Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194036 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evina Wenly
"Sembahyang Cengbeng merupakan tradisi sembahyang ke kuburan leluhur karena telah dilakukan oleh masyarakat Tiongkok sejak dinasti Jin (265-420). Tradisi ini dilakukan pada bulan dua dan bulan tujuh penanggalan bulan (阴历), masyarakat Tionghoa akan pergi ke kuburan leluhur atau orang tua untuk membersihkan dan sembahyang kepada leluhur. Tradisi ini masih terus dilakukan karena adanya pengaruh ajaran Konfusius, yaitu ajaran bakti 孝dan keluarga 家. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna bakti dan kekeluargaan yang terdapat pada sembahyang Cengbeng di Singkawang. Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara. Setelah pengumpulan data, hasil dari penelitian ini akan dianalisis dengan teori.

Cengbeng prayer is a tradition of praying to the ancestral graves because it has been carried out by Chinese people since the Jin dynasty (265-420). This tradition is carried out in the second and seventh months of the lunar calendar(阴历), Chinese people will go to the graves of their ancestors or parents to clean and pray to their ancestors. This tradition is still carried out because of the influence of Confucius teachings, namely the teachings of filial piety 孝 and kinship 家. This study aims to determine the meaning of devotion and kinship contained in the Cengbeng prayer tradition in Singkawang. The method used to conduct this research is a qualitative method with data collection techniques in the form of interviews. After collecting the data, the results of this study will be analyzed by theory."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Asri Oktaviyanti
"Kuil Yasukuni merupakan sumber konflik antara bangsa Cina dan Korea Selatan terhadap Jepang karena adanya kunjungan yang selalu dilakukan oleh petinggi pemerintah Jepang setiap tahun sejak akhir Perang Dunia Kedua. Kunjungan petinggi ke kuil Yasukuni mengawali proses ritual pemujaan leluhur prajurit sebagai pahlawan Jepang, namun bagi masyarakat Cina dan Korea Selatan merupakan bentuk tindakan kejahatan dan agresi Jepang. Tujuan penelitian ini menganalisis kesenjangan antara kedua pihak yang merupakan reproduksi memori budaya melalui shift dari tindakan ritual kepada speech di TV dan media World Wide Web setiap tahunmya. Hal ini turut menunjukkan kebenaran di dalam koneksi antara bentuk pernyataan dan ritual kuil Yasukuni. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode analisis isi. Data dikumpulkan dari buku, jurnal, serta media massa di internet terkait ritual kuil Yasukuni oleh petinggi pemerintah Jepang dan pernyataan kecaman dari masyarakat Cina dan Korea Selatan terhadap ritual tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual kuil Yasukuni dalam tindakan dan pernyataan kecaman di media massa dari masyarakat Cina dan Korea Selatan merupakan shift reproduksi memori budaya dari kata-kata ke realitas dan sebaliknya. Ritual kuil Yasukuni merupakan wacana penegasan kembali golongan prajurit dalam struktur masyarakat Jepang vs kejahatan perang dalam pandangan masyarakat Cina dan Korea Selatan; sistem pengendalian kebiadaban sekaligus mensakralkan golongan prajurit melalui pandangan mengenai bahaya pada pihak lain sebagai pihak yang membuat batasan dan mengubah wacana mutakhir.

Yasukuni Shrine is a source of conflict between China and South Korea towards Japan because of visits made by Japanese government officials every year since the end of Second World War. The visit of Japanese government officials to the Yasukuni shrine began the ritual process of worshiping warrior ancestors as Japanese heroes, for the people of China and South Korea it was a form of Japanese crime and aggression. This research aims to analyze the gap between the two parties, which is the reproduction of cultural memory through shifts from ritual actions to speeches on TV and World Wide Web media every year. This also shows the truth in the connection between the forms of statements and the rituals of the Yasukuni shrine. This research was conducted using the content analysis method. Data was collected from books, journals, and mass media on the internet regarding the Yasukuni shrine ritual by Japanese government officials and statements of condemnation from the people of China and South Korea regarding this ritual. The research results show that the Yasukuni shrine ritual in actions and statements of condemnation in the mass media from Chinese and South Korean society is a shift in the reproduction of cultural memory from words to reality and vice versa. The Yasukuni shrine ritual is a discourse of reaffirmation of the warrior class in the structure of Japanese society vs war crimes in the eyes of Chinese and South Korean society; a system of controlling barbarity while also sacralizing the warrior class through the view of danger to other parties as the party that creates boundaries and changes the latest discourse."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Purnama
"Penelitian ini membahas mengenai pengaruh wirid Rifa’iyah dalam Seni Debus Surosowan. Debus merupakan kesenian khas daerah Banten yang menarik untuk dianalisis karena pada awalnya debus dijadikan sebagai wadah penyebaran agama Islam namun pada akhirnya debus dijadikan sebagai kesenian budaya masyarakat Banten. Berbicara mengenai debus, maka tak bisa dilepaskan kaitannya dengan Tarekat Rifa’iyah. Oleh karena itu, Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini diantaranya yaitu, ciri khas apa saja yang terdapat dalam Seni Debus Surosowan? serta bagaimana pengaruh Wirid Rifa’iyah dalam Seni Debus Surosowan? penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan ciri khas Seni Debus Surosowan serta pengaruh Wirid Rifa’iyah dalam Seni Debus Surosowan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan, observasi, wawancara dan dokumentasi. Penelitian ini menggunakan teori religiusitas yang terdiri dari dimensi ideologis/keyakinan, praktik agama, pengalaman, pengetahuan, pengamalan dengan menggunakan pendekatan antropologi agama. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa adanya ciri khas yang membedakan antara debus Surosowan dengan debus lainnya yaitu almadad, terbang gede dan beluk. Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa adanya pengaruh wirid Rifa’iyah dalam seni debus Surosowan yang terlihat dalam syarat-syarat untuk menjadi pemain debus dan proses ritual permainan debus.

