Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56945 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endang Ernandini
"Latar belakaog: Refleks voiding masih banyak dipakai di Indonesia. walaupun menyebabkan banyak komplikasi. Tujuan : Untuk mengetahui penurunan fungsi ginjal pada pasien paraplegi cedera medulla spinalis dengan metode berkemih refleks voiding. Metodologi: Oesain potong lintang deskriptif analitik. Ouapuluh pasien bertempat di 2 Wisma di Jakarta. diperiksa fungsi ginjalnya dengan serum Cystatin C, volume urin sisa diperiksa dengan metode kateterisasi, usa abdomen untuk melihat keadaan patologis di saluran kemih. Hasil : Delapan subyek (40%) mengalami penurunan fungsi ginjal dengan median Cystatin C = 0,88 (0,79 - 1,03). Rerata urin sisa 197 ± 153 mL. Semua subyek mengalami penebalan dan kontur yang tidak rata pada dinding kandung kemih, trabekula enam subyek, divertikel enam subyek, tidak ada subyek mempunyai batu saluran kemih, hidronefrosis bilateral satu subyek. Fungsi ginjal berkorelasi kuat dengan lama cedera (r=O.57 p =0.01) dan lama penggunaan refleks voiding (r=0,54 p=0,01). Volume urin sisa berkorelasi kuat dengan lama cedera (r=O.5 p=O.03) dan lama penggunaan refleks voiding (r=0.5 p=O.03). Simpulan : Berkemih dengan menggunakan metode refleks voiding dalam waktu lama cenderung menurunkan fungsi ginjal dan meningkatkan volume urin sisa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T59093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Setiono
"Tujuan: Menilai manfaat edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien cedera medulla spinalis (CMS) di RSUP Fatmawati terhadap pengetahuan dan kemampuan mengatasi masalah.
Metode: Desain studi eksperimental. Subyek 22 orang pasien paraplegi karena CMS dengan gangguan berkemih neurogenik yang dirawat pertama kali di RSUP Fatmawati. Subyek diberikan program edukasi yang terdiri dari 7 topik selama rentang 3 minggu. Dilakukan penilaian pengetahuan dan kemampuan masalah dengan menggunakan kuesioner pada awal penelitian, pasca pemberian edukasi, dan 3 bulan pasca edukasi. Selain itu dilakukan penilaian kepentingan topik edukasi menurut subyek dengan skala Likert.
Hasil: 22 subyek menyelesaikan penilaian awal dan pasca edukasi, namun hanya 18 orang yang dapat dihubungi saat follow up 3 bulan. Terdapat peningkatan pengetahuan yang bermakna antara awal dan pasca edukasi (p=0,033), pasca edukasi dan follow up (p=0,047). Terdapat peningkatan yang bermakna pada kemampuan menyelesaikan masalah antara awal dan pasca edukasi (p=0,000), tidak terdapat perubahan bermakna antara pasca edukasi dan follow up (p=0,157). Seluruh topik edukasi yang diberikan dianggap penting oleh subyek.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah setelah pemberian edukasi, dan terdapat retensi sampai dengan 3 bulan pasca edukasi. Pemberian program edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien CMS penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah, serta mencegah komplikasi urologis.

Objective : To evaluate the effect of educational program in neurogenic bladder for spinal cord injury patient at Fatmawati General Hospital in improving knowledge and problem solving skill.
Methods : This is a experimental study. Twenty two paraplegic SCI patients with neurogenic bladder in Fatmawati hospital was included in this study. The subjects was given educational program which consist of 7 topics in 3 weeks period. Questionnaire for evaluating knowledge and problem solving skill was given at the beginning of the study, after completion of education program, and 3 months after education. A likert scale-based questionnaire also given at the end of education to assess patient?s perception of importance regarding the education topics.
Results : All subjects finished the initial and post education assessment, but only 18 subjects finished follow up evaluation. There was significant difference in knowledge between initial and post education assessment (p=0.033) and between post education and follow up (p=0.047). There was significant improvement in problem solving skill between initial and post education assessment (p=0.000) and no significant difference between post education and follow up (p=0.157). All topics given perceived as important by all the subjects.
Conclusion : There is a significant improvement in knowledge and problem solving skill after educational program, and there is retention up to 3 months after education. Educational program in neurogenic bladder for patients with SCI during hospital stay is important in improving patient?s knowledge and problem solving skill also for prevention of urological complication.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widyastuti Srie Utami
"Pendahuluan: Spinal cord injury (SCI) merupakan kejadian yang katastrofik, yang sering kali menyebabkan disfungsi neurologis yang signifikan serta disabilitas yang seringkali permanen, yang konsekuensinya tidak hanya dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien sepanjang hidupnya, namun juga terhadap keluarga dan masyarakat.(6,7) SCI ditandai dengan disfungsi motorik, sensorik dan otonom yang kompleks, yang derajatnya menandakan berat SCI yang dialami. SCI terdiri atas sejumlah gejala yang menunjukkan kerusakan neuron dari Central Neural System (CNS), yang berkisar mulai dari foramen magnum hingga regio tulang belakang bawah.
