Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180280 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wismandari
"Kondisi hipertiroidisme berkorelasi dengan kejadian atherosclerosis cardiovascular disease (ASCVD). Hal ini dapat terjadi melalui jalur resistensi insulin, metabolisme lipid, dan inflamasi yang dapat menyebabkan disfungsi endotel. Sebaliknya, pemberian obat antitiroid seperti propiltiourasil (PTU) atau metimazol memiliki potensi untuk memperbaiki disfungsi endotel yang terjadi. PTU memiliki keunggulan dibandingkan metimazol dalam hal menghambat migrasi dan proliferasi otot polos vaskular. Studi ini bertujuan untuk mempelajari peran hormon tiroid dan pengobatannya pada pasien Graves terhadap penanda dini aterosklerosis.
Studi ini merupakan uji klinis tersamar tunggal yang dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada pasien Graves baru yang diberikan PTU atau metimazol selama 3 bulan. Kedua kelompok diperiksakan HOMA-IR,
LDL-R, NF-kB, sICAM-1, sVCAM-1 dan sE-selektin serta pulse wave velocity (PWV) dan carotid intima media thickness (cIMT) saat sebelum terapi, setelah terapi 1 bulan dan 3 bulan. Dilakukan uji Pearson atau Spearman untuk menilai korelasi antar variabel. Perubahan variabel dalam 3 bulan dinilai dengan uji repeated ANOVA. Perbedaan pada kelompok PTU dan metimazol dinilai dengan uji general linear model.
Selama bulan Juli 2019 hingga Agustus 2020, didapatkan 36 pasien Graves baru. Pada uji korelasi didapatkan konsentrasi T4 bebas berkorelasi dengan sICAM-1
(r = 0,41; p = 0,013) dan sVCAM-1 (r = 0,458; p = 0,005), begitu juga T3 total berkorelasi dengan sICAM-1 (r = 0,513; p = 0,001) dan sVCAM-1 (r = 0,567;
p < 0,001). Pada tindak lanjut 3 bulan, didapatkan 24 subjek (13 kelompok PTU dan 11 kelompok metimazol) yang menyelesaikan pemeriksaan dan mencapai eutiroid. Pada kelompok PTU, didapatkan penurunan LDL-R (p = 0,017),
sICAM-1 (p = 0,001), sVCAM-1 (p < 0,001) dan sE-selektin (p = 0,045). Pada kelompok metimazol terjadi penurunan hanya pada LDL-R (p = 0,011) dan sVCAM-1 (p = 0,001). Namun pada perbandingan kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Parameter PWV dan cIMT juga tidak berbeda bermakna.
Simpulan: Pada penelitian ini kondisi hipertiroid pasien Graves berkorelasi dengan peningkatan sICAM-1 dan sVCAM-1 sebagai penyebab aterosklerosis. Pemberian obat antitiroid dapat menurunkan LDL-R, sICAM-1, sVCAM-1 dan sE-selektin. PTU memiliki mekanisme yang berbeda dari metimazol dalam patofisiologi aterosklerosis. Akan tetapi, belum didapatkan bukti pada perubahan PWV dan cIMT

Hyperthyroidism is correlated with atherosclerosis cardiovascular disease (ASCVD). The basic mechanisms are through insulin resistance, lipid metabolism, and inflammation resulted in endothelial dysfunction. On the other hand, antithyroid drugs such as propiltiourasil (PTU) or methimazole have the potential to improve the endothelial dysfunction. PTU is believed to have a better profile than methimazole in reducing smooth muscle cells migration and proliferation. This study aims to investigate the effect of thyroid hormone and its treatment in Graves’ disease to early marker of atherosclerosis.
This study is a single-blinded clinical trial conducted in dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) to newly diagnosed Graves’ patient treated with PTU or methimazole for 3 months. Both groups were examined for LDL-R, NF-ĸB, sICAM-1, sVCAM-1, sE-selectin, pulse wave velocity (PWV) and carotid intima media thickness (cIMT) at baseline, after 1 month and 3 months treatment. Pearson or Spearman test was done to analyze correlation between tested variables. Repeated ANOVA test was done to analyze the changes in those variables during 3 months treatment. Difference between PTU and methimazole groups was analyzed with general linear model test.
