Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182364 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Neneng Rahmadini
"Pasca terbitnya UU ITE, kriminalisasi ujaran kebencian di Indonesia semakin marak dan identik dengan penerapan pasal-pasal dalam UU ITE. Ketidakjelasan definisi dari perbuatan ujaran kebencian mengakibatkan terlalu luasnya perbuatan apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian sehingga kriminalisasi ujaran kebencian menjadi sangat sumir dan tidak jelas kelompok sasaran apa yang akan dilindungi dengan kriminalisasi tersebut. Hal ini membuat ujaran kebencian menjadi “keranjang sampah”, tidak jelas batasan antara kriminalisasi ujaran kebencian yang dijalankan oleh aparat penegak hukum dengan bentuk kewajiban negara dalam melindungi hak-hak asasi warga negaranya (dalam hal ini adalah kebebasan mengemukakan pendapat). Penelitian ini menganalisis apakah landasan pikir dilakukannya kriminalisasi ujaran kebencian di Indonesia dan bagaimana implementasinya dalam putusan-putusan pengadilan baik dilihat dari teori pemidanaan dan perspektif kebebasan mengemukakan pendapat. Penelitian ini juga mencari tahu cara untuk menentukan batasan kapan suatu perbuatan pernyataan ekspresi berupa ide, gagasan, pendapat atau hasil pemikiran seseorang termasuk ke dalam koridor kebebasan mengemukakan pendapat dan kapan perbuatan pernyataan ekspresi tersebut termasuk ke dalam kualifikasi delik ujaran kebencian. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen yaitu menganalisis ujaran kebencian dari segi aturan hukum dan implementasinya dalam putusan pengadilan, kemudian dikaitkan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia khususnya kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat.

After the publication of the ITE Law, the criminalization of hate speech in Indonesia has become increasingly widespread and is synonymous with the implementation of the articles in the ITE Law. The lack of clarity in the definition of acts of hate speech results in too broad an act of what is meant by hate speech so that the criminalization of hate speech becomes very vague and it is not clear what target groups will be protected by this criminalization. This makes hate speech a "waste basket", the boundaries between the criminalization of hate speech carried out by law enforcement officials and the state's obligation to protect the human rights of its citizens (in this case, freedom of expression) are unclear. This research analyzes the rationale for the criminalization of hate speech in Indonesia and how it is implemented in court decisions both from a criminal theory and a freedom of expression perspective. This research also seeks to find out how to determine the boundaries of when an act of expression in the form of an idea, thought, opinion or result of a person's thinking falls within the corridor of freedom of expression and when an act of expressing expression falls within the qualifications of a hate speech offense. The research method used is document study, namely analyzing hate speech in terms of legal rules and their implementation in court decisions, then linking it to the principles of protecting human rights, especially freedom of expression and expression of opinion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagaol, Ester Josephin Pratiwi
"Ujaran kebencian merupakan perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan, diskriminasi, permusuhan atas dasar suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap fenomena ujaran kebencian yaitu terletak pada pengaturan mengenai ujaran kebencian itu sendiri, dimana terdapat
ketidakjelasan parameter dalam pengaturannya. Akibat dari ketidakjelasan parameter tersebut, maka kepastian hukum terkait ujaran kebencian akan sulit dicapai selain itu akan semakin besar kemungkinan terjadinya kesewenangwenangan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah sejarah peraturan tentang ujaran kebencian di Indonesia, apa yang menjadi parameter suatu perbuatan termasuk sebagai ujaran kebencian (hate speech) serta praktik penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) di Indonesia. Melalui penelitian Yuridis-Normatif dengan
pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual, maka penelitian ini menghasilkan tiga kesimpulan yaitu: 1. Sejarah peraturan tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) di Indonesia sesungguhnya berasal dari British Indian Penal Code yang saat itu berlaku di India yang dijajah oleh Inggris. Berdasarkan Traktat London, semua jajahan Perancis diserahkan ke tangan Inggris. Belanda
yang merupakan jajahan Perancis kemudian jatuh ke tangan Inggris, maka Inggrislah yang membawa pasal tersebut ke Belanda, kemudian Belanda menerapkan pasal tersebut ke Indonesia karena dianggap memiliki kesamaan dengan India yang memiliki ragam kultur dan agama. 2. Parameter ujaran
kebencian yaitu perbuatan yang dilakukan di muka umum; bersifat permusuhan, penghinaan atau merendahkan, dan kebencian; dilakukan dengan sengaja baik langsung maupun tidak langsung; menimbulkan terjadinya kerusuhan yang
menyebabkan terjadinya kerugian materiil, immateriil dan jiwa. 3. Penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan analisis dari tujuh putusan ialah bahwa hakim kurang memberikan tafsiran dan argumen terhadap unsur pasal yang tidak jelas tersebut dan ada hakim yang memperluas makna golongan menjadi tidak sesempit pada suku, agama dan ras saja.