Di seluruh dunia, angka kejadian SCI kurang lebih 40 kasus per juta orang per tahun. SCI traumatik disebabkan antara lain oleh kecelakaan lalulintas (47%), jatuh (23%), kekerasan/kriminalitas (14%), cedera olahraga (9%), serta penyebab lain yang mencakup hingga 7% angka kejadian, termasuk di dalamnya SCI iatrogenik yang dapat terjadi dalam operasi intervensi tulang belakang.(5) Di USA, Eropa, dan Jepang, SCI terjadi pada kurang lebih 30.000 individu per tahun, serta merupakan problem kronis bagi kurang lebih 500.000 pasien di seluruh dunia. Di wilayah Asia Pasifik, 300-400 kasus baru dilaporkan tiap tahunnya, dengan angka kejadian terbanyak terjadi pada usia 28.6 tahun, dan setengah dari seluruh pasien ini merupakan golongan usia muda yang seharusnya berada dalam periode paling produktif dalam hidup mereka.(6).
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research melaporkan bahwa hingga 34.1% pasien yang mengalami SCI akan hidup dengan incomplete tetraplegia, 23% dengan complete paraplegia, 18.3% dengan complete tetraplegia, dan 18.5% dengan incomplete paraplegia. Hanya kurang dari 1% pasien dengan SCI yang cukup beruntung untuk mengalami recovery neurologis komplit.(5,10) Kebanyakan cedera di daerah thorakal menyebabkan complete SCI (73%), sedang cedera di daerah lumbal mengakibatkan incomplete SCI (79%).(2).
SCI pada manusia terutama diakibatkan oleh kombinasi dari tensile force atau gaya distraksi serta kontusio pada kolumna vertebra dan spinal cord itu sendiri. Gaya distraksi sering kali merupakan komponen integral dalam pathogenesis SCI, baik dalam kondisi traumatik maupun iatrogenik seperti pada saat tindakan intervensi tulang belakang.(4) Namun demikian belum banyak dibangun model ideal yang dapat meniru efek gaya distraksi pada spinal cord ini.
Kebanyakan pemahaman akan pathofisiologi serta tata laksana SCI didasari atau berawal dari temuan pada hewan coba yang digunakan sebagai model bagi SCI. Kebanyakan SCI termasuk yang terjadi pada saat operasi tulang belakang umumnya bersifat bireksional, sehingga model distraksi yang dapat meniru sifat bidireksional ini akan lebih dapat merefleksikan efek distraksi pada SCI yang timbul pada saat operasi intervensi tulang belakang.(4).
Tindakan bedah yang memanipulasi tulang belakang memiliki resiko tersendiri untuk terjadinya SCI intraoperatif. Koreksi deformitas skoliosis serta stabilisasi tulang belakang menggunakan instrumentasi seperti fixation rods, seringkali melibatkan gaya distraksi yang dalam besar yang cukup signifikan yang berpotensi menyebabkan terjadinya SCI iatrogenik.(3)
SCI yang terjadi pada prosedur ini dapat disebabkan oleh kompresi spinal cord akibat translasi dari vertebra, kinking dari spinal cord, buckling dari dura, hipoksia akibat ligasi pembuluh darah segmental dan menurunnya tekanan darah selama operasi, serta stretching atau distraksi langsung pada spinal cord saat koreksi deformitas.(3) Jika berlebihan, gaya distraksi ini dapat mengakibatkan defisit neurologis bahkan paralisis, yang masih terjadi pada 1-2% operasi tulang belakang. Pencegahan terjadinya SCI iatrogenik sebagai salah satu resiko penting dalam operasi atau prosedur tulang belakang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini.
Menilik tingginya derajat kecacatan dan bahkan kematian akibat kerusakan irreversibel yang dapat terjadi pada SCI, pencegahan terhadap terjadinya cedera ini sangatlah berharga baik dalam transportasi, tempat bekerja, olahraga, serta intraoperatif atau SCI iatrogenik. Jika memungkinkan, monitoring elektrofisiologi intraoperatif sangat berguna untuk mendeteksi dan mencegah terjadinga SCI iatrogenik ini. MEP yang diukur melalui stimulasi kortikal transkranial (TcMEP) dapat memberikan sarana deteksi dini ini.
Walaupun intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring dapat sangat membantu dalam identifikasi gangguan neurologis akut intraoperatif sehingga dapat membantu mencegah atau setidaknya membatasi kejadian SCI iatrogenik, pemeriksaan ini belum bisa rutin dilakukan di semua rumah sakit karena relatif masih mahalnya alat, terbatasnya ketersediaan, serta dibutuhkannya personel terlatih untuk melaksanakan monitoring intraoperatif bersangkutan, terutama di negara-negara dengan sarana yang masih terbatas.(4,33).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara besar gaya distraksi yang diberikan pada spinal cord kelinci coba dengan timbulnya gangguan neurologis serta perubahan histopathologis yang ditimbulkannya. Dalam penelitian ini, penulis mengajukan model SCI pada kelinci sebagai hewan coba dengan mengaplikasikan gaya distraksi pada spinal cord lumbal menggunakan alat distraktor yang telah diukur dan dikalibrasi, dan pada saat yang sama mengukur besaran perubahan amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) yang terjadi yang menggambarkan gangguan neurokonduksi yang terjadi secara real-time.(33) Gangguan neurologis juga diobservasi secara klinis, dan perubahan histopathologis akibat cedera pada spinal cord diteliti melalui pemeriksaan histopathologis setelah spinal cord melalui proses harvesting. Penelitian ini juga membandingkan hasilnya dengan hasil penelitian oleh kolega dr. Robin Novriansyah yang mempelajari efek distraksi pada spinal cord regio thorakal(35), dengan tujuan untuk membandingkan kerentanan antara kedua level spinal cord terhadap gaya distraksi selama prosedur intervensi tulang belakang.
