Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4714 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Hanifah
"Artikel ini membahas tentang perkembangan sinema di Mesir pada tahun 2011-2020. Industri film Mesir mengalami krisis selama periode krisis pasca peristiwa Arab Spring tahun 2011-2013 yang berdampak pada penurunan jumlah produksi film. Selama masa krisis terdapat dua jenis film yang mengisi perfilman nasional, yaitu film komersial yang berfokus pada kuantitas produksi untuk meraih profit sebesar-besarnya dan film independen yang berfokus pada kualitas sinematografi. Di samping itu layanan video on demand berkembang sebagai metode distribusi film baru seiring meningkatnya penggunaan internet. Penelitian ini menemukan bahwa perfilman Mesir mengalami kebangkitan serta kembali produktif sejak tahun 2016 akibat berkembangnya produksi film independen, distribusi film secara daring, dan kerjasama yang baik dalam komunitas film. Pada penyusunan artikel ini digunakan metode kualitatif dengan melakukan studi pustaka terhadap beberapa buku, jurnal, dan sumber resmi yang terkait. Teori pada penulisan ini adalah teori Third Cinema oleh Teshome Gabriel, yaitu Third Cinema sebagai bentuk revolusi estetika dan politik dalam film yang mencerminkan kehidupan rakyat secara realistis.

This article discusses the development of cinema in Egypt in the period of 2011-2020. The Egyptian film industry experienced a crisis during the critical period after the Arab Spring event in 2011-2013 which resulted in a decline in the number of film productions. During the crisis period, there were two types of films which are present in cinema, namely commercial films which focused on the quantity of production to achieve maximum profit, and the others are independent films which focused on their quality of cinematography. In addition, video on demand services are developing as a new film distribution method along with the increasing use of the internet. This study finds that Egyptian cinema has experienced a revival and has been productive again since 2016 due to the development of independent film production, online film distribution, and good cooperation in the film community. In preparing this article, a qualitative method was used by conducting a literature study of several books, journals, and related official sources. The theory used in this writing is the theory of Third Cinema by Teshome Gabriel, namely Third Cinema as a form of aesthetic and political revolution in films that reflect the social reality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Haafizhah Nadiya
"Kedatangan imigran pasca-Perang Dunia II ke Kanada menciptakan sebuah komunitas yang multikultural. Kondisi ini memberikan jalan untuk adanya keberagaman tema karya sastra yang dibuat oleh para imigran. Tema memori atas masa lalu di negara asal mereka menjadi salah satu permasalahan yang sering diangkat. Incendies (2010) merupakan sebuah film yang membahas tentang memori seorang ibu atas peristiwa traumatis perang yang diwariskan kepada kedua anaknya. Transmisi memori ini menciptakan sebuah postmemory, yaitu memori yang diturunkan dari satu generasi ke generasi di bawahnya yang bersifat sangat emosional meskipun tidak dialami secara langsung. Artikel ini akan menganalisis bagaimana transmisi memori milik tokoh Nawal ditampilkan dalam struktur naratif dan bagaimana transmisi memori tersebut memengaruhi tokoh Jeanne dan Simon. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan teori kajian film, konsep naratologi mise-en-abyme, dan konsep postmemory. Penelitian menemukan bahwa postmemory ditampilkan secara naratif dan sinematografis menggunakan struktur mise-en-abyme dengan narasi Jeanne-Simon sebagai bingkai utama cerita. Transmisi memori tersebut mengakibatkan konsekuensi berupa keterasingan budaya dan keterasingan diri bagi Jeanne dan Simon.

