Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108373 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitra Arsil
"Buku yang ada di hadapan pembaca ini berusaha menampilkan perkembangan sistem parlementer saat ini dengan menampilkan fenomena di berbagai negara yang menggunakan sistem ini. Penulis melihat terjadi perkembangan pesat penggunaan sistem parlementer di berbagai negara. Anggapan bahwa sistem ini memiliki masalah instabilitas yang tinggi karena pengalaman penggunaan sistem di Indonesia di awal berdirinya republik nampak sudah berbeda kenyataannya. Sistem parlementer sudah semakin stabil bahkan dalam titik tertentu sudah memiliki periodesiasi yang tetap seperti gagasan sistem presidensial. Namun demikian tentu saja setiap sistem pemerinthan memiliki potensi masalahnya masing-masing, buku ini juga berusaha menampilkan masalah-masalah tersebut dan bagaimana negara-negara di dunia berusaha mengatasinya."
Jakarta: Publica Indonesia Utama, 2023
328.334 5 FIT s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R. Sastranegara
Jakarta: Neijenhuis & Co.N.V, 1959
342 Sas h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"All state need legislation contained legal rules to regulate all aspects of citizen life. the authority for making legislation is regulated in 1945 constitution. In Indonesia types and structure of legislation are still not yet a consensus among lawyers. but in the decree of people consultative assembly No. XX/MPRS/1966 especially types and structure of central level legislation had been arranged. based on the results of legal study, it was understood the persons who had the important authority and role in and the process of making legislation to be a positive law"
343 JPIH 21 (1999)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002
342.989 5 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmawati
"Berdasarkan sejarah ketatanegaraan RI, Struktur parlemen pada Konstitusi RIS dan padaUUD 1945 (sesudah perubahan) memiliki kamar tersendiri bagi wakil rakyat yang mewakili rakyat dalam konteks kedaerahan. Struktur parlemen menurut UUD |945 jika dianalisis berdasarkan kewenangan formal yang dimiliki, termasuk fungsi legislasi dalam arti luas (membentuk UUD), menggunakan sistem trikameral yang terdiri dari DPR, DPD, dan MPR; sedangkan jika dianalisis hanya berdasarkan fungsi legislasi dalam arti sempit (membentuk UU), menggunakan sistem bikameral yang terdiri dari DPR dan DPD.
Dalam studi perbandingan berbagai negara terkait struktur parlemen multikameral, struktur parlemen lidak hanya terdiri dari sistem bikameral, tetapi ,juga sistem trikameral (tiga kamar) dan sistern pentakameral (S kamar). Dari 22 negara yang menggunakan sistem bikameral, I0 negara merupakan negara kesatuan. Pengamran struktur dan fungsi legislasi parlemen dalam UUD 1945 membatasi kewenangan DPD, dimana DPD hanya berwenang mengusulkan dan membahas RUU tanpa memiliki voting right. DPD juga hanya dapat menyampaikan hasil pengawasan yang dilakukannnya kepada DPR sebagai bahan penimbangan unmk ditindaklanjuti tanpa dapat meminta penjelasan langsung terkait hasil pengawasan yang "dilakukannya kepada pemerintah.
Implikasinya adalah sulitnya mewujudkan latar belakang yang menjadi tujuan pembentukan DPD, yaitu memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Ne gara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam pemmusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah, Serta untuk mendorong percepatan demokrasi, pernbangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Berdasarkan perbandingan dengan berbagai negara, ditemukan bahwa hanya DPD yang metode seleksinya dipiiih secara langsung dengan legitimasi demokratis yang lebih kuat dari pada DPR, tetapi memiliki kewenangan sangat terbatas. Dari 20 negara yang kedua kamar memiliki kewenangan niembentulr UU, semua kamar kedua memiliki kewenangan membahas dan hak veto. Pembatasan kewenangan pada negara tertentu terhadap kamar kedua adaiah dalam hal pengusulan UU (3 negara). Walaupun kewenangan DPD terbatas dalam hal pembentukan UU, tapi masih Iebih baik dibandingkan dengan 2 negara yang kamar keduanya sama sekali tidak memiliki kewenangan membentuk UU, yang dalam tulisan ini penulis kategorikan sebagai very weak bicameralism.

According to Indonesian constitutional history, parliamentary structure in the Constitution ofthe Republik Indonesia Serikat as well as in the UUD 1945 (aiter amendment) has its own chamber for people representatives which represent their states or provinces. Parliamentary structure according to the UUD 1945, if analyzed based on its legislation function in broad meaning (to form constitution), applies tricarneral system consisting of DPR, DPD, and MPR; whereas if analyzed only based on its legislation function in narrow meaning (to make law), it applies bicameral system consisting of DPR and DPD.