Hate speech is a word, behavior, writing, or show that is prohibited because it can trigger acts of violence, discrimination, animosity on the basis of ethnicity,
religion, race and intergroup (SARA). One factor that is weak law enforcement against the phenomenon of hate speech is located in the regulation of the hate speech itself, where there are unclear parameters in the regulation. As a result of the unclear parameters, the legal certainty related to hate speech will be difficult to achieve other than that the greater the possibility of arbitrariness. This research is intended to find out and understand how the history of regulations regarding hate speech in Indonesia, what is the parameter of an act including hate speech and law enforcement practices against hate speech in Indonesia. Through juridical-normative research with historical, legal and conceptual approaches, this research resulted in three conclusions, namely: 1. The history of
hate speech regulations in Indonesia actually originated from the British Indian Penal Code which was then in force in India which was colonized by the British. Based on the London Treaty, all French colonies were handed over to the British. The Netherlands which was a French colony then fell into the hands of the British, then it was England who brought the article to the Netherlands, then the Dutch
applied the article to Indonesia because it was considered to have similarities with India which had a variety of cultures and religions. 2. Parameters of hate speech, namely acts committed in public; hostility, humiliation or humiliation, and hatred; done intentionally both directly and indirectly; lead to riots that cause material, immaterial and life losses. 3. law enforcement against hate speech based on an analysis of the seven decisions is that the judge does not provide interpretations and arguments about the unclear elements of the article and there are judges who expand the meaning of groups to be not as narrow as ethnic, religious and racial only.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jerry Thomas
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui konsep ujaran kebencian yang berkaitan erat dengan hak asasi manusia dalam kebebasan berpendapat. Ujaran kebencian adalah kegiatan kriminal yang ditargetkan, biasanya dimotivasi oleh prasangka berdasarkan pada karakteristik pribadi yang dirasakan para korban. Ujaran kebencian ini adalah masalah HAM yang dilematis, dimana di satu sisi menyampaikan pendapat merupakan suatu HAM yang patut dilindungi, dan di sisi lain kebebasan tersebut berpotensi menyebabkan ujaran kebencian. Kemajuan teknologi kemudian memberi kontribusi besar dalam terjadinya ujaran kebencian yang dilakukan melalui media sosial. Penelitian dalam tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan perolehan data secara khusus dari peraturan perundang-undangan nasional, perjanjian-perjanjian internasional, putusan pengadilan, literatur-literatur hukum terkait, dan data-data dari wawancara terhadap para praktisi yang sudah pernah berurusan dengan perbuatan ujaran kebencian ini. Data-data yang diperoleh akan dideskripsikan dan dianalisis secara mendalam dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian dalam tesis ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada masih bersifat karet dimana para penegak hukum masih mengalami kendala yang berarti dalam penanggulangan ujaran kebencian. Ujaran kebencian memiliki unsur yang berhubungan erat dengan hasutan kebencian kepada para pendengarnya dan kerentanan seseorang atau suatu kelompok minoritas yang dijadikan target dari kebencian itu. Tesis ini juga merekomendasikan pemerintah agar dapat mempertimbangkan untuk melakukan regulasi khusus terhadap perbuatan ujaran kebencian. Dengan demikian, kriminalisasi terhadap ujaran kebencian dapat membantu para penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum yang efektif dan sesuai dengan koridor hukum.

