Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116954 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Daniel Tjen
"LATAR BELAKANG DAN TUJUAN : Potensial cetusan somatosensorik telah banyak digunakan dalam penelitian strok. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan korelasi antara derajat kekuatan motorik dan potensial cetusan somatosensorik pada penderita dengan serangan pertama strok iskemik. METODOLOGI : Telah diteliti 44 penderita (usia rerata 52 tahun) strok iskemik. Evaluasi klinis mencakup penentuan derajat kekuatan motorik dan perekaman potensial cetusan somatosensorik dilakukan pada waktu bersamaan dalam kurun waktu 3-5 hari setelah saat serangan. Penentuan kekuatan motorik menggunakan skala Medical Research Council. HASIL : Kelainan potensial cetusan somatosensorik ditemukan pada 36,36% penderita strok iskemik. Analisis statistik menunjukkan adanya pemanjangan masa konduksi sentral yang bermakna pada sisi lesi(t=2,17; p=O,037). Korelasi yang bermakna ditemukan antara derajat kekuatan motorik dengan potensial cetusan somatosensorik(p=O,00157). KESIMPULAN : Hasil penelitian ini menunjukkan cukup banyak kelainan potensial cetusan somatosensorik pada penderita strok iskemik. Ada korelasi yang bermakna antara derajat kekuatan motorik dengan potensial cetusan somatosensorik.

BACKGROUND AND PURPOSE; Somatosensory evoked potentials have been widely applied in the study of stroke. The aim of this study is to detennine the correlation between the severity of motor paresis and somatosensory evoked potentials in patients with first attack of ischemic stroke. METHODS; Forty four patients (average age 52 years) were evaluated within 3-5 days after symptom onset. In the clinical assessment a quantitative evaluation of motor paresis using the Medical Research Council scale was included. Somatosensory evoked potentials were recorded once at the same time. RESULTS ; Somatosensory evoked potential abnormalities were found in 36,36% of the patients. The statistical analysis indicated a significant prolongation of the central conduction time of the affected side compared with that of the unaffected side (t=2,17; p=O,037). There was a significant correlation between the severity of motor paresis and somatosensory evoked potentials (p=O.00157). CONCLUSIONS; Our study demonstrates that somatosensory evoked potential abnonnalities are common in patients with ischemic stroke and that somatosensory evoked potential abnormalities correlate with the severity of motor paresis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T58341
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hartono
"Latar belakang : Angka kejadian dan kematian penderita cedera kranio-serebral cukup tinggi. Dalam upaya memperkecil angka kematian dan kecacatan penderita cedera kranio-serebral diperlukan sarana untuk memprediksi keluaran pada cedera kranio-serebral. Berbagai penelitian untuk memprediksi ke1uaran telah dilakukan, diantaranya pemeriksaan neuro-fisiologis seperti PCAB (potensial cetusan auditori batang otak). Metodologi : Pemeriksaan PCAB dilakukan dengan menggunakan alat peme riksaan potensial cetusan Mede1ec ER 94a1sensor dengan stimulasi Mede1ec ST 10 sensor di laboratorium EMG bagian Neurologi RSUPNCM terhadap 58 penderita cedera kranio-serebral dengan SKG 5-10 usia 20-50 tahun yang dirawat di bagian Neurologi RSUPNCM dalam waktu 6-72 jam pertama dengan memperhatikan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. Dilakukan klasifikasi gambaran PCAB dan keluaran (contracted scale Glasgow Outcome Scale) dalam 10 hari perawatan dan dilakukan uji statistik korelasi PCAB dengan keluaran dengan tingkat kemaknaan p=0,05. Basil penelitian: PCAB normal didapatkan pada 53,45% penderita dan PCAB abnormal didapatkan pada 46,55% penderita. Pemanjangan latensi antar ge10m bang unilateral didapatkan pada 32,76%, pemanjangan bilateral pada 3,450/0, dan hanya timbul gelombang I unilateral pada 10,34% penderita. Tidak didapatkan penderita dengan hanya timbul gelombang I bilateral. Sebagian besar penderita (74,08%) mengalarni pemanjangan latensi antar gelombang Ill-V, 3,7% penderita dengan pemanjangan latensi antar gelombang I-V. Keluaran baik terjadi pada 43,4% dan keluaran buruk. terjadi pada 56,6% penderita. keluaran baik terjadi pada 76,42% penderita dengan PCAB normal dan keluaran buruk terjadi pada 88,890/0 penderita dengan PCAB abnormal. Secara statistik terdapat perbedaan bennakna antara keluaran penderita dengan PCAB normal dan PCAB abnormal dan makin berat ke1ainan PCAB maka kemungkinan keluaran buruk lebih besar (p<0,05). Kesimpu/an Kata kuoci PCAB dapat memprediksi keluaran buruk. pada penderita cedera kranio-serebral dengan akurat.

