Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4912 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kuswan A Pamungkas
"Pendahuluan : Pengukuran morfometri wajah sebagai bagian tubuh telah dilakukan sejak jaman Yunani, dan telah
diketahui struktur wajah mempunyai karakteristik khusus yang tergantung dari usia, jenis kelamin, ras serta variasi
etnik yang ada. Untuk dapat memberikan penilaian yang tepat untuk pasien, adanya data yang dapat mewakili
populasi sangatlah diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapalkan data morfometri pada wanita dewasa
muda subras Deutero Melayu.
Metode : Studi cross sectional dilakukan pada mahasiswi tingkat I - VI FKUT, dengan rentang usia 17 - 25 tho
Seleksi ras dilihat sampai dengan tiga generasi tanpa ada campuran dari ras lain, cacat bawaan lahir, riwayat operasi
maupun infeksi saat dilakukan penelitian. Data yang diambil oleh satu peneliti yang sarna, subjek dikelompokkan
menjadi 3 berdasarkan tipe oklusi (klasifikasi Angle). Kemudian dilakukan pengukuran 13 variabel {Icbar bibir
(chr-chl), lebar cupid's bow (cphr-cphl), tinggi kutis bibir atas (sn-Is), tinggi vermilion atas (Is-sto), tinggi total bibir
atas (sn-sto), tinggi kutis bibir bawah (Ii-sl), tinggi vermilion bawah (sto-li), tinggi total bibir bawah (sto-sl), tinggi
total bibir (sn-sl), sudut antar bibir ([sn-ls)"[li-sl])} dan penghitungan 6 variabel (Iuas dan volume).
Hasil : Didapatkan 124 subjek wan ita, 14 subjek dikeluarkan karena tidak memenuhi syarat subras. Berdasarkan
klasifikasi Angle, subjek dibagi 3 tipe oklusi. Oklusi tipe [terdiri 85 orang ( 77%), tipe II 7 orang (7%) dan tipe III
18 orang (16%). Suku terbanyak adalah Jawa 46 orang (41%) dan Minang 33 orang (3001o). Dari hasil pengukuran
didapatkan chr-chl = 46,24±3,56mm, cphr-cphl = I O,07± 1 ,53mm, sn-Is = 13,44± 1 ,98mm, Is-sto = 7 ,69± 1 ,74mm, snsto
= 21,14±2,28mm, li-sl = 7,06±1,74mm, sto-Ii = 9,87±1,65mm, sto-sl = 16,93±1,94mm, sn-sl = 38,07±3,4Imm
dan [sn-lsl"[li-sl] = I 1O,16±14,llo. Luas vermilion atas = i78,10±34,46mm2
, luas vermilion bawah =
228,61±44,41mm2
, luas vermilion total = 406,72±67,38mm2. Volume bibir atas = 1396,69±371,42mm3
, volume
bibir bawah = 1240,98±324,16mm3 dan volume bibir total = 2637,67:1::600,38mm3
• Setelah dilakukan
pengelompokan berdasarkan tipe oklusi, tidak didapatkan perbedaan bermakna dari seluruh variabel yang diukur
dan dihitung antara oklusi tipe I dibandingkan dengan oklusi tipe II dan III.
Diskusi : Dibandingkan dengan penelitian Farkas pada ras Kaukasia, Afrika, dan Cina pada tabun 1994, hasil
penelitian tidak berbeda bermakna dengan ras Cina. Bila dibandingkan dengan ras Kaukasia maka hasil penelitian
ini berbeda bermakna yaitu dalam hal tinggi kutis bibir atas, tinggi kutis bibir bawah dan tinggi total bibir bawah.
Dibandingkan dengan ras Afrika terdapat perbedaan pada tinggi vermilion atas, tinggi total bibir atas dan tinggivkutis bibir bawah."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T59100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Hetty Juli
"Latar Belakang : Perawatan pada pasien - pasien dengan kasus celah bibir dan langit-langit unilateral melalui beberapa tahap serta kerjasama dari beberapa disiplin ilmu yang saling terkait agar hasil yang diperoleh optimal. Tindakan Alveolar Bone Grafting (ABG) adalah salah satu prosedur yang paling penting pada penanganan pasien ini. ABG sangat mempengaruhi erupsi dari gigi geligi dan stabilitas rahang atas pada pasien dengan celah bibir dan langit - langit unilateral. Hal ini menimbulkan banyak keluhan pada pasien sendiri maupun keluarganya.
Tujuan : Penelitian ini mengevaluasi pengaruh penatalaksanaan alveolar bone grafting sesuai protap di RSAB Harapan Kita Jakarta terhadap besarnya nilai deformitas nasal secara antropometri melalui photogrammetri, serta melihat hasil akhir estetik yang proporsional pasca tindakan alveolar bone grafting sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi protokol tata laksana yang tetap terhadap pasien - pasien celah bibir dan langit - langit.
Metode : Pasien celah bibir dan langit - langit unilateral pasca alveplar bone grafting dilakukan evaluasi deformitas nasal secara antropometri melalui photogrammetri dari 3 aspek yaitu: anterior,lateral dan basal.
Hasil : Pengukuran antropometri secara photogrammetri dari 3 aspek dengan landmark sebanyak 14 titik dan item jarak sebanyak 11. Evaluasi terhadap upper lip length, upper lip projection dan nostril sill elevation pada sisi non cleft dan sisi cleft. Dari uji t-test pengukuran pada upper lip length dan upper lip projection menunjukkan hasil yang bertambah secara signifikan. Dilakukan uji koreksi dengan Fisher Exam Test dengan nilai 1.
Diskusi : Hasil penelitian menunjukkan adanya kesesuaian pengukuran antropometri secara photogrammetri hasil operasi pasca bone graft pasien celah bibir dan langit - langit unilateral dan menunjukkan hasil akhir estetik yang proporsional dengan nilai yang kecil.
Kesimpulan : Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa protokol tata laksana pasien celah bibir dan langit - langit di Unit Celah Bibir dan Langitan RSAB Harapan Kita Jakarta memberikan hasil yang memuaskan terhadap pasien dan keluarganya dengan melihat terjadinya deformitas pada nasal dan bibir yang tidak begitu besar serta dihasilkannya estetik yang proporsional.

