Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115066 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hafizhah Indriyani Riyanto
"Asian Americans have been portrayed in a stereotypical light in numerous genres of Hollywood films including romantic comedy (romcom). Always Be My Maybe (2019) sheds a different light on Asian American representation in the romcom genre, which has been dominated by stories of white characters. Drawing on the specific trope in romcom namely the ‘slacker-striver romance’ and Asian American representation in films, this article argues that the slacker striver romance consequently affects Asian American representation in Always Be My Maybe (2019). Using the cinematic analysis method, this paper suggests that the film battles the model minority myth which expects Asian Americans to be successful, and it contests the lotus blossom stereotype which paints Asian American women as subservient. Furthermore, the evidence concludes that the film criticizes the slacker-striver romance’s usage of the woman as ‘tools’ to help the man grow up and emphasizes the importance of mutual support as well as understanding in a relationship. Therefore, Always Be My Maybe (2019) provides a distinct approach in representing Asian Americans and their journey in finding love with the light-hearted tone of a romantic comedy.

Orang-orang Asia Amerika telah direpresentasikan dengan stereotip dalam berbagai genre film Hollywood termasuk komedi romantis (romcom). Film Always Be My Maybe (2019) menyoroti representasi Asia Amerika dalam genre romcom, yang umumnya didominasi oleh cerita karakter kulit putih. Menggunakan salah satu trope dalam genre romcom yaitu ‘slacker-striver romance’ dan representasi Asian Amerika untuk menganalisis film Always Be My Maybe (2019), artikel ini berpendapat bahwa trope slacker-striver romance mempengaruhi representasi karakter Asia Amerika dalam film ini. Melalui metode analisis sinematik, kajian ini menunjukkan bahwa film tersebut menyanggah mitos model minoritas yang mengharapkan kesukseskan orang Asia Amerika serta menentang stereotip lotus blossom yang menggambarkan wanita Asia Amerika selalu tunduk. Lebih jauh, bukti yang dipresentasikan dalam studi ini menyimpulkan bahwa film ini mengkritik bagaimana trope slacker-striver romance menggunakan karakter-karakter wanita sebagai ‘alat’ untuk membantu karakter-karakter pria tumbuh dewasa dan menekankan pentingnya dukungan serta pengertian yang seimbang dalam satu hubungan. Oleh karena itu, film Always Be My Maybe (2019) mengajukan pendekatan tersendiri dalam merepresentasikan orang-orang Asia Amerika dan perjalanan cinta mereka dengan nuansa komedi romantis yang ringan. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Dwiki Armani
"Film dengan genre animasi memiliki daya tarik tersendiri. Film animasi dapat merepresentasikan unsur kebudayaan suatu bangsa dengan grafis yang beragam dan menarik. Salah satu film yang merepresentasikan budaya Cina antara lain adalah Film Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020). Representasi budaya Cina dalam film Turning Red menampilkan unsur-unsur ajaran Konfusianisme dalam hubungan keluarga. Konfusianisme merupakan salah satu unsur kebudayaan Cina yang berisi falsafah hidup bagi etnis Cina baik yang tinggal di daratan Cina, maupun di luar daratan Cina. Dalam Konfusianisme terdapat konsep harmonisasi sebagai unsur bijak manusia antara lain Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 義 (kebajikan/keadilan), Li 礼 (etika), Zhi 知 (pengetahuan), Xin 信 (integritas), Zhong 忠 (kesetiaan), 孝 (Xiào) (bakti kepada orang tua). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana representasi Xiao pada film animasi berjudul Turning Red melalui penokohan Meilin Lee, Ming Lee, dan Wu. Melalui metode kualitatif, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana bentuk representasi konsep Xiao yang ditunjukan pada film Turning Red melalui adegan tokoh-tokoh pada film. Melalui pendekatan deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa konsep Xiao merupakan faktor penting dalam membangun alur dan penokohan dalam film ini.