Metode: Dua puluh kelinci jantan galur New Zealand dengan berat 3.000-3500 gram yang dibagi menjadi 4 kelompok intervensi (amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, 40-20%, dan 20-0% (flat) dari amplitudo baseline awal sebelum dilakukan distraksi) dan kelompok kontrol digunakan dalam penelitian ini. Gaya distraksi diberikan intraoperatif menggunakan midline posterior approach pada vertebra lumbal L1-L2 menggunakan alat distraktor yang telah menjalani uji konstanta dan kalibrasi, dimana untuk tiap 1 milimeter peregangan pada alat ini diperlukan gaya distraksi sebesar 16.29 Newton. Monitoring TcMEP intraoperatif diukur pada tiap milimeter distraksi yang diberikan pada masing-masing kelompok intervensi. Gangguan motorik dimonitor pasca operasi, dan pada hari ke-10 dilakukan spinal cord harvesting yang kemudian dinilai secara histopathologis untuk mempelajari perubahan selular maupun struktural yang terjadi.
Hasil: Ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) pada penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Di antara kelompok intervensi juga ditemukan perbedaan yang berbeda secara bermakna secara statistik dalam hal penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis yang terjadi.
Jarak minimum sebesar 18 mm yang sesuai dengan gaya distraksi sebesar 293.22 Newton diperlukan untuk mencapai terjadinya amplitudo TcMEP 0% (flat). Gangguan neurologis ini ditemukan reversibel walaupun ditemukan perubahan iskhemik dengan edema, iskhemia, degenerasi, nekrosis, serta gliosis derajatnya bersesuaian dengan besar distraksi.
Menggunakan uji statistik regresi linear pada monitoring perubahan amplitudo TcMEP pada setiap pertambahan jarak distraksi yang dikenakan pada spinal cord lumbal kelinci coba, melalui penelitian ini didapatkan bahwa hubungan antara jarak distraksi (D) dalam satuan milimeter (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada kelinci coba dapat diformulasikan sebagai berikut :
aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D)
Dengan :
aTcMEP = Amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential
D = Distraction Distance dalam satuan milimeter (mm)
Dibandingkan dengan kelompok intervensi dari kelompok spinal cord level thorakal, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada gaya distraksi yang diperlukan untuk menimbulkan penurunan amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, dan 40-20%.
Diskusi: Derajat distraksi yang direfleksikan dalam jarak dan gaya yang diaplikasikan pada spinal cord regio lumbal akan mengakibatkan timbulnya gangguan neurokonduksi yang bersesuaian dengan besarnya distraksi, yang tercermin pada derajat penurunan amplitudo TcMEP yang terjadi. Derajat ini juga bersesuaian dengan derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan jaringan spinal cord secara histopathologis yang terjadi.
Melalui rumus formulasi hubungan antara jarak distraksi (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada model kelinci coba yang didapatkan yaitu aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D), diperlihatkan melalui penelitian ini bahwa perubahan amplitudo TcMEP yang menggambarkan perubahan status neurologis yang terjadi akibat distraksi pada kelinci coba adalah mungkin untuk diperkiraan, sehingga dengan penelitian lebih lanjut mengenai spinal cord, dapat dibangun suatu formulasi yang dapat menjadi perangkat yang berharga bagi ahli bedah dalam operasi intervensi tulang belakang dalam keadaan tanpa alat intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring.
Seperti yang terwakili dalam perbedaan besar gaya distraksi yang diperlukan untuk mencapai derajat gangguan neurologis dan kerusakan jarimgan spinal cord secara histopathologis yang bersesuaian, spinal cord regio lumbal menunjukkan ketahanan yang lebih besar atau lebih tidak rentan terhadap gaya distraksi jika dibandingkan dengan spinal cord regio thorakal.
Kesimpulan: Penelitian ini mengajukan model seberapa besar suatu distraksi diperkirakan masih bisa dianggap aman dengan resiko cedera yang seminimal mungkin secara struktural maupun fungsional pada spinal cord regio lumbal walaupun tanpa bantuan perangkat monitoring neurodiagnostik intraoperatif.
Dengan meningkatnya pemahaman akan biomekanika dan pathofisiologi SCI serta perubahan biokimia dan selular yang terjadi di dalamnya, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi tidak hanya bagi penelitian mendatang mengenai tata laksana SCI serta potensi recovery-nya, namun juga yang paling penting, bagi upaya ke arah pencegahan SCI iatrogenik, terutama selama prosedur intervensi tulang belakang.

Introduction: Acute traumatic spinal cord injury (SCI) is a catastrophic, devastating, life-altering event, with loss of function and poor long-term prognosis, which consequences often persist for life, both for the patient, family, and society at large.(6,7) It is marked by a complex motoric, sensoric, and autonomous disfunction, with severity that mirrors the degree of injury to the neurons of the Central Neural System (CNS), ranging from the foramen magnum to the lowermost spinal regions.
