jam dan 48 jam tidak ditemukan hasil yang signifikan pula. Sebagai kesimpulan, eksperimen menunjukkan berkurangnya ekspresi gen HIF2α dalam PBMC setelah paparan CO2 tinggi. Namun, paparan yang lebih lama menunjukkan bahwa ekspresi gen HIF2α mengalami sedikit peningkatan.

Climate change has been occuring throughout the history. In the atmosphere, the carbon dioxide level has increased to a great number since the past century. This change in climate is found to be affecting global health in various ways. In the body, increased carbon dioxide level can also be found which leads to a hypercapnic condition which is found in a wide variety of conditions including in a tumor microenvironment. As hypercapnia happens, it correlates with the occurrence of hypoxia, or reduced oxygen level. In response to hypoxic stress, hypoxia-inducible factor (HIF) is expressed, including HIF2α. HIF2α is a gene critical in tumor development. In addition, when there are harmful changes in the body, there are immune responses as a defense. The components of the immune response include the PBMCs. This research intends to find how increased carbon dioxide level can affect HIF2α expression in PBMCs. The PBMCs are isolated by centrifugation from the blood. afterwards, they are cultured and treated under different conditions (5% CO2 24 hours, 15% CO2 24 hours, 5% CO2 48 hours, and 15% CO2 48 hours). After treatment, the RNA is isolated and measured using RT-qPCR. The data collected is then analysed. The 5% and 15% CO2 24 hours groups has a significant result, while the 5% and 15% CO2 48 hours groups are found to be insignificant. In addition, comparison As a conclusion, from the experiment there was a decreased HIF2α expression after increased exposure of CO2. However, longer exposure showed a slight increase in the expression."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ziad Abdullah
"Circulating tumor cell (CTC) adalah sel tumor yang terlepas dan bersirkulasi di pembuluh darah. Kultur CTC dapat bermanfaat untuk menentukan pengobatan yang efektif dan presisi terhadap penyakit kanker. Akan tetapi, hingga saat ini, kultur CTC masih terbatas dilakukan. Kobalt klorida dilaporkan dapat meningkatkan pertumbuhan sel tumor dalam kultur in-vitro. Namun, kobalt klorida belum pernah digunakan dalam mengultur CTC kanker kolorektal. Oleh karena itu, optimasi konsentrasi CoCl2 dalam mengultur CTC kanker kolorektal penting untuk dilakukan. Parameter yang dapat digunakan dalam optimasi tersebut adalah viabilitas dan jumlah agregasi CTC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan beberapa konsentrasi CoCl2 (100 dan 150 μM) terhadap viabilitas dan jumlah agregasi CTC kanker kolorektal. Dalam penelitian ini, isolat hasil eritrolisis dikultur dalam medium dengan berbagai konsentrasi CoCl2 (0, 100, dan 150 μM). Kultur kemudian dikonfirmasi dengan immunofluorescence staining menggunakan CK20, PLS3, dan DAPI untuk mengonfirmasi keberadaan CTC kanker kolorektal. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ketiga kultur terkonfirmasi mengandung CTC kanker kolorektal. Viabilitas dan jumlah agregasi sel kultur dari yang paling tinggi ke paling rendah teramati pada perlakuan 0, 100, dan 150 μM CoCl2. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan konsentrasi CoCl2 tidak dapat meningkatkan viabilitas dan jumlah agregasi CTC kanker kolorektal.

Circulating tumor cells (CTCs) are tumor cells that have detached from the primary tumor and circulate in the bloodstream. Culturing CTCs can be beneficial in determining the effective and precise treatments for cancer. However, until now, CTCs culture is still very rare to be successfully done. Cobalt chloride has been reported to enhance tumor cell growth in in-vitro culture, but it has not yet been used to culture colorectal CTCs. Therefore, optimizing the concentration of CoCl2 in culturing colorectal CTCs is essential. Parameters that can be used in this optimization include the cell viability and the aggregates number of CTC. This study aims to investigate the effect of adding different concentrations of CoCl2 (100 and 150 μM) on the aggregates number and cell viability of colorectal CTCs. In this study, isolates obtained from erythrolysis were cultured in a medium with various concentrations of CoCl2 (0, 100, and 150 μM). The cultures were then confirmed with immunofluorescence staining using CK20, PLS3, and DAPI to confirm the presence of colorectal cancer CTCs. Based on the results, all three cultures were confirmed to contain colorectal cancer CTCs. The viability and number of cell aggregates in the culture were observed to be highest at 0 μM, followed by 100 μM, and lowest at 150 μM CoCl2. Based on this study, it can be concluded that the addition of CoCl2 concentrations does not increase the viability and number of aggregates of colorectal cancer CTCs."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihya Fakhrurizal Amin
"Pendahuluan: Peningkatan karbondioksida pada atmosfer berdampak pada perubahan iklim. Peningkatan karbondioksida dapat mempengaruhi tubuh manusia terutama pada sistem imun manusia, yang diketahui dapat menurunkan produksi sel T. Pada penelitian ini menggunakan subjek berupa sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) yang menjadi representatif dari sistem imun manusia. Berbagai respon mungkin akan ditunjukkan jika PBMC dipaparkan karbon dioksida dengan konsentrasi lebih tinggi dari normal, tetapi pada penelitian ini hanya spesifik melihat pada kadar hidrogen peroksida melalui pengukuran kadar DCFH-DA. Metode: PBMC yang sudah diisolasi dari subjek dipaparkan karbon dioksida 5% sebagai kontrol dan 15% sebagai uji. Waktu pemaparan dilakukan selama 24 jam dan 48 jam. Pada waktu akhir waktu inkubasi untuk masing-masing kelompok akan dilakukan pengukuran kadar DCFH-DA dengan fluorometri. Hasil yang didapat berupa absorbansi/sel yang akan dianalisis lebih lanjut melalui SPSS versi 24. Hasil: Didapatkan jumlah hidrogen peroksida lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol secara signifikan (p<0.05) saat diinkubasi selama 24 jam tetapi tidak signifikan pada waktu inkubasi 48 jam. Perbandingan konsentrasi hidrogen peroksida antara 24 dan 48 jam menunjukkan penurunan secara signifikan konsentrasi saat diinkubasi 48 jam jika dibanding 24 jam. Kesimpulan: Paparan karbon dioksida selama 24 jam dapat meningkatkan produksi hidrogen peroksida dibandingkan kontrol, namun hal ini tidak terjadi pada PBMC yang dipaparkan karbondioksida selama 48 jam.

