Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148539 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ihsan Rizal
"Prevalensi periodontitis di Indonesia sangat tinggi yaitu 74,1%. Patogen keystone sebagai manipulator respons host dimediasi oleh patobion yang menjadi patogen dalam lingkungan dysbiosis yang akan memicu respons imun adaptif sehingga menyekresikan antibodi. Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keberadaan polimikrobial dengan respons imun humoral saliva berdasarkan keparahan periodontitis dan status periodontal. Desain penelitian ini adalah observasional potong-lintang. Pemeriksaan status periodontal dan pengambilan sampel saliva dilakukan pada 39 subjek periodontitis berbagai stage dan periodontal sehat. Keberadaan antigen dan respons imun humoral saliva dideteksi menggunakan teknik berbasis imunologi. Keberadaan antigen A. actinomycetemcomitans tertinggi pada kelompok periodontitis stage IV. Respons imun IgA saliva terhadap antigen F.nucleatum (p=0,014) dan C.albicans (p=0,009) menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan keparahan periodontitis. Hubungan signifikan ditemukan antara indeks plak dengan respons imun IgG saliva terhadap C.albicans. Hasil analisis menunjukkan hubungan antara indeks kebersihan mulut dengan respons imun IgA saliva terhadap antigen A. actinomycetemcomitans (p=0,008) dan C. albicans (p=0,031). Terdapat hubungan antara indeks perdarahan papila dengan respons imun IgA saliva terhadap antigen A. actinomycetemcomitans (p=0,003), F.nucleatum (p=0,002), dan C.albicans (p=0,008). Antigen A.actinomycetemcomitans, respons imun IgA serta IgG saliva terhadap antigen F.nucleatum dan C.albicans dapat menjadi biomarker keparahan periodontitis.

The prevalence of periodontitis in Indonesia remains high (74.1%). Keystone pathogens as manipulators of the host response are mediated by pathogens that become pathogens in a dysbiotic environment that will trigger antibodies. The objective was to analyze the relationship between the presence of polymicrobial and salivary humoral immune responses based on the severity of periodontitis and periodontal status. The study design was cross-sectional. Saliva sampling were performed in 39 subjects with periodontitis and healthy periodontal. The presence of antigens and immunoglobulins were detected by immunology-based techniques. The presence of A.actinomycetemcomitans antigen was higher in the stage IV periodontitis group. The salivary IgA against F. nucleatum (p=0.014) and C. albicans (p = 0.009) showed significant differences based on the severity of periodontitis. A significant relationship was found between the plaque index and salivary IgG against C. albicans. It showed a relationship between the oral hygiene index and the salivary IgA immune response against A. actinomycetemcomitans (p=0.008) and C.albicans (p=0.031). There was a relationship between the papillary bleeding index and salivary IgA against A. actinomycetemcomitans (p=0.003), F.nucleatum (p=0.002) and C.albicans (p=0.008). The A.actinomycetemcomitans antigen, the salivary IgA and IgG against F.nucleatum and C.albicans antigens can be biomarkers for periodontitis severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romilda Rosseti
"Salah satu peran protein saliva adalah sebagai sistem pertahanan rongga mulut. Tujuan: Menganalisis efek protein saliva spesifik dan non-spesifik C. albicans dari kelompok usia anak, dewasa, lansia dalam pembentukan biofilm E. faecalis in vitro. Metode: Uji biofilm dengan crystal violet. Hasil: Pembentukan biofilm E. faecalis pada protein spesifik C. albicans dari kelompok dewasa dan lansia mengalami penurunan saat inkubasi 18 jam (p≤0.05). Pembentukan biofilm E. faecalis pada protein non-spesifik C. albicans dari ketiga kelompok usia mengalami peningkatkan saat inkubasi 6 jam dan 18 jam (p≤0.05). Kesimpulan: Protein spesifik C. albicans pada kelompok dewasa dan lansia menurunkan pertumbuhan bakteri E. faecalis. Protein non-spesifik C. albicans meningkatkan adhesi dan pertumbuhan bakteri E. faecalis.

