Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177125 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yislam Aljaidi
"Penyakit jantung koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama kematian, dan hasilnya masih belum memuaskan pada kelompok pasien yang berisiko tinggi. Tindakan intervensi pada arteri koroner left main (LM) dengan strategi provisional stenting adalah salah satu skenario yang menantang dalam menangani lesi bifurkasio kompleks ini. Intervensi koroner perkutan (IKP) dengan panduan ultrasonografi intravaskular (IVUS) telah terbukti memberikan hasil klinis yang lebih unggul dibandingkan dengan IKP dengan angiografi saja. Namun, data-data penelitian sebelumnya yang tersedia tidak adekuat dalam membahas keuntungan IVUS untuk pasien dengan lesi bifurkasio left main – left anterior descending (LM-LAD) kompleks yang menjalani IKP dengan pendekatan provisional stenting. Penelitian kohort retrospektif observasional ini dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) Jakarta pada periode pengamatan Januari 2017 - Desember 2022, dengan didapatkan total sampel berjumlah 178 orang. Analisa statistik dilakukan untuk melihat perbedaan kelompok antara grup IVUS vs Angiografi pada pasien-pasien PJK dengan lesi LM-LAD yang dilakukan provisional stenting, terutama terhadap luaran klinisnya berupa KKM, serta analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap KKM dari kedua kelompok. Dari 178 pasien yang menjalani IKP provisional stenting dengan mayoritas diagnosa pre-tindakan berupa chronic coronary syndrome (CCS) berjumlah 155 orang (86.6%), hanya didapatkan 27 orang (15.1%) yang mengalami luaran KKM tanpa adanya perbedaan signifikan antara kedua grup IVUS vs angiogafi saja (16.1% vs 14.1%, p = 0.714). Angka tindakan IKP provisional stenting didapatkan cukup berimbang antara grup IVUS vs Angiografi (48.6% vs 51.4%) selama periode pengamatan penelitian. Dari semua variabel faktor resiko yang diteliti, hanya variabel diabetes melitus (DM) yang memiliki pengaruh signifikan secara independen terhadap kejadian KKM (p = 0.016, OR 3.44, 95% CI 1.55-7.62) pada kedua grup. Dengan kesimpulan Tidak terdapat perbedaan signifikan untuk luaran klinis KKM antara ultrasonografi intravaskular dan angiografi pada pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP) dengan provisional stenting pada lesi arteri koroner LM-LAD.

Coronary artery disease still represents the leading cause of mortality, with the outcome still unsatisfactory in high-risk subsets of patients. Percutaneous treatment of the left main coronary artery with provisional stenting strategy is one of the most challenging scenarios in interventional cardiology for treating this complex bifurcation lesion. Intravascular ultrasound-guided percutaneous coronary intervention (PCI) has been shown to result in superior clinical outcomes compared with angiography- guided percutaneous coronary intervention. However, insufficient previous study data are available concerning the advantages of IVUS guidance for specific patients with complex left main – left anterior descending (LM-LAD) bifurcation lesion undergoing PCI with provisional stenting approach. This observational retrospective cohort study was conducted at the National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) in the observation period between January 2017 - December 2022, with a total sample size of 178 participants. Statistical analysis was carried out to learn group differences between the IVUS vs Angiography-guided groups in CAD patients with LM-LAD lesions who underwent provisional stenting, especially regarding clinical outcomes in MACE, as well as analysis of factors that influenced the MACE from both groups. Of the 178 patients who underwent provisional stenting PCI with the majority of pre-operative diagnosis were chronic coronary syndrome (CCS) with total of 155 participants (86.6%), only 27 participants (15.1%) experienced MACE outcomes without any significant group differences between the two groups of IVUS vs Angiography-guided (16.1 % vs 14.1%, p = 0.714). There was quite balanced between the IVUS vs angiography-guided groups (48.6% vs 51.4%) for PCI imaging technique approach during the observation period. From all variables of risk factor studied, only diabetes mellitus (DM) had an independent significant impact on the incidence of MACE (p = 0.016, OR 3.44, 95% CI 1.55-7.62) in both groups. There is no significant difference in outcomes of MACE between IVUS and angiography- guided ultrasonography in patients undergoing PCI with provisional stenting in LM-LAD coronary artery lesions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Senja Agusta
"Latar belakang. Pada pasien yang menjalani pembedahan, penilaian volume intravaskular sangat penting dan prediksi respons terhadap pemberian cairan seringkali tidak mudah. Terdapat peningkatan signifikan resiko morbiditas dan mortalitas pascaoperasi pada pemberian cairan yang restriktif dan liberal. Evaluasi indeks distensibilitas vena jugularis interna merupakan alternatif untuk menentukan status volume intravaskular karena kemudahan akses dan visualisasi dengan ultrasonografi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian metode pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna dengan pengukuran isi sekuncup dengan ekokardiografi Doppler transtorakal dalam penilaian respons terhadap pemberian cairan pada pasien pembedahan elektif.