This thesis aims to know the concept of hate speech that is closely related to human rights in freedom of expression. Hate speech is a targeted criminal activity, usually motivated by prejudice based on the personal characteristics felt by victims. This hate speech is a dilemmatic human rights issue, which on the one hand conveys opinion as a human right to be protected, and on the other hand it has the potential to cause hate speech. Technological advances then contribute greatly to the occurrence of hate speech through social media. The research in this thesis uses qualitative research methods with the acquisition of data specifically from national legislation, international agreements, court decisions, related legal literature, and data from interviews of practitioners who have previously dealt with this hate speech. The data obtained will be described and analyzed in depth and described systematically. The results of the research in this thesis indicate that the existing legislation is still uncertain where law enforcers still experience significant obstacles in overcoming hate speech. Hate speech has elements that are closely related to incitement of hatred to the audience and the vulnerability of a person or a minority group targeted by that hatred. This thesis also recommends the government to consider doing special regulation on hate speech. Thus, criminalization of hate speech can assist law enforcement to enforce effective laws and in accordance with legal corridors."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T52207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairuddin
"Kebebasan pengguna internet di dunia maya menjadi cikal bakal munculya Ujaran Kebencian, hoax dan sejenisnya. Diperlukan adanya mekanisme kontrol yang baku. Kehadiran UU ITE yang dikeluarkan oleh pemerintah diharapkan dapat mengurangi jumlah kasus Ujaran Kebencian di dunia maya. Disamping itu UU ITE diharapkan dapat membatasi penyebar Ujaran Kebencian, hoax dan sejenisnya. Tujuan dari Tesis ini adalah untuk memperoleh gambaran atau deskripsi tentang kasus Ujaran Kebencian di dunia maya sebagai salah satu kasus tindak pidana di dunia maya yang dibuat oleh pengguna internet dalam rangka membina keamanan dan ketertiban Masyarakat. Undang-undang ITE yang semestinya dapat mengurangi tingginya angka tindak pidana di dunia maya, khususnya Ujaran Kebencian dalam memberikan efek jera, ternyata tidak berpengaruh sama sekali. Hal ini diindikasikan oleh data yang diperoleh dari Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Ada tiga masalah yang diungkap dalam penelitian ini; pertama, adanya modus operandi Ujaran Kebencian yang dilakukan pada Pilpres tahun 2019; kedua, model penanganan Ujaran Kebencian pada Pilpres 2019 di Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya; ketiga faktor pendukung penanganan Ujaran Kebencian yang dilakukan oleh Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif-deskriptif dimana data dan fakta dikumpulkan berdasarkan temuan di lapangan yang kemudian dideskripsikan. Pada penelitian ini, sumber data ditentukan secara purposive dengan metode pengumpulan data melalui cara observasi wawancara dengan informan penelitian, dan telaah dokumentasi. Sedangkan analisa data dilakukan dengan cara reduksi data (data reduction), sajian data (data display) dan penarikan kesimpulan dan verifikasinya (conclusion and verification). Adapun temuan dari penelitian ini adalah bahwa pertama adanya modus operandi Ujaran Kebencian pada Pilpres 2019, adanya model khusus penanganan Ujaran Kebencian pada Pilpres 2019 di Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, dan, ketiga adanya faktor pendukung penanganan Ujaran Kebencian yang dilakukan oleh Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya

The freedom of the internet users in cyber has become a root cause of the emergence of hate speech, hoax, and the like. It is compulsory to have standard controlling mechanism. The launching of Information and Electronic Transaction Law is expected to be able to reduce the number of cases of Hate Speech in cyber. Besides, the Information, Electronic Transaction regulation is expected to limit hate speech creators of Hate Speech, hoax and the like. The purpose of this thesis is to gain a decription about Hate Speech cases created by the internet users as one of criminal action cases in the internet in order to maintain law and order in the society. Information and Electronic Transaction Law (ITE) which is expected to be reducing the high rate of criminal actions in the internet, particularly Hate Speech in order to give sanctions, does not affect at all. This is indicted by the factual data gained from Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, for certain years period, experience an increase. Three problems are exposed in this research; first, there is modus operandi of Hate Speech, particularly during the Presidential Election 2019; second, handling model of Hate Speech cases during the Presidential Election 2019 in Subdit Tipid IV Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya; and supporting factors of Hate Speech handling in Subdit Tipid IV Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. This research is conducted by qualitative-descriptive where data and facts are gathered based on the findings in the field that are described later. In this research, data sources are determined in a purposive way with data gathering methodology in observation and interview with the research informan, coupled with document analysis. Meanwhile, data analysis are are conducted by data reduction, data display and conclusion and verification. The research finding is the fact that there is a modus operandi of Hate Speech during the Presidential Election 2019, special model of handling Hate Speech during the Presidential Election 2019 in Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, and supporting factors of handling Hate Speech, in Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Reno Prakoso
"Di Indonesia, khususnya DKI Jakarta sebagai pusatnya, ujaran kebencian khususnya dalam bentuk berita bohong menjadi sangat massif dan merebak. Polda Metro Jaya khususnya Direktorat Intelkam memiliki kewajiban melakukan deteksi dini terhadap ancaman harus berperan aktif melakukan upaya-upaya pencegahan dan antisipasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian yaitu: (1) Momentum politik saat pilkada dan menjelang pemilihan presiden seakan menjadi momentum menyebarnya berita hoaks. Pada tahun 2018, sedikitnya ada kurang lebih 997 kasus hoaks di DKI Jakarta yang dipantau, dicegah dan ditanggulangi oleh Ditintelkam Polda Metro Jaya, melonjak drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Dari sekian banyak jenis ujaran kebencian, yang paling banyak terjadi khususnya di DKI Jakarta sebagai “penjuru” nya Indonesia adalah berita bohong (hoaks). (2) Ditinjau dari sudut pandang Foreign policy dan Program strategy development, pemerintah telah berupaya meminimalisir terjadinya berita bohong dengan berbagai peraturan dan Undang-Undang, misalnya melalui Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian. Dari sudut pandang Economic Analysis, menjadi produsen maupun penyebar berita bohong (hoaks) kemudian mengambil keuntungan dari pro kontra yang ditimbulkan menjadi pilihan “pekerjaan” bagi sebagian orang saat ini. Dari sudut pandang political analysis, dimana justru banyak aktor-aktor politik yang memanfaatkan berita bohong dan sengaja diproduksi untuk menyingkirkan dan menjatuhkan lawan politiknya. Ditinjau dari sudut pandang Compliance monitoring bahwa dengan banyaknya fenomena berita bohong di tengah masyarakat akan berpotensi pada terjadinya konflik-konflik di dalam masyarakat yang berbahaya bagi ketahanan nasional, sehingga dari sudut Defence and security threat terlihat jika fenomena ujaran kebencian ini tidak diantisipasi sejak dini, berpotensi pada terpecah belahnya NKRI. Oleh karena itu, Law enforcement planning yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan dan mensinergikan berbagai pemangku kepentingan di DKI Jakarta termasuk masyarakat itu sendiri dalam upaya antisipasi sejak dini terhadap berita bohong (hoaks) yang meresahkan masyarakat demi keutuhan NKRI.