One of the function of salivary proteins, it works as the first line of defense in the oral cavity. Objectives: to analyse the effect of specific and non specific salivary protein to C. albicans from children, adults and elderly on E. faecalis biofilm formation in vitro. Methods: Crystal violet assay. Results: Biofilm formation of E. faecalis on specific salivary protein to C. albicans, from adults and elderly, decreases when incubated for 18 hours (p≤0.05). Biofilm formation of E. faecalis on non-spesific salivary protein to C. albicans, from children, adults and elderly, increases when incubated for 6 hours and 18 hours (p≤0.05). Conclusion: Spesific salivary protein to C. albicans, from adults and elderly, decreases the growth of E. faecalis. Non-spesific salivary protein to C. albicans increases the adhesion and growth of E. faecalis."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Priska Melinda
"Latar belakang: Propolis memiliki efek antifungal. Universitas Indonesia sedang mengembangkan permen mengandung propolis yang diduga dapat menghambat pertumbuhan C.albicans.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak propolis dan permen propolis terhadap pertumbuhan C.albicans.
Metode: Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak propolis diuji menggunakan metode spektrofotometri serta jumlah koloni C.albicans pasca pemaparan ekstrak dan permen propolis dihitung secara langsung.
Hasil: Nilai KHM dicapai pada konsentrasi 10%, nilai KBM dicapai pada konsentrasi 15%; serta terdapat penurunan jumlah koloni jamur pasca pemaparan ekstrak dan permen propolis.
Kesimpulan: Ekstrak dan permen propolis terbukti efektif menghambat pertumbuhan C.albicans.

Background: Propolis has antifungal effect. Universitas Indonesia has been developing propolis candy which can inhibit C.albicans growth.
Objective: This research was aimed to analyze effect of propolis extract and candies to C.albicans growth.
Methods: After C.albicans were exposed to propolis extract and candies, Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) were determined by spectrophotometry and post-exposure colonies of C.albicans were counted.
Result: MIC of propolis extract against C.albicans were determined at 10% and MBC at 15%, also the amount of C.albicans colonies were decreased after propolis extract and candies exposure.
Conclusion : Propolis extract and candies were effective to inhibit C.albicans growth.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rista Lewiyonah
"Salah satu faktor virulensi Candida albicans adalah kemampuannya dalam membentuk biofilm sehingga meningkatkan resistensi terhadap agen antifungal. Fase awal merupakan prasyarat terbentuknya biofilm serta ditandai dengan adhesi dan proliferasi sel C. albicans. Temulawak merupakan tanaman khas Indonesia dan dilaporkan memiliki efek antifungal karena mengandung zat aktif yaitu xanthorrhizol. Penelitian ini dilakukan dengan MTT assay untuk mengukur viabilitas C. albicans pada biofilm setelah pemaparan ekstrak etanol temulawak secara in vitro.
Hasil penelitian menunjukkan ekstrak dengan konsentrasi 35% dapat menurunkan viabilitas C. albicans setara dengan nystatin. Ekstrak etanol temulawak terbukti memiliki efek antifungal terhadap C. albicans pada biofilm fase adhesi dan proliferasi.

Candida albicans has the ability to form biofilm that increase resistance to antifungal agents. Early phase is a prerequisite, characterized by adhesion and proliferation. Java turmeric is an Indonesian medicinal plants and reported to have antifungal effect due to its active component, xanthorrhizol. This study was conducted using MTT assay to measure viability of C. albicans in biofilm after exposure to Java Turmeric ethanol extract.
The result showed extract in 35% concentration can reduce the viability of C. albicans equal to nystatin’s capability. Java Turmeric ethanol extract has antifungal effect against C. albicans in adhesion and proliferation phase of biofilm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S641607
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathaniel Melvin
"Latar belakang: Temulawak yang mengandung xanthorrhizol diketahui memiliki efek antijamur. Xanthorrhizol dilaporkan mampu mengeradikasi biofilm Candida albicans.
Tujuan: Menganalisis korelasi antara efek hambat ekstrak etanol temulawak EET dengan perkembangan biofilm C. albicans isolat klinis pada berbagai fase, serta mengamati gambaran mikroskopis biofilm C. albicans.
Metode: Uji MTT digunakan untuk menguji viabilitas C. albicans pada biofilm dan dikonversikan persen hambat ekstrak etanol temulawak KHBM50 . Efek EET terhadap gambaran mikroskopis setiap fase perkembangan biofilm C. albicans diamati dengan Scanning Electron Microscopy.
Hasil: Nilai Konsentrasi Hambat Biofilm Minimal KHBM50 EET terhadap biofilm C. albicans isolat klinis pada fase awal, menengah, dan maturasi secara berturut-turut adalah 20 , 30 , dan 35 . Gambaran mikroskopis pada setiap fase perkembangan biofilm C. albicans terlihat penurunan jumlah sel dan densitas C. albicans, serta terhambatnya pembentukan filamen dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan.
Kesimpulan: EET mampu menghambat perkembangan fase awal, menengah, dan maturasi biofilm C. albicans isolat klinis. Semakin matur fase perkembangan biofilm, C. albicans akan semakin resisten terhadap ekstrak temulawak. Paparan ekstrak temulawak memengaruhi kemampuan C. albicans isolat klinis dalam membentuk filamen serta menurunkan jumlah sel dan densitas biofilm.

