Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67961 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: UI Publishing, 2024
610.73 PAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Ariani
"Latar belakang. Malformasi kongenital multipel (MKM) masih menjadi masalah besar di Indonesia, karena muncul sebagai penyebab kematian neonatal yang cukup signifikan. Faktor genetik adalah penyebab tersering MKM dan lebih dari 50% disebabkan oleh kelainan kromosom.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai kelainan struktur kromosom yang berperan dalam kejadian MKM dan alur diagnosis MKM yang sesuai untuk Indonesia.
Metoda. Diagnosis klinis dengan menggunakan database merupakan tahap awal untuk membedakan known dan unknown MKM. Pemeriksaan G-banding menjadi pilihan lini pertama untuk unknown MKM. Pemeriksaan microarray merupakan pemeriksaan lanjutan bila tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan G-banding. Platform microarray yang dipilih adalah CytoSNP 850Kb dengan dua fungsi yaitu array-CGH dan SNP-array.
Hasil. Pasien MKM di Indonesia memiliki fenotip beragam dan bersifat multiorgan. Tiga fenotip tersering yang ditemukan pada subjek adalah hambatan pertumbuhan, mikrosefali, dan penyakit jantung bawaan. Empat puluh dari 94 subjek (42,6%) dapat ditegakkan diagnosis klinis dengan menggunakan database fenotip, 5 dengan etiologi infeksi dan 35 dengan etiologi genetik. Tujuh belas dari 49 subjek (34,7%) ditegakkan diagnosis etiologi dengan pemeriksaan G-banding. Tiga puluh dari 32 subjek (93,7%) didapat etiologi genetik dengan pemeriksaan microarray, dengan rincian sebagai berikut (a) 27 dari 30 subjek didapat dengan metoda array-CGH, dan (2) 3 dari 30 subjek didapat dengan metode SNP-array.
Diskusi. Berdasarkan temuan di atas dicoba disusun alur diagnosis etiologi untuk MKM di Indonesia sebagai berikut (a) menegakkan diagnosis klinis dengan menggunakan database fenotip, (b) melakukan pemeriksaan G-banding sebagai pemeriksaan lini pertama, (c) melakukan pemeriksaan microarray dengan pengklasifikasian sebagai berikut (i) gain/loss pathogenic (sindrom delesi/duplikasi), (ii) gain/loss likely pathogenic, (iii) VUS, (iv) menentukan adanya LoH, (v) mencari adanya gen imprinting dalam area LoH. (vi) menentukan adanya incidental finding.
Kesimpulan. Pendekatan diagnosis etiologi MKM di Indonesia membutuhkan tahapan yang tidak sama. Pertimbangan efektivitas yang dinilai dari tingkat deteksi dan pertimbangan efisiensi menjadi titik perhatian khusus. Metoda G-banding masih efektif sebagai lini pertama penegakkan diagnosis etiologi MKM di Indonesia. Pemeriksaan lini kedua adalah microarray. Penapisan awal secara klinis sangat menentukan tingkat deteksi kedua metoda tersebut.

Introduction. Multiple congenital malformations remain a major problem in Indonesia, as they emerge as a significant cause of neonatal death. Genetic factors are the most common cause of multiple multiple congenital malformation (MCM) and more than 50% are caused by chromosomal abnormalities both large and submicroscopic.
Aim. This study is aimed to investigate various chromosomal structural abnormalities that play a role in the incidence of MCM and to develop a suitable diagnostic flow of MCM in Indonesia
Method. Clinical diagnosis using a database is the initial stage to distinguish between known and unknown MCM. G-banding examination is the first line choice for the unknown MCM. Microarray examination is a follow-up examination if no abnormalities are found on the G-banding examination. The selected platform is CytoSNP 850Kb with two functions, CGH-array and SNP-array.
