Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145210 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tarigan, Utama Abdi
"Pendahuluan : Compromised flap merupakan komplikasi yang sering didapatkan dari operasi-operasi elevasi flap. Penanganan jaringan yang kurang baik, tehnik operasi, kadang mengakibatkan cedera pada pembuluh darah yang berujung pada compromised flap yang bila tidak ditangani dengan baik, dapat menjadikan kematian sebagian bahkan seluruh flap. Hampir semua cedera pada pembuluh utama dapat diatasi dengan tindakan reoperasi untuk mengatasi gangguannya. Tetapi bila gangguan yang terjadi di microsirkulasi, therapi farmakologi merupakan pilihan. Disamping itu, compromised flap memberikan tampilan klinis yang berbeda, tergantung gangguan yang terjadi pada pembuluh vena atau arteri. Banyak pilihan sediaan farmakologi untuk mengatasi compromised flap oleh karena gangguan mikrosirkulasi. Diantaranya yang sering dipakai oleh karena mudah cara pakainya, murah, tersedia dan diketahui cara kerjanya adalah heparin topikal dan nitrogliserin topikal. Metode: Suatu studi eksperimental dilakukan terhadap 18 ekor tikus Sprague-Dawley betina yang terbagi secara acak ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok yang deri penangan dengan heparin topikal. Setelah dilakukan elevasi groin island flap, dilakukan oklusi pada vena femoralis sirkumjleksa lateralis selama 6 jarn hingga terbentuk compromised jlap. Kemudian oklusi dilepas dan dioleskan heparin topikal selama 7 hari. Dinilai perubahan warn a yang terjadi hari pertama dan hari ke tujuh. Pada kelompok kedua, dengan tehnik yang sarna tetapi perlakuan yang diberikan dengan nitrogliserin topikal. Perubahan warna yang terjadi didokwnentasikan dengan mempergunakan kamera dan tehnik pemotretan yang sarna Kemudian perubahan wama yang terjadi hari 1 dan hari ke 7 dinilai dengan pengukuran persentase grayscale foto dengan memakai adobe photoshop CS4. Hasil : Perubahan warna yang terjadi dimana wama flap yang sebelumnya gelap menjadi lebih terang dan akhirnya menjadikan flap viabel, tid8.k menunjukkan perbedaan bermakna baik yang diperlakukan dengan heparin maupun dengan nitrogliserin (p>O,05). Demikian juga waktu yang diperlukan untuk menjadikan flap tersebut lebih viabel, tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara heparin maupun nitrogliserin. Simpulan : Compromised vena dapat diatasi dengan heparin dan nitrogliserin topikal, akan tetapi tidak menunjukkan sedian yang satu lebih superior dibanding dengan sediaan lainnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2009
T59067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Januar Rizky Adriani
"Pendahuluan: Deep Vein Thrombosis (DVT) memiliki kecenderungan terus meningkat dengan koinsidensi mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. COVID-19 dapat menyebabkan hypercoagulable state dan menjadi predisposisi terjadinya DVT. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kadar fibrinogen, D-Dimer, dan dosis heparin teraupetik berdasarkan kadar APTT dengan adanya COVID-19 pada pasien DVT. Metode: Desain penelitian komparatif dan kohort prospektif digunakan untuk membandingkan kadar fibrinogen, D-Dimer, dan dosis heparin terapeutik antara pasien COVID-19 dan non COVID-19 yang menderita DVT di RSPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret 2020 – Maret 2022. Penegakan diagnosis DVT dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi dan/atau computed tomography angiography (CTA) fase vena. Data variabel utama dan lainnya diperoleh dari rekam medis pasien. Uji T independen atau Mann-Whitney digunakan untuk menganalisis perbedaan nilai variabel antara kedua kelompok. Hasil: Dari total 253 sampel, tidak terdapat perbedaan karakterisitik awal antara kelompok DVT COVID-19 (n=44) dan DVT non COVID-19 (n=209), kecuali pada parameter Wells Score. Kelompok DVT COVID-19 memiliki kadar Fibrinogen, D-Dimer, dan aPTT yang lebih tinggi daripada kelompok DVT non COVID-19, baik sebelum terapi maupun sesudah terapi heparanisasi (semua nilai p =0,000). Pada akhir pengamatan, didapatkan dosis heparin terapeutik pada kelompok DVT COVID-19 lebih tinggi dibanding pada kelompok DVT non COVID-19 (30,00 (20,00-40,00)x103 U vs. 25,00 (20,00-35,00)x103 U, p=0,000). Kesimpulan: Kadar fibriongen, D-Dimer, dan dosis heparin terapeutik pada pasien DVT yang menderita COVID-19 lebih tinggi dibandingkan pada pasien DVT yang tidak menderita COVID-19. Inisiasi pemberian dosis heparin terapeutik dosis tinggi dapat dipertimbangkan pada pasien DVT dengan komorbid COVID-19 dan dipandu oleh hasil pemeriksaan biomarker koagulasi darah.