The incidence of traumatic spinal cord injury is approximately 40 SCIs per million persons per year. Traumatic SCI is reported to occur by motor vehicle and workplace accident, falls, violence, sports accident, and other sources of trauma (7%), including iatrogenic cause during spine surgeries.(5) In USA, Europe and Japan, its incidence reaches approximately 30.000 persons per year, and becomes a mainstay for health problem for more than 500.000 patients around the globe. In Asia Pacific regio, a staggering 300-400 new cases have been reported annually, with peak incidence at 28.6 year of age, and approximately half of these patients are of youth demographic, who supposedly at the most productive period of their lives.(6)
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research reporting that up to 34.1% patients with history of SCI will live their lives with incomplete tetraplegia, 23% with complete paraplegia, 18,3% with complete tetraplegia, and 18,5% with incomplete paraplegia, with only less than 1% will be lucky enough to gain complete neurological recovery.(5,10) Injury to the thoracic regio usually will cause a complete SCI (73%), while injury to lumbar regio commonly will cause a less severe or incomplete SCI (79%).(2)
SCI on human are mostly caused by combination of tensile force or distraction combined with contusion to vertebral coloumn and spinal cord itself. This distraction force is an integral component in SCI, whether in traumatic or iatrogenic milieu, yet there’s still lack of such an ideal model that capable of mimicking the effect of this force to the spinal cord.(4)
Most new understanding of pathophysiology and current treatment on SCI were based on studies on animal models, and most SCIs including ones that occur in spine surgeries are of bidirectional force, thus a distractor model on experimental animal that able to mimic this bidirectional force would be a more reliable model in mimicking the effect of distraction in SCI on human during spine surgeries.(4)
Spine surgery contributes its own risks to iatrogenic SCI. Procedures that involve intervention to the spine, e.g during curved spine deformity correction and stabilization of the spine using instrumentation such as fixation rods, oftenly involve application of significant amount of distraction force with its potential as a cause of iatrogenic SCI.(3)
Insults that contribute to SCI during spine intervention surgery include cord compression due to vertebral translation, cord kinking, dura buckling, hypoxia secondary to segmental blood vessel ligation and decreased blood pressure, ischemia, and/or direct spinal cord stretching due to distraction forces applied. If excessive, these distraction forces may result in neurological deficit even paralysis, that still occurs in 1-2% of spine surgeries. Prevention to iatrogenic SCI as an important risk in spine surgeries would be the focus of this study.(3)
Considering catastrophic impairment and even permanent paralysis caused by SCI, its prevention is of utmost importance in every possible milieu, not only in transportation, workplace, sports setting, but also intraoperative or iatrogenic SCI. When available, intraoperative electrophysiological monitoring could be very useful for the detection and prevention of iatrogenic SCI. Motor evoked potentials (MEP), obtained by transcranial cortical stimulation (TcMEP), can provide this early detection.
Eventhough intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring could be very beneficial in early identification of intraoperative neurological disturbance, and thus, is such a valuable tool in preventing the incidence or limiting the degree of severity of iatrogenic SCI during spine intervention surgery, its expensive costs and limited availability and the need for its specifically-trained personnels has made its application in each and every spine surgery is still limited, particularly in developing countries with limited resources.(4,33)
This experiment aims to study the correlation of the amount of distraction force applied to experimental animal lumbar spinal cord with its resulted neurological disturbances and histopathological changes. In this study, author proposes an SCI model by applying distraction force to experimental animal lumbar spinal cord using calibrated distractor device, at the same time, neurological disturbances were monitored intraoperatively using TcMEP that will show the degree of amplitude declination that represents its real-time neuroconduction disturbance.(33) Neurological disturbances were also observed clinically, and after spinal cord harvesting, histopathological changes due to injury to the spinal cord were also examined.
This experiment also compares its result with study of effect of distraction to the thoracic spinal cord in animal model performed by colleague Robin Novriansyah, MD(35), with aim to compare the vulnerability between the two spinal cord levels to distraction injury during spine intervention procedures.
Methods: Twenty male New Zealand experimental rabbits weighting 3.000-3.500 grams were divided into 4 intervention groups (80-60%, 60-40%, 40-20%, and 20-0% (flat) amplitude group compared to their baseline amplitude prior to distraction) and control group were used in this study. Distraction force were applied intraoperatively using midline posterior approach to the vertebra L1-L2 using calibrated spinal cord distraction device, in which a force of 16.29 Newton was required for each millimetre of distraction. Declination of Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) amplitude were measured for each millimetre of distraction applied to each intervention group. Motoric disturbances were also monitored post operatively, and on day 10, after spinal cord harvesting, the spinal cords were examined histopathologically for its degree of selullar and structural damages.
Results: We found that there were statistically significant differences (p<0,005) of TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between intervention groups and control group.
Among intervention groups, there were also statistically significant differences on TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between each intervention group.
A minimum distance of 18 millimetres of distraction equal to 293.22 Newton of distraction force was required to achieve a flat (0%) TcMEP amplitude in this animal model study. These neurological changes due to distraction force even in flat TcMEPs appear to be clinically reversible eventhough ischemic changes were histopathologically found, represented in the degree of severity of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings that correlate to the amount of distraction force applied.