Results. Multiple congenital malformation patients in Indonesia have a diverse phenotype and included multi organ. The 3 most common phenotypes found in subjects are growth retardation, microcephaly, and congenital heart disease. Forty of the 94 subjects (42.6%) could be diagnosed clinically using a phenotype database, 5 with the etiology of infection and 35 with genetic etiology. Seventeen out of 49 subjects (34.7%) were diagnosed using G-banding examination. Thirty of 32 subjects (93.7%) diagnosed by microarray, with the following details (a) 27 of 30 subjects were obtained by the CGH-array method, and (b) 3 out of 30 subjects were obtained by the SNP-array method
Discussion. Based on the above findings, an etiological diagnosis flow for MCM in Indonesia is attempted as follows (a) establishing a clinical diagnosis using a phenotype database, (b) G-banding examination as a first-line examination, (c) microarray examination with the following classification ( i) pathogenic gain/loss (deletion/duplication syndrome), (ii) likely pathogenic gain/loss, (iii) variant of uncertain significance (VUS), (iv) determine the presence of LoH, (v) look for imprinting genes in the LoH area. (vi) determine the existence of incidental finding.
Conclusions. The etiological diagnosis approach of MKM in Indonesia requires different stages. Consideration of effectiveness assessed from the level of detection and consideration of efficiency is of particular concern. The G-banding method is still effective as the first line in establishing the etiological diagnosis of MCM in Indonesia. The second line test is microarrays. Initial clinical screening largely determines the detection rates of the two methods.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeanne Adiwinata
"ABSTRACT
At the department of Biology - University of Indonesia, the use of a modified von Hemel procedure in slide processing often gives incomplete metaphases due to chromosome losses during the processing. This study is to know the percentage of the incomplete metaphases, to test if the chromosome loss is influenced by chromosome size, and how far all of these will give rise to a false diagnosis. The material is a harvest of fixated blood culture from five normal female patients (46,XX). Slides were prepared from the material and "R-band" stained. Then we analyzed and searched for 115 metaphases with only one chromosome loss that could be analyzed. The result shows that 64.19 % out of 1303 metaphases were incomplete, and 9.29 % or 121 metaphases with only one chromosome loss. It is found that each chromosome has different probability of loss which depends on the size of chromosome. The smaller the chromosome, the greater the chance of loss, but all of these do not lead to any false diagnosis. Chromosome Loss During Slide Processing Using a Modified Von Hemel Procedure;Chromosome Loss During Slide Processing Using a Modified Von Hemel Procedure"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T19
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dennis Oh
"Latar Belakang: Prevalensi keterlambatan tumbuh kembang di Indonesia masih cukup tinggi. Kuesioner Pra Skrining Perkembangan merupakan alat skrining yang digunakan untuk mendeteksi dini gangguan tumbuh kembang anak. Sensitifitas KPSP adalah 60%, yang merupakan nilai yang cukup rendah. Maka dari itu, alat skrining lain diperlukan untuk mencegah tidak terdeteksi anak yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian diagnostik potong lintang 101 anak sehat usia 0-5 tahun yang memenuhi kriteria inklusi di Kampung Lio, Kampung Gangsang, Kampung Tapos dan mal di Jakarta.
Hasil: Hasil menunjukkan bahwa KPSP dan BDI-2 ST tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p=0.078). Sensitifitas dan Spesifisitas BDI-2 ST masing-masing adalah 34.78% dan 92.31%. Umur dan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0.05) bagi nilai KPSP maupun BDI-2 ST. Pendidikan anak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0.05) untuk nilai KPSP tetapi tidak dengan nilai BDI-2 ST. Sebagian anak dengan KPSP skor pass tetap memiliki gangguan di 1 atau lebih domain BDI-2 ST (39.7%).
Konklusi: Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dari nilai KPSP dan BDI-2 ST. Sensitifitas BDI-2 ST yang rendah diakibatkan oleh pemeriksaan yang hanya membandingkan skor total sedangkan seharusnya disertakan skor domain. Penggunaan KPSP sebagai reference test juga kurang memadai. Anak yang sudah melakukan skrining menggunakan KPSP sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan skrining dengan BDI-2 screening test untuk mendeteksi gangguan di area perkembangan tertentu.