From July 2019 to August 2020, 36 newly diagnosed Graves’ patients were included in the study. Correlation test showed free T4 concentration correlated to sICAM-1 (r = 0.41; p = 0.013) and sVCAM-1 (r = 0.458; p = 0.005), and total T3 also correlated to sICAM-1 (r = 0.513; p = 0.001) and sVCAM-1 (r = 0.567; p < 0.001). After 3 months follow up, 24 subjects (13 from PTU group and 11 from methimazole group) reached euthyroid state and included in the analysis. In PTU group, we found reduction in LDL-R (p = 0.017), sICAM-1 (p = 0.001),
sVCAM-1 (p < 0.001) and sE-selectin (p = 0.045). While in methimazole groups, we only found reduction in LDL-R (p = 0.011) and sVCAM-1 (p = 0.001). However, after comparing both groups, the differences were not statistically significant. We found no significant changes in PWV and cIMT parameter.
In conclusions, this study found that hyperthyroidism in Graves’ patient correlated with increase in sICAM-1 and sVCAM-1, which are the early markers of atherosclerosis. Antithyroid drugs can lower LDL-R, sICAM-1, sVCAM-1 and sE-selectin. PTU had a different mechanism in pathophysiology of atherosclerosis compared to methimazole. However, we found no evidence in PWV and cIMT changes
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Nurjannah
"Latar Belakang : Mortalitas akibat kondisi hipertiroid sebesar 20% dan peningkatan kematian sebesar 1,13x. Mortalitas akibat penyakit pada kelenjar tiroid dihubungkan dengan kejadian kardiovaskuler, salah satunya infark miokard yang diperantarai oleh mekanisme aterosklerosis. Pemeriksaan ketebalan tunika intima-media arteri karotis (CIMT) direkomendasikan untuk menilai risiko kejadian KV. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketebalan tunika intima-media pada pasien Graves kondisi hipertiroid dengan kondisi remisi.
Metode : Penelitian ini bersifat cross-sectional dengan populasi terjangkau adalah pasien Graves yang berobat ke poliklinik metabolik endokrinologi RSCM yang dilakukan pada bulan Desember 2019 hingga April 2020. Kondisi overt hipertiroid didefinisikan dengan pasien Graves yang masih memiliki gejala toksik dengan laboratorium TSH rendah dan FT4 tinggi, belum mendapat pengobatan atau belum eutiroid dalam pengobatan minimal 3 bulan. Kondisi remisi didefinisikan dengan kondisi eutiroid setelah berhenti pengobatan selama minimal 6 bulan. Pasien kemudian diambil data dan dilakukan pemeriksaan laboratorium meliputi TSH, fT4, profil lipid, gula darah dan pemeriksaan EKG. Setelahnya dilakukan pemeriksaan CIMT menggunakan USG doppler dengan software yang secara otomatis mengukur CIMT sebanyak 3x pada sisi kanan dan kiri arteri karotis, kemudian diambil nilai rata rata pemeriksaan tersebut.
Hasil Penelitian : Didapatkan 32 pasien kondisi overt hipertiroid dan 17 kondisi remisi. Median tebal tunika intima-media arteri karotis (CCA-IMT) pada subjek overt hipertiroid adalah 0,473 mm dengan rentang 0,384-0,639 mm. Median CCA-IMT pada subjek remisi adalah 0,488 mm dengan rentang 0,388-629 mm. Tidak didapatkan perbedaan rerata CIMT pada kondisi hipertiroid dan kondisi remisi (p :0,109). Dalam analisis tambahan didapatkan bahwa didapatkan adanya pengaruh usia dalam ketebalan tunika intima media pada pasien graves baik kondisi overt hipertiroid dan kondisi remisi.
Background : Mortality caused by hyperthyroid estimated around 20% and increasing risk of date 1,13 times than all-caused mortalitu. Hyperthyroid associated with cardiovascular event, such as atherosclerosis mediated myocardial infarction. Carotid intima media thickness recommended to evaluate risk of cardiovascular event. Aim of this study to compare CIMT between overt hyperthyroid and remission in Graves disease.
Method : This is cross-sectional study with targeted population was Graves patient who came in metabolic endocrinology policlinic in Cipto Mangunkusumo hospital. This study being done within December 2019 until April 2020. Overt hyperthyroid was defined as clinically toxic as well as laboratorium supported for thyrotoxicosis, treatment naïve or havent reached euthyroid within 3 month of treatment. While remission defined as clinical and laboratorium euthyroid after minimal 6 month stopping anti thyroid drugs. History, physical examination, laboratorium examination (included TSH, fT4, lipid profile, fasting blood glucose) as well as electrocardiogram obtained. CIMT evaluated in right and left artery carotid with ultrasonography that automatically count for thickness intima media then calculated means after 3 times examination. Data then collected and being analysed.
Result : we collect 32 patient in overt hyperthyroid and 17 in remission state. Median CIMT in overt hyperthyroid and in remission state was 0,473 mm and 0,488 mm, consecutively, p : 0,109. Additional multivariate analysis stated aged had correlation with carotid intima media in Graves disease.
