Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212064 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurman Kholis
"Vihara Avalokitesvara berlokasi di Pamarican, Pabean, Serang. Vihara ini merupakan vihara yang tertua di Banten dan diperkirakan dibangun sekitar abad ke-16. Untuk mengungkapkan unsur-unsur etnis dan agama pada arsitektur vihara ini dianalisis secara semiotik. Berdasarkan analisis ini maka diketahui unsur-unsur bernuansa Tionghoa yaitu antara lain hiasan naga, tempat pembakaran kertas yang menyeruapi pagoda, lukisan dan patung Dewi Kwan Im, patung Kwan lm Pouw Sat, dan patung Wie Tho Pou Sat. Adapun unsur-unsur agama Buddha dalam vihara ini antara lain patung besar Buddha Gautama dan gambar bunga teratai. Selain itu juga terdapat unsur bernuansa Islam yaitu pada relief yang menggam¬barkan pernikahan Putri Ong Tin dengan Syarif Hidayatullah. Karena itu, vihara ini juga dikunjungi oleh banyak umat Islam."
Jakarta: Kementerian Agama, 2016
297 JLK 14:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chutiwongs, Nandana
Leiden: Nandana Chutiwongs, 1984
732.4 CHU i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Yohann Marshel Firstman
"Penelitian dilakukan terhadap penataan halaman percandian Buddha di Jawa Tengah bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk penataan halaman percandian Buddha di Jawa Tengah serta alasan dan pengaruh penataan halaman pada percandian Buddha di Jawa Tengah. Pendirian percandian Buddha di Jawa Tengah diketahui berkaitan dengan Dinasti Śailendra yang bercorak Buddhis dan berkuasa pada abad VIII-X Masehi. Percandian ini berfungsi sebagai tempat dilakukannya aktivitas keagamaan bagi umat pemeluk agama ataupun didirikan bagi kaum agamawan sebagai vihara. Fungsi yang demikian berkenaan dengan ragam bentuk penataan halaman pada masing-masing percandian Buddha di Jawa Tengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian arkeologi yakni pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, halaman percandian Buddha di Jawa Tengah memiliki karakteristik dan sifatnya masing-masing yang bertalian erat dengan aktivitas keagamaan pada percandian tersebut.

Research on understanding to see how the arrangement of the courtyard in Buddhist temples in Central Java aims to determine the forms of courtyard layout by looking at the characteristics found in Buddhist temples in Central Java. The establishment of Buddhist temples in Central Java is known to be closely related to the Śailendra Dynasty, which is known to have a Buddhist style, which ruled around the VIII-X centuries AD. This temple serves as a place for ritual rites for religious adherents to perform or is established for religious people as a monastery. This function is closely related to the arrangement of the courtyard which has various forms in each Buddhist temple in Central Java. The method used in this research is archaeological research methods, namely data collection, data processing, and data interpretation. Based on the research conducted, the Buddhist temple courtyard in Central Java has its own characteristics that are closely related to the religious activities of the temple."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Windyasti Sulistyo
"Masa Singhasari-Majapahit yang berlangsung dari abad ke-13--15 M, meninggalkan bangunan-bangunan suci dengan bentuk dan arsitektur yang beragam. Selain itu, pada tiap-tiap percandian yang didirikan pada masa tersebut juga memiliki penataan yang berbeda-beda. Hal itulah yang melatari penelitian tentang penataan percandian Hindu pada masa Singhasari-Majapahit, dengan melihat pola penataan dart komponen bangunan candi induk, candi (bangunan) perwara, pagar keliling, gapura pintu masuk, serta bangunan lain yang mungkin saling berbeda pada setiap percandian. Selain itu mencari hubungan kelanjutan dalam pendirian bangunan suci dari Masa Singhasari-Majapahit dengan masa sebelumnya (masa klasik tua).