Background: The prevalence of developmental delays in Indonesia is still high. Kuesioner Pra Screening Perkembangan is a questionnaire used to screen for developmental delays. The sensitivity of Kuesioner Pra Screening Perkembangan is 60%, which is still considered low. Therefore, different screening tests are required to prevent under-detection.
Methods: A diagnostic cross-sectional study of 101 healthy children aged 0-5 years old was done at Kampung Lio, Kampung Gangsang, Kampung Tapos, and malls in Jakarta.
Results: KPSP and BDI-2 ST does not have a significant difference (p=0.078). The sensitivity and specificity of BDI-2 ST is 34.78% and 92.31% respectively. Age and gender both do not show a significant correlation (p>0.05) with both KPSP and BDI-2 ST scores. Education, however, shows a significant correlation (p<0.05) with KPSP scores while not with BDI-2 ST scores. Some children with KPSP score pass still had at least 1 domain in BDI-2 ST that is refer (39.7%).
Conclusion: There is no significant difference between the scores of KPSP and BDI-2 ST. The low sensitivity of BDI-2 ST was caused by the assessment which compares only the total score when the domain scores needed to be taken into account. Usage of KPSP as a reference test also lacks in reliability. Subjects who have undergone KPSP screening should not stop there, and is recommended to continue with a BDI-2 screening test to detect developmental delays in specific areas.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Trisnawati Safitri
"Penelitian ini membahas mengenai upaya pelaksanaan Skrining Riwayat Kesehatan di BPJS Kesehatan Kantor Cabang Bekasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui capaian Skrining Riwayat Kesehatan di tahun 2018 serta tantangan dan hambatan yang dialami. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu dengan melakukan wawancara mendalam dan observasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya pelaksanaan Skrining Riwayat Kesehatan masih belum optimal, yang sebagian besar berasal dari variabel komunikasi dan sumber daya. Sedangkan pada variabel disposisi dan struktur birokrasi sudah terlaksana dengan cukup baik.

This study discusses the efforts of Health Historical Screening in BPJS Kesehatan Bekasi Branch Office. This study aims to find out the achievement of Health Historical Screening in 2018 as well as the challenges and obstacles experienced. This study uses qualitative research method, through in depth interview and observation.
The results of this study indicate that the efforts of Health Historical Screening are still not optimal, which mostly come from communication and resource variables. While the disposition and bureaucratic structure variable has been done quite well.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sakinah Qur`ani
"Rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang memperhatikan mutu dan menjamin keselamatan pasien. Salah satu upaya untuk menjamin keselamatan pasien yaitu dilakukan skrining resep untuk meminimalkan kesalahan pengobatan. Skrining resep meliputi persyaratan administratif, farmasetik, dan klinis. Oleh karena itu, pada tugas khusus ini bertujuan untuk melakukan skrining kelengkapan resep yang ditinjau berdasarkan persyaratan administratif, farmasetik, dan klinis. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan pengumpulan data secara retrospektif menggunakan resep pasien Rawat Inap Kartika RSPAD Gatot Soebroto periode 12-16 Desember 2022. Populasi penelitian berjumlah 477 resep dan sampel penelitian sebanyak 220 resep yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada tanggal 12-16 Desember 2022. Berdasarkan hasil skrining kelengkapan resep pasien rawat inap Kartika RSPAD Gatot Soebroto periode 12-16 Desember 2022, diperoleh hasil bahwa kelengkapan persyaratan administratif yang tidak lengkap terdapat pada aspek berat badan dan tinggi badan, kelengkapan persyaratan farmesetik yang tidak lengkap terdapat pada aspek bentuk dan kekuatan sediaan, serta kelengkapan persyaratan klinis yang tidak lengkap terdapat pada aspek interaksi obat.

Rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang memperhatikan mutu dan menjamin keselamatan pasien. Salah satu upaya untuk menjamin keselamatan pasien yaitu dilakukan skrining resep untuk meminimalkan kesalahan pengobatan. Skrining resep meliputi persyaratan administratif, farmasetik, dan klinis. Oleh karena itu, pada tugas khusus ini bertujuan untuk melakukan skrining kelengkapan resep yang ditinjau berdasarkan persyaratan administratif, farmasetik, dan klinis. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan pengumpulan data secara retrospektif menggunakan resep pasien Rawat Inap Kartika RSPAD Gatot Soebroto periode 12-16 Desember 2022. Populasi penelitian berjumlah 477 resep dan sampel penelitian sebanyak 220 resep yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada tanggal 12-16 Desember 2022. Berdasarkan hasil skrining kelengkapan resep pasien rawat inap Kartika RSPAD Gatot Soebroto periode 12-16 Desember 2022, diperoleh hasil bahwa kelengkapan persyaratan administratif yang tidak lengkap terdapat pada aspek berat badan dan tinggi badan, kelengkapan persyaratan farmesetik yang tidak lengkap terdapat pada aspek bentuk dan kekuatan sediaan, serta kelengkapan persyaratan klinis yang tidak lengkap terdapat pada aspek interaksi obat."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mila Citrawati
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Kasus infertilitas dijumpai pada l0%-l5% pasangan suami istri dan 50% kasus disebabkan oleh faktor pria. Salah satu penyebab infertilitas pria adalah faktor genetis yang menimbulkan gangguan kualitatif maupun kuantitatif produksi sperma. Kemajuan biologi molekuler mengungkap adanya gen Azaospermic Factor (AZF) pada lengan panjang kromosom Y dengan tiga subregio yaitu AZFa, AZFb, dan AZFc yang diduga berperan pada proses spermatogenesis. Masingmasing subregio memiliki gen kandidat diantaranya adalah RBMY 1 dan DAZ. Frekuensi mikrodelesi lengan panjang kromosom Y berkisar 1%-55%, paling sering ditemukan pada pria azoospermia. Penelitian mengenai mikrodelesi kromosom Y ini semakin pesat bersamaan dengan kemajuan teknologi reproduksi berbantuan yang memungkinkan beberapa pria infertil memiliki keturunan dengan metode Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI). Teknik ICSI memungkinkan adanya transmisi kelainan genetis pada keturunan laki-laki. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan mikrodelesi kromosom Y untuk menghindarkan terjadinya transmisi tersebut. Pemeriksaan mikrodelesi kromosom Y dilakukan dengan metode PCR menggunakan enam Sequence Tagged Sites (STS) pada 35 pria azoospermia, dan kelompok kontrol yang terdiri dari 10 pria normozoospermia sebagai kontrol positif dan delapan wanita fertil sebagai kontrol negatif. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 2% untuk melihat ada tidaknya pita spesifik untuk mendeteksi mikrodelesi pada sekuen tertentu.
Hasil dan Kesimpulan : Pada penelitian ini ditemukan dua dari 35 pria azoosperrnia yang mengalami mikrodelesi pada kromosom Y. Hasil pengujian dengan menggunakan enam STS menunjukkan delesi pada STS sY84 (subregio AZFa), RBMY1 (subregio AZFb), dan sY254 serta sY255 (subregio AZFc). Frekuensi delesi pada penelitian ini adalah 5,7% dan masih dalam kisaran 1%-55% dengan lokasi delesi pada 3 subregio (2,8% pada AZFa+AZFb, dan 2,8% pada AZFc).

Background : Infertility affects 10% - 15% couples attempting pregnancy and 50% of these cases are caused by male factor. Male infertility factors involve qualitative and quantitative defect of sperm production., which some of them can be ascribed a genetic aetiology. Recent molecular biology studies found Azoospermic Factor (AZF) genes on long arm of Y chromosome which divided into three subregions : AZFa, AZFb, and AZFc which seem required for physiologic spermatogenesis. Each subregion has candidate genes, among them are: RBMYI and DAZ. Incidence of , Y chromosome microdeletion varies from 1% to 55% and most of them related to azoospermia. Studies of Y chromosome microdeletion develop as the assisted reproduction technology does, which possible several infertile male to have offspring by Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) method. This technique could transmit the genetic defect to male offsprings. Screening for Y chromosome microdeletion is important to avoid this kind of transmission. The study uses PCR method with six Sequence Tagged Sites (STS) on DNA of 35 azoospermic men, and as control groups: 10 normozoospermic men, and eight fertile women and then continue by 2% agarose electrophoresis to find out the presence of microdeletion at certain sequence.