Conclusion : there are no significant differences in carotid intima media thickness between overt hyperthyroid and remission state in Graves disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noormanto
"Tujuan Mengetahui profil lemak, faktor risiko PJK lain serta ketebalan tunika intimamedia karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini. Tempat penelitian: Poliklinik rawat jalan Anak Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek penelitian Anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini.
Metode dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, tekanan darah, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa dan ketebalan tunika intima-media karotis. Analisis data yang digunakan untuk membandingkan faktor risiko antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua PJK dini adalah x2, tes t tidak berpasangan dan regresi logistik. Untuk mengetahui perbedaan ketebalan tunika intima-media karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua mendeirita PJK dini dilakukan analisis tes t tidak berpasangan. Sedangkan untuk mencari hubungan ketebalan tunika intima-media karotis dengan profil lemak dan faktor risiko PJK lain dilakukan uji korelasi Pearson.
Hasil Sebanyak 24 anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini, terdiri 66,7% laki-laki dan 33,3% perempuan. Pada analisis bivariat diperoleh perbedaan yang bermaia7a pads indeks masa tubuh, tekanan darah diastolik dan ketebalan tunika intima media arteri karotis antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini (p= 0,035, p=0,029 dan p=0,004), tetapi dari analisis multivariat indeks masa tubuh dan tekanan darah diastolik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,083 dan p=0,094). Sedangkan umur, jenis kelamin, status merokok, perokok pasif, aktivitas anak, tekanan darah sistolik, kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, kadar gula darah puasa tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dari analisis bivariat maupun multivariat. Ketebalan tunika intima-media karotis pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungannya dengan faktor risiko PJK seperti kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, indeks masa tubuh dan umur.
Kesimpulan (1) Remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini mempunyai kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserid, tekanan darah sistolik dan diastolik serta indeks rasa tubuh rata-rata lebih tinggi tetapi secara statistik tidak bermakna disbanding kontrol; (2) Tunika intima-media karotis pada remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini lebih tebal secara bermakna dibanding kontrol; (3) Ketebalan tunika intima-media karoti; tidak ada hubungannya dengan faktor risiko PJK."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Pratiwi
"Penyakit kardiovaskular adalah penyebab nomor satu kematian akibat PTM, menurut WHO pada tahun 2015 kematian akibat penyakit kardiovaskular mewakili 31 17 juta dari total semua kematian secara global dan 7,4 juta diantaranya disebabkan oleh PJK. Di Indonesia, peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat PTM mendapat sumbangsih terbesar dari penyakit kardiovaskular, dimana PJK adalah penyakit kardiovaskular yang memiliki angka kejadian tertinggi. PJK disebabkan oleh faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Angka kejadian PJK dapat dikendalikan apabila faktor risiko dapat terkendali, mengingat terdapat faktor risiko dari PJK yang dapat dimodifikasi atau dikendalikan kondisinya. DKI Jakarta menjadi daerah kedua tertinggi dengan kejadian PJK di Indonesia. Namun, hubungan antara faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan kejadian PJK serta faktor risiko yang paling dominan diantaranya masih belum diketahui di DKI Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan kejadian PJK di DKI Jakarta serta menelusuri faktor risiko yang paling berhubungan dominan dari kejadian PJK tersebut dengan melakukan analisa lanjutan data Posbindu PTM tahun 2015-2018. Desain penelitian menggunakan desain cross sectional dan analisa dilakukan sampai tahap analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik. Dari 30.459 responden usia ge;15 tahun diperoleh prevalensi PJK sebesar 3,4 . Perilaku merokok p value= 0,000; OR= 6,53 95 CI 4,826 ndash; 8,838, kurang aktivitas fisik p value= 0,045; OR= 0,745 95 CI 0,558 ndash; 0,993, konsumsi alkohol p value= 0,000; OR= 3057,076 95 CI 1786,92 ndash; 5230,06, diabetes melitus p value= 0,000; OR= 0,161 95 CI 0,161-0,508, dan hipertensi p value= 0,000; OR= 0,284 95 CI 0,284-0,526 menjadi faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian PJK. Faktor risiko dominan dari kejadian PJK di DKI Jakarta adalah konsumsi alkohol. Upaya promotif dan preventif diharapkan lebih digencarkan guna menekan angka kejadian PJK serta perlu adanya survey lebih lanjut terkait konsumsi alkohol masyarakat mengingat konsumsi alkohol menjadi faktor dominan pada penelitian ini dan menurut literatur pengaruhnya memang besar terhadap kerusakan fungsi jantung.