This study discusses the influence of the wirid Rifa'iyah in the Art of Debus Surosowan. Debus is a typical art of the Banten region, the interesting thing about the art of Debus has been used as a forum for spread of Islam. Until now, Debus has been used as a cultural art for the people of Banten. Talking about debus, it cannot be separated from the connection with the Tarekat Rifa'iyah. Therefore, The problem raised in this study include, what are the characteristics contained in the art of Debus Surosowan? and how the influence of wirid Rifa’iyah in the art of Debus Surosowan? this study aims to explain the characteristics of Debus Surosowan’s and the influence of wirid Rifa'iyah in the art of Debus Surosowan. The method used in this research is descriptive analysis with data collection techniques in the form of literature study, observation, interviews and documentation. This study uses the theory of religiosity which consists of dimensions ideological/religion, religious practice, experience, knowledge, practice by an anthropological religion approach. The results show that there are characteristics that distinguish Surosowan debus from other debus, these characteristics can be seen from the tools owned by this place, namely almadad, terbang gede and beluk. This study also found the fact that there was an influence of the wirid Rifa'iyah in the Surosowan Debus art which was seen in the requirements to become a debus player and the playing debus ritual process."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Soekisno
"Kearifan tradisional masyarakat desa Tenganan di permukiman yang melestarikan lingkungan hidup, baik lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatannya merupakan dambaan bagi setiap warga untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Permukiman desa Tenganan adalah salah satu kawasan permukiman tua di Bali, terletak di Kecamatan Manggis, Karangasem, Bali. Dibangun sebelum masuknya Majapahit ke Bali, dikenal dengan sebutan desa Bali Aga atau Bali Mula, sedangkan desa-desa di Bali lainnya dibangun setelah pengaruh Majapahit berkembang, dan disebut sebagai Bali Dataran, dimana desadesa di Bali Dataran ini merupakan mayoritas kawasan permukiman di Bali sekarang ini.
Sebagai kawasan permukiman, desa Tenganan ini memiliki ciri khas yang tidak ditemui di desa Bali yang lain, yaitu:
1. Masyarakat desa ini memeluk agama Hindu aliran Indra, dengan tradisi berbeda dibandingkan masyarakat Bali pada umumnya.
2. Desa ini memiliki awig awig (peraturan adat) desa Tenganan, yang mengupayakan pelestarian lingkungan hidup.
3. Masyarakat desa ini memiliki keahlian merajut kain dengan teknik dobel ikat, salah satu dari dua desa di dunia yang memiliki keahlian ini, yang dipergunakan untuk keperluan upacara, namun sekarang dalam jumlah terbatas sudah mulai diproduksi untuk konsumsi wisatawan.
Dengan demikian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana masyarakat desa Tenganan mengupayakan pelestarian fungsi lingkungan hidup melalui adat dan budaya setempat. Sedangkan manfaat penelitian dapat memberikan masukan pada pengelolaan pariwisata di Bali yang mengembangkan potensi wisata pedesaan, dan dapat mengembangkan pemikiran tentang "etika lingkungan" masyarakat desa Tenganan yang didasarkan pada norma budaya yang ada.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana nilai-nilai tradisi masyarakat desa Tenganan yang melestarikan fungsi lingkungan hidup masih berjalan hingga saat ini, dan bagaimana persepsi masyarakat desa ini terhadap kegiatan wisata dan teknologi.
