Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81547 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elsa P. Surbakti
"Latar belakang dan tujuan : Dispepsia merupakan keluhan yang diperkirakan
mencapai lebih dari sepertiga penderita yang berobat ke dokter umum dan lebih
dari setengah penderita yang datang ke klinik gastroenterologi. Penyebab
terjadinya keluhan pada dispepsia non ulkus khususnya sampai sekarang belum
jelas, tapi dikatakan 30 - 80% diantaranya ditemukan perlambatan waktu
pengosongan lambung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau
tidaknya gangguan motilitas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga
pengobatan yang diberikan dapat lebih tepat. Bahan dan Cara : Dilakukan
pemeriksaan waktu pengosongan lambung dengan makanan padat pada 21 orang
penderita dispepsia dengan menggunakan skintigrafi dan ditentukan derajat
dispepsia pada kelompok ini dengan menggunakan skor Talley. Pemeriksaan
kelompok kontrol dilakukan pada 10 ~rang normal yang sudah dilakukan peneliti
sebelumnya dengan cara yang sarna. Hasil : Waktu pengosongan lambung pada
kelompok kontrol adalah 75,34 K 25,87 sedang pada kelompok dispepsia 77,80 K
39,42 waktu pengosongan lambung pad a laki-Iaki adalah 69,29 K 21,88 dan
perempuan 86,38 K 45,78. Waktu pengosongan lambung pada dispepsia derajat
ringan 67,44 K 29,85 dan pada derajat sedang 84,18 K 44,21. Usia rata-rata adalah
37,03 K 7,08 tahun, berat badan rata-rata 56,90 K 8,48 kg. Secara statistik tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok dispepsia dan kontrol (p >
0,05) dan tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara waktu pengosongan
lambung dengan usia, jenis kelamin, berat badan, dan derajat dispepsia (p > 0,05).
Kesimpulan : Tidak ditemukan perlambatan waktu pengosongan lambung pada kelompok dispepsia dibanding kontrol. Tidak terdapat korelasi antara waktu pengosongan lambung dengan usia, jenis kelamin, berat badan, dan derajat dispepsia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T58997
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Syndroma dispepsia adalah masalah global, dimana hampir 50% penduduk dunia pernah mengalarninya, dengan pentebab multifaktorial diantaranya faktor fisik, psikis dan faktor lainnya. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang dapat mengakibatkan syndroma dispepsia pada perawat di lantai V kanan RSUP Fatmawati. Sebanyak 37 responden berpartisipasi dalam penelitian ini. Metode penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif sederhana. Diperoleh hasil gambaran faktor fisik berupa terialu banyak pasien, kelelahan, fasilitas ruang rawat kurang menunjang. Faktor psikis meliputi tingkat kecemasan. Gejala yang dirasakan seperti: mual, muntah, kembung, dada terasa panas, dan perut terasa penuh. Dari hasil penelitian ini merekomendasikan untuk penelitian selanjutnya agar menggunakan metodologi penelitian diskriptif korelasi untuk mengetahui hubungan sebab akibat dari syndroma dispepsia."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5683
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Dispepsia nonulseratif adalah suatu masalah gastrointestinal yang sering terjadi. Etiopatogenesisnya belum diketahui pasti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan seperti merokok, teh, alkohol, dan konsumsi NSAID terhadap dispepsia nonulseratif. Penelitian dilakukan di Bagian Gastroenterologi, Penyakit Dalam dan Radiologi IG Medical College, Shimla, India. Tiga ratus pasien dispepsia non ulseratif diteliti. Sebagai kelompok kontrol diambil dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Riwayat merokok, teh, alkohol, dan konsumsi NSAID diteliti pada kedua kelompok. Konsumsi teh sebagai faktor lingkungan ternyata mempunyai pengaruh bermakna pada kelompok dispepsia nonulseratif, sedangkan faktor-faktor lain seperti merokok, alkohol, dan NSAID tidak mempunyai hubungan positif dengan dispepsia nonulseratif. (Med J Indones 2004; 14: 50-4)

Non ulcer dyspepsia is a common gastrointestinal problem, the etiopathogenesis of which is not well established. This study was planned to see the effect of environmental factors like smoking, tea, alcohol, and NSAIDs consumption with non-ulcer dyspepsia. This study was conducted in the department of Gastroenterology, Medicine and Radiology of I.G. Medical College, Shimla, India. Three hundred patients of non-ulcer dyspepsia were included in the study. Each case was matched with community control of same age and sex. A detailed history of smoking, tea, alcohol, and NSAIDs consumption was taken from the patients and controls. Consumption of tea as an environmental factor was found to be statistically significant in non-ulcer dyspepsia patients as compared to controls using multivariate regression. In the present study, environmental factors like smoking, alcohol, NSAIDs consumption did not show positive co-relation with non-ulcer dyspepsia. (Med J Indones 2004; 14: 50-4)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (1) January March 2005: 50-54, 2005