Background: The morbidity and mortality rate of craniocerebral injury patients is quite high. An adequate equipment is needed to predict the outcome of craniocerebral injury to reduce the mortality and prevent more disability. Several researches for predicting the outcome have already been done, such as neurophy siological studies like BAEP (Brainstem Auditory Evoked Potentials). Method : BAEP studies have been done, using Medelec ER 94a / ST 10 equip ment at the EMG-EP laboratory of the Department of Neurology of the Cipto mangunkusumo Hospital, in 58 craniocerebral injured patients with a Glasgow Coma Scale between 5-10, age 20-50, who were admitted to the Neurology ward of the Ciptomangunkusumo Hospital within the first 6-72 hours by looking at the inclusion and exclusion criteria. Statistic evaluation have been done to classify the correlation of BAEP abnonualities with the 10 days outcome (contracted scale of Glasgow Outcome Scale) with a significance ofp = 0.05. Result : Normal BAEP are found in 53.45% patients and abnormal ones are found in 46.55% patients. A unilateral extended interpeak latency was found at 32.76% and 3.45% had a bilateral prolongation and 10.34% only had a unilateral first peak. Most of the patients (74.08%) had a prolongation of the III-V interpeak latency, 3.7% patients had a prolongation of the I-V interpeak latency. 43.4% patients had a good outcome and 56.6% a bad outcome. Good outcome occurred at 76.42% patients with normal BAEP and bad outcome occurred at 88.89% patients with abnormal BAEP. Statistically, there is a significant difference between the outcome of patients with normal and abnormal BAEP, and the probability for a bad outcome was more in the presence of severe BAEP abnormalities (p<0.05). Conclusion: BAEP is able to predict the outcome of craniocerebral injury patients acurately.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T58370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarti
"TUJUAN: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara pola jalan dengan pemulihan motorik berdasarkan stadium Brunnstrom pada penderita pasca stroke
METODE: Subjek penelitian adalah penderita stroke fase subakut dan fase kronis ( onset > 2 minggu) yang non hemiparesis, hemiparesis kanan dan hemiparesis kiri. Dilakukan pemeriksaan fisik dan penilaian pemulihan motorik berdasarkan stadium Brunnstrom. Diberikan penjelasan mengenai prosedur pelaksanaan penelitian. Subjek berjalan pada lintasan sepanjang 10 meter sehingga didapatkan kecepatan berjalannya. Selanjutnya subjek berjalan pada alat gait analyser selama 2 menit, dengan memasukkan kecepatan tiap subjek di alat gait analyser. Didapatkan nilai step length sisi sehat, step length sisi sakit, stride length dan cadence tiap-tiap subjek.
HASIL: Terdapat 30 subjek dalam penelitian ini. Rerata nilai step length sisi sehat 29,69 + 12,65 cm, step length sisi sakit 32,36 + 10,75 cm, stride length 61,85 + 16,89 cm, cadence 71 + 21,66 langkah/menit. Frekuensi subjek dengan pemulihan motorik Brunnstrom 2 terdapat 2 orang (6,7%), Brunnstrom 3 terdapat 6 orang (20%), Brunnstrom 4 terdapat 5 orang (16,7%) pada Brunnstrom 5 terdapat 8 orang( 26,7%) dan Brunnstrom 6 terdapat 9 orang (30%).
SIMPULAN: Terdapat korelasi lemah sampai sedang antara step length sisi sehat, step length sisi sakit, stride length, cadence dengan pemulihan motorik berdasarkan stadium Brunnstrom.

OBJECTIVE: The purpose of this research is to find out correlation between gait pattern with motor recovery based on Brunnstrom stages for stroke patient.