The arrival of post-World War II immigrants to Canada created a multicultural community. This condition opened the door for a diversity of literary works’ themes created by immigrants. The theme of memory of the past in their home country is one of the problems that is often raised. Incendies (2010) is a film that discusses a mother's memory of the traumatic event of war which is passed on to her two children. This memory transmission creates a postmemory, which is a memory that is passed down from one generation to the next and feels very emotional even though it is not experienced directly. This article will analyze how the memory transmission of Nawal's character is displayed in the narrative structure and how this memory transmission affects the characters of Jeanne and Simon. The method used is a qualitative method using film studies theory, the narratology concept of mise-en-abyme, and the concept of postmemory. The study found that postmemory is presented in the narrative and cinematographic aspects of the film using mise-en-abyme structure with Jeanne-Simon's narrative as the main frame of the story. This memory transmission resulted in the consequences of cultural alienation and self-isolation for Jeanne and Simon."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nazilah Qothrunnada
"Latar belakang penulisan karya ilmiah ini berawal dari ketertarikan penulis tentang fenomena Arab Spring yang menjadi awal kemunculan dari konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya Suriah. Konflik-konflik ini mengakibatkan penduduk Suriah harus mengungsi di negara lain. Jerman menjadi negara Eropa pertama yang menerima para pengungsi Suriah dengan tangan terbuka. Hal ini berbeda dengan tanggapan negara-negara Timur Tengah yang tidak terlalu terbuka dalam menerima para pengungsi Suriah. Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Penulis menggunakan metode ini dengan pendekatan studi pustaka yang bersumber dari surat kabar, jurnal, dan buku mengenai pengungsi Suriah di Jerman. Temuan sementara yang penulis dapat sampaikan bahwa alasan penduduk Suriah mengungsi di Jerman antara lain karena perang saudara dan juga fenomena ISIS yang muncul di negara tersebut. Para pengungsi ini memilih negara Jerman untuk dijadikan tempat mengungsi karena Jerman sangat terbuka dalam menerima pengungsi. Hal ini dilakukan Jerman karena pengalaman di masa lalu yang pernah merasakan menjadi pengungsi dan juga pernah menampung pengungsi dalam jumlah besar. Para pengungsi Suriah di Jerman tidak hanya ditangani oleh pemerintah Jerman saja, akan tetapi lembaga UNHCR juga turut berperan dalam menangani para pengungsi. Hingga saat ini terdapat beberapa masalah yang dirasakan oleh para pengungsi Suriah di Jerman, namun tidak menghalangi mereka untuk tetap tinggal di sana.

This journal is written based on Arab Spring phenomenon around the Middle East. This phenomenon became the beginning of the conflicts in the Middle East especially in Syria. These conflicts led to Syrian people must be fled in other countries. Germany became the first European country that receives Syrian refugees with an open arms. Contrast with the responses of the Middle Eastern countries that are not too open in accepting Syrian refugees. This journal uses descriptive method. The author uses this method with the approach of literature sourced from newspapers, thesis, and books about the Syrian refugees in Germany. The research results in the hypothesis that the Syrian refugees reasons to flee in Germany are because the civil war and ISIS phenomenon in that state. The Syrian people choose Germany to be an assylum for them is because Germany accepting them with open arms. Germany did that based on their history and experience in accepting refugees. Syrian refugees in Germany are not only handled by the government, but UNHCR also played a role in handling the refugees. Until now there are some problems perceived by the Syrian refugees in Germany, but it did not deter them to stay there.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Esposito, John L.