MJIN-14-1-JanMar2005-50
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nasya Amalia
"Pendahuluan: Dispepsia fungsional adalah salah satu gangguan pencernaan fungsional yang berasal dari saluran pencernaan bagian atas. Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan Kriteria Rome III adalah 3-10%. Sebuah studi di Jakarta dengan sampel orang dewasa, ditemukan 59,1% memiliki sindrom dispepsia. Di sebuah studi ditemukan bahwa pasien obesitas lebih memiliki kecenderungan untuk
mengalami nyeri pada perut dan nyeri dengan frekuensi dan intensitas tinggi. Namun, prevalensi dispepsia fungsional pada siswa sekolah menengah pertama di Jakarta masih belum diketahui. Metode. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan menggunakan 292
kuesioner Kriteria Rome III dan kuesioner makanan yang diambil di SMP Labschool Jakarta pada Maret 2018. Subjek penelitian diharuskan untuk mengisi kuesioner kemudian diukur tinggi dan berat badan menggunakan timbangan dan alat ukur tinggi. Subjek yang memiliki dispepsia fungsional didapat dari Kriteria Rome III kuesioner melalui penilaian pada beberapa nomer. Analisis data menggunakan Chi-square test untuk menilai asosiasi dispepsia fungsional terhadap jenis kelamin, kelas, status nutrisi, kebiasaan konsumsi makanan, dan aktifitas fisik, satu per satu. Sementara untuk menilai asosiasi dispepsia fungsional terhadap umur, dilakukan Mann-Whitney test Hasil. Terdapat 292 kuesioner yang termasuk di penelitian. Mayoritas subjek adalah perempuan 53,8%, median usia 13 tahun. Subjek memiliki status nutritisi dengan mayoritas yaitu gizi lebih (51,4%) yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria Waterlow. Prevalensi dyspepsia fungsional adalah 17,5%. Asosiasi nya terhadap status nutrisi, jenis kelamin, konsumsi sarapan, buah, dan sayur, dan aktifitas fisik tidak signifikan. Namun, terdapat signifikansi pada asosiasi dispepsia fungsional terhadap kelas, umur, dan jarang konsumsi sarapan. Kesimpulan. Prevalensi dispepsia fungsional adalah 17,5%. Karakteristik status gizi dari subjek penelitian dengan persentase tertinggi adalah gizi lebih. Analisis data menunjukan bahwa tidak terdapat asosiasi yang signifikan antara dispepsia fungsional terhadap status nutrisi. Asosiasi dispepsia fungsional dengan karakteristik subjek signifikan, yaitu terhadap umur dan kelas, namun terhadap jenis kelamin tidak signifikan. Asosiasi antara dispepsia fungsional dan pola makan dan aktifitas fisik tidak signifikan, kecuali asosiasi dispepsia fungional dengan jarang konsumsi sarapan.

Preliminary. Functional dyspepsia is one of the functional digestive disorders originating from the upper digestive tract. The prevalence of functional dyspepsia based on Rome III criteria is 3-10%. A study in Jakarta with a sample of adults, found 59.1% had dyspepsia syndrome. In one study it was found that obese patients were more likely to experiencing abdominal pain and pain with high frequency and intensity. However, the prevalence of functional dyspepsia in junior high school students in Jakarta is still unknown. Method. This study uses a cross-sectional method using 292 Rome III Criteria questionnaire and food questionnaire taken at SMP Labschool Jakarta in March 2018. Research subjects were required to fill out a questionnaire and then their height and weight were measured using scales and height measuring instruments. Subjects who have functional dyspepsia were obtained from the Rome III Criteria questionnaire through an assessment of several numbers. Data analysis used Chi-square test to assess functional dyspepsia associations with gender, class, nutritional status, food consumption habits, and physical activity, one by one. Meanwhile, to assess the association of functional dyspepsia with age, the Mann-Whitney test was carried out. There are 292 questionnaires included in the study. The majority of the subjects were 53.8% women, the median age was 13 years. Subjects have nutritional status with the majority being overweight (51.4%) which is classified based on the Waterlow criteria. The prevalence of functional dyspepsia was 17.5%. The association with nutritional status, gender, consumption of breakfast, fruit, and vegetables, and physical activity was not significant. However, there is a significant association of functional dyspepsia on
class, age, and rarely breakfast consumption.