Background: Javanese turmeric which contains xanthorrhizol is known to have antifungal effect. Xanthorrhizol is reported to be able to eradicate Candida albicans' biofilm formation.
Objective: Analyze the correlation between inhibition concentration of Javanese turmeric ethanol extract JTEE and each development phase of C. albicans' biofilm, and observing microscopic appearance of each phase of C. albicans biofilm.
Method: MTT assay was used to test the viability of C. albicans towards biofilm and converted to Minimum Biofilm Inhibitory Concentration MBIC50 . JTEE' s effect on each phase of microscopic appearance of C. albicans' biofilm is observed by Scanning Electron Microscopy.
Result: MBIC50 of JTEE towards development of clinical isolate of C. albicans' biofilm in the early adhesion and proliferation , intermediate, and maturation phase as follows 20, 30, and 35 respectively. The microscopic appearance on each phase of C. albicans' biofilm development shows decrease in cell number and density, as well as inhibiton of filament formation compared with control group.
Conclusion: JTEE can inhibit the development phases of C. albicans' biofilm. The potency of JTEE to inhibit development of C. albicans' biofilm was decreased along with the maturation of biofilm. The JTEE' s exposure leads to changes of microscopic appearance of C. albicans' biofilm development.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winasih
"ECC terjadi akibat pembentukan biofilm Mutans streptococci dan Candida albicans yang sangat dipengaruhi oleh kualitas saliva.
Objektif: Menganalisis pengaruh saliva autolog stimulated yang diisolasi dari ECC terhadap pembentukan biofilm Mutans streptococci dan Candida albicans secara in vitro.
Metode: Uji biofilm Mutans streptococci dan Candida albicans ATCC 10231 dengan atau tanpa saliva autolog stimulated dilakukan dengan crystal violet binding assay.
Hasil: Terdapat perbedaan antara pembentukan biofilm Mutans streptococci, Candida albicans dan multi-species dengan atau tanpa saliva, namun dengan uji t-test tidak berbeda bermakna (p>0,05).
Kesimpulan: Saliva autolog stimulated mempengaruhi pembentukan biofilm Mutans streptococci dan Candida albicans serta ada kecendrungan pembentukan biofilm lebih tinggi pada multi-species.

