Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186081 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sukamto
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djabir Abudan
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58816
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Pradipta
"ABSTRAK
Latar belakang: Asma dan rinitis alergi merupakan penyakityang disebabkan oleh inflamasi saluran napas.United airway adalah hipotesis terdapatnya kesatuan morfologi dan fungsi sistem saluran napas atas dan bawah yang memiliki kesamaan dalam histologi, fisiologi dan patologi. Penilaian respons inflamasi pada saluran pernapasan diharapkan mampumemperbaiki derajat berat penyakit asma maupun rinitis alergi sehingga derajat penyakit terkontrol baik.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang pada 31 pasien asma yang berobat ke RSUP Persahabatan. Subjek penelitian dinilai derajat berat penyakitnya berdasarkan derajat asma stabil, derajat kontrol asma dan derajat rinitis. Penilaian inflamasi saluran napas atas menggunakan eosinofil mukosa hidung dan inflamasi saluran napas bawah menggunakan FeNO Subjek dibagi menjadi kelompok asma dengan rinitis alergi dan asma tanpa rintis alergi menggunakan pemeriksaan alergi uji cukit kulit.
Hasil: Terdapat hubungan dengan korelasi yang bermakna antara peningkatan kadar FeNO dengan asma yang tidak terkontrol (r=0,39, p = 0,02).Terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah eosinofil mukosa hidung (p = 0,02) dan FeNO (p = 0,01)pada subjek asma dengan rinitis alergidan asma tanpa rinitis alergi. Terdapat hubungan dengan korelasi yang bermakna antara kadar FeNO dengan jumlah eosinofil mukosa hidung. (r = 0,378, p= 0,04).

ABSTRACT
Background:Asthma and allergic rhinitis are diseases caused by airway inflammation. The united airways hypothesis suggests a similarity of morphology and function betweenthe upper and lower airway systems. Thus, the assessment of inflammatory activities in the united airway systems should reflect the severity and the degree of disease control in asthma and allergic rhinitis.
Methods:This cross-sectional study included 31 asthma patients treated in National Respiratory Referral Center Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, as subjects. Subjects were grouped into asthma with allergic rhinitis and asthma without allergic rhinitis based on the skin test examination. The degrees of stable asthma, asthma control, and rhinitis of the subjects were recorded. The nasal eosinophil counts and fractional concentration of exhaled nitric oxide (FeNO) level examinations were performed to assess the lower and upper airway inflammation, respectively.
Results:There was a moderate correlation between FeNO levels and degree of asthma control (r=0.39, p=0.02).Subject grouping resulted in different nasal eosinophil counts and FeNO levels (p=0.02 and p=0.01, respectively). There was a moderate correlation between nasal eosinophil counts and FeNO levels (r=0.378, p= 0.04)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Rogayah
"Telah dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh penyuluhan dan Senam Asma edonesia terhadap pengetahuan, sikap, perilaku dan gejala klinik penderit asma. Jumlah subiek penelitian ini sebanyak 40 orang yang terdiri dari 20 orang kelompok kasus dan 20 orang kelompok kontrol. Penderita berusia 15-55 tahun dengan umur rata-rata pada kelompok kasus 46 ±11,71 tahun dan kelompok kontrol 37 ±8,99 tahun. Pada kelompok kasus penderita mengikuti penyuluhan dan melakukan Senam Asma Indonenesia 77,3% selama 6 bulan, sedangkan kelompok kontrol adalah