In Indonesia, especially DKI Jakarta as the center, hate speech, especially in the form of fake news, has become massive and widespread. Polda Metro Jaya, especially the Directorate of Intelligence and Security, has an obligation to carry out early detection of threats and must play an active role in making prevention and anticipation efforts. This research uses a qualitative approach. The results of the research are: (1) Political momentum during the regional elections and before the presidential election seems to be a momentum for hoax news to spread. In 2018, there were at least 997 hoax cases in DKI Jakarta that were monitored, prevented and overcome by the Directorate of Information and Technology of the Polda Metro Jaya, a drastic increase from previous years. Of the many types of hate speech, the most common especially in DKI Jakarta as the “corner” of Indonesia is hoax. (2) From the point of view of the foreign policy and strategy development program, the government has tried to minimize the occurrence of fake news with various regulations and laws, for example through the Chief of Police Circular Number: SE / 6 / X / 2015 dated 8 October 2015 concerning handling of speech. Hatred. From the point of view of the Economic Analysis, being a producer or spreading hoax then taking advantage of the pros and cons that has resulted in becoming a "job" choice for some people today. From the point of view of political analysis, there are many political actors who take advantage of fake news and are deliberately produced to get rid of and overthrow their political opponents. From the point of view of Compliance monitoring, with the many phenomena of fake news in the community, there will be potential for conflicts in society that are dangerous to national security, so that from the point of view of Defense and security threat, it can be seen that if the phenomenon of hate speech is not anticipated early, it will the potential for the fragmentation of the Republic of Indonesia. Therefore, law enforcement planning that needs to be done is to maximize and synergize various stakeholders in DKI Jakarta including the community itself in an effort to anticipate from an early age fake news (hoax) that disturbs the community for the integrity of the Republic of Indonesia"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satrio Abdillah Wirataru
"Skripsi ini membahas peraturan hukum mengenai ketentuan dari tindak pidana syiar kebencian di Indonesia. Pembahasan berdasarkan pada contoh ketentuan pidana perbuatan syiar kebencian di Jerman dan Amerika Serikat. Penelitian ini adalah peneltian kualitatif. Hasil penelitian menyarankan agar pembuat undangundang merevisi ketentuan Pasal 286 dan 287 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agar lebih sesuai dengan konsep syiar kebencian. Selain itu, disarankan agar jenis delik syiar kebencian di Indonesia berbentuk delik formil dan menjadikan bentuk ketentuan pidana syiar kebencian di Jerman sebagai rujukan.
The focus of this thesis is on the legislation of hate speech as a criminal act in Indonesia. Using the existed criminal law of hate speech in Germany and USA as examples, the qualitative analysis of this thesis sums up with two suggestions. First is to revise the Article 286 and 287 of Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana to be more appropriate with the concept of hate speech. Second is to categorize the hate speech in Indonesia as a formal crime with the German Criminal Law of hate speech as a reference."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54545
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika RI, 2008
R 343.0999 IND u
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Esthi Maharani
"Ujaran kebencian (hate speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan seorang individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, atau hinaan terhadap individu atau kelompok lain terkait berbagai aspek, di antaranya yaitu warna kulit, etnis, gender, orientasi seksual, agama atau lainnya. Di Indonesia, ujaran kebencian semakin masif terjadi terutama di tahun 2017 yang disebut sebagai tahun ujaran kebencian. Di tahun yang sama, aparat pemerintah pun semakin serius untuk menangani ujaran kebencian, terutama di media sosial Facebook yang menjadikan Presiden Joko Widodo sebagai sasaran utama. Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada penanganan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo di Facebook pada 2017 berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini menggunakan teori implementasi kebijakan publik Merilee S Grindle yang menekankan bahwa keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan konteks implementasi (context of implementations). Dengan metode kualitatif, penelitian ini fokus pada sepak terjang kelompok Saracen yakni kelompok yang merupakan sindikat penyebar ujaran kebencian dan hoaks. Ada tiga kasus ujaran kebencian terkait kelompok Saracen yang diteliti. Ketiga kasus tersebut menggambarkan implementasi UU 19/2016 tentang ITE lewat regulasi turunan yang dibuat oleh Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dari penelitian ini dapat diketahui adanya persoalan teknis dalam penanganan ujaran kebencian di 2017. Selain itu, penelitian ini memperlihatkan adanya pesan politis lebih besar yakni memberikan peringatan sekaligus rasa takut pada para pengunggah ujaran kebencian tetapi disaat yang sama justru memunculkan ancaman terhadap hak kebebasan berpendapat. 