Background : Rehabilitation of patients with unilateral cleft lip and palate requires multi steps and coordination of multidisciplinary science and connecting to produce an optimal result. Alveolar Bone Grafting (ABG) is an important procedure in the treatment of this patients. ABG extremely to influence of the erupting teeth and the stability of the maxilla in patients with unilateral cleft lip and palate. Many complains appearance about this for patient either the family.
Aims : To evaluated the effect of alveolar bone grafting procedure at Cleft Center Harapan Kita General Hospital in order to see the broad value of nasal deformity from anthropometry with photogrammetry and aesthetic proportional patients with unilateral cleft lip and palate. To make a decision that the correct protocol for the treatment in this case.
Method : Patients with unilateral cleft lip and palate post alveolar bone grafting procedure received evaluating of nasal deformity investigated with anthropometry by photogrammetry from 3 aspect: anteriorly, laterally, and basal.
Result : Anthropometry measurement by 3 aspect of photogrammetry with landmark to consist of 14 point and 11 distance item. Evaluation of upper lip length, upper lip projection, and nostril sill elevation at cleft site and non cleft site. t-test showing that the value of upper lip length and upper lip projection is significantly increase. We do the correction test with Fisher exam test with value is 1.
Discussion : This study is showing an adaption between anthropometry measurement with photogrammetry of patients with unilateral cleft lip and palate with the result after post alveolar bone grafting procedure and aesthetic proportional as final result with small value.
Conclusion : We conclude that treatment protocol the patients with unilateral cleft lip and palate at Cleft Center Harapan Kita General Hospital to give some satisfied to patients itself and the family based on a small of nasal deformity at lip and the final result of aesthetic proporsional.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Nolli Iskandar
"Latar belakang : Deformitas nasal pada pasien dengan celah bibir disebabkan oleh deviasi septum nasal, distorsi tulang rawan alar, dan ketidaksejajaran maksila dan tulang alveolar yang disebabkan oleh bidang palatum yang melebar. Penambahan rinoplasti pada teknik labioplasti menjadi solusi pada pengelolaan pasien UCLP dengan tujuan untuk mendapatkan kesimetrisan nostril. Penelitian ini bertujuan membandingkan ukuran dan kesimetrisan nostril sisi celah dan non celah pasca kombinasi Labioplasti teknik Cronin dengan Rinoplasti teknik Tajima.
Metode : Penilaian kesimetrisan nostril berdasarkan skala antropometri dari data fotograf wajah, yaitu ukuran tinggi nostril, lebar nostril, tinggi ¼ medial nostril, dan luas nostril pada 35 pasien UCLP pasca kombinasi Labioplasti teknik Cronin dengan Rinoplasti teknik Tajima.
Hasil : Dari hasil statistik didapatkan P<0,05 pada lebar dan tinggi ¼ medial nostril. Sedangkan pada tinggi dan luas nostril didapatkan P>0,05 . Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada tinggi dan luas nostril antara sisi non celah dengan sisi celah pada pasien pasca labioplasti Teknik Cronin dan Rinoplasti teknik Tajima, sedangkan pada lebar dan tinggi ¼ medial nostril terdapat perbedaan yang bermakna.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan pada tinggi dan luas nostril pasca labioplasti teknik Cronin dan rinoplasti teknik Tajima pada pasien UCLP. Sedangkan pada lebar dan tinggi ¼ medial nostril terdapat perbedaan antara sisi celah dan non celah.