Cardiovascular disease is the number one cause of death from NCD, according to WHO in 2015 deaths from cardiovascular disease represent 31 17 million of total all deaths globally and 7.4 million are caused by CHD. In Indonesia, the increase in morbidity and mortality due to NCD has the greatest contribution from cardiovascular disease, where CHD is the highest prevalence of cardiovascular disease. CHD is caused by modifiable risk factors and unmodifiable risk factors. The prevalence of CHD can be controlled if risk factors can be controlled, considering there are risk factors from CHD that can be modified. DKI Jakarta becomes the second highest area with the prevalence of CHD in Indonesia. However, the relation between modifiable risk factors and CHD and the most dominant risk factors among them remains unknown in DKI Jakarta. The aim of this study is to know how the relation between some risk factors that can be modified with CHD in DKI Jakarta and find the most dominant risk factor associated with PJK by doing further analysis of data Posbindu PTM 2015 2018. This study used cross sectional design and the analysis was done until multivariate analysis stage using logistic regression test. From 30.459 respondents aged ge 15 years, the prevalence of CHD was 3.4. Smoking behavior p value 0,000 OR 6,53 95 CI 4,826 ndash 8,838 , physical inactivity p value 0,045 OR 0,745 95 CI 0,558 ndash 0,993, alcohol consumption p value 0,000 OR 3057,076 95 CI 1786,92-5230,06, diabetes mellitus, value 0,000 OR 0,161 95 CI 0,161 ndash 0,508, and hypertension p value 0,000 OR 0,284 95 CI 0,284 ndash 0,526 are factors that have significant relations with CHD. The dominant risk factor of CHD in DKI Jakarta is alcohol consumption. Promotive and preventive efforts are expected to be intensified in order to reduce the incidence of CHD and the need for further surveys related to alcohol consumption because alcohol consumption is the dominant factor in this study and according to the literature it has great effect on heart function damage."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Aprizal Putera
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronis (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal atau perkiraan laju filtrasi glomerolus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 yang berlangsung selama 3 bulan atau lebih. Tindakan akses vaskular berupa arteriovenous fistula dapat dibuat pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalankan terapi hemodialisis. Latihan isometrik berupa handgrip exercise dilaporkan dapat meningkatkan diameter arteri radialis dan vena cephalica, peak systolic velocity (PSV), intima media thickness (IMT), dan volume flow arteri radialis (RAVF).
Tujuan: Menganalisis pengaruh handgrip exercise sebelum dan setelah tindakan pembuatan Arteriovenous Fistula Radiocephalica terhadap perubahan diameter arteri radialis dan vena cephalica, PSV, IMT, dan RAVF.
Metode: Desain pada penelitian ini adalah controlled trial yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Setelah tindakan pembuatan Arteriovenous Fistula Radiocephalica, pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol, pasien melakukan tatalaksana standar sedangkan pada kelompok intervensi, pasien melakukan tatalaksana standar dan handgrip exercise lalu kedua kelompok di follow up setelah 8 minggu.
Hasil: Total subjek penelitian sebanyak 53 orang, dimana terdapat 7 pasien yang masuk kriteria drop out, yang terdiri dari 2 pasien meninggal dan 5 pasien tidak kontrol. Usia median pada kelompok intervensi adalah 53 tahun dan pada kelompok kontrol adalah 56 tahun. Pada kelompok yang melakukan handgrip exercise, terdapat perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah latihan yaitu pada parameter diameter arteri radialis (p=0,022), diameter vena cephalica (p<0,001), PSV (p<0,001), dan volume flow arteri radialis (p<0,001). Di sisi lain, tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai IMT sebelum dan sesudah latihan hand grip (p=0,575). Sementara itu, pada kelompok kontrol ditemukan juga terdapat perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah masa follow-up terkait parameter diameter vena cephalica (p<0,001), PSV (p<0,001), dan RAVF (p<0,001). Pada parameter diameter arteri radialis (p=0,103) dan IMT (p=0,083) tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kelompok kontrol.
Simpulan: Handgrip exercise dapat meningkatkan perubahan diameter arteri radialis dan vena cephalica, PSV, dan RAVF. Tidak terdapat perubahan pada IMT setelah handgrip exercise.

Background: Chronic kidney disease (CKD) is defined as the presence of kidney damage or an estimated glomerular filtration rate (eGFR) less than 60ml/min per 1.73 square meters, persisting for 3 monts or more. Creating vascular access such as arteriovenous fistula can be done in hemodialysis therapy patients with chronic kidney disease. Isometric exercises in the form of handgrip exercise has been reported to increase the diameter of radial artery and cephalic vein, peak systolic velocity (PSV), intima media thickness (IMT), and radial artery volume flow (RAVF).