Penelitian berkisar masalah deskripsi dari komponen bangunan, mengenai ukuran, arah hadap, keletakan. Percandian yang dijadikan ruang lingkup penelitian adalah Candi Kidal, Candi Singasari, Candi Jawi, Candi Panataran, Candi Sumberjati, Candi Bangkal, dan Candi Tegawangi. Untuk mengetahui bentuk penataan tiap percandian, dilakukan dengan melihat bentuk tiap komponen bangunan, dan mencari tabu ukuran, arah hadap, jarak antar komponen bangunan. Jika semua data tersebut diketahui, diperbandingkan setiap komponen bangunan candi yang ada dan dicari tabu apakah terdapat hubungan kelanjutan dengan masa sebelumnya.
Hasil penelitan yang dicapai menunjukkan bahwa pada percandian masa Majapahit-Singhasari masih menunjukkan adanya kesinambungan bentuk penataan dengan masa sebelumnya. Hal ini terlihat dengan adanya penggunaan bangunan perwara, walaupun beberapa percandian memiliki bentuk yang bebeda, namun hal tersebut dapat dimaklumi karena adanya perbedaan pandangan dari masyarakat pendukung pada saat itu, juga selisih waktu yang ada sangat jauh, Selain itu, hubungan kelanjutan antar masa Singhasari-Majapahit dengan masa sebelumnya terlihat dengan penggunaan unsur agama yang masih banyak dianut pada masa itu, yaitu Hindu dan Buddha. Hubungan kelanjutan penataan percandian juga terlihat dengan masih digunakannya bangunan perwara sebagai banguna pendamping dari candi induk, Selain itu, sangat mungkin juga bahwa candi perwara tersebut juga digunakan sebagai tempat menaruh dan menyimpan alat-alat upacara keagamaan, selain juga sebagai tempat pelaksanaan upacara keagamaan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Three dimensional virtual model has a very promising method to visualize archeological building. In this case, amateur digital camera can be used to take pictures of archeological building. Utilizing amateur digital camera based on some reasons. i.e: it's available on market, low cost price, and very good radiometric and spatial resolution.
This research investigates 3D virtual model of archeological building which developed using close range photogrammetry (CRP) by utilizing amateur digital camera. In this case, Kelir Temple, which located in Taman Wisata Prambanan, is chosen as a model. The research carried out in 4 steps: premarking and measuring temple dimension, taking overlap snapshot, photogrammetric processing of overlap images, and evaluation of result.
The research shows 3D virtual model of Kelir Temple has very realistic vizualization, and average descrepancy between direct measurement using tape meter and measurement in 3D virtual model is 0.39 cm. The result indicate that utilizing amateur digital camera and CRP processing is suitable to construct a 3D virtual model of archeological Temple."
MTUGM 4:30 (2008)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
R. Soekmono
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977
726.1 SOE c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Bayu Perdana
"Tulisan ini berfokus pada tatanan (order) arsitektural candi Jawa. Tulisan kontemporer kerap menelaah arsitektur candi menggunakan tatanan triparti, yang utamanya digunakan untuk membagi tampak candi ke dalam tiga bagian: badan, kepala, dan kaki. Meski umum digunakan, tatanan sederhana ini tidak merefleksikan secara akurat kompleksitas candi sehingga pembahasan arsitektural candi seringkali tidak rinci. Penulis mengusulkan sebuah sistem tatanan baru, yang penulis sebut sebagai “tatanan vāstu.” Tatanan ini direkonstruksi menggunakan metode riset arsitektural-historis yang membandingkan candi-candi Jawa serta struktur mancanegara terkait dalam lensa tipo-morfologis, didukung dengan analisis sastra arsitektural kuil India. Sampel candi meliputi 32 candi peribadatan tipe menara (prāsāda) dengan ciri Hindu dan Buddha yang berasal dari era Mataram Kuno (abad 8-11 M).