Background: Nasal Deformity in cleft lip patient is caused by nasal septum deviation, alar cartilage distortion, and unparallel maxilla and alveolar bone which caused by widening of palate. Additional rhinoplasty in labioplasty method becomes a solution in management of UCLP patient in order to achieve nostril symmetrically. The aim of this experiment is to compare nostril size and symmetry between cleft side with non cleft side post labioplasty Cronin method and Rhinoplasty Tajima method.
Methods: Evaluation of Nostril symmetrical according to anthropometry scale from profile photograph, which are nostril height, nostril width, ¼ medial nostril height, and nostril area in 35 UCLP patients post labioplasty with combination of Cronin and rhinoplasty method.
Result: Based on statistic, the result showed P<0,05 within width and ¼ medial nostril height. On the other side, height and nostril area result showed p>0,05. This shows that there is no significant difference between height and nostril area between non cleft side with cleft side in patient post labioplasty Cronin method and Tajima method Rhinoplasty. On the other side, there is significant different between width and ¼ medial nostril height.
Conclusion: There is no significant different between height and nostril area post labioplasty Cronin method and Tajima method Rhinoplasty in UCLP patient. On the other side, there is significant difference between width and ¼ medial nostril height between cleft side and noncleft side.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wong Winami Wati
"Telah dilakukan penelitian antropometri di Jakarta pada 40 laki-laki dewasa muda Cina Indonesia, 40 laki-laki dewasa muda Jawa, 40 laki-laki dewasa muda Flores dan 40 laki-laki dewasa muda Papua yang semuanya menetap di Jakarta. Parameter antropometri yang diukur adalah tinggi badan (vertex-base), panjang lengan atas/humerus (acromion-radiale), panjang lengan bawah(radius (radiale-stylion), panjang tungkai atas/femur (Trochanterion-tibiale) dan panjang,tungkai bawah/tibia (tibiale-sphyrion). Pengukuran dilakukan dengan metode pengukuran Martin dengan antropemetri Martin. Data diolah untuk mendapatkan faktor multiplikasi (Fm) dan ratio pada setiap kelompok, nilai rata-rata dan simpang bakunya, kemudian dilakukan perbandingan diantara kelompok menggunakan test anova dengan tingat kemaknaan 5% atau nilai p < 0,05.
Hasil penelitian menunjukan adanya persamaan (tidak berbeda bermakna) diantara orang Cina, Jawa dan Flores pada tinggi badan, panjang lengan atas (hunters), panjang lengan bawah (radius), panjang tungkai atas (femur) dan panjang tungkai bawah (tibia). Tetapi terdapat sedikit perbedaan pada ukuran lengan bawah (radius) antara laki-laki Jawa dan Flores. Tinggi badan dan panjang tungkai atas (femur) kelompok Papua (kelompok melanesoid) berbeda secara signifikan dari kelompok Cina, Jawa dan Flores (kelompok Mongoloid) sedangkan panjang lengan atas (humersu), lengan bawah(radius dan tungkai bawah (tibia) semuanya sama (tidak berbeda secara signifikan). Kelompok Papua (kelompok melanesoid) berbeda secara signifikasi dengan kelompok Flores, Jawa dan Cina ( kelompok mongoloid) pada : 1. Faktor multiplikasi radius (lengan bawah) dan tibia (tungkai bawah); 2. Ratio radius ( lengan bawah), femur (tungkai atas) dan tibia (tungkai bawah).
Hubungan panjang tulang-tulang panjang terhadap tinggi badan dijabarkan dalam persamaan regresi sebagai berikut :
Kelompok Mongoloid Indonesia :
(WHmo) TB = 99,467 + 2,083 HSE : 5,705r : 0,467
(WRmo) TB = 102,964 + 2,457 R. SE : 4,475 r : 0,720
(WFmo) TB = 103,804 + 1,364 FSE : 5,131r : 0,606
(WTmo} TB = 96,939 + 1,981 TSE : 4,832r : 0,663
Kelompok Melanesoid Indonesia : (WHme) TB = 119,300 + 1,398 H SE : 4,103 r : 0,440
(WRme) TB = 126,803 + 1,401 R SE : 4,216 r : 0,385
(WFme) TB = 143,760 + 0,414 FSE : 4,312r : 0,330
(WTme) TB =114,325+ 1,378 TSE : 4,072r : 0,454
Pengujian ketepatan rumus dalam penerapan pada 30 orang laki-iaki Indonesia yang terdiri atas 25 orang Mongoloid Indonesia dan 5 orang Melanesoid Indonesia menunjukkan bahwa rumus yang diperoleh menghasilkan penyimpangan tinggi badan kurang lebih 1%.