Films with the animation genre have their own charm. Animated films can represent elements of a nation's culture with diverse and attractive graphics. One of the films that represents Chinese culture is Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020).The representation of Chinese culture in the film Turning Red displays elements of Confucianism in family relationships. Confucianism is one of the elements of Chinese culture which contains a philosophy of life for ethnic Chinese both living in mainland China and outside mainland China. In Confucianism there is the concept of harmonization as a wise human element, including Ren 仁 (humanity), Yi 義 (virtue/justice), Li 礼 (ethics), Zhi 知 (knowledge), Xin 信 (integrity), Zhong 忠 (loyalty), 孝 (Xiào) (filial piety). This study intends to find out how Xiao is represented in the animated film Turning Red through the characterizations of Meilin Lee, Ming Lee, and Wu. Through qualitative methods, this study will reveal how the form of representation of Xiao's concept is shown in the film Turning Red through the scenes of the characters in the film. Through a descriptive approach, this research finds that Xiao's concept is an important factor in developing the plot and characterizations in this film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Diko Rinaldo
"Skripsi ini merupakan pendekatan filosofis terhadap pilihan identitas atas kecantikan perempuan yang dikonstruksi oleh beberapa ideologi dan dikaitkan dengan derasnya arus informasi yang disodorkan oleh beberapa media elektronik, film khususnya. Kondisi ini membawa kita pada satu bentuk fenomena budaya, yang oleh Jean Baudrillard dikatakan sebagai fenomena budaya hiperrealitas. Berbeda dengan pengkajian budaya, telaah filosofis menaruh perhatian pada kondisi individu yang otonom. Penelitian dilakukan dengan cara membedah fenomena hiperrealitas dengan hipersemiotika sebagai pisau bedahnya.

This undergraduated thesis is a philosophical approach of the female beauty identity selection that is constructed by some of the ideology and associated with a rapid flow of information offered by some of the electronic media, especially movies. This condition leads to a cultural phenomena that Jean Baudrillard said as the cultural phenomenon of hyperreality. Unlike the assessment of cultural, philosophical study concerns with the conditions of the autonomous individual. Research has been done by dissecting the phenomenon of hyperreality with hypersemiotic as the scalpel."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43270
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zuhdi Sahrul Ramadhan
"Artikel ini membahas tentang upaya dari sineas film nasional untuk meningkatkan kualitas dari film yang tayang di bioskop Jakarta pada tahun 1950 hingga 1965. Film Indonesia pada tahun 1950 memiliki permasalahan terhadap rendahnya kualitas film nasional yang ditayangkan. Rendahnya kualitas film nasional dilatar belakangi oleh peralatan produksi yang masih sederhana, kurangnya sumber daya manusia yang berpengalaman dalam film, kurangnya promosi terhadap film dan kurangnya kerjasama antara sineas serta pemerintah untuk membangun citra film nasional. Contoh permasalahan terhadap kualitas film adalah sinematografi dan alur cerita yang kurang baik. Rendahnya kualitas film Indonesia mendorong terjadinya dominasi terhadap film-film impor di bioskop besar Jakarta dan menarik minat penonton terhadap film impor seperti film Hollywood, India dan Cina yang tayang di bioskop kelas I dan II. Merasa berada di posisi yang sulit karena film nasional berada di bioskop kelas II dan III dengan target pasaran yang masih rendah, beberapa sineas Indonesia mulai berupaya untuk meningkatkan kualitas film yang mereka produksi. Upaya tersebut berupa revitalisasi terhadap produksi, promosi dan penayangan film, membangun kerjasama antar sineas dalam menyelenggarakan acara apresiasi Festival Film Indonesia. Upaya tersebut kemudian berhasil membawa dampak yang cukup besar, seperti masuknya film Lewat Djam Malam, Harimau Tjampa dan Tarmina kedalam Festival Film Asia Tenggara. Artikel ini disusun menggunakan metode sejarah, dengan pengumpulan data berupa arsip, surat kabar sezaman, buku dan jurnal artikel, yang diperoleh melalui Sinematek Indonesia, Perpustakaan Nasional dan melalui arsip online.

This article discusses the efforts of the national film sineas to intensify the quality of films shown in Jakarta cinemas from 1950 to 1965. The Indonesian movie in 1950 had problems with the low quality of national movies being screened. The low quality of national movies is caused by simple production equipment, lack of experienced human resources in film, lack of promotion of films and lack of cooperation between filmmakers and the government to build a national movies image. Examples of problems with movie quality are poor cinematography and storylines. The low quality of Indonesian movies encourages the dominance of imported movies in big cinemas of Jakarta and attracts audiences' interest in imported movies such as Hollywood, Indian and Chinese movies that are shown in class I and II cinemas. Feels that they are in a difficult position because national movies are in class II and III cinemas with a low target market, several Indonesian filmmakers have begun to try to improve the quality of the movies they produce. These efforts are in the form of revitalizing movies production, promotion, screening and building cooperation between filmmakers in organizing the Indonesian Film Festival appreciation event. These efforts then succeeded in having a considerable impact, such as the inclusion of the movies Through Djam Malam, Harimau Tjampa and Tarmina into the Southeast Asian Film Festival. This article was compiled using the historical method, with data collection in the form of archives, contemporary newspapers, books and journal articles, which were obtained through Sinematek Indonesia, the National Library and online archives."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Berlin Anggitasari
"Film merupakan salah satu bentuk karya sastra yang efektif menyampaikan ideologi atau suatu pemikiran kepada masyarakat luas. Film Ode to My Father yang diproduksi pada tahun 2014 merupakan salah satu film Korea Selatan yang tidak hanya menampilkan kembali peristiwa sejarah dengan rentang waktu masa perang Korea hingga Korea modern tetapi juga mengandung representasi jangnam atau anak laki-laki pertama dalam keluarga Korea di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan teori semiotika Roland Barthes.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui makna representasi atas nilai-nilai jangnam dalam film Ode to My Father dan untuk mengetahui makna konotasi, denotasi, serta mitos atas nilai-nilai jangnam yang ditampilkan dalam film Ode to My Father.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa representasi jangnam yang ditampilkan dalam film Ode to My Father antara lain mendampingi orang tua dalam mengasuh adik-adik, menjadi pengganti ayah sebagai kepala keluarga, sikap siap bekerja keras untuk kepentingan keluarga, sikap teguh hati dan berkepribadian tangguh, sikap rela berkorban untuk kepentingan keluarga, dan bertanggung jawab untuk memimpin ritual tradisi dalam lingkup keluarga.