Oxford : Oxford University Press, 2016
327.917.67 ESP i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Cindi Riyanika Hidayah
"Arab Spring yang bermula di Tunisia merupakan awal baru bagi Tunisia melepaskan diri dari pemerintahan diktaktor di bawah rezim Ben Ali. Revolusi ini melambungkan nama seorang sosok Rachid Ghannouchi yang dalam penelitian ini akan dibahas mengenai perannya dalam masa transisi demokrasi di Tunisia pasca Arab Spring. Tujuan penilitian ini adalah untuk mengetahui sosok Rachid Ghannouchi dan perannya dalam transisi demokrasi di Tunisia pasca Arab Spring. Proses pengumpulan data dilakukan dengan dua jenis. Pertama, pengumpulan data primer melalui wawancara tidak langsung, selain wawancara data primer didapat dari buku-buku karya Rachid Ghannouchi. Kedua, pengumpulan data sekunder diperoleh melalui beberapa kajian pustaka salah satunya buku, penelitian terdahulu, artikel, jurnal dan informasi dari media elektronik. Penelitian ini menerapkan teori kepemimpinan dan teori peran yang digunakan untuk menganalisa siapa sosok Rachid Ghannouchi dan perannya pasca Arab Spring. Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapat hasil berupa Rachid Ghannouchi memiliki peran dalam menjembatani pihak sekularis dan islamis di Tunisia pada masa transisi demokrasi pasca Arab Spring. Sehingga tujuan dari penelitian ini bisa menjawab permasalahan dan hasilnya bisa dijadikan acuan atau literasi dalam aktivitas akademik.

The Arab Spring which began in Tunisia is a new movement for Tunisia to break away from the dictatorial government under Ben Ali's regime. This revolution catapulted the name of a figure of Rachid Ghannouchi, who in this study will discuss his role in the transition period of democracy in Tunisia after the Arab Spring. The purpose of this study was to find out the figure of Rachid Ghannouchi and his role in the transition to democracy in Tunisia after the Arab Spring. Ellipsis data collection is done in two types. First, primary data collection was obtained through indirect interviews and several books by Rachid Ghannouchi. Second, secondary data collection was obtained through several literature studies, such as books, previous research, articles, journals and information from electronic media. The researcher used the theory of the leadership and the role theory used to analyze who the figure of Rachid Ghannouchi and his role after the Arab Spring. Based on the research conducted, the results obtained in the form of Rachid Ghannouchi have a role in bridging secularists and Islamists in Tunisia during the democratic transition period after the Arab Spring. So the purpose of this study can answer the problem and the results can be used as a reference or literacy in academic activities.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fauzan Irvan
"Penelitian ini bertujuan menganalisis serangkaian upaya Tunisia dalam mengkonsolidasi Negara demokrasi pasca Arab Spring pada periode 2014 sampai 2020. Periode tahun 2014 sebagai titik awal langkah maju untuk membangun demokrasi di Tunisia yang membawa harapan bagi masyarakat Tunisia akan ketidakstabilan politik dan di tahun 2020 sebagaimana dalam Indeks Demokrasi Tunisia pada tahun 2019 mendapatkan skor 6.72 (dari 10,00). Ini menunjukan bahwa Tunisia telah melakukan lompatan besar dalam mengonsolidasikan demokrasinya setelah Arab Spring. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, dan data dianalisis dengan menggunakan model interaktif Miles dan Huberman. Analisis tahapan kondisi konsolidasi demokrasi di Tunisia dapat dilihat dalam perjalan sistem pemilihan Presiden dan Parlemen Tunisia pada periode 2014 dan 2019 yang bebas dan adil serta digunakannya Konstitusi baru 2014 menjadi tonggak utama demokratis yang menghormati kebebasan berorganisasi, kebebasan beragama, menjamin check and balance yang berkaitan dengan eksekutif dan mengakui kesetaraan gender. Faktor pendukung proses konsolidasi demokrasi di Tunisia diantaraya: 1) Kemauan tokoh-tokoh politiknya untuk berkompromi; 2) Sektor keamanan (militer) yang lemah dan 3) Kuatnya civil society mengawal proses demokrasi. Namun demikian, penerapan sistem demokrasi tersebut masih menjadi perdebatan dengan masalah tingkat ketidakpuasan yang signifikan tidak hanya dengan partai politik dan Parlemen, tetapi juga dengan institusi demokrasi itu sendiri. Pemerintahan masih belum mampu mengatasi tantangan mendesak, seperti pengangguran kaum muda, kesenjangan sosial ekonomi regional, marjinalisasi politik islam dan korupsi yang merajalela sehingga menjadi penghambat proses konsolidasi demokrasi.