Conclusion. The prevalence of functional dyspepsia was 17.5%. The characteristics of the nutritional status of the research subjects with the highest percentage were overweight. Data analysis showed that there was no significant association between functional dyspepsia and nutritional status. The association of functional dyspepsia with the characteristics of the subjects was significant, namely to age and class, but not to gender. The association between functional dyspepsia and diet and physical activity was not significant, except for the association of functional dyspepsia with infrequent breakfast consumption.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Tyas Ayunda
"Dispepsia adalah kumpulan gejala penyakit saluran cerna bagian atas yang mengenai lebih dari 29% individu dalam suatu komunitas dan gejalanya bervariasi pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012). Kumpulan gejala ini dikenal dengan istilah sindroma dispepsia yang terdiri atas keluhan rasa tidak nyaman di perut bagian atas, mual, muntah, kembung, cepat merasa kenyang, rasa perut penuh, dan sendawa (Djoningrat, 2014). Keluhan yang dirasakan tiap seseorang berbeda-beda sesuai dengan gejala-gejalanya. Banyaknya penyebab dari gejala dispepsia dibagi menjadi dua kelompok yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional (Djoningrat, 2014). Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Djoningrat, 2014).
Dyspepsia is a collection of symptoms of upper gastrointestinal diseases that affects more than 29% of individuals in a community and the symptoms vary between individuals (Schmidt-Martin and Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012). This collection of symptoms is known as dyspepsia syndrome which consists of complaints of discomfort in the upper abdomen, nausea, vomiting, bloating, feeling full quickly, feeling of a full stomach, and belching (Djoningrat, 2014). The complaints felt by each person vary according to their symptoms. The many causes of dyspepsia symptoms are divided into two groups, namely organic dyspepsia and functional dyspepsia (Djoningrat, 2014). Organic dyspepsia if the cause of dyspepsia is clear, for example the presence of peptic ulcers, gastric carcinoma, and cholelithiasis which can be found easily through clinical, radiological, biochemical, laboratory examinations or conventional gastroenterology (endoscopy). Meanwhile, functional dyspepsia occurs when the cause is unknown or no abnormalities are found on conventional gastroenterological examination or no organic damage or systemic diseases are found (Djoningrat, 2014)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Omega
"Penelitian ini membahas gambaran penyakit dispepsia fungsional dan faktor-faktor yang berhubungan. Dispepsia fungsional merupakan salah satu penyakit tidak menular yang sering ditemukan dalam praktik sehari-hari. Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kasusnya, sehingga berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa. Dispepsia fungsional dapat disebabkan oleh pelbagai faktor risiko, terutama sosioekonomi dan demografi, serta perilaku dan status kesehatan. Dengan diketahuinya hubungan antara faktor-faktor tersebut, diharapkan dapat membantu dalam pencegahan dan penatalaksanaannya. Penelitian dilaksanakan dengan metode cross sectional dengan menggunakan data sekunder dari rekam medik poli rawat jalan RSCM tahun 2010. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara proportional random sampling. Analisis statistik dilakukan untuk mendapatkan prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dispepsia fungsional.
Didapatkan hasil prevalensi dispepsia fungsional menempati peringkat kelima penyakit terbanyak di poli rawat jalan RSCM (4,7%). Berdasarkan uji hipotesis, didapatkan faktor-faktor yang berperan pada terjadinya dispepsia fungsional adalah pekerjaan (p=0,048), penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan (p=0,001), dan tingkat pendidikan (p=0,001). Sedangkan, variabel usia (p=0,070), jenis kelamin (p=0,376), status pernikahan (p=0,522), gaya hidup (p=0,587), status gizi (p=1,000), dan IMT (p=0,611), tidak menunjukkan hubungan yang bemakna secara statistik dengan terjadinya dispepsia fungsional. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara dispepsia fungsional dengan sosioekonomi dan demografi, serta perilaku dan status kesehatan.