Objective: To analyze the effect of handgrip exercise before and after radiochepalic arteriovenous fistula creation on changes of the diameter of radial artery and cephalic vein, PSV, IMT, and radial artery volume flow.
Methods: The design of this research was controlled trial at Cipto Mangunkusumo Center National Hospital. After the creation of radiocephalic arteriovenous fistula, patients divided into two groups, control group and intervention group. The control group received usual care. Usual care and handgrip exercise was performed in the intervention group, both groups were assessed at 8 weeks post the creation of radiocephalic arteriovenous fistula.
Results: For 53 patients, 7 patients were dropped out, consist of 2 patients passed away and 5 patients lose control. Median age of this research subjects was 56 years old. A significant increase of diameter of radial artery (p=0,022) and cephalic vein (p<0,001), PSV (p<0,001), and radial artery volume flow (p<0,001) was observed in intervention group. Meanwhile there was no change of intima media thickness before and after handgrip exercise (p=0,575). Similarly, there was significant increase of cephalic vein diameter (p<0,001), PSV (p<0,001), and RAVF (p<0,001) and there was no significant change of radial artery diameter (p=0,103) and IMT in control group.
Conclusion: Handgrip exercise improved diameter of radial artery and cephalic vein PSV, and RAVF. There was no change of IMT after handgrip exercise
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aisya Sita Marcha
"Latar belakang: Sekitar 50% pasien penyakit Graves mengalami kekambuhan setelah obat antitiroid diberhentikan. Padahal penyakit Graves yang kambuh umumnya bersifat lebih berat, sehingga membutuhkan terapi yang lebih agresif. Dengan demikian penting untuk mengetahui faktor untuk memprediksi kekambuhan penyakit Graves. Faktor risiko kekambuhan penyakit Graves di antaranya adalah usia, tanda klinis, faktor lingkungan, serta faktor genetik. Gen SCGB3A2 merupakan salah satu gen yang berkaitan dengan penyakit Graves. Genotip AA dan GA, serta alel A gen SCGB3A2 rs1368408 diketahui merupakan faktor risiko timbulnya penyakit Graves. Namun, gen SCGB3A2 rs1368408 belum diketahui asosiasinya dengan kekambuhan penyakit Graves.
Tujuan: Mengetahui hubungan polimorfisme gen SCGB3A2 rs1368408 dengan kekambuhan penyakit Graves.
Metode: Desain penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan total 77 sampel. Sampel yang digunakan adalah DNA yang telah diisolasi dari pasien yang telah menjalani terapi obat antitiroid selama ≥12 bulan. Sampel dipilih dengan metode consecutive sampling. Data yang diambil yaitu genotip dan alotip gen SCGB3A2 rs1368408 melalui teknik tetra-primer ARMS-PCR. Sampel dikelompokkan sesuai dengan kekambuhannya dan dilihat frekuensi genotip dan alotip dari masing-masing kelompok. Data juga dianalisis dengan uji chi-square atau uji Fisher untuk melihat asosiasi genotip dan alotip gen SCGB3A2 rs1368408 dengan kekambuhan penyakit Graves.
Hasil: Frekuensi genotip pada keseluruhan sampel pasien penyakit Graves didapatkan 98,7% GG dan 1,3% GA. Pada kelompok kambuh didapatkan genotip 97,8% GG dan 2,2% GA, serta alotip 98,9% alel G dan 1,1% alel A. Sedangkan pada kelompok tidak kambuh 100% memiliki genotip GG, sehingga didapatkan frekuensi alotip 100% alel G. Dari analisis menggunakan uji Fisher, tidak didapatkan perbedaan signifikan antara genotip gen SCGB3A2 rs 1368408 dan kekambuhan penyakit Graves (p=1.000). Analisis uji Fisher pada alotip gen SCGB3A2 rs1368408 juga menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan dengan kekambuhan penyakit Graves (p=1.000).
Simpulan: Tidak terdapat asosiasi genotip atau alotip gen SCGB3A2 rs1368408 dengan kekambuhan penyakit Graves.

Background: Approximately 50% of Graves’ disease patients experience a relapse after discontinuation of antithyroid drugs. Relapsed Graves’ disease patients are generally more severe and require more aggressive therapy. Thus, it is important to know the factors that can predict the relapse of Graves’ disease. Age, clinical signs, environment, and genetic are some of the risk factors for Graves’ disease relapse. SCGB3A2 gene is one of the genes associated with Graves’ disease. Genotype GA and AA, as well as alelle A of SCGB3A2 gene rs1368408 are known to be risk factors for Graves’ disease. However, the association between SCGB3A2 gene rs1368408 and relape of Graves’ disease is not yet known.
