Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89898 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pasaribu, Shintya Florentina
"Persaingan yang sengit dalam industri K-Pop mendorong agensi K-Pop untuk terus berkreasi dan mencoba berbagai konsep, termasuk diantaranya konsep girl-crush yang dewasa ini mulai banyak digunakan oleh grup K-Pop perempuan seiring dengan berkembangnya gerakan feminisme di dunia. Blackpink adalah grup K-Pop perempuan yang paling sukses membawakan konsep girl-crush. Hanya empat tahun setelah debut, Blackpink berhasil mendapatkan gelar sebagai grup perempuan terbesar di dunia. Bagaimana Blackpink dapat membangun identitasnya dengan cepat, kuat, dan solid? Setelah menelusuri sumber seperti jurnal, website resmi, dan artikel media yang membahas mengenai Blackpink, ditemukan bahwa pembentukan identitas Blackpink sesuai dan memenuhi enam komponen model identitas brand oleh de Chernatony (1999) yang terdiri dari visi (vision), budaya (culture), pemosisian (positioning), kepribadian (personality), relasi (relationship), dan presentasi (presentation).

Fierce competition in the K-Pop industry encourages K-Pop agencies to continue to be creative and try various concepts, including the girl-crush concept which is currently being widely used by female K-Pop groups along with the development of the feminism movement in the world. Blackpink is the most successful female K-Pop group in bringing the girl-crush concept. Only four years after its debut, Blackpink managed to get the title as the biggest girl group in the world. How can Blackpink build its identity quickly, strongly, and solidly? After browsing sources such as journals, official websites, and media articles discussing Blackpink, it was found that the formation of Blackpink's identity fits and fulfills the six components of de Chernatony's (1999) brand identity model consisting of vision, culture, positioning, personality, relationship, and presentation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ilham Prasanto
"sejak era awal mula kepopuleranya, festival Musik telah memegang peran yang penting bagi berbagai brand sebagai salah satu alat pemasaran strategis. Hampir semua industri telah memanfaatkan festival musik sebagai platform untuk memasarkan brand branda, mulai dari brand yang lebih lumrah seperti Spotify dan Heineken hingga brand yang kurang lumrah seperti Google dan Mercedes-Benz, hal tersebut menunjukkan bahwa festival musik memiliki posisi yang kuat di dunia pemasaran. Dengan demikian, makalah konseptual ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pengalaman konsumen dalam festival musik dan bagaimana keterkaitannya dengan hubungan konsumen terhadap brand-tersebut serta bagaimana perkembangan terkini dalam studi pemasaran dapat membantu memaksimalkan penggunaan festival musik sebagai platform pemasaran untuk berbagai brand.

Music Festivals has played a significant role as a strategic marketing tool for brands since the early era of music festivals. Brands across all industries have used music festivals as a platform to market their brand, from the more related brands such as Spotify and Heineken to less related brands like Google and Mercedes-Benzes, this shows that music festival has a strong position in the marketing world. Thus, this conceptual paper aims to explore more about what factors could affect the experience of consumer in music festival and how does its linkage with the consumer-brand relationship and how the recent development in the marketing studies could help maximize the use of music festival as a marketing platform for brands."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ganendra Satria
"Brand communities and brand tribes have been observed in the marketing literature for decades. However, scholars still debate its basic attributes, making use of these attributes interchangeably without acknowledging the relationships that emanate from the brand community and its potential to develop into a brand tribe. This paper aims to suggest that the brand tribe and brand community have a positive relationship. Looking at the potential of the brand tribe mentioned in the previous study, companies could benefit from growing the brand community into a brand tribe. Thus, several attributes of brand community that can be developed into tribal brand attributes will be identified in this paper.