This study discussed the overview of functional dyspepsia disease and its related factors. Functional dyspepsia is one of the non-communicable diseases which is often found in daily practice. In the recent years, the increase of the diseases? prevalence has impaired Indonesia in terms of economy and productivity. Functional dyspepsia can be due to various risk factors, especially socioeconomic and demographic, and behavioral and health status. By knowing the relationship between these factors, it is expected that this may increase the awareness of the disease, including its prevention and management. This research carried out by using a cross sectional method utilizing secondary data from outpatient medical records RSCM in 2010. Sampling method was done by using a proportional random sampling. Statistical analysis was done to obtain the prevalence of functional dyspepsia and its related factors.
The result showed that the prevalence of functional dyspepsia ranked fifth most diseases in RSCM outpatients (4.7%). Based on a statistical hypothesis testing, factors that contribute to the occurance of functional dyspepsia are occupation (p=0.048), utilization of health care facilities (p=0.001), and level of education (p=0.001). Meanwhile, age variable (p=0.070), gender (p=0.376), marital status (p=0.522), lifestyle (p=0.587), nutritional status (p=1.000), and BMI (p=0.611) showed no relationship with the occurance of functional dyspepsia. In conclusion, there was a relationship between functional dyspepsia with socioeconomic and demographic, and behavioral and health status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okatiranti
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pegagan pada ketahanan mukosa Iambung (gastroprotektif) tikus yang mengalami stres immobilisasi baik secara makroskopik dengan parameter luas ulkus dan skor perdarahan dan secara mikroskopik parameter edema, infiltrasi leukosit, dan nekrosis jaringan Iambung tikus.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in vivo,
dilakukan dengan 5 kelompok perlakuan dengan 6 ulangan. Kelompok I adalah kelompok kontrol diet normal, kelompok Il kelompok kontrol diet normal dicampur pegagan 1 gr/kg bb hari, kelompok Ill adalah kelompok kontrol tikus yang mengalami stres immobilisasi tanpa
pemberian pegagan sebelumnya, Kelompok IV dan V adalah kelompok yang sebelumnya mendapat diet pegagan selama 3 hari sebelum stres immobilisasi dengan konsentrasi pegagan 0,5 gr/kg bb hari dan 1,0 gr/kg bb hari.
Hasil pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa Iuas ulkus dan skoring, perdarahan kelompok I, Il, III, terdapat perbedaan yang bemakna dan dibuktikan secara mikroskopik untuk parameter edema, infilrasi leukosit dan nekrosis juga rerdapat perbedaan yang bermakna. Sedangkan untuk kelompok III, IV dan V secara makroskopik Iuas ulkus
dan skoring perdarahan tidak ada perbedaan yang bermakna dan dibuktikan dengan pengamatan parameter inflamasi, (edema, infiltrasi leukosit dan nekrosis) juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
Stres immobilisasi dapat menyebabkan ulkus lambung, sedangkan pada
penelitian ini terlihat bahwa efek gastroprotektif pegagan pada kondisi stres immobilisasi menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna walaupun ada penurunan dari parameter luas ulkus, skoring perdarahan dan parameter proses inflamasi dibandingkan dengan kontrol."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16241
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Ayu Kinasih
"Penyakit lambung merupakan penyakit yang terjadi di lambung atau bersumber dari lambung. Terdapat beberapa macam penyakit lambung, seperti Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), tukak lambung, dan dispepsia. Golongan obat Antagonis Reseptor Histamin H2 atau Antagonis H2, adalah golongan obat penekan asam lambung yang sering digunakan dalam berbagai kondisi penyakit lambung. Clinical pathway atau alur klinis merupakan suatu alat yang digunakan untuk memandu perawatan kesehatan untuk pasien. Pembuatan clinical pathway harus dikembangkan berdasarkan bukti yang tersedia, seperti pedoman praktik klinis yang memuat tatalaksana penyakit, tindakan, dan terapi yang akan diberikan kepada pasien. Peran farmasis dalam clinical pathway adalah dalam manajemen terapi obat, kebutuhan obat pasien, edukasi obat kepada pasien berserta keluarga pasien dan juga tenaga kesehatan, merevisi dan menetapkan protokol pengobatan, dan evaluasi hasil pengobatan. Oleh karena itu, clinical pathway terapi penyakit lambung perlu diketahui untuk memberikan informasi serta rekomendasi terkait pengobatan dan penanganan pasien kepada tenaga kesehatan demi tercapainya hasil pengobatan yang diharapkan dan sebagai manajemen terkait kualitas, biaya, kepuasan pasien dan efisiensi. Metode pelaksanaan tugas khusus ini adalah dengan cara studi literatur untuk pencarian clinical pathway penyakit lambung dengan obat golongan Antagonis H2 dengan mencari sumber atau referensi dan melakukan penelusuran pustaka terkait penatalaksaan atau algoritma penyakit lambung. Berdasarkan hasil studi literatur yang dilakukan, golongan obat Antagonis H2 dapat dijadikan sebagai pilihan terapi untuk GERD ringan, dapat menjadi pilihan untuk mengobati dispepsia tanpa alarm symptoms, baik untuk pasien yang sebelumnya mengonsumsi obat-obatan NSAID ataupun tidak, dan dapat menjadi terapi pilihan untuk penyakit lambung dengan dosis yang berbeda-beda sesuai dengan penyakitnya.