Introduction: Deep Vein Thrombosis (DVT) has an increasing trend with a coincidence of short-term mortality and long-term morbidity. COVID-19 can cause a hypercoagulable state and predispose to DVT. This study aims to analyze the relationship between fibrinogen levels, D-Dimer, and therapeutic heparin doses based on APTT levels in the presence of COVID-19 in DVT patients. Methods: A comparative study design and a prospective cohort were used to compare levels of fibrinogen, D-Dimer, and therapeutic heparin doses between COVID-19 and non-COVID-19 patients suffering from DVT at Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2020 – March 2022. Diagnosis of DVT was performed by ultrasound examination and/or computed tomography angiography (CTA) venous phase. The primary variable data and others were obtained from the patient's medical record. An Independent T-test or Mann-Whitney was used to analyze the differences in variable values between the two groups. Results: Of 253 samples, there was no difference in initial characteristics between the DVT COVID-19 (n=44) and non-COVID-19 DVT groups (n=209), except for the Wells Score parameter. The COVID-19 DVT group had higher levels of fibrinogen, D-Dimer, and aPTT than the non-COVID-19 DVT group, both before and after heparinization therapy (all p-values = 0.000). At the end of the follow-up period, the therapeutic dose of heparin in the COVID-19 DVT group was higher than in the non-COVID-19 DVT group (30.00 (20.00-40.00)x103 U vs. 25.00 (20.00-35.00)x103 U, p-value=0.000). Conclusion: The levels of fibrinogen, D-Dimer, and therapeutic doses of heparin in DVT patients who have COVID-19 are higher than in DVT patients who do not have COVID-19. Initiation of a higher therapeutic dose of heparin can be considered in DVT patients with comorbid COVID-19 and guided by the results of blood coagulation biomarkers."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti Tri Kusumawati
"Latar Belakang: Tingginya pertumbuhan kasus keganasan ginekologi dan organ panggul menyebabkan penggunaan terapi radiasi meningkat. Akan tetapi, terapi radiasi juga cukup banyak menimbulkan proktitis radiasi sebesar 30%. Tatalaksana menggunakan agen topikal seperti SCFA, sukralfat, steroid, formalin, dan 5-ASA diketahui memiliki hasil yang baik, namun belum banyak studi yang membandingkan terapi mana yang lebih superior. Tujuan: Menilai efektivitas beberapa terapi topikal terhadap perbaikan gejala klinis dan gambaran endoskopi pasien proktitis radiasi.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan secara elektronik pada basis data PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, dan Science Direct antara September hingga November 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada referensi studi yang terkait, dan melalui register uji klinis yang tersertifikasi lainnya seperti Global Index Medicus, Garba Rujukan Digital (GARUDA), ClinicalTrial.gov, dan International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP) WHO.