Komunitas merek dan suku merek telah diamati dalam literatur pemasaran selama beberapa dekade. Namun, para sarjana masih memperdebatkan atribut dasarnya, memanfaatkan atribut ini secara bergantian tanpa mengakui hubungan yang berasal dari komunitas merek dan potensinya untuk berkembang menjadi suku merek. Makalah ini bertujuan untuk menyarankan agar suku merek dan komunitas merek memiliki hubungan yang positif. Melihat potensi suku merek yang disebutkan dalam studi sebelumnya, perusahaan dapat memperoleh manfaat dari menumbuhkan komunitas merek menjadi suku merek. Dengan demikian, beberapa atribut komunitas merek yang dapat dikembangkan menjadi atribut merek suku akan diidentifikasi dalam tulisan ini."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiffany Kristie
"Pariwisata merupakan sektor yang berperan penting dalam pembentukkan citra dan reputasi Korea Selatan. Namun pandemi Covid-19 menimbulkan dampak yang cukup signifikan pada sektor pariwisata Korea Selatan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 2020, Pemerintah Korea Selatan bersama Korea Tourism Organization (KTO) mulai menggencarkan strategi nation branding daring yang mengedepankan sektor pariwisata. Salah satu caranya adalah melalui video musik Feel the Rhythm of Korea yang ditayangkan di YouTube. Penelitian ini ingin menganalisis pelaksanaan strategi branding negara Korea Selatan melalui seri video musik Feel the Rhythm of Korea (Season 1 dan 2, serta ITZY version) sebagai bagian dari brand pariwisata untuk meningkatkan sektor pariwisata Korea Selatan setelah pandemi Covid-19. Metode pada penulisan ini adalah analisis isi menggunakan analisis Semiotika Barthes berdasarkan empat elemen dari konsep nation branding serta konsep place branding: tourism branding. Hasil temuan dan analisis menunjukkan bahwa keempat elemen utama nation branding serta konsep place branding: tourism branding berhasil teridentifikasi dan terimplementasi dalam sepuluh video musik Feel the Rhythm of Korea yang dipilih. Oleh karena itu, strategi nation branding Korea Selatan melalui seri video musik Feel the Rhythm of Korea (Season 1 dan 2, serta ITZY version) sebagai bagian dari brand pariwisata Imagine Your Korea telah dilaksanakan dengan cukup baik.

Tourism is a sector that plays essential role in shaping the image and reputation of South Korea. However, the Covid-19 pandemic has had a significant impact on the South Korean tourism sector. To overcome this, in 2020, the South Korean Government and the Korea Tourism Organization (KTO) began to intensify an online nation branding strategy that prioritizes the tourism sector. One way is through Feel the Rhythm of Korea, music video series which is aired on YouTube. This study wants to analyze the implementation of South Korean nation branding strategy through the music video series Feel the Rhythm of Korea (Season 1 and 2, and ITZY version) as part of the tourism brand to improve South Korea's tourism sector after the Covid-19 pandemic. The method used in this study is content analysis using Barthes Semiotics analysis based on four main elements of the concept of nation branding and the concept of place branding: tourism branding. The findings and analysis show that the four main elements of nation branding and the concept of place branding: tourism branding have been identified and implemented in ten selected Feel the Rhythm of Korea music videos. Therefore, South Korea's nation branding strategy through the music video series Feel the Rhythm of Korea (Season 1 and 2, and ITZY version) as part of the Imagine Your Korea tourism brand has been implemented quite well."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rorissa Rossiana Austin
"Istilah 'boy/girl band' pertama kali muncul di Amerika pada awal era 1950an. Bersama dengan boy/girl band dari Eropa, mereka mencapai era keemasannya pada tahun 1990an. Eksistensi boy/girl band Barat memberi pengaruh pada negara Timur untuk ikut memproduksi boy/girl band. Saat ini, semua orang dapat melihat bagaimana Korea mengambil alih popularitas boy/girl band melalui fenomena global yang disebut 'K-pop' (Korean Pop). Lalu Indonesia sebagai salah satu negara Timur, mengikuti fenomena global tersebut dengan mengikuti boy/girl band dari Korea. Artikel jurnal ini membahas bagaimana penampilan boy/girl band dari Indonesia, termasuk fashion, pertunjukkan diatas panggung, dan musik, menyerupai boy/girl band Korea. Artikel jurnal ini juga membahas bagaimana boy/girl band Indonesia menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan penggemar mereka yang sekaligus untuk menjaga identitas mereka ditengah pengaruh Korea dan Barat.

The term 'boy/girl bands' first appeared in the U.S in early 1950s. Along with boy/girl bands from Europe, they reached their golden era in 1990s. The existence of Western boy/girl bands influenced Eastern countries to also create boy/girl bands. Nowadays, people can see that Korea takes over the popularity of boy/girl bands through the global phenomenon called 'K-Pop' (Korean Pop). Then, Indonesia follows this global phenomenon by imitating the Korean boy/girl bands. This paper shows that Indonesian boy/girl bands appearance, including their fashion, performance and music, resemble Korean boy/girl bands in many aspects. It also discusses how Indonesian boy/girl bands use Bahasa Indonesia to communicate with their audience and keep their identity in spite of the Korean and Western influence.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Elieser Wahyu Bagus Prakoso Priambodo
"Fenomena budaya K-pop menyebar ke seluruh dunia melalui berbagai saluran, salah satunya melalui Twitter. Twitter, sebagai sosial media, mendorong individu pada gagasan yang tidak terbatas dalam mengekspresikan dirinya, sehingga muncul pembentukan persona baru bagi fandom lewat penggunaan akun penggemar. Eksplorasi terhadap akun-akun penggemar K-Pop dalam Twitter dilakukan dengan menggunakan metode etnografi digital yaitu melalui observasi partisipan dan wawancara, membantu memberikan gambaran jelas mengenai identitas baik secara individu maupun kolektif. Identitas akun penggemar K-pop secara umum ditampilkan lewat penggunaan idola K-pop sebagai foto profil mereka atau ava. Tulisan ini mengambil penggemar Stray Kids, yang mengidentifikasi diri mereka sebagai ‘STAY,’ yang berinteraksi secara aktif di Twitter sebagai subyek penelitian. Menelusuri identitas melalui perspektif penggemar serta penggunaan kolektif emoji mur dan baut pada akun mereka berhasil menunjukkan adanya keterkaitan antara identitas dan aktivitas sosial yang dilakukan oleh individu.