Hate speech is speech which attacks others on grounds of their race, nationally, religious identity, gender, sexual orientation or other group membership, where this group membership is a morally arbitrary distinguishing characteristic. In Indonesia, hate speech is increasingly massive occurring especially in 2017. The year even referred to as the year of hate speech. In the same year, government officials become more serious to tackle hate speech. Especially in social media such as Facebook who targeting President Joko Widodo. Thus, this study focuses on the managing of hate speech against Joko Widodo on Facebook in 2017 under Law No. 19 of 2016 on Electronic Information and Transactions (UU ITE). With qualitative methods, this study focuses on Saracens group who had known as a syndicate of hate speech and hoax in Indonesia. There are three cases of hate speech related to the Saracen group being researched with politic of policy implementations theory. It described how Law 19/2016 of the ITE is implemented through derivative regulations created by the National Police and the Ministry of Communication and Informatics. This study also described technical issues about how government officials mistreated hate speech in 2017. Moreover, it showed bigger political messages about how government officials can be threatening freedom of expression.                                                                                                         "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T55266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Panji Purnama
"Perkembangan teknologi informasi memberikan pengaruh yang sangat besar bagi upaya pembaharuan di bidang hukum. Pembaharuan hukum terhadap perkembangan teknologi informasi ini merupakan salah satu bentuk dari pembaharuan hukum yang futuristis. Dengan demikian, pembaharuan hukum ini tidak saja dilakukan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan baru (legal substance). Akan tetapi, pembaruan terhadap penegakan hukum atas berbagai peraturan perundang-undangan yang melingkupinya harus didukung juga dengan instrumentasi dalam penegakan hukum atau infrastruktur penegakan hukum, yang mana dalam hal ini adalah teknologi informasi. Penerapan teknologi informasi sebagai pendukung penegakan hukum pada sistem peradilan pidana ini, yaitu: Peradilan Elektronik (e-Court). Namun, penerapan e-Court sebagai salah satu cara mewujudkan integrated judiciary (peradilan terintegrasi) pada sistem peradilan pidana Indonesia tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti: Pertama, petugas yang melaksanakan panggilan harus bertemu sendiri (inperson) dengan orang yang dipanggil. Sedangkan di dalam praktik persidangan secara elektronik, pemanggilan dilakukan melalui domisili elektronik; dan Kedua, keharusan sidang pengadilan dilakukan di gedung pengadilan dalam ruang persidangan. Akan tetapi dalam persidangan elektronik, para pihak di ruang sidang yang berbeda-beda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan e-Court sebagai peradilan terintegrasi pada sistem peradilan pidana Indonesia merupakan bentuk peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Maka, e-Court perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP, Undang-Undang tentang Peradilan Umum, dan Undang-Undang Peradilan lainnya yang memerlukan mekanisme persidangan secara elektronik.

The development of information technology has had a huge impact on reform efforts in the legal field. Legal reform on the development of information technology is one form of futuristic legal reforms. Therefore, this legal reform is not only carried out by forming new laws and regulations (legal substance). However, the reform of law enforcement on various laws and regulations that cover it must also be supported by instrumentation in law enforcement or law enforcement infrastructure, which in this case is information technology. The application of information technology as a subsidiary for law enforcement in this criminal court system, is called Electronic Court (e-Court). However, the application of e-Court as a means of realizing an integrated judiciary in the Indonesia criminal court system is not known in the Criminal Procedure Code (KUHAP), such as: First, officers who carry out summons must meet in person (inperson) with the person on call. Meanwhile, in the practice of an electronic trial, summons are made through an electronic domicile; and Second, the requirement to carry out court proceedings at the court building in the courtroom. Nevertheless, in an electronic trial, the parties in the courtroom are different. The method used in this research is normative legal research with a conceptual approach, a statute approach and a comparative approach. The results showed that the application of e-Court as an integrated judiciary in the Indonesian criminal court system is a form of court that is simple, fast, and low cost. Thus, e-Court needs to be regulated in the Draft Criminal Procedure Code, the Law on General Courts, and other Judicial Laws that require an electronic trial mechanism."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>