METHODS: The subject of these research are stroke patient in subacute and chronic phase ( onset > 2 weeks) non hemipharetic, right and left hemipharetic. Physical examination and scoring motor recovery based on Brunnstron stage. The patient were given the explanation of the procedure for the research. The subject walks on 10 metres track to get walking speed. Next, subject walks on the gait analyzer for 2 minutes, with walking speed installed to gait analyzer. The outcome measurements consist of step length on unaffected and affected side, stride length and cadence for every subjects.
RESULTS: There are 30 subject in this research. Average step length score on unaffected 29,69 + 12,65 cm, step length on affected side 32,36 + 10,75 cm, stride length 61,85 + 16,89 cm, cadence 71 + 21,66 step/minutes. Frequent subject with motor recovery Brunnstrom 2 are 2 subjects ( 6,7%), Brunnstrom 3 are 6 subjects (20%), Brunnstrom 4 are 5 subjects ( 16,7 %), Brunnstrom 5 are 8 subject (26,7%) and Brunnstrom 6 are 9 subject (30%).
CONCLUSIONS: There is a mild until moderate correlation between step length on unaffected and affected, stride length, cadence and motor recovery based on Brunnstrom stages."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Jessica
"Latar Belakang: Stroke iskemik merupakan penyebab kematian terbanyak kedua dan penyebab utama disabilitas di seluruh dunia. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui diantaranya pola hidup, penyakit komorbid, usia, jenis kelamin, dan ras. Namun, kadar serum vitamin D yang kurang ternyata juga dikaitkan dengan penyakit neurodegeneratif, serta luaran klinis yang lebih buruk. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan pada stroke iskemik yang dinilai berdasarkan NIHSS. Pada penelitian ini juga akan menilai asupan vitamin D serta pajanan sinar matahari.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien stroke iskemik di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, faktor risiko, penyakit komorbid dengan komplikasi, asupan protein, asupan lemak, asupan vitamin D, pajanan sinar matahari, kadar serum vitamin D, serta derajat keparahan. Dilakukan analisis korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan berdasarkan NIHSS.
Hasil: Terdapat 59 subjek dengan diagnosis stroke iskemik dengan rerata usia 63 tahun dan mayoritas laki-laki (62,7%). Faktor risiko terbanyak adalah hipertensi (83,1%), berat badan lebih dan obesitas (64,4%), merokok (57,6%), dan diabetes melitus (42,4%). Penyakit komorbid dengan komplikasi tersering yang ditemukan adalah gangguan jantung (35,6%). Sebanyak 79,7% subjek penelitian memiliki asupan protein yang kurang, sedangkan asupan lemak seluruhnya tergolong cukup. Sebagian besar (52,5%) subjek penelitian memiliki status asupan vitamin D kurang, 5 orang mengonsumsi suplementasi vitamin D secara rutin, derajat pajanan sinar matahari rendah (89,8%). Sebanyak 59,3% memiliki status kadar serum vitamin D defisiensi dengan derajat keparahan terbanyak adalah skor NIHSS 5-15 (76,3%). Terdapat korelasi antara asupan vitamin D dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,307, p 0,018).
Kesimpulan: Kadar serum vitamin D memiliki korelasi dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,469, p <0,001). Kadar serum vitamin D yang kurang berbanding terbalik dengan skor NIHSS yang didapatkan pada penderita stroke iskemik onset akut.

Background: Ischemic stroke is the second leading cause of death and the leading cause of disability worldwide. Some of the known risk factors include lifestyle, comorbid diseases, age, gender, and race. However, deficient serum vitamin D levels are also associated with neurodegenerative diseases, as well as worse clinical outcomes. This study was conducted to determine the correlation of serum vitamin D levels with severity in ischemic stroke as assessed by the NIHSS. This study will also assess vitamin D intake and sunlight exposure.
Methods: This study is a cross-sectional study on ischemic stroke patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and University of Indonesia Hospital. Characteristics of the study subjects included age, gender, risk factors, comorbid diseases with complications, protein intake, fat intake, vitamin D intake, sun exposure, serum vitamin D levels, and severity. Correlation analysis of serum vitamin D levels with severity based on NIHSS was conducted.