Seleksi Studi: Studi uji klinis acak terkontrol dengan intervensi terapi topikal dibandingkan plasebo atau terapi topikal lainnya atau kombinasi terapi medikamentosa, yang menilai luaran berupa respon gejala klinis dan gambaran endoskopi, serta dapat disertai luaran lain, ataupun tidak. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua orang peninjau independen. Dari total 1786 studi, didapatkan 9 studi memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh dua peninjau independen dan dikonfirmasi pada peninjau ketiga. Konfirmasi data dilakukan dengan menghubungi peneliti dari studi terkait. Tidak didapatkan data tambahan.
Hasil: Studi yang melaporkan efektivitas terapi berupa banyaknya jumlah subjek yang mengalami perbaikan atau penurunan skor klinis dan endoskopi dirangkum secara kualitatif. Masing-masing studi saling membahas antar terapi, dan memiliki heterogenitas yang tinggi. Dua studi mengenai formalin dapat dilakukan meta-analisis dengan hasil perbaikan klinis dan endoskopi, namun tidak bermakna terhadap dua studi tersebut (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15) dan tidak terdapat terapi yang lebih superior dibanding terapi lain dalam meta-analisis tersebut. Empat studi yang membahas formalin 4% memiliki kualitas hasil studi menengah dengan risiko bias rendah. Terdapat 3 dari 9 studi yang membandingkan terapi SCFA dengan plasebo sehingga sulit untuk menyimpulkan terapi mana yang berefek lebih baik, dan memiliki risiko bias tidak jelas, namun dengan jumlah pasien yang sedikitsehingga kualitas studi rendah. Satu studi mengenai efektivitas sukralfat menunjukkan hasil bermakna dengan estimasi risiko rendah (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). Akan tetapi studi mengenai 5-ASA topikal tidak ditemukan dalam inklusi telaah sistematis ini. Secara umum, kualitas hasil studi berdasarkan GRADE dapat dimasukkan ke dalam kategori sedang.
Kesimpulan: Penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema efektif dalam memperbaiki gejala klinis dan gambaran endoskopi proktitis radiasi. Namun, hingga saat ini belum ada studi klinis berkualitas baik sehingga sulit untuk menilai terapi yang terbaik. Sedangkan dari 2 studi formalin 4% yang dapat dilakukan meta-analisis, menunjukkan bahwa tidak ada terapi yang lebih superior dibandingkan lainnya. Selain itu, tidak ditemukan tidak ditemukan efek samping berat pada penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema dalam mengobati proktitis radiasi.

Background: The high incidence of gynecological and pelvic malignancies has led to the usage of radiation therapy. Nonetheless, radiation therapy also causes a significant complication, about 30% of radiation proctitis. Treatments using topical agents such as SCFA, sucralfate, steroids, formalin, and 5-ASA are known to have good results. However, there are only a few studies comparing the superiority of those therapies.
Objectives: To assess the effectiveness of topical therapies in the clinical and endoscopic improvement of radiation proctitis patients.
Data Sources: Primary searching was conducted on electronic databases such as PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, and Science Direct between September and November 2020. Secondary searching was done by snowballing method on the relevant study references and through other certified clinical trial registries (Global Index Medicus, Garba Digital Reference (GARUDA), ClinicalTrial.gov, and WHO's International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP).
Study Selection: A randomized controlled trial comparing topical therapies versus placebo or other topical therapies or combination with medical therapies that evaluating the clinical response and endoscopic response. There is no restriction regarding the year of publication and language. Each study were assessed by two independent reviewers. From a total of 1,786 studies identified, 9 studies met the eligibility criteria.
Data Extraction: Data extraction was performed by two independent reviewers and confirmed by a third reviewer. Data confirmation was made by contacting the first researchers from related studies. No additional information was obtained.