Using statistical linear regression on careful TcMEP amplitude monitoring in each and every additional distraction distance applied to the experimental rabbits’ lumbar spinal cord, through this study we conclude that the relationship between distraction distance (mm) and TcMEP amplitude (aTcMEP) in rabbit animal model can be formulated as :
aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D)
When compared to the thoracic spinal cord study, there were statistically significant (p<0,05) differences of distraction force required in lumbar 80-60%, 60-40%, and 40-20% amplitude groups compared to the corresponding thoracic spinal cord groups.
Discussion: Degree of distraction reflected in its distance and force required to be applied to lumbar spinal cord in rabbit experimental model will cause a corresponding degree of neuroconduction disturbance represented in declination of its TcMEP amplitude. This degree also correlates with the degree of neurological disturbances clinically and the degree of histopathological changes in the injured spinal cord tissue represented in the degree of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings.
Through the defined formula of relationship between distraction distance in millimeter unit applied with TcMEP : aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D) established in this experiment, it is shown that TcMEP amplitude changes that reflect the neurological disturbances due to the applied distraction on rabbit animal model can be predicted, thus through further future spinal cord study, valuable formulation could be established for surgeons during spine intervension surgery in the circumstance without the availability of an intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring device.
Represented in statistically significant more amount of distraction force required to achieve similar degree of neurological disturbance and histopathologically corresponding spinal cord tissue damage, the lumbar spinal cord apparently shows a less vulnerability to distraction force compared to the thoracic spinal cord.
Conclusion: This model offers orthopaedic surgeons an animal model of how far a distraction could still be considered safe with the least risk of injury to the spinal cord structurally and functionally, even without the help of intraoperative neuro-electrodiagnostic device.
With the increasing understanding of the biomechanics and pathophysiology of SCI, and also its biochemical and celullar changes, we hope that this study could share its contribution not only for future study of SCI treatment and its recovery potential, but also of utmost importance, to the prevention of iatrogenic SCI, particularly during spine intervention procedures such as during scoliosis deformity correction surgeries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustina
"Spinal Cord Injury (SCI) merupakan suatu gangguan muskusloskeletal yang berdampak besar baik dari segi fisik, sosial dan ekonomi. SCI berdampak kelemahan pada ekstremitas, tingkat keparahan kelemahan bergantung pada area spinal cord yang terganggu. Untuk itu perlu perawatan yang lama dalam pemulihan dan adaptasi terhadap kelemahan terkait aktivitas sehari hari pasien. Laporan ini merupakan hasil analisa kegiatan praktek residensi penerapan Evidence Based Nursing (EBN) dengan pendekatan Model Adaptasi Roy dalam peran care provider, peneliti, innovator dan role model. Hasil dari penerapan model Adaptasi Roy dapat diaplikasikan pada pasien dengan gangguan muskuloskeletal dimana pasien membutuhkan kemampuan adaptasi dalam menjalani perawatan. Hasil penerapan EBN menunjukkan bahwa relaksasi mendengarkan musik dan masase punggung dapat mengurangi nyeri dan kecemasan. Hasil dari kegiatan inovasi adalah panduan format komunikasi SBAAR (Situation, Background, Assesment and Recommendation)

Spinal Cord Injury (SCI) is one of musculosceletal disorder that distrub physic, social and economic faktors. Effect of SCI are extremities weakness, para parese depand on injury areas of spinal cord. Furtermore patients needs adaptation in his/hers paraparese to doing actuvuty daily living (ADL). This article shows tat clinical practice of recidency using Adaptation Roy Model as provider care, researcher, innovator and role model. Result of Adaptation Roy Modelapproach shows that effective in musculosceletal disorder patient care, who nees ability to asaptation in ADL. Result of Evidence Based Nursing shows that relaxation music therapy and back massage effective to reduce pain and anxiety. Result of innovation project format of SBAR (Situation, Background, Assesment and Recommendation)."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aby Yazid Al Busthomy Rofi`i
"Spinal Cord Injury (SCI) dengan neurogenic bladder menyebabkan penurunan quality of life (QOL). Model konseptual QOL mengemukakan bahwa faktor karakteristik individu, karakteristik lingkungan, fungsi biologis, gejala, status fungsional dan persepsi kesehatan umum dapat mempengaruhi QOL. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi QOL. Penelitian ini menggunakan desain deskirptif korelasional pada 55 pasien SCI dengan neurogenic bladder di Indonesia. QOL dinilai dengan menggunakan WHOQOL-BREF. Rerata total skor QOL adalah 47,55.
Hasil penelitian menunjukkan faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan QOL adalah pengetahuan (p=0,006), dukungan sosial (0,000), kondisi lingkungan (p=0,000), status fungsional (p=0,001) dan persepsi kesehatan (0,000). Faktor yang paling berpengaruh adalah persepsi kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian optimalisasi proses adaptasi dan rehabilitasi akan membantu persepsi pasien SCI dengan neurogenic bladder untuk dapat hidup normal atau mendekati normal dengan kondisinya.