Film is a type of literary work that can effectively spread an idea or an ideology to a larger audience. One South Korean movie from 2014, Ode to My Father, not only depicts historical occurrences from the Korean War to contemporary Korea, but also features a representation of jangnam, or the first son in a Korean family. Roland Barthes' semiotic theory approach is used with a qualitative descriptive analytic method in this study.
The goals of this study are to understand the significance of how Jangnam values are represented in the movie Ode to My Father and to understand the connotation, denotation, and mythical interpretations of Jangnam values displayed in the movie.
The results of this study indicate that the representation of jangnam shown in the film Ode to My Father includes accompanying parents in raising younger siblings, being a substitute for the father as the head of the family, being ready to work hard for the benefit of the family, having a firm heart and having a tough personality, being willing to sacrifice for the benefit of the family, and is responsible for leading traditional rituals within the family.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kim Jin Hui
"ABSTRAK
Kesalahpahaman tentang stereotip model minoritas di dalam masyarakat Amerika masih menggambarkan orang-orang Asia-Amerika memiliki pendidikan dan pendapatan lebih tinggi, penurut, pekerja keras dan kaya raya. Banyak penelitian menyatakan bahwa stereotip model minoritas ini membawa efek negatif bagi beberapa kelompok Asia-Amerika. Better Luck Tomorrow 2012 adalah sebuah film yang menceritakan empat remaja yang digambarkan dengan stereotip orang Asia yang ambisius dengan menggunakan kejahatan untuk mencapai tujuan dan keinginan mereka untuk sukses. Menggunakan analisis karakter, makalah ini akan membahas stereotip minoritas model orang-orang Asia Amerika, pematahan stereotip model minoritas, dan kerumitan dikotomi kebaikan melawan kejahatan. Makalah ini berargumen bahwa stereotip hanya bersifat dangkal, dan tidak mewakili karakteristik mereka secara keseluruhan.

ABSTRACT
The misconception of model minority stereotype within the American community still portrays Asian American as having higher education and income, submissive, hardworking and wealthy. According to many research, these stereotypes cause distinctly negative effects for some Asian American group. Better Luck Tomorrow 2012 is a film which explores the four teens as a stereotypical Asian overachiever using some crimes to achieve their goal and desire for success. Using character analysis, this paper will discuss the Asian American rsquo s stereotypes of model minority, the breaking of the model minority stereotypes, and ultimately complicating the dichotomy of good versus evil. This paper argues that the stereotypes are just superficial, and it does not represent their overall characteristics. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rifky Arifian Nugraha
"Film merupakan gambaran atas realitas sosial yang terjadi sehari-hari di masyarakat. Ketika terdapat film yang muncul tidak sesuai dengan konstruksi sosial dominan di masyarakat, bukan tidak mungkin film tersebut akan mendapatkan respon negatif, bahkan hingga penolakan penayangan. Hal tersebut menimpa film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ garapan Garin Nugroho yang dirilis pada 18 April 2019 di Indonesia. Film ini menampilkan karakter Juno, seorang penari laki-laki dari kelompok tari Lengger Lanang yang lebih dominan diperlihatkan sisi femininnya dibanding maskulinitasnya. Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis Teun Van Dijk untuk melihat kognisi sosial yang ada di masyarakat, khususnya bagi kelompok yang melakukan penolakan terhadap penayangan film ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi sosial berupa toxic masculinity dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT masih menjadi narasi yang dominan ada di masyarakat.