Metode. Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan rancangan penelitian potong lintang dan melibatkan 79 subyek yang menjalani pembedahan elektif di RSCM dengan anestesia umum. Pascainduksi anestesia, pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna dan isi sekuncup dengan ekokardiografi transtorakal dilakukan sebelum dan sesudah pemberian cairan. Subyek yang mengalami peningkatan isi sekuncup lebih dari 10% dikategorikan sebagai responder. Data kemudian dianalisis untuk menilai kesesuaian variabel dalam prediksi respons terhadap pemberian cairan.
Hasil. Sebanyak 45 subyek (57%) merupakan responder. Berdasarkan analisis kurva ROC indeks distensibilitas vena jugularis interna terhadap respons pemberian cairan, nilai AUC didapatkan sebesar 0,871 (95% CI: 0,790–0,951). Nilai ambang batas optimal didapatkan pada nilai indeks distensibilitas >12,62% dengan sensitivitas 84,4% dan spesifisitas 79,4%.
Simpulan. Metode pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna memiliki kesesuaian dengan pengukuran isi sekuncup melalui ekokardiografi Doppler transtorakal dalam penilaian respons terhadap pemberian cairan pada pasien pembedahan elektif.

Background. In patients undergoing surgery, the assessment of intravascular volume is crucial, and predicting fluid responsiveness is often uneasy. There is a significant increase in postoperative morbidity and mortality risks associated with both restrictive and liberal fluid administration. Evaluating the internal jugular vein distensibility index is an alternative method to determine intravascular volume status due to its ease of access and visualization using ultrasonography. This study aims to determine the correlation between the measurement of the internal jugular vein distensibility index and the measurement of stroke volume using transthoracic Doppler echocardiography in assessing fluid responsiveness of patients undergoing elective surgery.
Methods. This study is a diagnostic test with a cross-sectional design involving 79 subjects undergoing elective surgery under general anesthesia at RSCM. After anesthesia induction, measurements of the internal jugular vein distensibility index and stroke volume using transthoracic echocardiography were performed before and after fluid administration. Subjects experiencing an increase in stroke volume of more than 10% were categorized as responders. The data were then analyzed to assess the suitability of variables in predicting fluid responsiveness.
Results. A total of 45 subjects (57%) were responders. Based on the ROC curve analysis of the internal jugular vein distensibility index in relation to fluid responsiveness, an AUC value of 0.871 (95% CI: 0.790–0.951) was obtained. The optimal cut-off value was found at an internal jugular vein distensibility index >12.62% with a sensitivity of 84.4% and specificity of 79.4%.