Spinal cord injury (SCI) with neurogenic bladder lead to decrease of quality of life (QOL). Conceptual model of QOL propose there are several factors influencing QOL. There are characteristics of individual, characteristics of environment, biological function, symptom, functional status, and general health perception. The objective of this study was to analyze factors influencing to QOL. This was descriptive correlational study to 55 SCI with neurogenic bladder patients in Indonesia. QOL was measured by WHOQOL-BREF. Total mean score of QOL was 47,55.
Study showed that factor that significantly correlating with QOL were knowledge (p=0,006), social support (p=0,000), environtment condition (p=0,001), functional status (p=0,001) and heatlh perception (p=0,000). The most influencing factor was health perception. Based on the study result it is necessary to optimize adaptation and rehabilitation process which could help SCI with neurogenic patient perception to life normaly.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T49033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pontoh, Ega Wirayoda
"Latar Belakang: Sindrom koroner akut (SKA) dapat didefinisikan sebagai aliran darah yang tidak cukup ke miokardium dan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling umum di Indonesia yang mempengaruhi 143.000 orang. Skor risiko TIMI adalah penilaian stratifikasi risiko yang dapat menentukan prognosis pasien dan memengaruhi opsi terapi. Tes fungsi ginjal dikaitkan dengan keparahan hipoksia dan faktor-faktor lain yang berkontribusi dalam SKA dan tidak termasuk dalam skor risiko TIMI. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara tes fungsi ginjal dan skor risiko TIMI pada pasien SKA. Metode: Penelitian ini menggunakan model analitik cross-sectional menggunakan pengumpulan data rekam medis yang meliputi serum kreatinin, serum ureum, dan skor risiko TIMI yang diperoleh dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. 117 sampel diperoleh yang kemudian dianalisis dengan uji chi-square.
Hasil: Uji fungsi ginjal terbukti secara signifikan terkait dengan Skor Risiko TIMI. Serum kreatinin dikaitkan dengan skor risiko TIMI (p = 0,0407) serta serum ureum juga dikaitkan dengan skor risiko TIMI (p = 0,036).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara serum kreatinin dan serum ureum yang tinggi dengan tingginya skor risiko TIMI.

Background: Acute coronary syndrome (ACS) is defined as insufficient blood flow to the myocardium and one of the most common cardiovascular disease in Indonesia affecting 143.000 people. TIMI risk score is risk stratification assessment that can determine the prognosis of the patient and affect therapy options. Renal function test is associated with hypoxia severity and other contributing factors in ACS which is not included in TIMI risk score. This research aims to see the association of renal function test and TIMI risk score in ACS patients.
Method: The research uses analytical cross-sectional model using medical records data collection which encompasses serum creatinine, serum ureum, and TIMI risk score obtained from Cipto Mangunkusumo National Hospital. 117 samples are obtained which is then analysed using chi-square test.
Results: Renal function test proved to be significantly associated with TIMI Risk Score. Serum creatinine is associated with TIMI risk score (p=0,0407) as well as serum ureum is also associated with TIMI risk score (p=0,036).
Conclusion: There is an association between high serum creatinine and high serum ureum with TIMI risk score in ACS patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Amalia Utami Putri
"Tesis ini disusun untuk mengetahui pengaruh antara berbagai metode berkemih yang umum dilakukan di Indonesia dengan kualitas hidup penderita Cedera Medula Spinalis (CMS) yang memiliki gangguan berkemih neurogenik. Penelitian menggunakan desain uji potong lintang (cross-sectional). Subjek penelitian merupakan penderita gangguan berkemih neurogenik pada penderita CMS yang menggunakan metode berkemih secara spontan (dengan post voiding residu < 20%), kateterisasi bersih secara berkala (Clean Intermittent Catheterization/CIC) secara mandiri, CIC dibantu oleh pelaku rawat, dan kateter menetap. Semua subjek (n=85) dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik, kemudian mengisi kuesioner Qualiveen 30 versi Bahasa Indonesia yang sebelumnya telah diuji keshahihan dan keandalannya dalam versi Bahasa Indonesia. Hasil keluaran penelitian ini berupa penilaian Kualitas Hidup Berkemih pada Penderita Cedera Medula Spinalis dengan menggunakan instrumen spesifik yaitu Kuesioner Qualiveen-30 dalam bahasa Indonesia. Ditemukan bahwa skor total kuesioner Qualiveen-30 adalah 1,75  0,78 dengan skor terbesar terdapat pada domain Limitation (1,92  1,00) yang menunjukkan bahwa Limitation merupakan domain yang memiliki nilai kualitas hidup paling rendah diantara ke empat domain. Analisa bivariat menunjukkan bahwa domain Constraint memiliki hasil yang berbeda bermakna secara statistik (p = 0,007) diantara 4 metode berkemih yang dilakukan, dimana metode berkemih CIC oleh pelaku rawat memiliki kualitas hidup berkemih yang paling buruk dengan skor domain 2,500  0,727. Faktor – faktor lain yang berpengaruh kualitas hidup berkemih terhadap domain Constraint pada penderita CMS antara lain jenis kelamin (p=0,047), level cedera (p = 0,024), dan metode berkemih (p = 0,007). Pada analisis post hoc didapatkan subjek dengan metode berkemih CIC oleh pelaku rawat memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan subjek dengan metode berkemih spontan (p = 0,042) dan subjek dengan metode berkemih CIC mandiri (p = 0,009).