ECC occurs as a result of Mutans streptococci and Candida albicans which is influenced by the quality of saliva.
Objective: Analyze the effects of stimulated autolog saliva that isolated from ECC to the biofilm formation Mutans streptococci and Candida albicans in vitro.
Methods: Mutans streptococci and Candida albicans ATCC 10231 biofilm with the application of stimulated autolog saliva was tested using crystal violet binding assay.
Result: There were differences of Mutans streptococci, Candida albicans and multi-species biofilm mass formation with or without saliva, but with t-test not significantly different (p>0,05).
Conclusion: Autolog saliva influences Mutans streptococci and Candida albicans biofilm formation and there is a tendency of higher multi-species biofilm formation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanya Aurellian Kusuma
"ABSTRAK
Latar Belakang: Early Childhood Caries (ECC) merupakan adanya satu atau lebih gigi berlubang, hilang, atau ditambal pada anak anak dengan usia sampai dengan 71 bulan. Mikroorganisme utama dari karies adalah Streptococcus mutans yang terklasifikasi menjadi empat, yaitu serotipe c, e, f, dan k. Menurut penelitian sebelumnya, ditemukan banyak Candida albicans pada plak anak dengan ECC, namun interaksinya dengan Streptococcus mutans belum diketahui secara pasti. Tujuan: Menganalisis kuantitas dan hubungan dari antigen Streptococcus mutans serotipe e dengan Candida albicans pada plak anak dengan karies dini serta bebas karies dikaitkan dengan laju alir saliva. Metode: Kuantitas antigen dari 36 sampel plak karies dan 14 sampel bebas karies diketahui melalui uji ELISA kemudian dikaitkan dengan laju alir saliva. Hasil: Perbandingan antara kuantitas kedua antigen pada laju alir saliva <30 detik didapatkan nilai 0,000 dan pada laju alir 30-60 detik sebesar 0,001. Hubungan antara kuantitas Streptococcus mutans serotipe e dan Candida albicans pada plak karies didapatkan nilai r = 0,639 dan r = 0,247 untuk plak bebas karies. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara kuantitas kedua antigen pada masing-masing tingkat laju alir saliva dan terdapat korelasi positif antara kuantitas antigen Streptococcus mutans serotipe e dengan Candida albicans pada plak karies dan plak bebas karies. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iednita Cahyadahrena
"Latar Belakang: Early childhood caries (ECC) merupakan penyakit kronik infeksius yang sering terjadi pada anak usia prasekolah, ditandai dengan adanya satu atau lebih gigi yang rusak atau hilang atau ditambal akibat karies. ECC disebabkan oleh mikroorganisme kariogenik seperti S. mutans serotype e dan Candida albicans. Faktor laju alir saliva pada dorsal lidah dapat memengaruhi perkembangan ECC. Tujuan: Menganalisis kuantitas antigen S. mutans serotype e dan antigen Candida albicans yang diisolasi dari dorsal lidah serta kaitannya dengan laju alir saliva anak ECC dan caries free. Metode: S. mutans serotype e dan Candida albicans dari dorsal lidah sampel ECC dan caries free diuji menggunakan indirect ELISA untuk memperoleh antigen dan dibaca dengan panjang gelombang 450 nm, kemudian nilai optical density kedua antigen tersebut dikorelasikan dengan laju alir saliva anak ECC dan caries free. Hasil: Tidak terdapat perbedaan (p>0,05) kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans pada anak ECC dan caries free. Terdapat kecenderungan hubungan positif antara kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans pada anak ECC dan caries free. Kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans paling tinggi ditemukan pada laju alir saliva normal anak ECC. Kesimpulan: Kuantitas antigen Streptococcus mutans serotype e lebih banyak ditemukan pada dorsal lidah anak ECC dibandingkan dengan antigen Candida albicans. Pada laju alir saliva normal anak ECC dan caries free terjadi peningkatan kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans.

Background: Early childhood caries (ECC) is a chronic infectious disease that often occurs in preschool children, characterized by the presence of one or more teeth that are damaged or missing or restored due to caries. ECC is caused by cariogenic microorganisms such as S. mutans serotype e and Candida albicans. Salivary flow rate in the dorsal tongue can influence the development of ECC. Objective: To analyze the quantities of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens isolated from the dorsal tongue and their relation to the salivary flow rate in ECC and caries free children. Method: S. mutans serotype e and Candida albicans from the dorsal tongue of children with ECC and caries free children were tested using indirect ELISA to obtain the antigens and they were being read with wavelengths of 450 nm, then the optical density values of the two antigens were correlated with the salivary flow rate of ECC and caries free children. Result: There was no significance (p> 0.05) quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens in ECC and caries free. There is a tendency for a positive correlation between quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens in ECC and caries free children. The highest quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens was found in the normal salivary flow rate of ECC children. Conclusion: Quantity of Streptococcus mutans serotype e antigens were higher than Candida albicans in the dorsal tongue of ECC children. At the normal salivary flow rate of ECC and caries free children, there was an increase quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Khoirowati
"Periodontitis adalah penyakit inflamasi yang berhubungan dengan bakteri, terutama bakteri red complex. Penuaan dapat mengubah kemampuan untuk merespons berbagai rangsangan dan kondisi fisik. Pertahanan host, Lingkungan rongga mulut, dan virulensi bakteri yang memengaruhi status periodontal dan kuantitas bakteri red complex. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan dan hubungan antara status periodontal dengan kuantitatif bakteri red complex pada lanjut usia. Studi klinis ini meneliti 20 subjek dewasa sebagai kontrol dan 20 subjek lanjut usia penderita periodontitis. Pengukuran klinis dengan penilaian Papillary Bleeding Index dan Oral Hygiene Index score. Koleksi plak subgingiva diperoleh dari gigi dengan kedalaman probing 5-7 mm menggunakan paper point. Analisis kuantitatif bakteri red complex dengan RT-PCR. Hasil Uji Mann- Whitney Upada perbandingan status periodontal antara kedua kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05), namun sebaliknya terdapat perbedaan bermakna untuk kuantitas ketiga bakteri red complex pada tiap kelompok (p<0,05). Uji Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara kuantitas bakteri dengan skor kebersihan mulut dan secara statistik hanya P. gingivalis yang berhubungan dengan kuantitas bakteri (p<0,05). Hasil penelitian menyimpulkan pada kedua kelompok memiliki status periodontal yang buruk dengan kuantitas bakteri red complex lebih tinggi pada kelompok lansia. Hubungan antara OHIS dan PBI dengan bakteri red complex menunjukkan hasil positif.