The K-pop culture phenomena have been globalized through many channels, one of which is Twitter. Twitter, as a social media, expose individuals to a limitless idea of expressing themselves, thus creating new personas for fandoms through fan accounts. The exploration of K-Pop fans’ Twitter account utilize digital ethnographic methods of observation on participants and interview helps to give a clear view on the identity of fan accounts both individually and collectively. The identity of K-pop fan accounts are mainly represented with the usage of K-pop idols as their profile picture or ava. This literature is taking Stray Kids fans, who identify themselves as ‘STAY’, that are actively interacting on Twitter as the subject of interest. Analyzing identities through the perspective of fans and collective usage of nuts and bolts emojis on their account shows the correlation between identity and social activities done by individuals."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isabel Rehmalemna
"Dalam memasarkan produk atau jasa dikenal konsep merk atau brand. Kegunaannya untuk mengidentifikasi sekaligus membedakan produk atau jasa yang dipasarkan dengan produk atau jasa sejenis. Merk atau brand juga berfungsi membangun hubungan produk atau jasa dengan konsumennya. Hubungan tersebut tercermin dalam identitas merk, yaitu gabungan berbagai komponen merk yang ingin dipresentasikan perusahaan kepada publik, baik yang terlihat maupun tak terlihat. Artikel ini ingin melihat bagaimana Azarine, sebuah brand kecantikan lokal, membangun dalam kolaborasinya dengan Red Velvet yang memindahkan konsep “Red” mereka dengan mengacu pada Meaning Transfer Model (MTM) oleh McCracken (1989). Teori ini menganalisis bagaimana makna yang dimiliki selebriti dipindahkan kepada merk yang direpresentasikan selebriti tersebut. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi literatur dan analisis materi promosi Azarine. Hasilnya, tiga dimensi makna personality, physical appearance, dan performance dalam konsep “Red” oleh Red Velvet yang cantik alami, cerah, dan ceria dicerminkan dan direpresentasikan dalam identitas merk Azarine melalui presentasi produk kolaborasinya dan keseluruhan materi promosinya.

In marketing products or services, there is a term named brand as a means to identify a product or service as well as distinguishing it from similar product or service in the market. Additionally, a brand serves to establish a relationship between the product or service and its consumers. This relationship is reflected in the brand identity, a term that comprises both tangible and intangible components that a company aims to present to the public. This article aims to see how Azarine, a local beauty brand, constructs its brand identity in collaboration with Red Velvet, specifically by adopting the "Red" concept, basing it on McCracken's Meaning Transfer Model (MTM) (1989). This theory analyzes how the meanings associated with a celebrity are transferred to the brand represented by that celebrity. The methods employed in this writing include literature review and analysis of Azarine's promotional materials. The findings reveal that the three dimensions of meanings which consisted of personality, physical appearance, and performance inherent in Red Velvet's "Red" concept— characterized by natural beauty, brightness, and cheerfulness—are reflected and represented in Azarine's brand identity through the presentation of collaborative products and overall promotional materials.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Arindya Laksmidewi Marghaputra
"Pandemi Covid-19 yang memaksa kita untuk menjaga jarak menjadi tantangan bagi industri hiburan musik. Konser tur antar negara, temu penggemar dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh brand industri musik untuk membentuk pengalaman audiens terpaksa harus ditiadakan. Dalam menghadapi kondisi ini, para pemasar industri hiburan musik memanfaatkan teknologi dan membuat konser virtual sebagai bentuk strategi experiential marketing. Tulisan ini akan menganalisis apakah konser virtual telah memenuhi pilar keberhasilan strategi experiential marketing dibandingkan dengan konser offline. Terdapat sebelas pilar keberhasilan experiential marketing yakni remarkable, shareable, memorable, measurable, relatable, personal, targetable, connectable, flexible, engageable dan believable. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus komparatif dengan membandingkan satu variabel pada dua sampel yang berbeda atau waktu yang berbeda. Dalam pengaplikasiannya, konser virtual maupun konser offline memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Teknologi augmented reality dan grafis 3D dalam konser virtual menciptakan pengalaman unik melalui efek panggung seolah-olah visual tersebut nyata, sehingga tercipta pengalaman mendalam yang dimana secara psikologis audiens merasa menjadi bagian dari lingkungan virtual tersebut sehingga timbul perasaan nyata ‘berada disana’. Namun, teknologi tidak dapat menggantikan pengalaman yang didapat melalui interaksi tatap muka. Teknologi justru menciptakan cara interaksi baru dan pengalaman unik yang berbeda dari interaksi langsung.