In comparative study in various countries on the multicameral parliamentary structure, parliamentary structure is not only consisting of bicameral system but also tricameral system (three chambers) and pentacameral system (tive chambers). Out of 22 countries applying bicarneral system, 10 countries are Unitarian State. In regard to the legislation structure and function of the parliament, the UUD 1945 has limiting the authority of the DPD, which only authorize DPD both to propose and to discuss a bill without exercising voting right. DPD is also entitle to provide its control against Government to DPR, in order to be follow up by DPR, but without having the authority to demand explanation Hom Govemment.
The implication of it is?'the difficulty to bring into reality the historical background of the aim in the DPD?s creation, i.e. to strengthen provinces within the Unitarian State of the Republic of Indonesia as well as nationalistic unitary of all provinces; to improve aggregation and accommodation of aspiration and interest of all provinces in formulating national policy with respect to the relation between state and provinces; and to urge bthe harmony and equal of democracy acceleration, regional development and progression.
Based on the comparative study in various countries, it is found that only DPD applies direct election as the selection method providing a legitimate democracy stronger than DPR, but unfortunately has merely limited authority. Out of 22 countries which the second chamber has the authority to form an act or a law, all second chamber have the authority to discuss and vote it. The limitation of authority in certain countries toward the second chamber applied merely to propose an act (three countries). Notwithstanding the limitation of DPD's authority to make law, it is still better compared to two countries which the second chamber do not have the authority to make law at all, and in this writing it is called as a very weak bicameralism.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D965
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lijphart, Arend
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995
321.804 3 LIJ s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aditya Putra
"ABSTRAK
Setiap lembaga negara memiliki seorang pejabat yang bertugas memimpin lembaga tersebut. DPR selaku pemegang fungsi pengawasan terlibat didalam pengisian jabatan-jabatan publik tersebut. Skripsi ini membahas bagaimana sistem pengisian jabatan publik sesuai dengan hukum positif di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial dan membahas keterlibatan DPR selaku lembaga parlemen di Indonesia yang memegang fungsi pengawasan terhadap sistem pengisian jabatan publik. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode deskriptif dengan menjelaskan sistem pengisian jabatan publik sesuai dengan undang-undang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keterlibatan DPR dalamm pengisian jabatan publik adalah untuk pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang. Namun dibutuhkan beberapa perubahan peraturan agar tercipta sistem pengisian jabatan publik yang selaran dengan Undang-Undang Dasar yang menganut sistem pemerintahan presidensial.

ABSTRACT
Every institutions have an officials that hold leadership function for those institutions. House of Representative (DPR) which has oversight function are involved on process of public officials? appointment. This thesis discuss on the system of public officials appointment according to Indonesian law system which is based on presidential system, and discuss on DPR involvement as a parliament body in Indonesia which has hold an oversight function on public officials appointment. The method of this writings based on descriptive method which describes the system of public officials? appointment based on the acts. The results of this researches are that DPR involvements on public officials? appointment is for the oversight of executive actions based on the acts. However there are need plenty of changes on the acts in order to make consistent system based on the Constitution of Indonesia which is based on presidential system.;"
2016
S64845
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Biondi Insani
"ABSTRAK
Hampir setiap negara yang memiliki konstitusi tertulis memiliki cara untuk mengubah konstitusi yang diatur di dalam konstitusi tersebut. Di Indonesia, berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, perubahan konstitusi dilakukan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun, pada masa Orde Baru, Undang-Undang Dasar 1945 atau konstitusi tertulis di Indonesia, diperlakukan sakral dan dikehendaki untuk tidak diubah. Hambatan selanjutnya adalah diaturnya dua produk hukum, yaitu TAP MPR/IV/1983 tentang referendum, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang refrendum. Kedua ketentuan ini, sangat mempersulit dan sangat tidak sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945. Bentuk penelitian ini adalah kepustakaan-normatif dimana penulis menggunakan teori-teori mengenai konstitusi dan perubahan konstitusi terhadap kewenangan MPR dalam mengubah konstitusi UUD di Indonesia sebelum dan sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pembahasan penelitian dikaitkan dengan prosedur atau mekanisme perubahan konstitusi dari beberapa negara lain dengan studi perbandingan konstitusi. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa setelah amandemen pengaturan dan mekanisme perubahan konstitusi diatur secara lebih rinci dan mekanisme perubahan konstitusi diatur sehingga konstitusi tidak begitu mudah, tetapi juga tidak begitu sukar untuk diubah.