This thesis was aimed to determine the effect of various methods of urination that are commonly carried out in Indonesia and the quality of life of patients with Spinal Cord Injury (SCI) who have neurogenic bladder disorders. The design was cross-sectional. Subjects were SCI patients with neurogenic bladder disorders who used spontaneous voiding methods (with post voiding residue <20%), Clean Intermittent Catheterization / CIC independently, CIC assisted by caregivers, and indwelling catheters. All subjects (n = 85) were interviewed, physically examined by physician, and filled out the Indonesian version of the Qualiveen 30 questionnaire. The results of this study is to assess the Quality of Life for neurogenic bladder and its related factors.
It was found that the total score of the Qualiveen-30 questionnaire was 1.75 ± 0.78 with the highest score found in the Limitation domain (1.92 ± 1.00) which showed that it is the lowest quality of life value among the four domains (Limitation, Constraint, Fear, Feelings).
Bivariate analysis showed that the Constraint domain had statistically significant different results (p = 0.007) among the 4 ovoiding methods performed. Clean Intermittent Catheter by caregiver had the worst quality of voiding with a domain score of 2,500 ± 0.727. Other factors influencing the Quality of Life on the Constraint domain include gender (p = 0.047), injury level (p = 0.024), and voiding method (p = 0.007).
In the post hoc analysis it was found that subjects with CIC voiding methods by caregiver had lower quality of life compared to subjects with spontaneous voiding methods (p = 0.042) and subjects with independent CIC voiding methods (p = 0.009).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aruni Cahya Irfannadhira
"Salah satu faktor yang berperan dalam menentukan tingkat kesehatan seseorang adalah lingkungan fisik. Sungai Citarum yang merupakan bagian dari lingkungan telah ditetapkan sebagai sungai paling tercemar di dunia, namun masih banyak dijadikan sumber air bagi daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Ginjal adalah organ yang bertanggung jawab untuk mengeleminasi toksin dari tubuh manusia, sehingga salah satu permasalahan kesehatan yang diketahui dapat muncul akibat lingkungan tercemar adalah penurunan fungsi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat proporsi penurunan fungsi ginjal dan meneliti hubungan antara faktor lingkungan tempat tinggal yang mencakup wilayah, lama tinggal, dan radius tempat tinggal sekitar sungai terpolusi terhadap penurunan fungsi ginjal menggunakan desain potong lintang. Data yang dianalisis merupakan data sekunder yang didapatkan dari INDOHUN. Data tersebut berupa hasil pengisian kuesioner dengan metode wawancara terpimpin pada masyarakat usia produktif (usia 15-64 tahun) yang tinggal di DAS Citarum. Seluruh data sekunder diinklusi dalam penelitian ini (n=168) yang kemudian disajikan dalam bentuk kategorik. Data kemudian diolah menggunakan SPSS for mac 20.0 dengan uji chi-squared. Hasil menunjukkan proporsi penurunan fungsi ginjal pada penduduk usia produktif adalah 2,4%. Hasil uji fisher exact Test yang dilakukan karena data tidak memenuhi syarat chisquared menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara wilayah tempat tinggal dengan fungsi ginjal (p=1,000), lama tinggal di DAS Citarum sebagai sungai tercemar dengan fungsi ginjal (p=1,000), maupun radius tempat tinggal ke sungai dengan air tercemar dengan fungsi ginjal (p=0,365). Sebagai kesimpulan, belum ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan tempat tinggal dengan penurunan fungsi ginjal masyarakat usia produktif di DAS Citarum. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan jumlah subjek yang lebih besar dengan desain studi berbeda untuk mengetahui hubungan etiologis dari pencemaran air Sungai Citarum terhadap kesehatan masyarakat.

One of the factors that play a role in determining a person's health level is the physical environment. The Citarum River, which is part of the environment, has been designated as the most polluted river in the world, but is still widely used as a source of water for West Java and DKI Jakarta. Kidneys are organs that are responsible for eliminating toxins from the human body, so one of the health problems that are known to arise due to polluted environments is decreased kidney function. This study aims to see the proportion of decreased kidney function and to examine the relationship between environmental factors of residence including area, length of stay, and the radius of residence around polluted rivers to decreased kidney function using a cross-sectional design. The data analyzed is secondary data obtained from INDOHUN. The data is the result of filling out a questionnaire using the guided interview method for people of productive age (aged 15-64 years) who live in the Citarum watershed. All secondary data were included in this study (n=168) which were then presented in categorical form. The data were then processed using SPSS for mac 20.0 with the chi-squared test. The results showed that the proportion of decreased kidney function in the productive age population was 2.4%. The results of the fisher exact test which was carried out because the data did not meet the chi-squared requirements showed that there was no statistically significant relationship between the area of residence and kidney function (p = 1,000), the length of stay in the Citarum watershed as a polluted river with kidney function (p = 1,000), as well as the radius of residence to the river with polluted water with kidney function (p = 0.365). In conclusion, there has not been found a significant relationship between environmental factors and decreased kidney function of productive age communities in the Citarum watershed. Future studies can use a larger number of subjects with different study designs to determine the etiological relationship of Citarum River water pollution to public health."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Alfian
"Latar Belakang: Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk lansia menjalani puasa pada bulan Ramadhan. Dalam mengevaluasi keamanan berpuasa Ramadhan pada populasi lansia, dilakukan berbagai penilaian, salah satunya adalah profil fungsi ginjal. Profil fungsi ginjal, dinilai dari laju filtrasi glomerulus (LFG), merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kesehatan lansia. Namun, belum terdapat penelitian mengenai profil fungsi ginjal dan faktor-faktor yang memengaruhi pada lansia berpuasa.