Conclusion. Internal jugular vein distensibility index correlates with the measurement of stroke volume using transthoracic Doppler echocardiography in assessing fluid responsiveness in elective surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wuwus Ardiatna
"Ultrasound merupakan salah satu modalitas citra yang masih digunakan untuk mendeteksi dini kelainan ginjal. Proses diagnosa abnormalitas pada ginjal pada umumnya masih menggunakan pendekatan morfologi atau istilah radiologi untuk mendeskripsikannya. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi citra medis hasil ultrasound ginjal normal dan abnormal. Statistical Moment Descriptor merupakan teknik yang digunakan untuk mengkarakterisasi berdasarkan distribusi spasial piksel ultrasound B-mode. Teknik yang digunakan adalah dengan menghitung besarnya rerata, standar deviasi, skewness, kurtosis, entropi, median, dan rentang, serta dimensi ginjal pada region of interest ROI dari tiga area, yaitu area ginjal penuh, kortek, dan renal pelvis, dari total 50 data pasien dengan ginjal normal abnormal. Hasil yang diperoleh menunjukkan sebaran nilai piksel area penuh citra ginjal normal untuk parameter rerata 69 12,83, standar deviasi 41,77 5,66, skewness 0,87 0,28, kurtosis 4,12 0,88, entropi 6,02 0,27, nilai piksel median 75 15,77, range 253 3,18, sedangkan untuk citra ginjal abnormal sebaran nilai piksel dengan parameter rerata 103 31,96, standar deviasi 35,76 7,62, skewness 0,62 0,68, kurtosis 5,43 2,02, entropi 5,74 0,50, nilai piksel median 100 34,43, dan range 254 0. Parameter yang sangat signifikan berbeda terhadap nilai rerata dengan menggunakan uji t adalah standar deviasi, median, rentang, rerata, kurtosis, untuk entropi secara statistik berbeda signifikan, sedangkan skewness, secara statistik tidak begitu signifikan berbeda.

Ultrasound is one of the image modality that is still used for detect early kidney abnormalities. Morphological approach or radiology terms are still being used to describe it. The purpose of this research is to characterize normal and abnormal kidney medical ultrasound image. Statistical Moment Descriptor is a techniques that we used to characterize spatial pixels distribution of B Mode by define mean, standard deviation, skewness, kurtosis, entropy, median, range, and dimensions in three region of interest`s, full kidney, cortical, and renal pelvis area, from 50 total patients. The results obtained is that pixel values distribution of full normal kidney area for mean 69 12.83, standard deviation 41.77 5.66, skewness 0.87 0.28, kurtosis 4.12 0, 88, entropy 6,02 0,27, median 75 15,77, and range 253 3,18, for abnormal kidney, mean 103 31,96, standard deviation 35, 76 7.62, skewness 0.62 0.68, kurtosis 5.43 2.02, entropy 5.74 0.50, median 100 34.43, and range 254 0. Standard deviation, median, range, mean and kurtosis differences are considered to be very statistically significant by the t test, entropy is considered as significant, and skewness is considered to be not statistically significant."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismoyo Danurwindo
"

Laju pernapasan (respiratory rate) merupakan salah satu dari lima tanda vital pada tubuh manusia. Pengukuran laju pernapasan yang paling sering dilakukan ialah dengan menghitung banyaknya napas yang dilakukan seseorang dalam satu menit. metode ini dinilai bersifat subjektif yang mana masing-masing pengukuran hasilnya akan bergantung kepada pengukur. Metode lain yang dapat digunakan ialah dengan mengunakan metode kontak, seperti strain gauges or impedance methods, transcutaneous CO2 methods, oximetry probe (SpO2) methods, dan ECG derived respiration rate methods. Namun, penggunaan metode kontak dapat menimbulkan beberapa masalah, seperti rasa tidak nyaman, iritasi kulit karena penggunaan elektroda, dan surface loading effect. Oleh karena itu, pada penelitian ini dirancang bangun sebuah sistem pengukuran laju pernapasan nonkontak berbasis sensor ultrasonik.