Results and conclusions : This study found two of 35 azoospermic men with Y chromosome microdeletion. By using six STS, deletions were found in STS sY84 (AZFa subregion), RBMY1 (AZFb subregion), and sY254-sY255 (AZFc subregion). Microdeletion incidence (5,7%) is stilt in avarage range of 1'Y13-55% and located in three different subregions (2,8% in AZFa+AZFb subregions, and 2,8% in AZFc subregion).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Anita Suryandari
"Penelitian ini bertujuan mengetahui frekuensi mikrodelesi kromosom Y pada pria azoospermia di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode PCR dengan lima STS untuk melihat delesi yang timbul pada tiga subregio (AZFa, AZFb, dan AZFc) dan satu STS untuk mengamplifikasi gen SRY yang merupakan kontrol internal. Dari 35 sampel pria dengan azoospermia terdeteksi dua orang (5,7%) yang mengalami mikrodelesi pada kromosom Y (Yq). Mikrodelesi yang terdeteksi dengan enam STS adalah satu orang mengalami delesi pada sY84 (subregio AZFa) dan RBMY1 (subregio AZFb), dan satu orang mengalami delesi pada sY254 dan sY255 (subregio AZFc). Pemeriksaan delesi kromosom Y sangat dianjurkan pada pria azoospermia yang ingin mengikuti program ICSI untuk menghindarkan kelainan genetik pada keturunannya.

Analysis of Y Chromosome Microdeletion in Indonesian Males. The aim of this study is to find out Y chromosome microdeletion in Indonesian azoospermic men. This study used the PCR method with five STS to locate deletion on three different subregions (AZFa, AZFb, and AZFc) of azoospermic men and one STS to amplify SRY gen which act as an internal control. In this study we detected two of 35 (5,7%) azoospermic men had microdeletion Yq. One had microdeletion on subregion AZFa (sY84) and AZFb (RBMY1) and the other one on subregion AZFc (sY254 and sY255). Therefore microdeletion of the Y chromosome in Indonesian azoospermic men excist. Examination of microdeletion of Y chromosomes in azoospermic men is important if they are going to participate in the Intra Cytoplasmic Infection Program to avoid genetic disorders of their descendants."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Ambar Prabowo
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
D1752
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eri Nurkomala
"ABSTRAK
Sampai saat terapi radiasi merupakan pengobatan pilihan terhadap kanker nasofaring. Radiasi yang diberikan tersebut dapat menyebabkan penurunan jumlah limfosit. Penurunan jumlah limfosit di atas diduga antara lain karena terjadi aberasi kromosom. Dari penelitian sebelumnya terlihat bahwa radiasi rnengakibatkan aberasi kromosom pada penderita yang menjalani terapi radiasi. Tipe-tipe aberasi kromosom yang terbentuk dapat berupa kromosom disentrik, kromosom asentrik dan kromosom cincin.
Terapi radiasi diberikan dengan dosis 200 cGy per hari, lima kali berturut-turut dalam seminggu selama kira-kira enam minggu. Sampel diperoleh dari darah tepi penderita kanker nasofaring yang belum mendapat radiasi (kontrol= 0 cGy), setelah terapi radiasi 2000 cGy, 4000 cGy, serta 6000 cGy.
Dari uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan "criticai range" Kruskal-Wallis, menunjukan kromosom disentrik dan kromosom asentrik berbeda nyata antara kontrol dengan penderita yang mendapat radiasi (2000 cGy, 4000 cGy, 6000 cGy), sedangkan jumlah kromosom cincin terbanyak pada radiasi 4000 eGy (P < 0,05). Aberasi lain tidak dipengaruhi oleh dosis radiasi. Uji Spearman memperlihatkan kromosom cincin dan kromosom asentrik berkorelasi negatif terhadap jumlah limfosit (P < 0,05), sebaliknya antara kromosom disentrik dengan jumlah limfosit tidak ada korelasi negatif (P 0,05)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>