Results: Studies reporting the effectiveness of therapy in the form of a large number of subjects experiencing improvement or reduction in clinical symptoms and endoscopy were summarized qualitatively. Each study discussed the therapies and the heterogeneity that could not be calculated due to the different outcomes. Two studies on formalin were subject to meta-analysis with clinical and endoscopy improvement. However, they were not significant in the two studies (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15), and no better treatment compared with others in those studies. Further, four studies discussing 4% formalin had medium study quality results with a low risk of bias. There are 3 out of 9 studies that compared SCFA therapy with placebo so it is difficult to conclude which therapy has a better effect, and has an unclear risk of bias, but with a small number of patients so that the quality of the study is low. One study using sucralfate showed significant results with a low-risk estimate (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). However, the study of topical 5-ASA was not found in the inclusion of this systematic review. The level of evidence for the majority of outcomes was downgraded using GRADE to a moderate level, due to imprecision and study limitation.
Conclusion: The usage of SCFA enema, topical formalin, topical steroid and sucralfate enema are effective in improving the clinical and endoscopic response in radiation proctitis patient. However, until now, there are no good quality studies, making it difficult to prove the best therapy. A meta-analysis from 2 studies using 4% formalin versus irrigation and antibiotics, shows no therapy is superior to another. Otherwise, no serious side effects were found in the usage of these topical therapies
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Husniah Rubiana Thamrin
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Fursultiamin merupakan derivat tiamin yang aering digunakan di klinik untuk merangsang peristalsis saluran cerna pasca bedah. Dasar penggunaannya belum jelas dan efek kliniknya belum pernah dibuktikan secara memuaskan. Karena itu ingin dilakukan penelitian eksperimental sebagai salah satu cara untuk mendapatkan data pembuktian efektivitasnya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efek fursultiamin terhadap motilitaa saluran cerna pada ileus eksperimental. Penelitian ini dilakukan secara paralel dengan kelola pada 72 tikus yang dibagi secara acak menjadi 6 kelompok. Mula-mula pada masing-masing tikus dilakukan anestesi dengan natrium pentobarbital dan ditimbulkan ileus dengan melakukan laparotomi dan ekateriorisasi usus halus dan caecum secara sisternatik selama 30 menit. Saluran cerna kemudian dimasukkan kembali dan luka laparotomi dijahit. Pada masing-masing tikus kemudian diberikan 1 ml suspensi arang melalui sonde lambung. Kemudian Kepada kelompok I - IV diberikan fursultiamin dengan dosia 10, 16, 25.6 dan 41 mg/kg BB untuk menilai efektivitasnya terhadap motilitas saluran cerna, sedangkan kepada kelompok V dan VI diberikan neostigmin 0.1 mg/kg BB dan plasebo (NaCl 0.9%) sebagai kelola. Setelah beberapa saat tikus dimatikan dan diukur transit saluran cerna (TSC) yaitu yaitu persentase panjang usus halus yang dilalui suspensi arang terhadap panjang seluruh usus halus.
Hasil dan Kesimpulan: Pada kurva dosis-intensitas efek tidak terlihat adanya hubungan antara peningkatan dosis fursultiamin dengan peningkatan intensitas efek, sehingga tidak dapat disimpulkan adanya efektivitas yang jelas. Dari hasil uji Anava 1 arah yang dianalisis lebih lanjut dengan perbandingan multipel, tidak ditemukan perbedaan nilai rata-rata (± SD) TSC yang bermakna antara berbagai tingkat doais fursultiamin aendiri (TSC: 6.4% i 3.6% , 11.4% ± 6.5% , 10.3% i 6.3% , 8.4% ± 3.7%) dan antara fursultiamin dengan plasebo (TSC: 6.3% + 4.5%) (p > 0.05). Sedangkan antara fursultiamin dengan neostigmin (TSC: 31.5% + 13.4%) terdapat perbedaan bermakna (p < 0.05). Disimpulkan bahwa pada eksperimen ini tidak terlihat perbedaan bermakna antara fursultiamin dengan plasebo dalam meningkatkan peristalsis saluran cerna."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Agung Alamsyah
"Latar Belakang: Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah salah satu penyakit penyebab mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. Kasus DVT akan meningkat seiring bertambahnya usia. Pada pasien dengan keganasan, risiko DVT meningkat hingga 4,1 kali lipat karena kondisi hiperkoagulasi. Penatalaksanaan DVT antara lain pemberian antikoagulan dan kompresi eksterna. Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran antropometrik tungkai pasien DVT dengan keganasan dan non-keganasan yang diterapi heparin.