Penelitian dilakukan dengan metoda deskriptif, tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, nyata dan akurat, dan mempelajari masalah masalah yang ada di masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam situasi tertentu di masyarakat, termasuk yang harus diamati adalah hubungan, pandangan, kegiatan kegiatan, sikap sikap, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 1988: 63-65).
Sampel diambil dan ketiga Banjar Desa yang berpenduduk 605 orang dalam 233 KK, diambil jumlah responden sekitar 10% dari jumlah KK, yaitu sebanyak 26 KK. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, mengingat ketiga banjar merupakan masyarakat desa yang homogen. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara terstruktur, wawancara mendalam, pengambilan foto dan data data primer serta studi literatur. Data data setelah dikelompokkan dianalisa secara deskriptip.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan hasil sebagai berikut :
1. Awig awig desa Tenganan Pagringsingan yang ditulis kembali tahun 1925 teryata hanya mengatur upaya pelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial, sedangkan upaya pelestarian lingkungan buatan tidak tersentuh oleh awig . awig tersebut. Untuk mengatasi kesenjangan ini, masyarakat desa ini membuat peraturan khusus tentang tata cara perluasan atau perbaikan rumah pada tahun 1987, namun tampaknya tidak sepenuhnya berhasil, karena beberapa perubahan fisik tetap dilakukan warga desa.
2. Persepsi masyarakat desa ini terhadap unsur unsur pembaharuan dibidang pendidikan, kesehatan, pariwisata dan teknologi ternyata ditanggapi positif, meskipun disadari bahwa ekses negatip yang muncul akibat kedatangan wisatawan tetap ada.
3. Unsur pendidikan ternyata menjadi unsur pokok yang merubah pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi yang melestarikan lingkungan hidup.

The Traditional Discretion and Sustainable Environment (The Case Study at Tenganan Pagringsingan Villages, Karangasem, Bali)The traditional discretion at the habitat which is conserve living environment, weather nature environment, social environment and human made environment is every people deire for getting a better life for him and his family. The traditional villages of Tenganan, is one of oldest habitat area in Bali, they are at Manggis Distract, Karangasem, Bali. Tenganan it was built before the Majapahit people come to Bali which is called as Bali Aga village or Bali Mula, but the other villages in Bali was built after the Majapahit influence have been grown, and called as Bali Dataran, where the Bali Dataran villages is the majority of the habitat area in Bali nowdays.
As the Tenganan villages has a specific caracteristic which is can't found in other village in Bali, that is :
1. The people in this village embraces the Indra Hindus religion, different with the Bali society.
2. This village have awig awig (the traditional rules), which is trying to conserve environment.
3. They have skill todo a textile with a double bundle technique, which one out of two village in the world has this skill, used for the ceremonial. Nowdays, in limited addition have been produce for tourist consumption.
Indeed the goal of this studies is to know how the people of Tenganan Pagringsingan village conserving the living environment function through its culture and tradition. On the other hand, the using of this study has made an input to Bali tourism center, which is to open tourist potention in the village, and also to expend the mind about "environment ethics" of Tenganan Pagringsingan villagers, which is based on cultural ethics.
The problem of this study is how the traditional discretion of Tenganan people to sustained on living environment function still running in this days, and how this villagers perception to tourism activity and technology.
The study being established by descriptive method, the goals of this study is to make description, sistematic, phenomena description, real and accurate, and to study problems within the society and action has been done at specific situation, including the study of relationship, the view, activities, manners, and the running process also the impact of a fenomena.
Samples taken form the three banjar village, which have 605 peoples in 233 families, and the respondent about 26 families. Sample has been taken with purposive sampling, knowing that the three banjar villagers is homogen. Data gathered which structured interview, inside interview, photo and primer data also literatures study. The data being analize descriptively.
The result of study and examination shows as follows :
1. The awig awig of Tenganan villages was rewriten in 1925, actualy only to organize nature and social conservation. But the human made concervation not writen on it. To solve this, the villager made a special rule, which is about how to maintance home in 1987, but it is not fully work, because some of phisical changes still been done by the villagers.
2. Villagers perception about some changes in education, health, tourism and technology has positive feed back, although it is realized also has a negative side due to tourist visitors.