Gastric disease is a disease that occurs in the stomach or originates from the stomach. There are several kinds of gastric diseases, such as Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), peptic ulcers, and dyspepsia. The H2 Histamine Receptor Antagonist drug class or H2 antagonists, is a class of drugs that suppress stomach acid which is often used in various conditions of gastric disease. Clinical pathway is a tool used to guide health care for patients. Making a clinical pathway must be developed based on available evidence, such as clinical practice guidelines that contain disease management, actions, and therapies to be given to patients. The role of pharmacists in clinical pathways is in drug therapy management, patient drug needs, drug education for patients and their families as well as health workers, revising and establishing treatment protocols, and evaluating treatment results. Therefore, it is necessary to know the clinical pathway for gastric disease therapy to provide information and recommendations related to treatment and patient care to health workers in order to achieve the expected treatment results and as management related to quality, cost, patient satisfaction and efficiency. The method of carrying out this special assignment is by means of a literature study to search for clinical pathways for gastric disease with H2 antagonist class drugs by finding sources or references and conducting literature searches related to gastric disease management or algorithms. Based on the results of a literature study conducted, the H2 antagonist drug class can be used as a therapeutic option for mild GERD, can be an option for treating dyspepsia without alarm symptoms, both for patients who have previously taken NSAID drugs or not, and can be the therapy of choice for chronic kidney disease. stomach with different doses according to the disease."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Indartati
"Telah dilakukan penelitian uji biodistribusi dan dosis internal berbagai organ pada pemeriksaan renografi yang bertujuan untuk mengetahui alir 99Tcm DTPA dalam metabolisme dan prediksi dosis internal dan eksternal yang diterima pasien renografi. Penelitian dilakukan dengan melakukan pemindaian berulang dengan pencitraan planar AP dan PA pada lapangan toraks abdomen, cranial dan pelvis dalam suatu interval waktu hingga 120 menit setelah penyuntikan terhadap pasien laki-laki sehat. Biodistribusi 99TcmDTPA menunjukkan persentase yang tinggi pada jantung, liver, paru?paru dan ginjal pada rentang 0-10 menit, sedangkan pada rentang waktu 40-50 menit, 80-90 menit dan 120-130 menit persentase tertinggi terjadi pada kandung kemih. Penghitungan dosis internal terhadap 13 orang pasien normal (tanpa indikasi sakit ginjal) dan 17 orang sakit ginjal, diperoleh bahwa pada pasien normal berada pada rentang 0,09-0,17 rad/mCi lebih rendah dibandingkan pasien sakit ginjal berada pada rentang 0,20-0,60 rad/mCi, sebaliknya terjadi pada dosis internal pasien normal 0,03-0,15 rad/mCi lebih tinggi dibandingkan dosis internal kandung kemih pasien sakit ginjal (0,01-0,08 rad/mCi). Untuk pengukuran dosis eksternal dengan menggunakan TLD pada 1 jam dan 2 jam setelah proses pemeriksaan renografi diperoleh dosis permukaan yang tinggi pada 1 jam setelah pemeriksaan dan menurun sebanyak 50 % pada dosis permukaan setelah 2 jam proses pemeriksaan renografi.