Results: There were 59 subjects with a diagnosis of ischemic stroke with an average age of 63 years and the majority were male (62.7%). The most common risk factors were hypertension (83.1%), overweight and obesity (64.4%), smoking (57.6%), and diabetes mellitus (42.4%). Comorbid disease with the most common complication found were cardiac disorders (35.6%). A total of 79.7% of the study subjects had insufficient protein intake, while the fat intake was entirely considered adequate. Most (52.5%) of the study subjects had deficient vitamin D intake status, 5 people took vitamin D supplementation regularly, the degree of sun exposure was low (89.8%). A total of 59.3% had vitamin D deficiency serum level status with the most severity being NIHSS score 5-15 (76.3%). There was a correlation between vitamin D intake and ischemic stroke severity (r -0,307, p 0,018).
Conclusion: Serum vitamin D levels have a correlation with ischemic stroke severity (r -0,469, p <0,001). Insufficient serum vitamin D levels are inversely proportional to the NIHSS score obtained in patients with acute onset ischemic stroke.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adre Mayza
"Merokok merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, menurut World Health Organization (WHO 1988), kebiasaan merokok cenderung meningkat akhir-akhiir ini yaitu 50% pada laki-laki dan 8% pada wanita. Rokok adalah faktor risiko dari strok yang dapat dicegah (klasifikasi serebro vascular diasease III 1990), akan tetapi mekanisme rokok sebagai penyebab strok masih kontroversi. Barigarımenteria (1993) pada penelitianya menganggap rokok sebagai faktor risiko strok yang dapat menurunkan kadar protein S. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh rokok terhadap penurunan kadar protein S pada strok iskemik fase akut. Penelitian dilakukan di Bagian Penyakit Saraf RSUPN-CM sejak bulan Mei 1996 sampai dengan Februari 1997 dengan disain kanıs kontrol pada 45 penderita strok iskemik akut perokok dan 45 penderita strok iskemik akut non perokok yang memenuhi kriteria inklusi. Semua penderita Paki-laki dengan rentang usia seluruh penderita 40 74 tahun. Pemeriksaan protein S dilakukan pada fase akut selambat-lambatnya hari keenam setelah serangan, menggunakan metode koagulometrik. Nilai standard protein 3 untuk orang Indonesia 76% 121,2%. Penilaian hasil aktifitas kadar protein S menurun bila nilai kurang dari 76%. Rerata usia pada kasus 57,2 ± 7,5, tahun dan rerata usia kontrol 56,9 ± 7,9 tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara usia kasus dan kontrol (p=0,421). Rerata lama merokok 15,6 ± 8 talaan, 71% (32 orang) merokok lebih dari 10 tahun dan 28,8% (13 orang), merokok kurang dari 10 tahun, didapatkan perbedaan yang bermakna penurunan aktifitas protein S antara kasus dan kontrol (X 11,37, p- 0,0018; Ratio Odds 11,2). Rerata jumlah rokok yang dikonnanai perhari 15 ± 8 batang perhari, 35,5% (16 orang) merokok lebih dari 20 batang perhari, 64,4% (29 orang) merokok kurang dari 20 batang perhari (X²-4,45; p 0,0349, Ratio Odds-7,89). Semua penderita perokok kretek, 26,78% (12 orang) perokok kretek filter dan 73,3% (33 orang) perokok kretek non filter. Tidak didapatkan perbedaan bermakna perokok kretek filter dan non kretek filter (X=0,72; p = 0,403). Didapatkan penurunan aktifitas kadar protein S yang bermakna pada kasus dibanding dengan kontrol (Ratio Odds 14,3). Rata-rata aktifitas kadar protein S pada kasus 50,6% dan rata-rata pada kontrol 85,5%, terlihat perbedaan yang bermakna dengan uji t-test 7,5; p 0,0001. Tujub puluh lima persentil aktifitas kadar protein S menurun dibawah nilai standard normal pada kasus dan hanya lima belas persentil pada kontrol. Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap penurunan aktifitas kadar protein S (t-test-4,25; p- 0,0001; 95% CI 15,5-45,7) dan (t-test = 2,65; p=0,011; 95% CT 4,1-30,2.