An anthropometric study was conducted in Jakarta in 2002 on 40 young adult males of Indonesia Chinese, 40 young adult males of Javanese, 40 young adult males of Flores and 40 young adult of males of Papua. Anthropometric parameters taken were body height (base-vertex), upper arm length/humerus (acromiale-radiale), lower arm length/radius (radiale-stylion), thigh length/femur (trochanterion-tibiale), shank lengthltibia (tibiale-sphyrion). Measurement was carried out according to Martin's method using Martin's Anthropometer. The measurement was computed to obtain: the multiplication factors (MF) and ratios of parameter pairs, means and their standard deviation values. Comparisons between the groups were analyzed using student anova test with the 5% significance level or p value < 0.05.
Result of computation showed the homogeneity (non significant different) among Chinese', Javanese' and Flores's body height (base-vertex), upper arm length/humerus (acromiale-radiale), lower arm length (radius)(radiale-stylion), thigh/femur (trochanterion- tibiale) and shank lengths (tibia) /tibiale-sphyrion. But there was a slight heterogeneity in lower arm length/radius measures between Flores and Javanese male. Body height and thigh(femur) length of Papua group (melanesoid group) differed significantly from those of Chinese, Javanese and Flores groups ( mongoloid groups), while upper arm (humerus) length, lower arm (radius) length and shank (tibia)length were all homogenous (did not differ significantly). Papua group (melanesoid group) differed significantly with Flores, Javanese and Chinese groups (mongoloid groups) in: 1. Multiplication Factors of radius (lower arm) and tibia (shank), 2.Ratios of radius (lower arm), of femur (thigh) and of tibia (shank).
Relationship of long bones of upper and lower extremities and body height was formulated as shown below:
Male Mongoloid Group (Chinese, Javanese and Flores populations)
(WHmo) Bodyheight= 99.467 + 2.083H SE:5.705 r.0.467
(WRmo) Bodyheight= 102.964 + 2.457R SE:4.475 r.0.720
(WFmo) Bodyheight= 103.804 + 1.364F SE:5.131 r.0.606
(WTmo) Bodyheight= 96.939 + 1.981T SE:4.832 r.0.663
Male Melanesoid (Papua) (WHme) Bodyheight= 119.300+ 1.398H SE:4.103 r.0.440
(WRme) Bodyheight= 126.803+ 1.401R SE:4.216 r.0.385
(WFme) Bodyheight= 143.760+ 0.414F SE:4.312 r.0.330
(WTme) Bodyheight= 114.325+ 1.378T SE:4.072 r.0454
Application test of these formulas on 30 individuals consisting of 25 Indonesian' mongoloids and 5 Indonesian melanesoids showed that the formulas give the deviation of body height of less than 1°%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T9970
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirta Hediyati Reksodiputro Erlangga
"Sejak dahulu manusia selalu berusaha untuk menemukan dan menjabarkan konsep tentang kriteria wajah cantik. Pemikiran tersebut terus berubah seiring dengan berjalanannya waktu, yang banyak dipengaruhi oleh faktor etnik, ras, ekonomi, agamalkeyakinan dan kebudayaan. Pada jaman Renaisance Yunani para ahli berusaha menjabarkan wajah cantik dan menarik secara estetika. Estetika berasal dart bahasa Yunani, aisthesis yang berarti keindahan/kecantikan. Bangsa Yunani menganggap konsep cantik meliputi filosofi dan penampilan fisik. Mereka menciptakan figur Venus de Milo sebagai gambaran klasik dari proporsional cantik dengan berdasarkan Classical Greek Canon namun Classical Greek Canon/Neoclassical Canon tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan pads semua ras dan etnik. Salah satu karya Leonardo da Vinci (menggunakan metode Neoclassical Canon) menghasilkan lukisan wajah perempuan yang proporsional dan ideal. Menurut Leonardo da Vinci wajah seimbang harus dapat dibagi tiga dengan perbandingan yang sama, yaitu antara garis rambut frontal dengan garis supra orbital (Trichion-Glabella), garis supra orbital dengan dasar hidung (Glabella-Subnasal), dan dasar hidung serta Ujung bawah dagu (Subnasal Menton).