Pengukuran dilakukan dengan menghitung perubahan jarak antara area thoracoabdominal depan dengan sensor. Hasil pengukuran kemudian diolah menggunakan metode gaussian filter dan transformasi wavelet diskrit (TWD). Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil bahwa metode pengukuran ini memiliki simpangan kesalahan rata-rata terkecil sebesar 4,48 menggunakan metode penyaringan gaussian filter dan menggunakan metode perhitungan pendekatan FFT. Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan untuk mengukur laju pernapasan, tetapi perlu dilakukan beberapa peningkatan untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal.


The respiratory rate is one of the five vital signs in human body. The measurement that is most often done is by counting the amount of breath a person does in one minute. This method is considered to be subjective in which each outcome measurement will depend on the counter. Other method that can be used are by using contact method, such as strain gauges or impedance methods, transcutaneous CO2 methods, probe oximetry (SpO2) methods, and ECG derived respiration rate methods. However, the use of contact methods can cause several problems, such as skin irritation, and surface loading effect. Therefore, in this study a respiratory rate measurement system ultrasonic sensor based was designed.
Measurements were made by calculating the distance change between the front of thoracoabdominal area and the sensor. The results are then processed using the gaussian filter method and discrete wavelet transform (DWT). Based on the result of data processing, the result show that this measurement method has has the smallest error deviation of 4.48 using the gaussian filter filtering method and uses the FFT approach calculation method. Therefore, this method can be used to measure respiratory rate, but some improvement needs to be done to produce maximum results.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reisa Cahaya Putri Wibowo
"ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan Pesawat Angiografi Siemens Artis Zee untuk mengukur prosentase dosis kedalaman (Percentage Depth Dose, PDD) untuk mempelajari dosis di bawah kulit. Pengukuran PDD dilakukan dengan menggunakan film Gafchromic XR-RV3 yang diletakkan di antara fantom akrilik dengan 6 variasi filter pesawat, 5 variasi tegangan tabung, dan 3 variasi fokus berkas. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik dosimetri yang didapatkan bersesuaian dengan teori, dimana titik kedalaman maksimum dan titik persentase dosis <10% semakin dalam dengan meningkatnya tegangan tabung dan filter tambahan, sementara ukuran fokus tidak memberikan pengaruh. Penelitian ini juga menunjukan bahwa dosis telah diserap sebesar lebih dari 69% oleh tubuh pada kedalaman 150 mm. Disimpulkan juga bahwa film Gafchromic XR-RV3 tidak dapat digunakan dalam pengukuran PDD angiografi dengan posisi permukaan tegak lurus berkas karena faktor buildup. Karenanya, diperlukan studi tambahan untuk menginvestigasi kedalaman buildup pada film Gafchromic XR-RV3 untuk keperluan pengukuran PDD.