Metode: Kohort retrospektif menggunakan rekam medis di RS Cipto Mangunkusumo. Variabel bebas adalah status keganasan pada pasien DVT sedangkan variabel terikatnya adalah pengukuran antropometrik lingkar tungkai sebelum terapi heparin, 4 hari, dan 7 hari. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 25, nilai p<0,05 menunjukkan kemaknaan secara statistik.
Hasil: Sebanyak 63 subjek penelitian, didapatkan subjek DVT dengan keganasan sebanyak 33 subjek (52,4%) dan DVT non keganasan sebanyak 30 subjek (47,6%). Pada awal terapi, tidak terdapat perbedaan ukuran antropometrik antara DVT keganasan dan non keganasan. Pada hari ke-4 dan ke-7 terapi, terdapat perbedaan perbaikan ukuran antropometrik di mid femur, distal femur, dan mid cruris, dimana perbaikan klinis lebih tampak pada DVT non keganasan (p<0,05). Subjek DVT keganasan memiliki dosis heparin maintenance teraputik yang lebih tinggi (p=0,000), dan mencapai waktu kadar APTT terapeutik yang lebih lama (p=0,000).
Kesimpulan: Subjek DVT keganasan menunjukkan perbaikan klinis yang lebih kecil dibandingkan DVT non keganasan. Selain itu, memerlukan dosis heparin maintenance terapeutik yang lebih tinggi, dan mencapai waktu kadar APTT terapeutik yang lebih lama.

Background: Deep Vein Thrombosis (DVT) is a disease that causes short-term mortality and long-term morbidity. DVT cases will increase with age. In patients with malignancy, the risk of DVT increases up to 4.1-fold due to the hypercoagulable state. Treatment for DVT includes anticoagulants and external compression. This study aims to compare the anthropometric outcomes of the limbs of DVT patients with malignancy and non-malignancy treated with heparin.
Method: Retrospective cohort study using medical records at Cipto Mangunkusumo Hospital. The independent variable is malignancy status in DVT patients while the dependent variable is anthropometric measurements of leg circumference at first day, 4 days and 7 days heparin therapy. Statistical analysis using SPSS version 25, p<0.05 showed statistical significance.
Results: Of the 63 study subjects, 33 subjects (52.4%) had DVT with malignancy and 30 subjects (47.6%) had non-malignant DVT. At the start of therapy, there was no difference in anthropometric measures between malignant and non-malignant DVT. On the fourth and seventh days of therapy, there were differences in anthropometric size improvement in the mid femur, distal femur, and mid cruris, whereas clinical improvement was more evident in nonmalignant DVT (p<0.05). Malignant DVT subjects had higher therapeutic maintenance heparin doses (p=0.000), and achieved longer therapeutic APTT levels (p=0.000).
Conclusion: Malignant DVT subjects showed less clinical improvement than non-malignant DVT. In addition, it requires higher therapeutic maintenance heparin doses, and achieves a longer therapeutic APTT level time.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Laviani
"Latar Belakang: Kolitis ulseratif distal merupakan kolitis ulseratif yang paling sering ditemukan. Dibandingkan dengan terapi oral, terapi topikal kurang banyak digunakan pasien. Satu studi melaporkan bahwa terapi oral digunakan pada 35,6% pasien sedangkan terapi topikal hanya digunakan pada 6,7% pasien. Namun demikian, berbagai studi yang menilai terapi topikal tersebut memberikan hasil yang inkonsisten.
Tujuan: Mengetahui efektivitas pemberian beberapa terapi topikal dalam tatalaksana kolitis ulseratif distal derajat ringan dan sedang.