Secara tatanan tapak, candi Jawa menunjukkan dua pola umum yang berkorespondensi dengan dua moda dasar perancangan maṇḍala; pola berjejer-berhadap yang banyak digunakan pada candi Hindu berkorespondensi dengan moda yantri, sementara pola konsentris yang banyak digunakan pada candi Buddha berkorespondensi dengan moda maṇḍala. Pada pola candi berjejer-berhadap, terdapat sejumlah unsur yang dapat dikaitkan dengan sejumlah aspek geografis/astronomis lokal dan konsep ruang Austronesia yang diduga bercampur dengan konsep arah India pada masa Mataram Kuno. Secara tata bangunan, semua sampel candi dapat dibagi secara visual ke dalam tujuh bagian yang dimiliki tatanan vāstu: upapīṭha, adhiṣṭhāna, pada, prastara, gala, śikhara, dan stūpi. Namun pemeriksaan lebih mendalam menunjukkan bahwa tiap bagian memiliki elaborasi arsitektural yang cukup berbeda dengan norma Asia Selatan maupun Tenggara kontinental.
Pengamatan ini memperkuat pendapat bahwa arsitektur candi Jawa menunjukkan pencampuran berbagai elemen asing menjadi gubahan tersendiri. Studi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan sistem tatanan berbasis vāstu, alih-alih tripartit konvensional, memungkinkan penjabaran elemen arsitektur candi secara lebih rinci. Menerapkan dan menguji kesahihan tatanan vāstu pada candi mungkin dapat menghasilkan sistem tatanan arsitektur baru yang lebih bermanfaat untuk menelaah arsitektur candi Jawa serta kedudukannya dalam jaring pertukaran budaya antara India dan Asia Tenggara.

This paper focuses on the architectural order of ancient Javanese temples. Contemporary writings often use a tripartite order to conceptualize Javanese temple architecture, which divide the edifice into three-part consisting of head, body, and feet. However, the overgeneralized nature of the order does not accurately represent the complexities of Javanese temples and this has made architectural discussion of temples somewhat limited and undetailed. Further, the textual basis of this order is questionable. To support more nuanced discussion of Javanese temple architecture, the author proposes an alternative architecture order, dubbed the “vāstu order.” This order is reconstructed using architectural-historical research method that compares extant Javanese temples with related South and Southeast Asian structures in a typo-morphological lens, supported by analysis of historical treatise pertaining Indian temple architecture. Samples include 32 Hindu and Buddhist Javanese temples in the general shape of a tower (prāsāda) from the ancient Mataram era (8-11th century).
In terms of spatial order, Javanese temples show two general pattern that correspond to two basic design mode in architectural maṇḍala; the linear-opposing configuration commonly observed in Hindu complexes corresponds to the yantric mode, while the concentric configuration commonly observed in Buddhist complexes corresponds to the maṇḍalic mode. In the linear-opposing configuration, there are a number of elements that can be attributed to indigenous concept of space which may have intermingled with Indian-derived concept of space during the Mataram era. In terms of building order, all samples can visually divided into seven parts of the vāstu order: upapīṭha, adhiṣṭhāna, pada, prastara, gala, śikhara, and stūpi. However, further inspection shows that each part has unusual or even unprecedented architectural elaboration from the supposed Indian protype.