ABSTRACT
This study used Siemens Artist Zees Angiography to measure the percentage of depth dose (PDD) to investigate dose behaviour under the skin in angiography. The PDD measurements were carried out using the Gafchromic XR-RV3 film positioned between acrylic phantoms with 6 variations of added filtrations, 5 variations in tube voltage, and 3 variations in beam focal spot sizes. The results showed that the dosimetry characteristics obtained were in accordance with the theory, where the maximum depth point and point of <10% dose went deeper with the increase of tube voltage and additional filters, and with the focal spot size having no effect. Results also shown that dose were absorbed by more than 69% by the body at 150 mm depth. It was also concluded that the Gafchromic XR-RV3 film may not be ideal in measuring PDD for angiography with the position of the film perpendicular to the beam, i.e due to horizontal buildup factor. Therefore, additional studies are required to investigate the buildup depth in Gafchromic XR-RV3 film for PDD measurement purposes."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Budianto
"Latar Belakang: Obesitas diketahui memiliki berbagai macam komplikasi dalam jangka panjang, salah satunya yaitu gangguan motilitas lambung dan perlambatan pengosongan lambung. Hal ini memiliki implikasi yang cukup serius khususnya pada kondisi perioperatif dimana perlambatan pengosongan lambung meningkatkan risiko aspirasi cairan lambung ke saluran napas. Dibutuhkan penilaian isi konten lambung secara riil menggunakan ultrasonografi untuk menilai volume residual lambung perioperatif. Tujuan: Menganalisis posisi pemeriksaan yang optimal dan metode pengukuran ultrasonografi lambung yang terbaik serta membandingkan volume residual lambung berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi dua jam pasca pemberian cairan maltodextrin 12,5% antara populasi obesitas dan non obesitas. Metode: Sebanyak 53 subjek berpartisipasi pada penelitian ini pada periode Desember 2023 hingga Maret 2024. Desain penelitian ini adalah potong lintang perbandingan volume residual lambung antara populasi obesitas dan non obesitas yang dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Hasil: Tidak didapatkan perbedaan hasil pengukuran diameter CSA antrum lambung dengan metode elipsoid ataupun dua dimensional. Terdapat perbedaan bermakna antara posisi pemeriksaan RLD dibandingkan berbaring dalam menilai volume residual lambung (p < 0,05). Median volume residual lambung dua jam pasca konsumsi cairan karbohidrat pada kelompok obesitas berat yaitu 1,93 (0,56-3,39) ml/KgBB dengan batas aman risiko aspirasi yaitu <1,5 ml/KgBB. Kesimpulan: Pemeriksaan ultrasonografi lambung terbaik dilakukan pada posisi RLD dan dapat menggunakan metode elipsoid ataupun dua dimensional. Terdapat peningkatan volume residual lambung dua jam pasca konsumsi cairan karbohidrat yang melebihi batas aman risiko aspirasi pada kelompok obesitas berat.

Background: Obesity is known to have various long-term complications, one of which is delayed gastric emptying. This condition has quite serious implications, especially in perioperative conditions which can increases the risk of aspiration of gastric fluid into the airway. Gastric content assessment using ultrasonography is needed to assess perioperative gastric residual volume. Objective: To analyze the optimal examination position, the best gastric ultrasound measurement method and to compare the gastric residual volume two hours after administration of 12.5% maltodextrin fluid in obese and non-obese populations. Method: A total of 53 subjects participated in this study during the December 2023 to March 2024. This was a cross-sectional comparative study of gastric residual volume between obese and non-obese populations analyzed using the Mann-Whitney test. Results: There were no differences in the results of measuring the CSA diameter of the gastric antrum using the ellipsoid or two-dimensional method. There was a significant difference between the RLD examination position compared to supine position in assessing gastric residual volume (p < 0.05). The median residual volume of the gastric antrum two hours after consuming carbohydrate fluids in the severely obese group was 1.93 (0.56-3.39) ml/KgBW which exceed the safe limit for aspiration risk (<1.5 ml/KgBW). Conclusion: The best gastric ultrasound examination is carried out in the RLD position and can use both ellipsoid and two-dimensional method. There was significant increase in gastric residual volume two hours after carbohydrate fluids administration which exceeded the safe limit for risk aspiration in the severely obese group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Winarto
"Tujuan : Mencari Korelasi antara ketebalan lemak subkutis dengan menggunakan ultrasonografi dibandingkan dengan persentase lemak total tubuh dengan metoda Bioelectric Impedance Analysis (BIA) dan mencari formula untuk memperkirakan persentase lemak total tubuh dengan menggunakan ketebalan lemak subkutis menggunakan ultrasonografi. Subjek dan Metode : Kami melakukan suatu studi prospektif antara bulan Januari sampai dengan April 2003 pada sebanyak 50 orang sukarelawan dengan indeks massa tubuh normal, dilakukan pemeriksaan Bioelectric Impedance Analysis (BIA) dan Ketebalan lemak subkutis dengan menggunakan ultrasonografi. Oari BIA dilakukan pengukuran impedance (Z) pada frekuensi 50 KHz yang selanjutnya dihitung massa bebas lemak dengan formulasi dari Oeurenberg kemudian dilakukan perhitungan persentase lemak total tubuh. Sedangkan USG jaringan lemak subkutis dilakukan dengan menggunakan transducel linier 7,5 MHz, dengan mengukur ketebalan lemak dari permukaan bawah kulit sampai batas atas otot pada daerah triceps, biceps, subscapula, midaxilla, suprailiaca dan abdominal. Menggunakan SPSS versi 10.0 dicari korelasi antara kedua indikator tersebut yang selanjutnya untuk menguji hubungan antara kedua variabel tersebut dilakukan suatu uji korelasi regresi.