Konsep menarik dan cantik telah banyak didiskusikan oleh ahli bedah namun definisi obyektif sulit dijabarkan. Pada wajah estetika, menarik meliputi kombinasi kualitas wajah, seimbang, proporsional, simetri, harmoni dan nilai budaya yang berlaku. Dewasa ini banyak diusahakan metode analisis yang lebih konsisten. Antropometri wajah adalah pengukuran terhadap setiap bagian dari wajah, meliputi nilai ukuran/proporsi secara vertikal, horizontal dan sudutlangulasi pada setiap bagian wajah. Antropometri dapat dilakukan dengan berbagai macam cara antropometri, yaitu antropometri secara langsung, antropometri dengan hasil dokumetasi (fotogrammetri), atau pun antropometri berikut radiografi wajah dan kepala (sefalometri). Perangkat tersebut dapat membantu perencanaan estetika, rinoplasti dan/atau operasi rekonstruksi. Berdasarkan pengukuran antropometri, atau pun fotogrammetri yang telah dilakukan terhadap beberapa ras menunjukkan perbedaan ukuran analisis wajah pada setiap ras dan etnik. Pembentukan kontur wajah selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor ekologi, seperti jenis makanan dan iklim tempat tinggal. Oleh karena itu dapat ditemukan ciri khas kontur wajah bagi suatu ras atau populasi pada daerah tertentu.
Analisis dan proporsional wajah telah banyak dibahas pada bangsa Kaukasia dan Afrika Amerika namun hanya sedikit data mengenai bangsa Asia. Farkas melaporkan 132 nilai pengukuran antropometri wajah pada perempuan dan laki-laki Amerika Utara (Kaukasia). Chou melaporkan 29 nilai pengukuran antropometri wajah pada orang Korea. Analisis wajah merupakan langkah pertama dalam mengevaluasi pasien yang datang, baik untuk prosedur rekonstruksi maupun kosmetika wajah. Operasi wajah demi tujuan estetika pada orang Asia akan menjadi tidak proporsional bila mengacu pada data dan ukuran Kaukasia. Lebih lanjut banyak bangsa Asia yang ingin tetap mempertahankan wajah etnik asli mereka setelah dioperasi. Tantangan bagi para ahli bedah adalah untuk tetap mempertahankan etnik bentuk wajah yang asli dan memperbaiki bagian yang tidak proporsional terhadap keseluruhan bentuk wajah.
Analisis wajah dapat menjadi lebih mudah dilakukan dengan menggunakan teknik fotogrammetri yaitu pengukuran antropometri wajah dengan menggunakan hasil dokumentasi Rhinobase Software merupakan perangkat yang dapat membantu proses fotogrammetri, dimana hasil foto akan dianalisis dengan menggunakan perangkat ini. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari Rhinobase Software. Selain berguna untuk fotogrammetri, perangkat tersebut dapat pula membantu ahli bedah dalam menyimpan keseluruhan data pasien (anamnesis, pemeriksaan fisik, fotogrammetri, rencana operasi, dan hasil operasi).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Meskipun indeks massa tubuh (IMT) pada persentil 5-84 dianggap sebagai berat badan normal untuk anak dan remaja menurut kurva IMT dari Centers for Disease Control & Prevention (CDC), tetapi penelitian oleh Guo et al menunjukkan bahwa IMT pada persentil 75 telah memiliki risiko menjadi obesitas dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan parameter antropometri, pemeriksaan laboratorium, dan risiko kesehatan pada subyek dengan IMT normal untuk mengetahui kelompok IMT ideal menurut kurva IMT dari CDC. Metode Sebagai kelompok rujukan adalah IMT normal (IMT 18,5-24,9) menurut klasifikasi dewasa dari World Health Organization (WHO). Kelompok IMT normal menurut kurva IMT dari CDC dibagi dalam 4 subkelompok yaitu kelompok persentil 5-24, 24-49, 50-74, dan 75-84. Hasil & Simpulan Dari hasil perbandingan tersebut, kelompok IMT persentil 50-74 pada laki-laki dan persentil 75- 84 pada perempuan memiliki ukuran antropometrik dan hasil pemeriksaan laboratorium lebih tinggi dari kelompok rujukan. Meskipun demikian risiko kesehatan kelompok tersebut tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok rujukan.