Covid-19 pandemic forces us to practice physical distancing. This condition leads to a new challenge, especially for the music entertainment industry. Many activities that build the audience's experience such as world tour concerts and fan meetings had to be eliminated. In facing this challenge, music industry marketers take advantage of technology and create virtual concerts as a form of experiential marketing strategy. This study aims to analyze whether virtual concerts have met the pillars of successful experiential marketing strategy compared to offline concerts. There are eleven pillars of experiential marketing such as remarkable, shareable, memorable, measurable, relatable, personal, targetable, connectable, flexible, engageable, and believable. The research method used is a comparative case study, comparing one variable in two different samples or at different times. Study results revealed that both virtual concerts and offline concerts have their respective advantages and disadvantages. Augmented reality technology and 3D graphics used in virtual concerts create a unique experience through stage effects as if the visuals are real, this visualization creating an immersive experience where the audience psychologically become one with the virtual environment and a sense of "being there" arises. However, technology cannot replace the experiences gained through face-to-face interactions. Instead, technology creates a new way of interacting and a unique audience experience. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Cyndi Adissa Lianita
"Fenomena pembentukkan identitas brand melalui ruang interior ritel telah terjadi sejak dulu dengan tujuan memperkenalkan diri kepada konsumen. Ritel yang merupakan tempat bertemunya brand dengan konsumen menjadi media untuk menyampaikan identitas, pesan dan nilai yang dimiliki oleh brand tersebut. Berdasarkan isu tersebut, cara merepresentasikan identitas brand ke dalam ritel dan pengaruhnya terhadap konsumen menjadi dasar pertanyaan dalam kajian ini. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, dilakukan pembahasan melalui studi literatur dan studi kasus mengenai elemen interior dalam ritel. Hasil yang didapatkan dari kajian ini adalah adanya perbedaan arti dan nilai pada tiap elemen interior yang digunakan dalam ritel sesuai dengan identitas yang dimiliki oleh suatu brand.

It is a fact that the formation of brand identity through interior space has become a vital part in order to attract consumers widely. Retail space is a meeting place between brand and consumers, thus it become a means to convey identity, message, and value of a brand. Based on these issues, the means to convey brand identity to retail space and its influences to consumers will be the main issue of this paper. To discover these issues, study of literature and case studies about interior elements in retail space will be conducted. Results obtained from this paper is the difference in meaning and value for each element used in retail space in accordance with the identity of a brand.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S58942
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rara Vangestika
"ABSTRAK
Public Relations memegang peran penting dalam pembentukan image sebuah brand. Dalam praktiknya, Public Relations memiliki beberapa strategi untuk membangun brand image salah satunya adalah penggunaan Brand Ambassador untuk menyasar target khalayaknya. Brand Ambassador dianggap sebagai duta yang dapat mewakilkan brand tersebut pada masyarakat. Maka dari itu penting untuk menentukan Brand Ambassador dalam membentuk citra dari sebuah brand. Penulisan ini bertujuan untuk memaparkan upaya yang dilakukan oleh brand Tropicana Slim dengan menggunakan Brand Ambassador sebagai salah satu strategi Public Relations untuk mengubah brand image. Dalam tulisan ini akan dianalisis mengenai bagaimana Tropicana Slim mengubah brand image dengan menggunakan web series yang diperankan oleh Brand Ambassador sebagai strateginya. Penulisan ini juga akan didukung dengan beberapa konsep yang berkaitan seperti strategi Public Relations, Brand Image, dan Brand Ambassador.

ABSTRACT
Public Relations had an important role in the formation of a brand image. In practice, Public Relations has several strategies to build a brand image, one of which is using Brand Ambassadors to target audience audiences. Brand Ambassadors are considered as a minister who can represent a brand to the public. Therefore, it is important to determine the Brand Ambassador in shaping the image of a brand. This writing aims to describe the efforts made by the brand Tropicana Slim by using Brand Ambassador as one of the Public Relations strategy to change the brand image. In this paper will be analyzed on how Tropicana Slim change brand image by using web series which is played by Brand Ambassador as its strategy. This writing is also supported by several related concepts such as Public Relations strategy, Brand Image, and Brand Ambassador."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>