Objective: To find the correlation between subcutaneous fat thickness by using ultrasound compared to the percentage of total body fat by Bioelectric Impedance Analysis (BIA) method and to find formula to estimate the total body fat percentage using subcutaneous fat thickness using ultrasound. Subject and Method: We conducted a prospective study between January and April 2003 on 50 volunteers with normal body mass index, Bioelectric Impedance Analysis (BIA) and subcutaneous fat thickness examination using ultrasound. Oari BIA is measured impedance (Z) at a frequency of 50 KHz which is then calculated as a fat-free mass with the formulation of Oeurenberg then calculates the total body fat percentage. Meanwhile, ultrasonography of subcutaneous fat tissue was performed using a 7.5 MHz linear transducel, by measuring the thickness of fat from the lower surface of the skin to the upper limit of the muscles in the triceps, biceps, subscapula, midaxilla, suprailiaca and abdominal regions. Using SPSS version 10.0, a correlation between the two indicators was sought, and then to test the relationship between the two variables, a regression correlation test was carried out."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Raditya
"ABSTRAK
Latar Belakang:Penentuan jenis cairan pleura merupakan langkah awal dalam
menentukan etiologi suatu efusi pleura dan dilakukan menggunakan Kriteria Light.
Kriteria Alternatif Heffner belum banyak diteliti dan digunakan di Indonesia.
Kriteria ini memiliki kelebihan dibandingkan Kriteria Light, yaitu tidak
memerlukan pengambilan serum darah. Ultrasonografi (USG) toraks juga memiliki
nilai diagnostik dalam penentuan jenis cairan pleura serta semakin rutin dilakukan
untuk memandu torakosentesis dalam rangka mencegah komplikasi. Apabila
Ultrasonografi dapat digunakan untuk menentukan jenis cairan pleura tentunya
akan meningkatkan efisiensi pemeriksaan efusi pleura.
Tujuan: Membandingkan penambahan USG Thorax pada Kriteria Alternatif
Laboratorium dengan Kriteria Alternatif Laboratorium saja dalam mendiagnosis
eksudat/transudat pada populasi penderita efusi pleura di RSCM menggunakan
Kriteria Light sebagai baku emas.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan mengumpulkan
sampel konsekutif sebanyak 60 orang. Kriteria inklusi adalah pasien efusi pleura
dengan usia lebih dari sama dengan 18 tahun dan kriteria eksklusi adalah pasien
yang pernah dilakukan pungsi pada sisi yang sama sebelumnya. Penelitian
dilakukan di RSCM pada periode Januari-Maret 2019. Pada subyek penelitian
dilakukan pemeriksaan USG toraks dan pemeriksaan LDH,protein, dan kolesterol
cairan pleura serta LDH dan protein cairan serum darah.
Hasil: Pada pemeriksaan cairan efusi pleura menggunakan Kriteria Alternatif
Heffner didapatkan hasil Sensitivitas dan Spesifisitas sebesar 97,67 % (IK 95%
87,71-99,94) dan 94,12 % (IK 95% 71.31-99.85) . Sementara pada penambahan
USG toraks pada Kriteria Alternatif didapatkan hasil Sensitivitas dan Spesifisitas
sebesar 97,67 % (IK 95% 87,71-99,94) dan 88,24 % (IK 95% 63,56-98,54).