These observations contribute to the notion that Javanese temples shows complex amalgamation of various Indian architectural elements into a distinct creative form. This study demonstrates that a conceptual shift from the conventional tripartite order into a more refined vāstu order permitted more detailed observations in various architectural elements of Javanese temples. Applying and testing the vāstu order to other temples would perhaps yield a more robust architectural order that is useful in revealing the nature of Javanese temple architecture and its position within the web of cultural exchange between India and Southeast Asia.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Novita Sari
"Bangunan peribadatan merupakan ruang sosial yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan berbagai kegiatan sosial, baik secara individu maupun komunal. Pemaknaan ruang ephemeral dapat dilihat melalui kehadiran ruang dalam jangka waktu tertentu selama suatu kegiatan berlangsung, dan akan menghilang setelah mewujudkan fungsi dan tujuan dari individu yang membentuk ruang. Kelenteng merupakan salah satu bangunan peribadatan memiliki ruang-ruang yang disusun atas kepercayaan, nilai dan konsep filosofis kebudayaan Cina, sehingga di dalamnya juga terdapat tingkatan hierarki serta makna. Kajian ini secara khusus akan membahas mengenai tingkatan hierarki ruang pada Vihara Tri Ratna, mulai dari sakral hinggal profan dan juga makna yang terbentuk pada ruang terbuka sebagai area yang aktif digunakan untuk ritual sembahyang individu ataupun komunal. Melalui tahapan pengumpulan sumber data, pengolahan sumber data dengan memasukkan konteks ke dalamnya untuk memperoleh bukti arkeologis, serta interpretasi, penelitian ini bertujuan untuk melihat hierarki ruang pada kelenteng, serta makna ruang yang dapat ditelusuri melalui elemen-elemen pembentuk ruang ephemeral dengan melihat ruang terbuka sebagai frontier and bridge dan juga theatre of action. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa adanya dualitas makna antara frontier and bridges menjadi theatre of action, antara ruang semi-sakral menjadi sakral, pada saat ruang ephemeral terbentuk dan hilang.

Religious building is a social space used for various social activities, individually and communally. The meaning of ephemeral space could be seen through the presence of space in certain period of time during an activity and will disappear after the purpose of the created space has been finished. Chinese temple is one of religious building consist of spaces which are arranged based on the belief, values, and philosophical concept of Chinese culture, and there are also levels of hierarchy and meaning in it. This study will specifically discuss about the level of spacial hierarchy in Vihara Tri Ratna, start from the sacred area to the profane, and the meaning of the temple’s open space which is actively used for individual and communal ritual prayer. Through a series of method consist of data gathering, processing data by applying context in order to be archaeological evidence, and interpretation, this paper aim to see the hierarchy of the Chinese temple’s spaces, as well as the meaning of space which could be traced through the formed element of an ephemeral space by seeing temple’s open space as ‘frontier and bridges’ and ‘the theatre of action’. The results of the study indicate a duality of meaning between frontier and bridges to become the theatre of action, between semi-sacred space to sacred, at a certain point when ephemeral space is appeared and disappeared."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rafly Adli Krisdianto
"Relief kalpataru merupakan salah satu relief dengan makna simbol mitologis-religis yang banyak ditemui pada candi-candi Buddha masa Mataram Kuno. Penggambaran relief kalpataru dapat ditemui pada Candi Sewu, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sojiwan, dan Candi Banyunibo. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap pola variasi penggambaran relief kalpataru pada candi-candi tersebut. Selain itu, penelitian ini juga berusaha untuk mengetahui keterkaitan penggambaran relief kalpataru dengan penempatannya pada candi-candi tersebut berdasarkan konsep tridhatu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian dalam ilmu arkeologi dengan tahapan yang terdiri dari pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data. Hasil penafsiran dalam penelitian ini memperlihatkan adanya beberapa pola yang umumnya ditemukan pada penggambaran relief kalpataru. Pola-pola tersebut terjadi karena adanya beberapa ketentuan dalam penggambaran relief kalpataru berdasarkan naskah dan kitab kuno.

Kalpataru relief is one of reliefs with mythological-religious symbolic meanings that are commonly found in ancient Mataram Buddhist temples. Kalpataru reliefs can be found in Candi Sewu, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sojiwan, and Candi Banyunibo. This research aims to reveal the patterns of variation in kalpataru reliefs in those temples. Additionally, this research seeks to understand the relationship between the kalpataru relief and their placement in these temples based on the concept of tridhatu. This research was conducted using archaeological research methods consisting of data collecting, data processing, and data interpretation. The results of the interpretation in this research show several patterns that are commonly found in the kalpataru reliefs. These patterns appeared due to several regulations in the carving of Kalpataru reliefs based on ancient manuscripts and scriptures."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Katalis, 1992
R 726.143 HID t
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>