Sumber Data: Penelusuran studi dilakukan hingga September 2020 pada empat basis data: PubMed/MEDLINE, Cochrane, ProQuest, dan SCOPUS. Pencarian sekunder dilakukan dengan teknik snowballing pada referensi studi yang ditemukan, pencarian melalui ClinicalTrial.Gov, pencarian melalui Garuda, dan Global Index Medicus.
Seleksi Studi: Studi randomized controlled trial (RCT). Subyek merupakan pasien kolitis ulseratif distal derajat ringan dan sedang. Studi dengan intervensi yang dilakukan berupa terapi topikal 5-ASA enema, kortikosteroid enema, asam hialuronat enema. Luaran efektivitas yang dinilai berdasarkan respon klinis, remisi klinis, profil keamanan dan efek samping terapi tersebut. Tidak dilakukan pembatasan bahasa maupun waktu.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh kedua peninjau secara independen. Hasil: Respon klinis ditunjukkan pada pemberian 5-ASA enema dibandingkan plasebo enema (RR 2.48, IK 95% 1.81-3.38, p<0.00001). NNT 3 (IK 95% 2-4). Remisi klinis ditunjukkan pada pemberian kortikosteroid enema dibandingkan plasebo enema (RR 1.98, IK 95% 1.59-2.45, p<0.00001). NNT 5 (IK 95% 4-7). Tidak terdapat perbedaan antara pemberian 5-ASA enema bila dibandingkan dengan kortikosteroid enema baik Beclomethasone diproprionate enema (RR 1.04, IK 95% 0.70-1.54, p=0.85) dan Budesonide enema (RR 1.26, IK 95% 0.91-1.73, p=0.16). Asam hialuronat enema merupakan terapi topikal baru yang cukup aman dan efektif namun membutuhkan penelitian lebih lanjut dengan kualitas penelitian yang lebih baik. Terapi topikal memiliki profil keamanan yang baik. Sebagian besar adverse event ringan dan tidak signifikan.
Kesimpulan: 5-ASA enema dan kortikosteroid enema efektif dalam mencapai respon dan remisi klinis bila dibandingkan dengan plasebo. Tidak terdapat perbedaan antara 5-ASA enema bila dibandingkan dengan kortikosteroid enema

Background: Distal ulcerative colitis is the most common ulcerative colitis. Compared with oral therapy, topical therapy is less used by patients. One study reported that oral therapy was used in 35.6% of patients whereas topical therapy was used in only 6.7% of patients. However, studies assessing this topical therapy have yielded inconsistent results. Objective: To determine the effectiveness of topical therapy in the management of mild and moderate distal ulcerative colitis. Data Source: Study searching was done through September 2020 on four databases: PubMed / MEDLINE, Cochrane, ProQuest, and SCOPUS. Secondary searching was done by snowballing method of the study references, searching through ClinicalTrial.Gov, Garuda, and the Global Index Medicus. Study Selection: A randomized controlled trial (RCT). Subjects were mild and moderate distal ulcerative colitis patients. Intervention studies included topical 5-ASA enema therapy, corticosteroid enema, and hyaluronic acid enema. The effectiveness outcome was assessed based on clinical response, clinical remission, safety profile and side effects of the therapy. There are no language or time restrictions. Data Extraction: Data extraction was done by both reviewers independently. Results: Clinical response was shown in 5-ASA enema versus placebo enema (RR 2.48, CI 95% 1.81-3.38, p <0.00001). NNT 3 (CI 95% 2-4). Clinical remission was shown in corticosteroid enema versus placebo enema (RR 1.98, CI 95% 1.59-2.45, p <0.00001). NNT 5 (CI 95% 4-7). There was no difference between 5-ASA enema administration when compared to corticosteroid enema, Beclomethasone diproprionate enema (RR 1.04, 95% CI 0.70-1.54, p = 0.85) and Budesonide enema (RR 1.26, CI 95% 0.91 -1.73, p = 0.16). Hyaluronic acid enema is a new topical therapy that is quite safe and effective in achieving clinical response and remission but requires further research with better research quality. Topical therapies have a good safety profile. Most of the adverse events were mild and insignificant. Conclusion: 5-ASA enemas and corticosteroid enemas were effective in achieving clinical response and remission when compared to placebo. There was no difference between 5-ASA enemas when compared with corticosteroid enemas"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mindya Yuniastuti