Tujuan: Mengetahui profil dan faktor risiko perubahan fungsi ginjal pada usia lanjut yang berpuasa Ramadhan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan menggunakan data primer pada subyek usia > 60 tahun yang menjalani puasa Ramadhan di kelurahan Jatinegara sejak April 2019 hingga Juli 2019. Profil fungsi ginjal dihitung menggunakan pemeriksaan (LFG) pada 1 minggu sebelum berpuasa, 3 minggu berpuasa, dan 2 minggu pasca berpuasa. Faktor risiko yang dinilai adalah usia, indeks massa tubuh, diabetes melitus, hipertensi, kebiasaan merokok, konsumsi protein, dan konsumsi cairan. Analisa bivariat dilakukan menggunakan uji chi-square atau Fisher. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik.
Hasil: Pada penelitian ini, tidak ditemukan adanya faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap perubahan fungsi ginjal selama puasa bulan Ramadhan pada lanjut usia. Beberapa farktor dapat mempengaruhi fungsi ginjal pada usia lanjut yang berpuasa Ramadhan, salah satunya adalah usia. Mayoritas lanjut usia yang mengalami penurunan GFR selama bulan Ramadhan berusia 60-70 tahun berjumlah 89 orang atau 68,5%. Sisanya berjumlah 10 orang atau 58,8% berusia >70 tahun. Namun, setelah dilakukan analisis, hubungan antara usia dengan penurunan GFR selama puasa Ramadhan tidak bermakna (p=0,426).
Kesimpulan: Tidak ditemukan adanya perubahan signifikan pada fungsi ginjal dengan usia lanjut yang menjalankan puasa dibulan Ramadhan.

Background. As a country with a majority Muslim population, most Indonesians, including the elderly, fast during the month of Ramadan. To evaluate the safety of fasting during Ramadan in the elderly population, various assessments were carried out, one of which is kidney function profile. Kidney function profile, assessed using glomerular filtration rate (GFR), is one of the important parameters in determining the health of the elderly. However, there has been no research on kidney function profile and its affecting factors on fasting elderly in Indonesia.
Aim:. To determine the profile and risk factors for changes in kidney function in elderly who fast during Ramadan.
Methods. This study used prospective cohort design using primary data on subjects aged > 60 years who were undergoing Ramadan fasting in Jatinegara village from April 2019 to July 2019. The kidney function profile was calculated using glomerular filtration rate (GFR) examination on 1 week before fasting, 3 weeks fasting, and 2 weeks post fasting. The risk factors assessed were age, body mass index, diabetes mellitus, hypertension, smoking habits, protein consumption, and fluid consumption. Bivariate analysis was performed using the chi-square or Fisher test. Multivariate analysis was performed using logistic regression.
Result. In this study, no risk factors were found significantly influencing changes in kidney function during the Ramadan fasting in the elderly. Some factors can affect kidney function in elderly who fasted in Ramadan, one of which is age. The majority of elderly who experienced a decrease in GFR during the month of Ramadan aged 60-70 years amounted to 89 people or 68.5%. The rest amounted to 10 people or 58.8% aged> 70 years. However, after analysis, the relationship between age and decreased GFR during Ramadan fasting was not significant (p = 0.426).
Conclusion. There was no significant changes in kidney function on fasting elderly during Ramadan.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bangun Astarto
"Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan filtrasi glomerulus, sehingga dapat menyebabkan non visualisasi ginjal unilateral atau bilateral pada urografi intra vena.
Pemeriksaan Radioisotop renografi sebagai lanjutan pemeriksaan pada keadaan tersebut ini .dapat menunjukkan gangguan fungsi masing-masing ginjal secara terpisah dan pads fase apa terjadinya gangguan tersebut.
Terdapat 3 fase pada renogram :
1. Fase pengisian atau vaskular menggambarkan ekstensi aliran darah ke ginjal tersebut.
2. Fase pemekatan atau fase sekresi/fase tubular menggambarkan aliran darah arterial, filtrasi glomerulus, sekresi tubular dan transportasi radioaktivitas intra renal ke pelvis dan ekstra renal.
3. Fase eliminasi atau fase ekskresi menggambarkan penurunan radio aktivitas dari seluruh ginjal.
Sedangkan kelainan yang dapat terjadi pada grafik renogram secara garis besar di bagi 3 tipe Obstruktif, Isothenuria dan Nefrektomi.
Karya tulis ini mengamati 21 kasus non visualisasi ginjal unilateral hasil urografi intra vena, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan radioisotop renografi, ternyata sebagian besar menunjukkan tipe nefrektomi (85,71%), sedangkan tipe obstrukti 4,76% dan tipe isothenuria 9,53%.
Kombinasi hasil urografi intra vena dan renogram memperjelas gambaran fungsi masing-masing ginjal secara terpisah. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>