penderita yang tidak mengikuti penyuluhan dan Senam Asma Indonesia. Dari penelitian didapatkan pada kelompok kasus peningkatan pengetahuan 12,5%, sikap 53,9% dan perilaku 53,5% sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan pengetahuan 5,6%, sikap 9,1% dan tidak ada perubahan terhadap perilaku. Pada kelompok kasus terdapat penurunan skor gejala klinik yaitu jumlah batuk 71,33%, gangguan tidur 75,4%, gangguan aktivitas 80,5%, napas berbunyi 84,6%. Pada kelompok kontrol terdapat penurunan skor gejala klinik yaitu jumlah batuk 43,6% gangguan tidur 40,9%, gangguan aktivitas 35,8% dan napas berbunyi 40,6%. Peningkatan faal paru KVP,VEP dan APE pada kelompok kasus yaitu KVP dari 1733 ± 231,06 ml menjadi 1842 ± 300,03 ml, VEP dari 1349,5 ± 169,94 ml menjadi 1469,2 ± 190,19 ml dan APE dari 325,9 ± 45,89 Vmnt menjadi 352,6 ± 64,73 l/mnt. Peningkatan faal paru KVP, VEP, dan APE pada kelompok kontrol yaitu KVP dari 1762 ± 307,59 ml menjadi 1840 ± 332,79 ml, VEP, dari 1389,5 ± 214,36 ml menjadi 1482 ± 252,59 ml dan APE dari 323,65 ± 53.51 V/mnt menjadi 348,5 ± 58,23 l/mnt."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wafa Herviana
"Latar belakang: Pasien asma dapat mengalami sensitisasi terhadap Aspergillus sp. yang dapat menyebabkan aspergilosis bronkopulmoner alergika (ABPA). Kondisi ABPA, penggunaan steroid, dan kerusakan fungsi paru dapat meningkatkan risiko aspergilosis paru kronik (APK). Pemeriksaan baku emas mikologi APK adalah kultur jamur, yang memerlukan sumber daya terlatih dan waktu lama. Pemeriksaan imunokromatografi (ICT) Aspergillus dengan mekanisme lateral flow assay yang mudah dilakukan dan memerlukan sampel sedikit dapat menjadi alternatif baru deteksi Aspergillus sp. pada pasien asma persisten.
Metode: Penelitian ini dilaksanakan pada Juni-November 2021, menyertakan 50 pasien asma persisten di RS Persahabatan yang direkrut pada penelitian sebelumnya. Bahan klinis terdiri atas 50 serum pasien untuk pemeriksaan ICT Aspergillus dan 15 sampel sputum untuk kultur jamur. Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Departemen Parasitologi FKUI.
Hasil: Demografi 50 subjek didominasi perempuan (78%) dan rerata usia subjek 55,8 tahun (SD±13,14). Hasil positif ICT Aspergillus ditemukan pada 16% (8 subjek). Pertumbuhan 17 isolat Aspergillus didapatkan pada sputum yang berasal dari 11 pasien, terdiri atas: Aspergillus niger (8 isolat), Aspergillus sp. (5 isolat), Aspergillus flavus (3 isolat), dan Aspergillus terreus (1 isolat). Tiga pasien memiliki hasil positif pada kultur dan ICT Aspergillus. Delapan dari pasien dengan hasil kultur positif memiliki hasil ICT negatif, meski 4 di antaranya memiliki 2 isolat Aspergillus.
Kesimpulan: Pemeriksaan ICT Aspergillus menunjukkan hasil positif 16% pada 50 pasien asma yang diteliti. Kultur jamur pada sputum 11 dari 15 pasien menunjukkan pertumbuhan Aspergillus sebanyak 17 isolat, dengan spesies terbanyak A. niger. Tidak terdapat kaitan bermakna antara pemeriksaan ICT Aspergillus dengan hasil kultur jamur Aspergillus pada pasien asma persisten.

Introduction: Asthma patients can be sensitized to fungi, including Aspergillus sp. which can cause allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA). The certain conditions such as ABPA, steroid consumption, and lung function disturbance can increase the risk of chronic pulmonary aspergillosis (CPA). The gold standard for mycology examination for CPA diagnosis is fungal culture, which is time-consumed and need special resources. Immunochromatography test (ICT) Aspergillus could be a new alternative for CPA diagnosis, including for asthma patients.