This study aims to analyze a series of Tunisian efforts in consolidating a post-Arab Spring democratic state in the period from 2014 to 2020. The 2014 period is the starting point for moving forward to build democracy in Tunisia which brings hope to the Tunisia society for the political instability in 2020 as shown in the Tunisia Democracy Index in 2019 got a score of 6.72 (out of 10,00). This shows that Tunisia has made a big leap in consolidating its democracy after the Arab Spring. This study uses a qualitative approach with a case study method, and the data is analyzed by using the interactive Miles and Huberman model. An analysis of the stages of the consolidation of democracy in Tunisia can be seen in the course of the Tunisian Presidential and Parliamentary election system in the 2014 and 2019 periods which were free and fair and the use of the new 2014 Constitution as the main democratic pillar that respects freedom of association, freedom of religion, guarantees checks and balances related to executive and recognizes gender equality. Contributing factors of the democratic consolidation process in Tunisia include: 1) the Willingness of political figures to compromise; 2) The security sector (military) is weak and 3) The strength of civil society overseeing the democratic process. However, the implementation of the democratic system has still in conflict with the problem of a significant level of dissatisfaction, not only with political parties and Parlement but also with the democratic institutions themselves. The government is still unable to overcome urgent challenges, such as youth unemployment, regional socio-economic disparities, the marginalization of Islamic politics and rampant corruption which have become obstacles to the process of consolidating democracy.  "
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Fitri Primandari
"Prinsip normatif mengenai kesetaraan dalam konsep maupun teori demokrasi dan demokratisasi telah berkontribusi kepada asumsi bahwa demokratisasi berdampak baik bagi perempuan. Apabila merujuk kepada kasus-kasus demokratisasi yang diikuti oleh stagnasi maupun memburuknya hak perempuan, timbul urgensi untuk meninjau ulang persoalan demokratisasi dan hak perempuan. Tulisan ini menghadirkan kerangka teori baru untuk menjelaskan persoalan tersebut. Dengan berpijak pada logika bahwa konsepsi masyarakat mengenai demokratisasi dapat berbeda-beda dan memengaruhi hasil dari transisi politik, tulisan ini berargumen bahwa meluas-tidaknya konsepsi masyarakat mengenai demokratisasi memengaruhi kondisi hak perempuan pascademokratisasi. Studi perbandingan terhadap kasus demokratisasi di Tunisia dan Mesir pasca-Arab Spring membuktikan bahwa konsepsi demokratisasi yang bersifat minimalis diikuti oleh stagnasi atau progres hak perempuan yang terbatas pula. Penelitian ini pun menunjukkan bahwa kategorisasi konsep dan konsepsi mengenai demokrasi (dan demokratisasi) ke dalam kelompok minimalis dan maksimalis secara konvensional tidak mampu menjelaskan persoalan hak perempuan dalam demokrasi dan demokratisasi, sehingga diperlukan cara baru untuk mendefinisikan kedua kategori tersebut. Dengan menggunakan perspektif gender yang lintas ruang publik-privat, tulisan ini memperkenalkan definisi baru mengenai demokrasi (dan demokratisasi) minimalis dan maksimalis serta ‘membumikan’ definisi tersebut untuk menjelaskan bagaimana konsepsi masyarakat mengenai demokratisasi memengaruhi dampak demokratisasi bagi hak perempuan. Terbuktinya kerangka teori yang diajukan tulisan ini melemahkan teori-teori terdahulu yang memosisikan peran aktif perempuan sebagai faktor penentu hak perempuan pascademokratisasi