Smoking is a public health problem in the world, according to the World Health Organization (WHO 1988), smoking habits tend to increase recently, namely 50% in men and 8% in women. Cigarettes are a risk factor for preventable stroke (cerebro vascular disease classification III 1990), however the mechanism of smoking as a cause of stroke is still controversial. Barigarımenteria (1993) in his research considered smoking as a risk factor for stroke which can reduce protein S levels. This study aims to see the effect of smoking on reducing protein S levels in the acute phase of ischemic stroke. The research was conducted in the Neurological Diseases Department of RSUPN-CM from May 1996 to February 1997 with a control design on 45 acute ischemic stroke sufferers who were smokers and 45 sufferers of acute ischemic stroke who were non-smokers who met the inclusion criteria. All Paki sufferers were male with an age range of 40 to 74 years. Protein S examination is carried out in the acute phase no later than the sixth day after the attack, using the coagulometric method. The standard value of protein 3 for Indonesians is 76% 121.2%. Assessment of activity results means S protein levels decrease if the value is less than 76%. The mean age of cases was 57.2 ± 7.5 years and the mean age of controls was 56.9 ± 7.9. There was no significant difference between the ages of cases and controls (p=0.421). The average number of cigarettes consumed per day was 15 ± 8 cigarettes per day, 35.5% (16 people) smoked more than 20 cigarettes per day, 64.4% (29 people) smoked less than 20 cigarettes per day (X²-4.45; p 0.0349, Odds Ratio-7.89). All sufferers were kretek smokers, 26.78% (12 people) were filter kretek smokers and 73.3% (33 people) were non-filter kretek smokers. There was no significant difference between filtered kretek and non-filtered kretek smokers (X=0.72; p = 0.403). There was a significant decrease in the activity of protein S levels in cases compared to controls (Odds Ratio 14.3). The average activity level of protein S in cases was 50.6% and the average in controls was 85.5%, showing a significant difference using the t-test of 7.5; p 0.0001. Seventy-fifth percentile activity levels of protein S decreased below normal standard values ​​in cases and only fifteen percentiles in controls. Length of smoking and the number of cigarettes consumed each day had a significant influence on reducing the activity of protein S levels (t-test-4.25; p-0.0001; 95% CI 15.5-45.7) and (t-test = 2.65; p=0.011; 95% CT 4.1-30.2."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Daldiyono Hardjodisastro
"Kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas dapat terjadi sebagai akibat langsung (efek samping) obat antiinflamasi non steroid (obat antireumatik) dan dapat timbul sebagai akibat tidak langsung berbagai keadaan patologik yang berlaku sebagai stresor, seperti luka bakar, operasi otak, tumor otak, trauma kepala, dan strok (1-3).
Kelainan mukosa akut yang terjadi akibat berbagai stresor tersebut lazim disebut sebagai tukak stres (stress ulcer) (1,2). Pada pemeriksaan endoskopi kelainan mukosa akut tersebut terlihat sebagai bercak kecoklatan, at au tukak dangkal, kadang-kadang disertai perdarahan mukosasehingga cairan lambung berwarna coklat kehitaman (4,5). Meskipun kelainan mukosa akibat stresor tersebut tidak berupa tukak, umumnya disepakati bahwa semua kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas akibat stresor yang tidak langsung tersebut tetap disebut sebagai tukak stres (6).
Penelitian tentang kelainan mukosa akut pada penyakit peredaran darah otak, dalam hal ini strok, umumnya didapat dari autopsi. Doig dan Shafar (7) pada tahun 1955 melaporkan tujuh kasus perdarahan saluran cerna pada pasien strok hemoragik. Perdarahan terjadi beberapa saat setelah pasien mulai memperlihatkan gejala sampai dua puluh jam setelah timbul strok. Dalgaard (3) pada tahun 1959 melaporkan 67 kasus kelainan mukosa akut saluran cerna pada pasien strok. Jura (8) pada tahun 1987 melakukan autopsi pada 498 kasus strok. Kelainan akut saluran cerna bagian atas didapatkan pada 120 kasus (24,09%), sebanyak 82 kasus di antaranya bersamaan dengan terjadinya strok hemoragik. Dari 120 kasus kelainan mukosa akut, 75 kasus (63,5%) mengalami perdarahan berat (masif); lima puluh persen di antaranya perdarahan terjadi pada tujuh hari dari awal strok.