Simpulan: Penambahan USG Thorax pada Kriteria Alternatif Laboratorium
menurut Heffner memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tidak lebih baik
dibandingkan dengan Kriteria Alternatif saja dalam mendiagnosis
eksudat/transudat sesuai Kriteria Light sebagai baku emas pada populasi penderita
efusi pleura di RSCM. Tetapi hasil positif USG thorax mungkin sangat membantu
untuk menentukan tatalaksana efusi komplikata lebih cepat dan efisien serta
memangkas biaya berlebihan terutama pada kasus emergensi.

ABSTRACT
Background: Determining the Nature of Pleural Effusion using Light Criteria is
the first step to find the right etiology in pleural effusion patient. The Heffner
Alternative Criteria was introduced to replace Light Criteria when there are
difficulties to obtain blood serum. The use of this new criteria is very few in
Indonesia and there are no research in Indonesian population yet. Thorax
Ultrasonography is also a routine diagnostic imaging modalities in pleural effusion.
It is used to guide safe torakosentesis procedure. The use of ultrasonography in
determining the nature of pleural effusion can increase the efficiency of pleural
effusion diagnosis.
Objective: This study analyze the diagnostic performance between Heffner
Alternative Criteria alone compare to with adding thorax USG in determining the
nature of pleural effusion using Light Criteria as gold standard.
Methods: This was a cross sectional study, using 60 consecutive samples. The
population of this study is patient in RSCM Hospital between January-March 2019.
Inclusion criteria is pelural effusion patient age 18 years old or older. Patient were
excluded if already puncture at the same side before. Thorax Ultrasonography was
done and the LDH, Protein, Cholesterol of the pleural fluid was obtained.
Results:The Sensitivity and Specificity of Heffner Alternative Criteria alone were
97,67 % (CI 95% 87,71-99,94) and 94,12 % (CI 95% 71.31-99.85). The Sensitivity
and Specificity of Heffner Alternative Criteria with added Thorax Ultrasonography
were 97,67 % (CI 95% 87,71-99,94) dan 88,24 % (CI 95% 63,56-98,54).
Conclusions: Adding Ultrasonography to Heffner Alternative Criteria was not
improving the already very good Sensitivity and Specificity of Heffner Alternative
Criteria alone in determining the nature of pleural effusion. But a positive result
from the Ultrasonography may reduce time and cost for the management of
complicated pleural effusion especially in emergency cases.
"
2019
T55521
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmadu
"Telah dilakukan penelitian dengan desain cross-sectional dengan teknik deskriptif dan korelatif untuk mendapatkan gambaran maturasi fistula A V dengan USG Doppler, mengkorelasikan antara kecepatan draining vein, flow darah pada draining vein, diameter internal draining vein, ketebalan dinding draining vein, diameter internal feeding artery, kecepatan feeding artery dengan flow darah pada mesin hemodialisa yang mencerminkan keadekuatan hemodialisis.

A study has been conducted with a cross-sectional design with descriptive and correlative techniques to obtain an image of the maturation of the A V fistula with Doppler ultrasound, correlating between the velocity of the draining vein, the blood flow at the draining vein, the internal diameter of the draining vein, the thickness of the drainage vein wall, the diameter of the Internal Feeding Artery, the speed of feeding the artery with blood flow on the hemodialysis machine which reflects the adequacy of hemodialysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Andi Yassiin
"ABSTRAK
Latar Belakang. Media kontras dapat memberikan efek toksik pada sel tubulus ginjal, menyebabkan suatu kondisi dinamakan contrast induced nephropathy (CIN), yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan memiliki efek yang sama pada pasien dengan gagal ginjal kronik maupun pasien risiko rendah (Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) ≥ 60, skor Mehran sebelum tindakan ≤ 5). Dari beberapa penelitian mengenai rasio volume kontras dengan laju filtrasi glomerulus (V/LFG) untuk memprediksi CIN belum ada yang dikhususkan untuk pasien risiko rendah.