Film is a picture of social reality that happens everyday in society. When there is a film that appears not in accordance with the dominant social construction in society, it is not impossible that the film will get a negative response, even to the point of rejection of screening. This happened to the film 'Memories of My Body' directed by Garin Nugroho which was released on April 18, 2019 in Indonesia. This film features the character of Juno, a male dancer from the Lengger Lanang dance group who is more dominant in showing his feminine side than his masculinity. This study uses the critical discourse analysis method of Teun Van Dijk to see the social cognition that exists in society, especially for groups who reject the screening of this film. The results show that social construction in the form of toxic masculinity and discrimination against LGBT groups is still the dominant narrative in society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Azzasyofia
"ABSTRAK
Skripsi ini menjelaskan tentang representasi perpustakaan dan pustakawan dalam
film The Librarian: Quest for the Spear. Penelitian ini menggunakan metode
semiotik dengan menggunakan analisis yang dikemukakan oleh Roland Barthes
yaitu analisis hubungan sintagmatik dan paradigmatik yang bertujuan untuk
mendeskripsikan representasi perpustakaan dan pustakawan dengan memahami
gambaran perpustakaan dan pustakawan yang ditampilkan dalam film. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa dalam analisis sintagmatik menunjukkan
representasi perpustakaan tercermin dari perpustakaan Metropolitan Public
Library dengan representasi pustakawan tercermin dari tokoh Flynn. Analisis
paradigmatik menunjukkan representasi perpustakaan dan pustakawan dilihat dari
deskripsi para tokoh dan juga latar tempat. Sebagai kesimpulan, film ini
merepresentasikan perpustakaan sebagai tempat yang menyimpan koleksi buku
dan benda berharga serta pustakawan memiliki wawasan luas serta memiliki
kemampuan meneliti yang baik.

ABSTRACT
This thesis describes the representation of libraries and librarians in The movie
The Librarian: Quest for the Spear. This research using the method of analysis
semiotic expressed by Roland Barthes namely analysis the relationship
syntagmatic and paradygmatic which aims to describe the representation of the
library and librarian by understanding picture libraries and librarians is featured in
the film. The result of this research stated that in the analysis syntagmatic show
representation library reflected from the library metropolitan public library with
representations librarian reflected from figure flynn. Analysis of paradygmatic
shows a representation of the library and the librarian as seen from the description
of the character and background of the place. In conclusion, this film represent
library as a place that stores a collection of books and precious objects and
librarian have insight and have broad ability examines good."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43381
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Joanna Naomi Maura
"Sejak Perang Dunia II sampai saat ini, tokoh Hitler banyak muncul dalam berbagai film, salah satunya adalah film bergenre satir Er ist Wieder Da. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai representasi tokoh Hitler dalam film tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tekstual. Film ini dianalisis dari sisi alur cerita dan penokohan, untuk melihat bagaimana film ini menggambarkan Adolf Hitler. Penokohan dalam analisis ini dibagi menjadi 3 kategori, yaitu Kriegskinder, Kriegsenkel dan Generasi Ketiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pandangan-pandangan berbeda dari tiap generasi terhadap tokoh Hitler.
Since World War II until today Hitler figure appeared in various films, one of which is a genre satire film, Er ist Wieder Da. In this article we will discuss the representation of Hitler figure in the film ldquo Er ist Wieder Da rdquo . The method used in this study is textual analysis. The film is analyzed in terms of plot and characterization, to see how this film depicts Adolf Hitler. Characterizations in this article is divided into three categories Kriegskinder, Kriegenkel and The Third Generation. The result showed that there are different views from each generation about Hitler figure. "
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Rianda Silva
"Skripsi ini mendeskripsikan interpretasi penonton beretnis Tionghoa di Yayasan Pancaran Tridharma, Bekasi terhadap film Babi Buta yang Ingin Terbang. Film tersebut bercerita tentang kegamangan identitas yang dirasakan oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan interpretasi yang dilakukan penonton dipengaruhi oleh realita dan pengalaman mereka masing-masing. Oleh karena itu, hasil interpretasi mereka terhadap film ini juga berbeda-beda. Sebagian penonton menganggap film ini adalah gambaran kehidupan mereka, sebagian lain menganggap ini sebuah pembelajaran sejarah dan yang lainnya menganggap film ini sama sekali tidak menggambarkan kepentingannya, justru berbahaya bagi kondisi Indonesia secara umum. Terlepas dari hal tersebut, semua penonton menyetujui jika film ini merepresentasikan sebagian kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia.

This thesis describes the interpretation from Chinese spectators in Yayasan Pancaran Tridharma, Bekasi about a film-The Blind Pig Who wants to Fly. That film is talk about the nervousness of being Indonesian Chinese. The result of this research shows that the interpretation from the spectators is influenced by their reality and experiences. Therefore, their interpretations about this film are also deliver different meaning. Part of them considers the film as the illustration of their life, the other one considers it as the lesson from the past, and the last one does not feel anything about this film instead, he claims this film can endanger Indonesia situation. Regardless, all of the spectator agree that this film represents a part of Indonesian-Chinese life.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S59950
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>