3. Education turn up to be the main elemen transformed to knowladge, attitude and people behavior to traditional vallues which is conserves living environment.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Amalia Tussyahada
"Makanan merupakan kebutuhan pokok yang penting bagi manusia. Persoalan mengenai makanan
sering kali digambarkan dalam karya sastra. Indonesia sebagai surga kuliner memiliki berbagai
macam makanan, sedangkan sastra sebagai media dapat dijadikan wahana untuk
memperkenalkan berbagai kuliner Nusantara. Penelitian ini menganalisis novel Rahasia Salinem
karya Brilliant Yotenega dan Wisnu Suryaning Adji menggunakan ancangan kualitatif yang
diimplementasikan dengan metode kajian pustaka. Dalam penelitian ini, makanan dalam karya
sastra tidak hanya digunakan sebagai objek suatu cerita. Akan tetapi, karya sastra dan makanan
memiliki hubungan yang bersifat material dan fiskal serta sosial dan kultural. Masalah yang akan
diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana makanan menjadi unsur penting yang
mengungkapkan rahasia tokoh dalam novel Rahasia Salinem. Terkait dengan hal tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana makanan, khususnya pecel dapat
mengungkapkan rahasia tokoh Salinem mengunakan perspektif gastrocriticism. Perspektif
gastrocriticism digunakan untuk memperlihatkan identitas tokoh dalam novel dan sebagai upaya
untuk melestarikan kuliner Nusantara. Hasil penelitian ini memperlihatkan empat konsep
perspektif gastrocritism, yaitu (1) makanan dan kesenangan, (2) makanan dan seni (bricolage),
(3) makanan dan nama, dan (4) makanan dan sejarah. Penelitian ini diharapkan mampu memberi
kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sosiologi sastra dan dalam bidang
budaya sebagai upaya untuk memperkenalkan dan melestarikan kuliner lokal melalui karya
sastra.

Food is mandatory for humans. Matters about food is frequently mentioned in literature works. Indonesia as a culinary paradise has many food, and literature as a media is oftenly used to introduce them. This research is a qualitative research which analyze the novel Rahasia Salinem
by Brilliant Yotenega and Wisnu Suryaning Adji using literature review. In this research, food in
literature work is not only an object to tell stories. But food and literature work has a material, physical, social, and cultural connection. This research answer the question to how food becomes an important element in Rahasia Salinem. The purpose of this research is to explain how food (especially pecel) can be used to reveal the secret of Salinem's character using the perspective of gastrocriticism. The perspective of gastrocriticism is used to depict the identity of the character in the novel and as an attempt to preserve Indonesian culinary. Results shows the four concept of gastrocriticism's perspective, which is (1) food and happiness, (2) food and art (bricolage), (3) food and name, and (4) food and history. This research contributes to the development of science, particularly in sociology of literature and in cultural field as an attempt to introduce and preserve local culinary through literature work.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang globalisasi dan wacana dalam bahasa Inggris berhubungan dengan dampak yang ditimbulkannya secara kultural di Kampung Inggris, Kota Pare, Kabupaten Kediri. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan menjadi fokus utama sorotan analisis tulisan ini. Pembahasan inti dari tulisan ini adalah respon speech community di Kampung Inggris terhadap pembelajaran bahasa Inggris, varian-varian yang muncul dalam proses kontekstualisasi bahasa Inggris, dan proses rekacipta bahasa Inggris sebagai upaya melawan kekuatan hegemonik dari globalisasi untuk menjaga tradisi lokal. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa pembelajaran bahasa Inggris tidak hanya bisa dilihat sebagai pembelajaran alat komunikasi saja, namun pembelajaran bahasa Inggris juga membawa nilai-nilai kultural atau wacana dari kebudayaan English-speaking countries. Respon terhadap flow of culture ini bermacam-macam. Di Kampung Inggris Pare, bahasa Inggris direkacipta dan dikontekstualisasi agar sesuai dengan nilai-nilai tradisi lokal Jawa santri.

ABSTRACT
This thesis discusses globalization and discourses in English related to its impact culturally in Kampung Inggris, Pare, Kediri. The relationship between language and culture became the main focus of this paper analyzes. The core topics of this paper is a response speech community in Kampung Inggris to learning English, variants that arise in the process of contextualization English, and (re)invention English process as the resistance against the hegemonic power of globalization to maintain local traditions. This research is a qualitative with descriptive analysis. The study states that learning English is not only seen as a means of communication only, but learning English also carry cultural values ​​or cultural discourses of English-speaking countries. The response to the flow of culture is diverse. In Kampung Inggris Pare, English remade and contextualized to fit the values of local Javanese santri tradition.
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S65802
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Artikel ini di sajukan untuk menjelaskan tentang peran elit adat seperti penghulu dan Niniak mamak pada masyarakat Minagkabau secara tradisional sebagai pengayom anak, kemenakan dan kaum pasukan...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"The Siraman Gong Kyai Pradah Tradition is one of the local cultures in Blitar Regency, East Java Province. This Traditiona is still held twice a year by the supporting people in lodoyo, Sutojayan district, Blitar Regency.This is because the public belelves that supporters of this tradition will gain benefir for his or her life...."
PATRA 10 (3-4) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>