The grand claim that democracy upholds equality for all its citizens has contributed to the assumption that democratization is good for women. Studies revealing cases of democratization followed by stagnation and worsening of women’s rights gave raise to the urgency to reexamine the issue of democratization and women’s rights. This paper proposes a new theoretical framework to answer the question concerning the two. By founding its idea on evidence that people understand democracy differently and the important role that people play in determining the outcome of political transitions, this paper argues that conceptions of democratization determine women’s rights after democratic transitions. The comparative inquiry into the democratization in Tunisia and Egypt after the Arab Spring finds that minimalist conceptions of democratization in both countries were followed by stagnation and limited progress in women’s rights. This study also reveals that the conventional definitions of minimalist and maximalist democracy are insufficient to explain the issue of women’s rights in democracy and democratization, and thus new definitions are necessary. Through a gender-sensitive lens that delves into both the public and private sphere, this paper redefines what constitutes as a minimalist and maximalist democracy. These new definitions were then used to interpret and demonstrate how different conceptions of democratization lead to different outcomes for women’s rights after democratization. The strengthening of this theoretical framework challenges earlier theories that positions women’s active participation in democratization as the main determinant of progress in women’s rights after democratization.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninet, Antoni Abat i
Cheltenham: USA Edward Elgar Publishing, 2015
909.097 4 NIN a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nawan Yulianto
"Periode pasca-Arab Spring telah menjadi sebuah arena politik dimana partai-partai Islamis memainkan peran yang relatif signifikan dalam transisi politik demokratis di Timur Tengah. Meski banyak pihak menafsirkan adopsi kalangan Islamis atas nilai-nilai demokrasi sebagai sekedar upaya pragmatis, taktis, dan minim ketulusan, persoalan Islam dan demokrasi telah menjadi perhatian beberapa pemikir Islamis berpengaruh bahkan beberapa dekade sebelum pecahnya Arab Spring. Mengkaji Islamisme lebih sebagai sebuah tradisi pemikiran, penelitian ini berupaya menelusuri genealogi pemikiran kalangan Islamis mengenai demokrasi pada tradisi pemikiran Islam modernis hingga munculnya kelompok yang dikenal sebagai “neo-Islamis”. Berbarengan dengan analisis terhadap aspek-aspek doktrinal dari pemikiran kalangan Islamis, penelitian ini akan mendemonstrasikan bagaimana perdebatan intra-Islamis mengenai teologi politik tertentu dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan penting, baik secara ideologis maupun politis. Hal ini dilakukan dengan melihat pada praktik politik partai-partai Islamis di Mesir, Tunisia, dan Maroko. Studi ini mendapati adanya kontinuitas sekaligus perubahan pada pemikiran kalangan Islamis mengenai demokrasi dari tradisi pemikiran Islam modernis dan menganalisis bagaimana hal ini memengaruhi trayek politik partai-partai Islamis di tiga negara tersebut setelah Arab Spring. Meski terdapat ambivalensi terhadap gagasan demokrasi, bahkan kecenderungan anti-demokrasi, di kalangan Islamis awal; periode pasca-Arab Spring menegaskan mungkinannya upaya rekonsiliasi antara pemikiran Islamisme dan aspek-aspek demokrasi tertentu.