"ABSTRAK
Inflammation is one of the body's defence mechanism against irritants, infectious agents, and injury. During its process, pain, swelling, redness, and other discomforts also occur as cardinal sign of inflammation. Therefore, people seek for medicine to encounter those effect. Sereh is one of the herb plants which have anti inflammation effect. However, effect of sereh on inflamed oral mucous has not been clinically examined. The aim of this research is to examine and to compare the influence of sereh dapur (Cymbopogon citratus) and sereh wangi (cymbopogon winterianus Jowitt) extract on inflamed oral mucous induced by Hydrogen Peroxide 10%. Thirteen wistar rats were used in this research and divided four groups; control group I (3 rats), control II (3 rats), sereh dapur extract groups (4 rats) and sereh wangi extract groups (3 rats). All rats in sereh dapur, sereh wangi and control II groups received 3x10 minutes application of Hydrogen Peroxide 10% on their vestibulum for 3 days, while rats in control group I received application of Aquadest. On the 4th day, all groups that received Hydrogen Peroxide 10% were application 3x5 minutes for 3 days for each substance. After rats have been killed, their oral mucous were processed and examined under microscope. Statistical result shows there are differences on oral mucous reaction between sereh dapur and sereh wangi extract with control groups. Based on the research result, it can be concluded that both sereh dapur dan sereh wangi can reduce oral mucous inflammation induced by Hydrogen Peroxide 10%."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Niniarty Z. Djamal
"The purpose of this study was to evaluate the effects of ovariectomy, the influences of estrogen replacement therapy and / or suplemen CavitD3 on mandible's calsium contents of animal's models. Forty-five female rats were used in this researched. Five rats were sacrificed for unoperated basal controls and the others were bilaterally ovariectomized. The ovariectomized animals were devided into 8 groups and two of these groups were only ovariectomized, the others were treated by estrogen replacement therapy. CavitD3 and combination of both per oral for 2 and 4 weeks and then were sacrificed. Mandible's calsium contents were analyzed by Ion Selective Electrode methode after demineralized with 10% phosphoric acid for 24 hours. Result : there were significant increased of mandible's calcium content at 2 weeks post-ovariectomy, but the results decreased at 4 weeks post-ovariectomy. Estrogen replacement therapy and treated with CavitD3 for 2 and 4 weeks or combination of both for 2 weeks increased the mandible's calsium contents of ovariectomized rats, but therapy combination with estrogen and CavitD3 for 4 weeks had a protective effect to mandible's calsium contents of ovariectomized rats."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Guntoro
"Surgical delay is a manuever that designed to improving survival of skin flap. The basic mechanism of the delay procedure is vascular reorientation that produced by the stimulus of ischemia. This study introduces a new method of surgical delay with ligation suture. This ligation interrupt blood flow to the planned skin flap and thereby producing ischemic condition. We investigated wether this method will improve flap survival, compared with survival in "conventional" surgical delay and non-delay group.
Fifty-one McFarlane flaps on rat model were divided in three groups. After 7 days of delay (in the delay group) the flap was elevated. Then, 7 days post elevation, the survival length of the flaps in all groups was measured. Flap survival ii the ligation suture delay group (72,83% ± 3,84%, n=17) was not different from "conventional" surgical delay group (73,34% ± 9,73%, n=17), and significantly greater than in the non-delay group (47,92%± 6,62%, n=17).
This study suggest that, in rat model, this ligation suture delay procedure was effective to produces ischemic condition that stimulus changes of blood patterns and thus increasing the flap survival."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>