Sejauh ini, dalam kepustakaan hanya didapatkan dua buah laporan prospektif tentang kelainan tukak stres pada penderita strok (4, 5). Kitamura (4) pada lahun 1976 melaporkan penellitian endoskopi pada 177 kasus strok. Tukak styes didapatkan sebanyak 52%. Pada strok iskemik 43% kasus, sedangkan pada strok hetnoragik 56% bila perdarahan pada satu tempat, dan 87% bila perdarahan pada beberapa tempal. Kitamura juga melaporkan bahwa ada atau tidaknya hematemesis dan melena berkaitan dengan prognosis. Terdapal perbedaan bermakna dalam mortalitas pasien strok yang mengalami hematemesis melena dan yang tidak. Segawa (5) pada tahun 1980 melaporkan basil endoskopi pada 63 pasien strok dan didapatkan kelainan mukosa akut pada 92%, dan 45% di antaranya terdapat perdarahan.
Sampai saat ini belum pernah ditemukan laporan tentang prevalensi kelainan mukosa akut pada penderita strok di Indonesia. Oleh karena ilu, perlu dilakukan penelitian mengenai hal ini. Patofisiologi atau faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya tukak sires pada penderita strok kurang mendapat perhatian para ahli, seperti halnya tukak stres pada penderita tumor otak (9-11), luka bakar (12,13), renjatan kardiogenik (14,15), dan renjatan endotoksin (16,17).
Berbagai faktor timbulnya tukak stres telah diidentifikasi yaitu sebagai berikut:
1. Hiperasiditas cairan lambung sudah terbukti terdapat pada tukak stres pada tumor otak dan trauma kepala (18-20), sedangkan pada luka bakar, asiditas cairan lambung dapat normal atau meninggi (21). Pada luka bakar bila didapatkan hiperasiditas disertai dengan adanya kelainan pada mukosa duodenum (22,23). Hipergastrinemia Hipergastrinemia terdapat pada trauma kepala (24), sedangkan pada Iuka bakar, kadar gastrin dalam serum ternyata normal (25).
2. Hiperfungsi kelenjar korleks adrenal ditandai oleh hiperkortisolemia. Hiperkorlisolemia-terdapat pada luka bakar terutama yang beral (13) dan trauma kepala yang berat (26). Pada strok,. memang sudah terbukti adanya hiperkortisolemia (27), namun kaitannya dengan timbulnya tukak stres belum jelas.
3. Iskemia mukosa latnbung merupakan predisposisi terpenting untuk timbulnya tukak stres (28-30). Namun iskemia sendiri, tanpa pencetus lain misalnya HCI, asam empedu, atau salisilat, tidak terbukti menimbulkan kelainan mukosa akut (31). Kamada (32) pada tahun 1982 mengukur aliran darah (mikrosirkulasi) mukosa lambung pada pasien luka bakar dan trauma kepala. Pada pasien yang disertai kelainan mukosa akut ternyata mikrosirkulasi pada mukosa lambung jauh lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa kelainan mukosa akut.
4. Adanya iskemia mukosa lambung dapat diketahui dengan mengukur mikrosirkulasi dengan berbagai cara, yaitu metoda klirens aminopirin, metoda inert gas elimination, spektrofotometri (33), atau secara tidak langsung dengan biopsi mukosa lambung (34-37).