The study of biodistribution and dosimetry testing for Tc-99m DTPA has been done to asses its flow in metabolism and predict internal and external patients dose. Renography patients scanned with AP and PA plannar imaging on thorax abdomen, cranial and pelvic field for several interval times up to 120 minutes after Tc-99m DTPA injected. Biodistribution shows the highest activity percentage in the heart, liver, lung and kidney at period 0 ? 10 minutes, whereas in bladder at period 40-50 minutes, 80-90 minutes and 120-130 minutes. Calculation of internal dose of 13 normal patients (with no indication of kidney disease) and 17 kidney disease, found that in normal patients are in the range 0.09 to 0.17 rad / mCi lower than kidney disease patients are in the range 0.20 -0.60 rad / mCi, the opposite occurs in normal patients internal dose from 0.03 to 0.15 rad / mCi dose is higher than the internal dose in bladder at kidney disease patients (0.01 to 0.08 rad / mCi). For external dose measurements using TLD at 1 hours and 2 hours after renography examination obtained high surface dose at 1 hour after the examination and decreased by 50% in the surface dose after 2 hours of the renography examination."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31250
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nikko Darnindro
"Latar Belakang: Prevalensi infeksi Helicobacter pylori yang masih tinggi di beberapa negara. Penelitian di Guang Zhou terjadi penurunan seroprevalensi infeksi Helicobacter pylori antara tahun 1993 2003 dari 62 5 menjadi 47. Studi prevalensi di salah satu RS swasta Jakarta menunjukkan penurunan prevalensi infeksi Helicobacter pylori dari 12 5 di tahun 1998 menjadi 2 9 di tahun 2005 Perlunya diketahui seroprevalensi dikomunitas saat ini apakah sesuai dengan penurunan yang terjadi pada penelitian berbasis rumah sakit dan faktor faktor yang mempengaruhi infeksi Helicobacter pylori di masyarakat.
Tujuan: Mengetahui seroprevalensi dan faktor faktor sosiodemografis yang berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori.
Metode: Studi potong lintang terhadap 111 pasien dispepsia yang berobat di Puskesmas Kelurahan Kalibaru Jakarta Utara Januari-Februari 2015. Dilakukan analisa bivariat untuk mengetahui hubungan faktor faktor dengan infeksi Helicobacter pylori menggunakan uji chi square dan uji T tidak berpasangan serta alternatifnya. Analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil dan Pembahasan: Pada 111 pasien dewasa dengan keluhan dispepsia yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Kalibaru didapatkan seroprevalensi Helicobacter pylori sebesar 22 5 95 IK 14 8 30 2. Usia tidak berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori p 0 270. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi semakin rendah rasio odds infeksi Helicobacter pylori OR 0 2 95 IK 0 02-1 71. Semakin tinggi indeks kepadatan penduduk semakin tinggi rasio odds infeksi Helicobacter pylori OR 1 2 95 IK 0 37-4 49. Semakin rendah clean water index semakin tinggi rasio odds infeksi Helicobacter pylori OR 1 5 95 IK 0 57-4 04. Semakin rendah status sanitasi semakin tinggi rasio odds infeksi Helicobacter pylori OR 2 5 95 IK 1 01-6 19.
Kesimpulan: Seroprevalensi Helicobacter pylori pada pasien dispepsia kelurahan Kalibaru sebesr 22 5 95 IK 14 8 30 2. Didapatkan hubungan antara sanitasi lingkungan dengan Helicobacter pylori.

Background: The prevalence of Helicobacter pylori infection in some countries remains high. Study in Guang Zhou showed a decrease in seroprevalence of Helicobacter pylori from 62 5 in 1993 to 47 in 2003. Prevalence studies in one of the private hospitals in Jakarta showed a decrease in the prevalence of Helicobacter pylori infection from 12 5 in 1998 to 2 9 in 2005. It is important to know the seroprevalence in community nowadays and its related factors in society.
Objective: To identify seroprevalence of Helicobacter pylori infection and its socio demogrphic related factors.
Method: A cross sectional study in 111 patients with dyspepsia who got treatment in Kalibaru Primary Health Care in North Jakarta from January to February 2015. A bivariate analysis was done to know relationship between Helicobacter pylori infection and its related factors using chi square unpaired t test and their alternatives. Multivariate analysis was done using logistic regression test.
Result: Seroprevalence of Helicobacter pylori of 111 dyspepsia patients who get treatment in Kalibaru Primary Helath Care in this study was 22 5 95 CI 14 8 30 2. There is no relationship between age and Helicobacter pylori infection p 0 270 Higher socio economic class was related to lower risk Helicobacter pylori infection OR 0 2 95 IK 0 02-1 71. Higher crowding index was related to higher risk Helicobacter pylori infection OR 1 2 95 IK 0 37-4 49. Lower clean water index was related to higher risk Helicobacter pylori infection OR 1 5 95 IK 0 57-4 04. Lower sanitation status was related to higher risk Helicobacter pylori infection OR 2 5 95 IK 1 01-6 19.
Conclusion: Seroprevalence of Helicobacter pylori infection in patient with dyspepsia in Kalibaru village was 22 5 95 CI 14 8 30 2. There is a relation between sanitation and Helicobacter pylori infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>