Objective: To determine the correlation between the polymorphism of SCGB3A2 gene rs1368408 and Graves' disease relapse.
Methods: Study design of this study was cross-sectional with a total of 77 samples. The sample used in this study was DNA that had been isolated from patients who have received antithyroid drug treatment for ≥12 months. Samples were selected through consecutive sampling method. The data taken were genotypes and allotypes of SCGB3A2 gene rs1368408 using tetra-primer ARMS-PCR technique. Samples were grouped according to the incidence of relapse. The genotype and allotype frequency of each group was observed. Data were also analyzed using chi-square test or Fisher’s exact test to determine the association of genotype and allotype of SCGB3A2 gene rs1368408 with Graves’ disease relapse.
Results: The genotype frequency in the entire sample of patients with Graves’ disease was found to be 98.7% GG and 1.3% GA. In the relapse group, the genotype observed was 97.8% GG and 2.2% GA whereas the allotype frequency in this group was 98.9% G allele and 1.1% A allele. All samples in non-relapse group had GG genotype (100%), thus the allotype frequency was 100% G allele. Analysis using Fisher’s exact test showed no significant difference between genotype of SCGB3A2 gene rs1368408 and Graves’ disease relapse (p=1.000). Fisher's exact analysis of SCGB3A2 gene rs1368408 allotype also found no significant difference with Graves' disease recurrence (p=1.000).
Conclusions: There was no association between genotype or allotype of SCGB3A2 gene rs1368408 and Graves' disease relapse.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih
"Latar belakang. Pada penyakit graves (GD), konsentrasi vitamin D berbanding terbalik dengan titer antibodi dan berbanding lurus dengan status remisi. Pembentukan autoantibodi diawali dari pajanan self antigen oleh sel dendritik (DC), sebagai antigen presenting cell (APC), ke sel T naif. Kemampuan DC sebagai APC ditentukan oleh tingkat kematangannya. Sel dendritik, APC utama pada GD, bersifat lebih aktif dalam respons imun dibandingkan dengan subjek sehat. Studi pada SLE, MS, dan penyakit crohn menunjukkan efek imunoregulator vitamin D terutama melalui hambatan pematangan DC sehingga fungsi imunogenitasnya berkurang.
Tujuan. Mengetahui efek 1,25-D3 in vitro dan 1α-D3 in vivo terhadap pematangan DC pasien GD
Metode. Pada periode Mei 2014 sampai dengan Maret 2015 dilakukan studi eksperimental dan klinis, masing-masing pada 12 dan 25 pasien GD fase hipertiroid. Pada studi eksperimental, dilakukan kultur monocyte derived dendritic cell (MDDC) pasien GD dengan atau tanpa intervensi 1,25-D3 in vitro pada tahap monosit dan maturasi distimulasi dengan lipopolysaccharide (LPS). Pada studi klinis, sebanyak 12 dan 13 pasien GD, masing-masing mendapatkan 1α-D3 dan plasebo selama 8 minggu, di samping mendapatkan terapi standar PTU 100 mg 3 kali sehari. Kultur MDDC dilakukan sebelum dan sesudah suplementasi dan dilakukan perbandingan pematangan DC sebelum dan sesudah suplementasi pada kedua kelompok. Pematangan DC dilihat dari ekspresi penanda DC (HLA-DR, CD80, CD40, CD83, CD14, dan CD206) dan rasio sitokin IL-12/IL-10 pada supernatan kultur.
Hasil. Pada studi in vitro, pascastimulasi LPS, DC yang dikultur dengan 1,25-D3 menunjukkan ekspresi HLA-DR, CD80, CD40, dan CD83 lebih rendah serta ekspresi CD14 dan CD206 yang lebih tinggi dibandingkan dengan DC yang dikultur dengan LPS saja. Pada DC yang dikultur dengan 1,25-D3, didapatkan rasio IL-12/IL-10 lebih rendah daripada DC tanpa 1,25-D3. Pada studi klinis, apabila dibandingkan antara ekspresi penanda DC serta rasio IL-12/IL-10 sebelum dan sesudah suplementasi 1α-D3 selama 8 minggu, belum didapatkan perbedaan yang bermakna pada ekspresi penanda DC dan rasio sitokin IL-12/IL-10.
Simpulan. Pemberian 1,25-D3 in vitro menghambat pematangan DC pasien GD, sedangkan efek pemberian 1α-D3 in vivo terhadap pematangan DC belum dapat ditunjukkan pada penelitian ini.