ABSTRACT
Nearly every nation that possesses written constitution has a method to change or amend the constitution that is regulated within the constitution itself. In Indonesia, according to Article 37 of the 1945 Constitution Undang Undang Dasar 1945 , the People 39 s Consultative Assembly MPR has the right to and authority to change the constitution. However, during the New Order era, the 1945 Constitution as the written constitution in Indonesia is considered sacred to be changed. Furthermore, the political power made the possibility to change the constitution more difficult with the regulation of 2 legal products TAP MPR IV 1983 and Undang Undang No. 5 1985 about Referendum which are not in accordance with Article 37 of the 1945 Constitution. With a normative library research, theories about the constitution and the constitutional amendment were utilised to analyse the authority of MPR in changing the constitution before and after the 1945 Constitution. The research 39 s discussion is linked with the procedure and mechanism of the constitutional amendment from other countries with a comparative constitutional study. This study concludes that after the amendment, the regulation and mechanism of the constitutional amendment is more detailed and is regulated so that the constitution is not so easy nor difficult to change. "
2017
S68920
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Ramadhanya Elwinne Huzaima
"Keterwakilan perempuan di parlemen merupakan salah satu aspek penting dalam meningkatkan kesetaraan gender di sebuah negara. Per pemilihan anggota parlemen 2019, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) baru mencapai 21.4%. Angka tersebut berada jauh di bawah Timor-Leste dan Finlandia yang masing-masing memiliki 40% dan 47% keterwakilan perempuan di parlemen nasionalnya. Dalam rangka meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen, terdapat sebuah konsep yang disebut dengan kuota pemilihan perempuan. Untuk itu, penelitian ini mencoba membandingkan bagaimana kuota pemilihan perempuan diatur di Indonesia, Timor-Leste, dan Finlandia. Selain itu, penelitian ini juga meninjau kondisi keterwakilan perempuan di parlemen ketiga negara. Tujuannya adalah untuk melihat faktor-faktor yang dimiliki oleh Timor-Leste dan Finlandia, namun tidak dimiliki oleh Indonesia, yang menyebabkan kedua negara tersebut mampu memiliki keterwakilan perempuan di parlemen yang mumpuni. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dan wawancara dalam pengumpulan data. Kemudian, teori utama yang digunakan untuk analisis adalah Teori Keterwakilan yang dicetuskan oleh Hanna Pitkin, secara spesifik mengenai keterwakilan deskriptif dan substantif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi keterwakilan deskriptif, Indonesia kekurangan karena kuota pemilihan perempuan dalam bentuk nomor urut tidak berjalan dengan maksimal; serta partisipasi politik perempuan yang kurang, terutama karena partai politik di Indonesia tidak menerapkan party quotas. Sementara, dari segi keterwakilan substantif, Timor-Leste dan Finlandia sama-sama unggul disebabkan oleh berjalannya komunikasi dengan masyarakat sipil dan kuatnya peran kaukus perempuan parlemen. Dari sana, dirumuskan beberapa strategi dalam rangka peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI, yakni peningkatan partisipasi politik perempuan, pembenahan kuota pemilihan perempuan berupa nomor urut, pembukaan ruang komunikasi yang besar antara anggota parlemen perempuan dengan masyarakat sipil, dan penguatan peran kaukus perempuan parlemen di dalam DPR RI. Terakhir, strategi yang tidak kalah penting adalah dengan memberikan edukasi politik terhadap perempuan di seluruh negeri.

Women’s representation in parliament is an important aspect in improving gender equality in a country. As of the 2019 parliamentary elections, women’s representation in the Parliament of the Republic of Indonesia (DPR RI) has only reached 21.4%. This figure is far below Timor-Leste and Finland, which respectively have 40% and 47% representation of women in their national parliaments. In order to increase the number of women’s representation in parliament, there is a concept called women's electoral quota. For this reason, this study attempts to compare how women’s electoral quotas are regulated in Indonesia, Timor-Leste and Finland. In addition, this study also reviews the condition of women’s representation in the parliaments of the three countries. The aim is to look at the factors that are owned by Timor-Leste and Finland, but not owned by Indonesia, which causes these two countries to be able to have adequate women’s representation in parliament. This research uses literature study and interview methods in collecting data. Then, the main theory used for analysis is the Representative Theory initiated by Hanna Pitkin, specifically regarding descriptive and substantive representation. The results of this study indicate that in terms of descriptive representation, Indonesia is lacking because the women’s electoral quota in the form of serial numbers does not work optimally; and women’s less political participation, especially because political parties in Indonesia do not apply party quotas. Meanwhile, in terms of substantive representation, Timor-Leste and Finland are both superior due to ongoing communication with civil society and the strong role of the women’s parliamentary caucus. From there, several strategies were formulated in the context of increasing women’s representation in the DPR RI, namely increasing women’s political participation, reforming women’s election quotas in the form of serial numbers, opening large communication spaces between women parliamentarians and civil society, and strengthening the role of women’s parliamentary caucus in DPR RI. Finally, an equally important strategy is to provide political education to women throughout the country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>