Berbagai faktor di atas, dalam kaitannya dengan terjadinya tukak stres pada penderita strok, belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian iebih lanjut?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
D196
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Hamdani Hamid
"Latar Belakang: Sebagian besar pendenita Bell's palsy sembuh sempurna, sisanya tetap mengalam paralisis atau sembuh dengan cacat Secara klinis kecepatan penyembuhan Bell's palsy berbeda-beda, bila terjadi perbaikan yang nyata dalam 3-4 minggu, maka dalam beberapa minggu kemudian akan tercapai kesembuhan sempurna Pemeriksaan Elektrofisiologis antara lain MLP (masa laten proksimal) dan CMAP (compound muscle action potential) diharapkan dapat memprediksi kemungkinan kesembuhan lebih dini Namun terdapat perbedaan mengenai waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan Elektrofisiologis Pada penelitian ini akan dilihat apakah terdapat korelası antara derajat kelumpuhan dengan MLP dan CMAP minggu pertama maupun minggu ke 5. Metodologi: Dilakukan pemeriksaan elektrofisiologıs yakni masa laten proksimal dan compound muscle action potential dengan menggunakan alat EMG Medelec Sapphire pada 55 orang penderita Bell's palsy di laboratorum EMG bagian Neurologi RSUPNCM, yang derajat kelumpuhan otot fasialisnya telah ditentukan menurut metode modifikasi House Brackmann Evaluasi klinis, pemenksaan MLP dan CMAP pada sisi sakit dan sehat dilakukan 2 kali yakni pada minggu pertama dan minggu ke 5 Selanjutnya diadakan uyi statistik untuk menilai adakah perbedaan antara sisi sakit dan sehat pada minggu pertama maupun minggu ke 5 dan dinilai pula adakah hubungan antara derajat kelumpuhan klinis dengan MLP dan CMAP dengan tingkat kemaknaan p 0.05 Dinilai pula korelasi antara gambaran MLP dan CMAP minggu pertama dengan kesembuhan dalam 1 bulan. Hasil Penelitian: Bell's palsy sedikit lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria dan lebih sering ditemukan pada usia 20-29 tahun dibanding usia lebih tua Tidak tedapat perbedaan kekerapan timbulnya Bell's palsy pada sisi kin dengan sisı kanan Umumnya didahului kontak udara dingin beberapa han sebelum timbulnya Bell's palsy Terdapat perbedaan bermakna antara MLP dan CMAP sisi sakit dengan sisi schat Nilai CMAP sisi sakit dengan sisi sehat minggu pertama maupun minggu ke 5 berhubungan dengan derajat kelumpuhan secara klinis sedang MLP tidak Terdapat korelasi secara statistik baik antara derajat kelumpuhan klinis, MLP maupun CMAP dengan kesembuhan dalam 1 bulan. Kesimpulan: Terdapat korelasi antara derajat kelumpuhan dengan CMAP minggu pertama maupun minggu ke 5 sedangkan MLP tidak Terdapat korelasi antara derajat kelumpuhan klinis maupun gambaran MLP dan CMAP minggu pertama dengan kesembuhan penderita dalam 1 bulan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Bagus Ngurah Nuartha
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Bagus Ngurah Nuartha
"Strok atau penyakit peredaran darah otak dapat dijumpai pada semua golongan usia, namun sebagian besar akan dijumpai pada usia di atas 55 tahun (76). Penulis memberanikan diri melakukan penelitian dengan tujuan untuk menilai taraf ketepatan diagnosis secara klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) pada kasus strok non-hemoragik dengan meneliti tingkat korelasi antara gambaran CT dan gambaran klinis.
Pengetahuan mengenai taraf ketepatan pembuktian klinis terhadap strok non-hemoragik yang dapat diandalkan akan sangat membantu para dokter yang bekerja di daerah terpencil dengan fasilitas pelayanan medis yang sangat terbatas. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan mempunyai dampak positif terhadap masyarakat umumnya dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan medis khususnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Nurhasianni Mercy L.
"Rokok dianggap sebagai faktor risiko strok yang dapat dicegah, tetapi mekanisme rokok sebagai penyebab strok masih merupakan kontroversi. Beberapa penelitian menganggap bahwa rokok sangat erat kaitannya dengan kadar fibrinogen plasma. Maka penelitian ini dilakukan untuk menilai peranan rokok terhadap kadar fibrinogen pada penderita stroke iskemik akut perokok. Penelitian kasus kelola ini dilakukan dari Oktober 1995 sampai Jull 1996 di Bag. Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sampel penderita dibagi dalam dua kelompok yaitu, kelompok I: strok perokok 35 penderita (kasus) , kelompok II: strok non perokok 35 penderita (kontrol). Pemeriksaan fibrinogen dilakukan paling lambat hari ke 5 setelah onset strole, dengan metode chromotimer.

Smoking has been considered to be one of the preventable risk factors of stroke but its mechanism causing stroke is still controversial. There were many studies showing that smoking were strongly related to high serum fibrinogen level in acute ischemic stroke patients. This case control study was conducted to asses the role of smoking on serum fibrinogen level in acute ischemic stroke patient hospitalized in Neurological ward Dr. Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta from October 1995 until July 1996. We divided the subject into two categories as follows, group I: smokers with stroke 35 patients (cases), group II: non smokers with stroke 35 patients (control). Fibrinogen serum level measurements were done at least on the 5th day after stroke onset with chromotimer methode.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-59070
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>