Periodontitis is an inflammatory disease associated with bacteria, especially the red complex bacteria. Aging can change the ability to respond to various stimuli and physical conditions. Host defense, oral environment, and bacterial virulence influencing periodontal status and red complex bacteria quantity. This study aims to analyze the comparison and relationship between periodontal status and quantitative red complex bacteria in the elderly. This clinical study examined 20 adult and 20 elderly subjects with periodontitis. Clinical measurement with Papillary Bleeding Index and Oral Hygiene Index scores. The subgingival plaque collection was obtained from the teeth with a probing depth of 5-7 mm using paper points. Quantitative analysis of red complex bacteria by RT-PCR. The results of the Mann-Whitney U test on the comparison of periodontal status between the two groups showed no significant difference (p>0.05), but on the contrary there was a significant difference for the quantity of the three red complex bacteria in each group (p<0.05). Spearman's test showed that there was a relationship between the quantity of bacteria and the oral hygiene score and statistically only P. gingivalis was associated with the quantity of bacteria (p<0.05). The results of the study concluded that both groups had poor periodontal status with a higher quantity of red complex bacteria in the elderly group. The relationship between OHIS and PBI with red complex bacteria showed positive results."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Basri A. Gani
"Latar Belakang. Candida albicans (C. albicans) merupakan flora normal rongga mulut sebagai agen utama infeksi kandidiasis oral. Asap rokok dilaporkan sebagai salah satu faktor peningkatan biofilm dan transisi perubahan morfologi C. albicans. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran cigarette smoke condensate (CSC) terhadap pembentukan biofilm dan transisi perubahan morfologi C. albicans isolat saliva. Metode Candida albicans isolat saliva perokok dikultur pada CHROM Agar dan disetarakan dengan Mc. Farland 0,5 (1 × 108 CFU/ml). Selanjutnya diuji potensi pembentukan biofilm berdasarkan optikal densitas spektrofotometri pada panjang gelombang 620 nm yang hasilnya dianalisis dengan one way anova. Sedangkan transisi perubahan morfologi sel C. albicans setelah disensitisasi dengan CSC kretek dan non-kretek diamati dengan mikroskop pada pembesaran 1000x. Hasil. Akititas CSC non kretek lebih kuat menginduksi pembentukan biofilm dibandingkan dengan CSC kretek, khususnya pada waktu 24, 48, dan 72 jam (p<0,05) dibandingkan masa inkubasi 12 jam, dengan korelasi yang sangat kuat (p<0,01), hal ini sejalan dengan profil massa biofilm yang diamati secara visual dengan mikroskop. Hasil tersebut sejalan dengan transisi perubahan morfologi C. albicans dari blastospora ke bentuk psudohypha dan hypha yang diinduksi dengan CSC non-kretek lebih baik dibandingkan dengan CSC kretek dan C. albicans isolat saliva (tanpa sensitisasi dengan CSC). Kesimpulan. CSC kretek dan non-kretek dapat meningkatkan pembentukan biofilm Candida albicans isolat saliva, sekaligus mempercepat perubahan transisi morfologi dari blastospora menjadi pseudohypha dan hypha.

Candida albicans (C. albicans) is a commensal of oral cavity and the main agent of oral candidiasis. Cigarette smoke is reported as predispose factors of biofilm formation and transition of morphological changes of C. albicans. This study to analyze the role of cigarette smoke condensate (CSC) on biofilm formation and transition of morphological changes of C. albicans saliva isolates. Candida albicans smoker saliva isolate is cultured on CHROM-Agar and synchronized with Mc. Farland 0.5 (1×108 CFU/ml). Biofilm assay based on spectrophotometric density at 620 nm wavelength and data analyzed by one way ANOVA. The biofilm mass and transition of morphological changes of C. albicans cells was observed by light microscope at 1000x magnification. Result study shown The CSC no-kretek strongly induced the formation of biofilms compared with CSC kretek, particularly at 24, 48, and 72 hours (P<0.05) compared to the 12-hour, correlation (P<0.01) in accordance with the biofilm mass observed by light microscope also consistent the transition of C. albicans morphological changes from blastospora to pseudohypha and hypha (P<0,05). CSC kretek and non-kretek could increase the biofilm formation of Candida albicans saliva isolates, simultaneously accelerating the morphological transition changes from blastospora to pseudohypha and hypha."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>