Background. In graves? disease (GD), vitamin D levels is inversely proportional to antibody titer and proportionally associated with remission status. The development of autoantibody is initiated by self-antigen exposure by dendritic cells (DC) as the antigen presenting cells (APC) to the naïve T cells. The ability of DC as APC is determined by its maturity level. Dendritic cells, the major APC in GD, have more active immune responses than those in healthy subjects. Studies on systemic lupus erythematosus (SLE), multiple sclerosis (MS) and crohn?s disease have demonstrated immunoregulator effects of vitamin D, mainly through inhibition of DC maturation, which may lead to lower immunogenic function.
Aim. To identify the effect of 1,25-D3 in vitro and 1α-D3 in vivo on DC maturation in patients with GD.
Method. Our study consisted of an experimental and a clinical study started from May 2014 until March 2015, which was conducted in 12 and 25 GD patients with thyrotoxicosis, respectively. In the experimental study, cultures of monocyte derived dendritic cell (MDDC) of GD patients were performed, with or without intervention of 1,25-D3 in vitro at monocytic phase and the maturation was stimulated by lipopolysaccharide (LPS). In the clinical study, there were 12 GD patients who received 1α-D3 supplementation and 13 GD patients who received placebo for 8 weeks, in addition to the standard treatment of PTU 100 mg three times a day. MDDC cultures and comparison of DC maturation were performed before and after the supplementation for both groups. DC maturation was evaluated based on the expression of DC markers (HLA-DR, CD80, CD40, CD83, CD14 and CD206) and the ratio of cytokines IL-12/IL-10 levels in the culture supernatants.
Results. In the in vitro study and following the LPS stimulation, DC cells cultured with 1,25-D3 showed lower expression of HLA-DR, CD80, CD40 and CD83 and higher expression of CD14 and CD206 compared to DC cultured with LPS alone. DC, which were cultured with 1,25-D3 had lower ratio of IL-12/IL-10 levels than those cultured without 1,25-D3. In the clinical study, when the expression of DC marker as well as the ratio of IL-12/IL-10 levels between before and after the 8-week supplementation of 1α-D3 were compared, we found no significant difference on the expression of DC markers and the ratio of IL-12/IL10.
Conclusion. In vitro 1,25-D3 supplementation inhibits DC maturation in patients with GD; while the effects of in vivo 1α-D3 treatment on DC maturation have not been clearly demonstrated in the present study yet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Richard Hudson
"ABSTRAK
Anak yang mengalami penyakit Hirschsprung atau Malformasi Anorectal sering mengalami kurang gizi dikarenakan terjadinya distensi abdomen yang menyebabkan penurunan asupan makanan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran praktik pemberian makan dan status gizi pada anak yang mengalami penyakit Hirschsprung atau Malformasi Anorectal. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan jumlah responden 48 anak yang dipilih dengan teknik pengambilan data consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan 52,1% ibu telah melakukan praktik pemberian makan sesuai dan 76% responden memiliki status gizi normal. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dengan jumlah responden yang lebih banyak sehingga gambaran hasil penelitian dapat digeneralisasikan untuk populasi yang lebih luas.

ABSTRACT
Children suffer Hirschsprung Disease or Malformation Anorectal are often experiencing under nutrition because of distended abdomen that causes decreasing nutritional intake. This research aimed to describe feeding practice and nutritional status among children suffer Hirschsprung Disease or Anorectal Malformation.
This research used descriptive design with 48 children as respondents. The respondents were selected with consecutive sampling technique. The result showed that 52,1 % mothers had a good feeding practice and 76% of the children had normal nutritional status. Further research is expected to be done with more respondents so that the results can be generalized for the population"
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Srisadono Fauzi Adiprabowo
"Mortalitas pneumonia anak masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia hingga saat ini. Bayi dengan penyakit jantung bawaan pirau kiri kanan (PJB L-R) berisiko menderita pneumonia. Data mortalitas pneumonia pada PJB L-R dan faktor-faktor yang memengaruhi belum banyak diketahui. Penelitian kohort retrospektif ini membandingkan mortalitas pneumonia dengan PJB L-R dengan tanpa PJB. Sebanyak 129 subyek dengan rentang usia 1 bulan - 7 tahun dengan diagnosis primer pneumonia, 54 subyek dengan PJB L-R dan 75 subyek tanpa PJB. Proporsi mortalitas pneumonia dengan PJB L-R lebih banyak (57,1%) dan risiko mortalitas lebih besar (OR 2,35; IK 95% 1,06 sampai 5,18) dibandingkan pneumonia tanpa PJB. Status gizi kurang/buruk, pneumonia rekuren, dan pneumonia terkait rumah sakit (HAP) lebih banyak secara signifikan pada pneumonia dengan PJB L-R. Sedangkan, tingkat keparahan dan anemia tidak berbeda bermakna di kedua kelompok. Pneumonia dengan tingkat keparahan berat memengaruhi mortalitas secara bermakna (OR 3,24; IK95% 1,16 sampai 9,08). Pneumonia rekuren, status gizi kurang/buruk, status imunisasi tidak lengkap, anemia, dan HAP tidak terbukti berhubungan dengan mortalitas pneumonia dengan PJB L-R.