Abstract
Aim Body mass index (BMI) at 5th-84th percentiles according to the BMI-for-age charts from Center for Diseases Control and Prevention (CDC) is considered as normal BMI for children and adolescents. However, Guo et al found that BMI at 75th-84th percentiles already had a possibility to be adult overweight and obese. This study aimed to determine anthropometric measurements, laboratory findings, and health risk differences to find an ideal BMI group according to the BMI charts. Methods Normal BMI according to adult classification from the World Health Organization (BMI at 18.5-24.9) is used as a reference group. Results & Conclusion Our study showed BMI value at 50th-74th percentiles in boys and at 75th-84th percentiles in girls had higher anthropometric measurements and laboratory findings than the reference group. However, the health risks of those BMI percentiles did not significant different compared with the reference group. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Atma Jaya. Fakultas Kedokteran], 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: The Wistar Intitute of Anatomy and Biology, 1947
599.94 HRD
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Afrida Resti Nugraheni
"Skripsi ini merupakan penelitian cross sectional yang bertujuan mengembangkan model prediksi tinggi badan untuk kelompok dewasa awal yang tidak dapat diukur tinggi badan aktualnya. Penelitian ini melibatkan 138 mahasiswa (70 laki-laki dan 68 perempuan) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang diambil secara acak sederhana. Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran antropometri tinggi badan menggunakan microtoise serta pengukuran panjang ulna dan demi span menggunakan pita ukur non elastis (medline).
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata hasil pengukuran antropometri laki-laki lebih besar dibanding perempuan. Hasil korelasi antara tinggi badan dengan panjang ulna kanan, ulna kiri, demi span kanan, dan demi span kiri pada laki-laki menunjukkan keeratan hubungan yang sangat kuat (r = 0,77; 0,76; 0,84; 0,84). Sedangkan, korelasi pada perempuan menunjukkan keeratan hubungan yang kuat sampai sangat kuat (r = 0,74; 0,72; 0,77; 0,80).
Hasil analisis multiregresi menghasilkan empat model prediksi dengan masing-masing prediktor, namun model prediksi dengan panjang demi span kiri (TB = 60,53 + (1,53 x demi span kiri) - (2,07 x jenis kelamin) dianggap paling valid karena memiliki nilai R square yang paling besar (0,857).