Introduction: Increased carbon dioxide in the atmosphere has an impact on climate change. Increased carbon dioxide can affect the human body, especially in the human immune system, which is known to reduce the production of T cells. So as to represent the human immune system, this study uses the subject of Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells. Various responses might be demonstrated if PBMCs were exposed to carbon dioxide concentrations higher than normal, but in this study only specifically looked at hydrogen peroxide levels by measuring DCFH-DA levels. Method: PBMC which had been isolated from the subject were exposed to 5% carbon dioxide as a control and 15% as a test. Exposure time is 24 hours and 48 hours. At the end of the incubation time for each group, measurement of DCFH-DA with fluorometry will be carried out. The results obtained in the form of absorbance / cells will be further analyzed through SPSS version 24 Result : There was a significant increase in the amount of hydrogen peroxide compared to the control (p <0.05) when incubated for 24 hours but not significantly at 48 hours incubation time. Comparison of hydrogen peroxide concentrations between 24 and 48 hours shows a significant decrease in concentration when incubated 48 hours when compared to 24 hours (p<0.05). Conclusion: Exposure to carbon dioxide for 24 hours can increase hydrogen peroxide production compared to control, but there is no significant change in hydrogen peroxide production was observed in 48 hours of carbon dioxide exposure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resisca Anastasya
"Kanker kolorektal (KKR) adalah kanker yang menyerang bagian kolon dan rektum pada usus besar. Kasus KKR menempati posisis keempat di Indonesia. Pada umumnya, KKR didiagnosis menggunakan pemeriksaan standar dengan kolonoskopi, namun metode ini bersifat invasif dan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi penderita KKR. Oleh karena itu, diperlukan alternatif yang minim invasif dan mudah dilakukan dengan cara mendeteksi keberadaan Circulating Tumor Cells (CTC) dalam darah. Kelimpahan CTC dalam darah sangat rendah, diperkirakan 1—10 CTC per 10 mL darah, sehingga perlu dilakukan isolasi CTC untuk memperkaya jumlah CTC. Metode yang dapat digunakan untuk mengisolasi CTC, yaitu metode sentrifugasi gradien densitas termodifikasi SepMateTM-15. Dalam mendeteksi CTC diperlukan marker yang memiliki spesifisitas dan sensitivitas baik, serta berasal dari jaringan tumor primer penderita KKR, seperti CK20. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi CTC dengan menggunakan metode gradien densitas termodifikasi SepMateTM-15 dan karakterisasi CTC dengan penanda CK20 dari darah perifer KKR menggunakan Imunofluorosensi. Hasil isolasi CTC menunjukkan seluruh subjek KKR berhasil diisolasi dengan positivitas ≥1 CTC/ mL darah. Single CTC terdeteksi pada subjek 1,2, dan 4. Cluster CTC terdeteksi pada subjek 2,3, dan 5. Diameter rata-rata CTC yang diperoleh 10,82¼m. Sel CTC berhasil dikarakterisasi single CTC dan cluster CTC dengan penanda CK20 dalam analisis Imunofluorosensi.

Colorectal cancer (CRC) is a cancer that affects the colon and rectum in the large intestine. In Indonesia, CRC cases are ranked fourth. Generally, CRC is diagnosed using standard examinations colonoscopy, this procedure is invasive and uncomfortable for CRC patients. Therefore, an alternative that is minimally invasive and easy to perform is needed to detect the presence of Circulating Tumor Cells (CTCs).  The abundance of CTCs in blood is very low, estimated at 1—10 CTC/10 mL. Therefore, CTC isolation is required to increase the quantity of CTCs. A method to isolate CTCs is the SepMateTM-15 modified density gradient centrifugation method. To detect CTCs, markers with good specificity and sensitivity are needed originating from primary tumor tissues in CRC patients, such as CK20. This study aims to isolate CTCs using the SepMateTM-15 modified density gradient method and characterize CTCs with CK20 marker from peripheral blood using immunofluorescence. All CRC subjects were successfully isolated with positivity of  ≥1 CTC/mL. Single CTC in subjects 1, 2, and 4. CTC clusters were identified in subjects 2, 3, and 5. The average diameter of CTCs is 10.82 μm. Cell CTCs were successfully characterized between single CTCs and CTC clusters using a CK20 marker by immunofluorescence analysis."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>