Childhood pneumonia is still a worldwide problem with high mortality. Infants with left to right shunt congenital heart disease (L-R CHD) are at risk of developing pneumonia. Pneumonias mortality in L-R CHD and its influencing factors are not well known. This retrospective cohort study analyzed mortality of pneumonia with L-R CHD with and without CHD. There were 129 subjects (age range of 1 month up to 7 years 11 months) with pneumonia as the primary diagnosis, consisting of 54 subjects with L-R CHD and 75 subjects without CHD. Mortality rate in children with L-R CHD was higher than those without CHD group (57.1%). The risk of mortality was greater (OR 2.35; 95% CI 1.06 to 5.18) compared to pneumonia without CHD. Moderate to severe malnutrition, recurrent pneumonia, and hospital acquired pneumonia (HAP) are significantly higher in L-R CHD group. Meanwhile, pneumonia severity and anemia were not significantly different in both groups. Severe pneumonia significantly affected mortality (OR 3.24; 95% CI 1.16 to 9.08). Recurrent pneumonia, moderate-to-severe malnutrition, incomplete immunization status, anemia, and HAP have not been proven to be associated with pneumonia mortality with L-R CHD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Fajri Marindra
"Latar belakang: Pada penelitian sebelumnya, kami menemukan ekspresi sitoglobin Cygb pada keloid meningkat dibandingkan kulit normal, yang disertai dengan tingkat proliferasi sel fibroblas yang tinggi. Sitoglobin dilaporkan memiliki peran sebagai penangkal ROS yang dibutuhkan pada proses proliferasi sel. Di sisi lain, beberapa penelitian telah melaporkan ambiguitas dari peran Cygb, baik sebagai tumor supresor maupun onkogen. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hambatan ekspresi gen Cygb terhadap proliferasi dan kadar ROS sel fibroblas keloid menggunakan small interfering RNA siRNA .Metode: Kami mengukur ekspresi mRNA dan tingkat protein Cygb menggunakan qRT-PCR dan ELISA, proliferasi sel menggunakan metode MTS, dan tingkat ROS menggunakan uji DCFHDA pada 3 kelompok yaitu kontrol, siRNA Cygb dan siRNA negatif. Hasil dari ketiga kelompok tersebut dibandingkan secara statistik. Kami juga menganalisis korelasi antara masing-masing variabel.Hasil: Tingkat ekspresi Cygb pada kelompok siRNA Cygb menurun dibandingkan dengan kelompok kontrol dan siRNA negatif. Sedangkan proliferasi sel dan tingkat ROS intraseluler meningkat sedikit namun signifikan pada kelompok siRNA Cygb dibandingkan dengan kelompok kontrol dan siRNA negatif. Tidak terdapat korelasi antara ekspresi Cygb dengan proliferasi sel, namun terdapat korelasi antara ekspresi Cygb dengan tingkat ROS, dan tingkat ROS dengan proliferasi sel.Kesimpulan: Pada sel fibroblas keloid, hambatan ekpresi gen Cygb menyebabkan peningkatan proliferasi sel dan kadar ROS intraseluler.
Background In our previous work, we found the expression of Cytoglobin Cygb in keloid were significantly higher than those in normal skin, which accompanied by a high rate of fibroblasts cells proliferation. Cytoglobin is reported to have a role as ROS scavenger, which is required in cell proliferation. On the other hand, some studies have reported ambiguity role of Cygb, either as a tumor suppressor or oncogene. Therefore, we plan to elucidate the role of Cygb in the regulation of ROS and the proliferation of keloid fibroblast using small interfering RNA siRNA .Methods We measured mRNA expression and Cygb protein level using qRT PCR and ELISA, cell proliferation using MTS method, and ROS level using DCFHDA assay on 3 groups control group, siRNA Cygb group and siRNA negative group. The results of the three groups were compared statistically. We also analyzed the correlation between each variable.Results The expression level of Cygb on siRNA Cygb group were decreased compared to the control and siRNA negative group. Whereas the cells proliferation and intracellular ROS levels were increased slightly but significant in siRNA Cygb compared to control and siRNA negative group. There is no correlation between Cygb expression with cell proliferation, but there is a correlation between Cygb expression with ROS level, and ROS level with cell proliferation.Conclusion In keloid fibroblast cells, inhibition of Cygb gene expression leads to increased cell proliferation and intracellular ROS levels."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>