Method: There were 50 persistent asthma patients from Persahabatan General Hospital who were recruited in previous study. Fifty sera were tested for ICT Aspergillus and 15 sputum samples for fungal culture.
Result: Demography of 50 subjects was dominated by women (78%) and mean age was 55.8 years (SD±13.14). Positive ICT test result was 16%, and 17 Aspergillus isolated from sputum of 11 out of 15 patients, consisted of Aspergillus niger (8 isolates), diikuti Aspergillus sp. (5 isolates), Aspergillus flavus (3 isolates), and Aspergillus terreus (1 isolate). There were 3 patients with positive results in both ICT and Aspergillus culture. Eight patients with Aspergillus confirmation had negative ICT results, despite 4 out of 8 had 2 Aspergillus isolates.
Conclusion: Aspergillus ICT in this study showed a positivity rate of 16%. There were 17 Aspergillus isolates from the sputum of 11 out of 15 patients, with A. niger as the most common species. There was no significant relationship between Aspergillus ICT examination and fungal culture results in persistent asthmatic patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suri Nurharjanti Harun
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
"Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma.
Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma.
PENETAPAN MASALAH
Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara.
METODOLOGI PENELITIAN
Disain dan analisis penelitian
Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma.
Populasi dan sampel penelitian
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Tempat dan waktu penelitian
SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004.
Cara kerja
Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik kasus
Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan.
Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma.
Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang.
Prevalensi asma
Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban.
Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi.
Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu).
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2.
Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123).
Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%.
Model prediksi, skoring dan titik potong
Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3).
Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%.
Berat asma
Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47).
Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250).
Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004).
Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma.
Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada.
KESIMPULAN
- Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak.
- Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor.
- Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%.
- Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma.
- Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma.
SARAN
- Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen.
- Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta.
- Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah.
- Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati.
- Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Setiati
"Hipotensi ortostatik adalah turunnya tekanan darah sistolik (TDS) 20 mmHg atau turunnya tekanan darah diastolik (TDS) 10 mmHg pada saat perubahan posisi, dari posisi tidur ke posisi tegak. Berbagai faktor yang berhubungan dengan hipotensi ortostatik, seperti usia, obat anti hipertensi, hipertensi, strok dan diabetes melitus masih diperdebatkan. Sampai saat ini belum ada data mengenai prevalensi hipotensi ortostatik di Indonesia. Belum diketahui pula faktor prediktor hipotensi ortostatik. Sebagian besar penelitian hipotensi ortostatik yang ada di luar negeri dilakukan pada subjek berusia lanjut, Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan prevalensi hipotensi ortostatik di Indonesia dan faktor prediktor terjadinya hipotensi ortostatik pada orang berusia 40 tahun ke atas di Indonesia.
Penelitian ini merupakan bagian penelitian survei epidemiology hipertensi di Indonesia. Empat ribu empat ratus tiga puluh enam subjek berusia 40-94 tahun didapatkan secara random dari berbagai praktek dokter di berbagai kabupaten di Indonesia. Data dikumpulkan dengan melakukan serangkaian anamnesis (riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan strok serta penggunaan obat anti hipertensi) dan pemeriksaan tekanan darah pada posisi tidur dan duduk setelah 1-3 menit. Regresi logistik ganda dilakukan untuk mendapatkan faktor prediktor hipotensi ortostatik yang paling bermakna.
Subjek yang mengalami hipotensi ortostatik sebesar 561 subjek (12,65%). Analisis bivariat menunjukkan bahwa riwayat diabetes melitus, riwayat strok, tekanan darah sistolik tinggi dan tekanan darah diastolik tinggi mempengaruhi terjadinya hipotensi ortostatik. Usia dan penggunaan obat anti hipertensi tidak mempengaruhi terjadinya hipotensi ortostatik. Obat agonis alfa-2 sentral dan kerja sentral lain merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang mempengaruhi terjadinya hipotensi ortostatik.