The aim of this cross sectional research was to develope height prediction model for early adult that can’t be measured their actual height. This research was carried out 138 students (70 males and 168 females) Faculty of Public Health University of Indonesia with simpe random sampling tecnique. The data was taken by antropometric measurement, included body height used microtoise, ulna and demi span length used medline.
The result seen that mean of males antropometric measurement was larger than females. Correlation betwen height with right ulna length, left ulna, right demi span, and left demi span in males were very strong (r = 0,77; 0,76; 0,84; 0,84). However, the correlation in females were strong till very strong (r = 0,74; 0,72; 0,77; 0,80).
Multiregression analysis result four prediction models with each predictor, but prediction model with left demi span (Height = 60,53 + (1,53 x left demi span) - (2,07 x sex) was the most valid model because it has biggest R square (0,857).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S45875
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Mubarak
"Perhitungan persentase lemak tubuh manusia pria dewasa telah dimanfaatkan dalam berbagai disiplin ilmu. Perhitungan persentase lemak tubuh dikatakan baik jika mudah digunakan, tidak membutuhkan banyak waktu dan berbiaya rendah sehingga bisa digunakan secara luas oleh masyarakat. Perhitungan dengan melihat hubungan antara ukuran antropometri yang diperoleh secara akurat melalui proses 3D Anthroscan dan persentase lemak tubuh mampu memberikan alternatif perhitungan persentase lemak tubuh yang mewakili karakteristik antropometri pria dewasa Indonesia.
Dalam studi kasus penelitian ini Persentase Lemak Tubuh = 0.71X89 – 0.712X109 + 0.374X78 – 0.19X38 +1.19 - 29.507 adalah perhitugan estimasi persentase lemak tubuh yang mempunyai potensi menjawab karakteristik antropometri pria dewasa Indonesia. Metode yang digunakan untuk menghasilkan perhitungan persentase lemak tubuh untuk pria dewasa Indonesia adalah regresi berganda.

Study of Body fat has been implemented in several research fields. Body Fat Estimation will be considered as a good measurement if it has some requirements such as easy, fast and cheap so that body fat formula can be significantly used by people. Estimation which is generated by correlation of antrhropometry that is resulted through 3D Anthroscan and body fat can give alternative solution to represent Indonesian male body fat.
In this study, Body Fat = 0.71X89 – 0.712X109 + 0.374X78 – 0.19X38 +1.19 - 29.507 potentially fit to Indonesian male anthropometry. Multiple Regression is used to generate Body fat estimation for Indonesian Male.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sofian Sopandi
"

Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.

Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.

Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4). Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.

Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.


Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.

Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.

Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4). The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.

Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>