The post-Arab Spring period had been a political arena where Islamist parties played relatively significant roles in the democratic political transition in the Middle East. Despite the fact that many have interpreted the adoption of democratic values by Islamist parties as merely pragmatic, tactical effort and lacking sincerity, the question of Islam and democracy had been discussed by some prominent Islamist thinkers, even decades before the break of the Arab Spring. Approaching Islamism more as an intellectual tradition, the present study seeks to trace the genealogy of Islamist thought on the issue of democracy in the discourses of some Islamic modernist thinkers until the emergence of the so called “new-Islamist”, in the years prior to the Arab Spring. Along with an analysis on the doctrinal aspects of Islamist thought, this study will then demonstrate how intra-Islamist debates on certain political theology can cast light on important differences among Islamists themselves, both ideologically and politically. This will be done by looking at the politics of Islamist parties in Egypt, Tunisia, and Morocco. The study notices the existence of both continuity and change in the Islamist thought on democracy from the Islamic modernist tradition and analyzes how they affect the different political trajectories of Islamist parties in those three countries in the aftermarth of the Arab Spring. Eventhough there had been an ambivalence attitude, or even a hostile tendency, toward democracy among the early Islamists; the post-Arab Spring has confirmed the possibility of reconciliation between Islamist political thought and certain aspects of democracy"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Hidayat
"Skripsi ini membahas mengenai wacana politik berupa peran semantis dan pragmatik yang terdapat di dalam Pidato Raja Yordania Abdullah II Pasca Arab Spring sejak 2011 sampai dengan 2015. Penelitian ini memfokuskan kepada analisis relasi semantis dan analisis tindak tutur ilokusi yang digunakan Raja Abdullah II pasca Arab Spring. Penelitian ini menggunakan studi deskriptif kualitatif. Adapun teori yang digunakan berupa teori relasi makna dan teori tindak tutur Searle (1979) yang meliputi ilokusi asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Pidato Raja Yordania yang menjadi korpus data, adalah pidato politik Parlemen yang memuat permasalahan bangsa Yordania pasca Arab Spring antara tahun 2011-2015. Penelitian ini menemukan bahwa tindak tutur yang dilakukan oleh Raja Yordania Abdullah II mengacu kepada konteks pragmatik yang ditimbulkan dari permasalahan politik di negara Yordania seperti permasalahan demokrasi, ekonomi, keamanan, reformasi politik, dan hubungan internasional. Salah satu karakteristik bentuk tindak tutur direktif yang digunakan oleh Raja Abdullah II adalah penggunaan tekanan ilokusi dengan menggunakan partikel لا بد، إنّ، أكّد، يجب، أشدّد، الضروري . Selain partikel tersebut penggunaan tindak tutur direktif juga dilakukan dengan penggunaan retorika bahasa Arab Al Iqtibas. Dalam ujaran ekspresif pujian, Raja Abdullah II juga menggunakan makna reflektif sebagai bentuk pujian. Sedangkan konteks Arab Spring antara tahun 2011-2015, sangat jelas mempengaruhi tindak tutur yang berkaitan dengan topik Palestina, Suriah, Terorisme dan Fanatisme serta Dewan Kerjasama Teluk. Relasi makna yang dibangun Raja Abdullah II terbentuk atas pengaruh dimensi konteks yang ada pada ujarannya.
This undergraduate thesis is discussed about political discourse that concentrated with the semantic relational and pragmatic (speech act of discourse). Therefore, this topic was focussed on the analysis semantic and pragmatic from political discourse on Speeches of King Abdullah II Kingdom of Hashemite of Jordan Post Arab Spring (2011-2015).This thesis undergraduate used a method of qualitative description. The theory of Speech Act of Searle (1979) and theory of semantic relational is main theory. The Speech Act of Searle (1979) to including of Assertive, Directive, Commisive, Expressive, and Declarative. The speeches of King Abdullah II to be main corpus data which subject of political issues of Jordan after Arab Spring on 2011-2015. This research was founded Abdullah II?s speech act using utterance pragmatics that have relation with Jordan political issues as democracy, economy, security, politic reformation, and international relationship. On the speech act of King Abdullah II have characteristic on his utterance. One of characteristic of King Abdullah utterance is directive illocution that using the particles of لا بدّ /la>budda/, إنّ /inna/, أكّد /akkad/ , يجب /yajibu/, أشدّد /usyaddidu/, and الضروري /ad} daru>riyy/. In addition to this particles, on King Abdullah II?s directive illocution, he did utterance with the Al Iqtibas (Arabic Rhetoric). For praise illocution (expressive), King Abdullah II occasionally, he used reflective meaning as praising. The Arab Spring Influence (2011-2015) effected his illocutions on the topic Palestine, Syria, terrorism, fanaticism, and Gulf Cooperation Council (GCC). And on his utterance founded of semantic relational which influenced dimension of political context on his utterances."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S65437
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>