Metodologi. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) dengan mengambil data dari rekam medis dan ruang kateterisasi. Durasi data yang diambil adalah Agustus 2015 - April 2016. Hasil penelitian dianalisis dengan prosedur Receiver Operating Characteristic (ROC) dari rasio V/LFG. Akan dianalisis nilai Area Under Curve dan mencari titik potong yang direkomendasikan sebagai nilai prediktor optimal dengan sensitivitas dan spesifisitas yang terukur.
Hasil. Dari 223 data yang terkumpul lengkap dan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan jumlah pasien yang mengalami CIN adalah sebesar 11 pasien (4,9%). Didapatkan perbedaan bermakna pada kedua jenis kelompok yaitu pada variabel jenis tindakan (P = 0,04), volume kontras (P = 0,02), dan rasio V/LFG (P = 0,032). Dari kurva ROC didapatkan bahwa rasio V/LFG mempunyai nilai AUC 0,69 (IK 95% 0,53 - 0,86). Dari kurva ROC ditentukan nilai potong yang bermakna dari rasio V/LFG ≥ 1,0 (Sensitifitas 55%, Spesifisitas 78%, Akurasi 77%, Nilai Prediksi Positif 12%, Nilai Prediksi Negatif 97%, P = 0,022). Dengan menggunakan rasio V/LFG ≥ 1 didapatkan insidensi CIN adalah 12% dibandingkan 3% pada pasien dengan V/LFG < 1 (OR 4,33; IK 95% 1,27 - 14, 83); P = 0,022).
Kesimpulan. Rasio V/LFG ≥ 1,0 dapat memprediksi kejadian CIN pada pasien risiko rendah yang menjalani tindakan angiografi atau intervensi koroner perkutan elektif

ABSTRACT
Background: Contrast media could give toxic effect to renal tubulus, creatining a condition named contrast induced nephropathy (CIN) and is associated with increased morbidity and mortality, and has the same effect in patient with chronic kidney disease or in low risk patients (estimated Glomerolus Filtration Rate (eGFR) ≥ 60, Mehran Score before procedure ≤ 5). From several studies concerning ratio of contrast volume to creatinine clearance (V/CrCl) to predict CIN, there were not any study yet focusing in low risk patients.
Methods: This is a cross-sectional study conducted in Cardiology and Vascular Medicine Faculty of Medicine Universitas Indonesia/National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). The data were retrieved from medical records and catheterization room, since August 2015 -- April 2016. Receiver Operating Characteristic (ROC) is used to analyze the data, and by using Area Under Curve will gives the optimal cut-off for contrast volume to creatinine clearance ratio with measured sensitivity and specificity.
Results: From 223 patients the incidence of CIN is 11 patients (4,9%). There is a significant difference from both groups in types of procedure (P = 0,04), contrast volume (P = 0,02), and V/CrCl ratio (P = 0,032). From ROC curve we found that V/CrCl ratio have an AUC 0,69 (CI 95% 0,53 - 0,86). From ROC curve the significant cut-off ratio of V/CrCl is ≥ 1,0 (Sensitifity 55%, Specificity 78%, Accuracy 77%, Positive Predictive Value 12%, Negative Predictive Value 97%, P = 0,022). Using V/CrCl ratio ≥ 1,0 the incidence of CIN is 12%, compared to 3% in patients with V/LFG < 1,0 (odds ratio 4,33; CI 95% 1,27 - 14, 83); P = 0,022).
Conclusions: V/CrCl ratio ≥ 1,0 could predict CIN in low risk patients undergoing angiography or percutaneous coronary intervention.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>