Hasil analisis multivariat mendapatkan tekanan darah sistolik tinggi dan tekanan darah diastolik tinggi sebagai prediktor hipotensi ortostatik. Sedangkan riwayat diabetes melitus dan riwayat strok tidak mempengaruhi terjadinya hipotensi ortostatik. Penggunaan obat anti hipertensi merupakan faktor protektif terjadinya hipotensi ortostatik.
Penelitian ini memastikan bahwa usia bukan merupakan prediktor terjadinya hipotensi ortostatik. Adanya komorbiditas seperti hipertensi (tekanan darah sistolik atau diastolik tinggi) merupakan prediktor terjadinya hipotensi ortostatik. Sedangkan obat anti hipertensi merupakan faktor protektif terjadinya hipotensi ortostatik. Penatalaksanaan hipertensi yang baik dan pemilihan obat anti hipertensi yang tepat amat diperlukan untuk mencegah terjadinya hipotensi ortostatik. Daftar bacaan : 32 (1978 - 2001)

The Prevalence And Predictor Of Orthostatic Hypotension Among 40 Years And Above Adult Population In Indonesia.Various factors associated with orthostatic hypotension such as age, drug induced hypotension, hypertension and diabetes mellitus have still been questioned and debatable with one another. No big scale population study done in this matter. Furthermore, most of previous studies were conducted in subjects 65 years or older, only a few were done in subjects from younger to older adults. The purpose of this study is to find the prevalence and predictor of orthostatic hypotension among 40 years and above adult population in Indonesia.
This study is a part of Indonesian hypertension epidemiologic survey. A random sample of 4436 subjects aged 40-94 years was obtain from various municipilities in every big island in Indonesia. Orthostatic testing, as well as assesment of history of medical conditions (diabetes mellitus, stroke, and hypertension), blood pressure measurement and use of anti-hypertensive medications were performed. Blood pressure measurements were obtained by trained doctors with the subjects in supine position and after they had been seated for 1-3 minute. A stepwise logistic regression was used to determine significant predictor of orthostatic hypotension.
A total of 561 persons (12.6%) experienced orthostatic hypotension. Bivariate analysis showed that orthostatic hypotension was influenced by history of diabetes mellitus, history of stroke, high systolic and diastolic blood pressure. Orthostatic hypotension was not influenced by age and the use of anti hypertension medicine. Central ccz-agonist and other centrally acting drug is the only anti hypertension medicine which influences orthostatic hypotension. Multivariate analysis showed that high systolic and diastolic blood pressure were predictor factors of ortostatic hypotension, while history of diabetes mellitus and stroke were not. The use of anti-hypertensive medicine was protective factor for orthostatic hypotension .
This study confirms the conclusion that age by itself is not a predictor for orthostatic hypotension. In fact, the existence of comorbidities in the subjects such as hypertension (high systolic and diastolic blood pressure) is a predictor factor, while the use of anti-hypertensive medication is a protective factor. Proper management of hypertension and preference of anti hypertension medicine is a must to prevent orthostatic hypotension.
References : 32 (1978 - 2001)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faiza Yuniati
"Meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut Indonesia dari tahun ke tahun menyebabkan makin meningkatnya masalah sosial dan penyakit, balk penyakit fisik maupun mental yang berhubungan dengan usia lanjut. Salah satu gangguan mental yang sering dikeluhkan oleh usia lanjut adalah kesulitan mengingat dan konsentrasi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain potong lintang untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kesulitan mengingat dan konsentrasi pada usia lanjut di Indonesia. Data yang dipakai pads penelitian ini adalah data Survey Sosial Ekonomi Nasional yang terintegrasi dengan Survei Kesehatan Rumah Tangga Tabun 2004.
Dan basil diketahui bahwa prevalensi kesulitan mengingat dan konsentrasi di Indonesia adalah sebesar 12,5%. Diketahui bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kesulitan mengingat dan konsentrasi adalah umur, kesulitan merawat din sendiri, tingkat keparahan perasaan sedih, rendah did dan tertekan, kesulitan melaksanakan aktivitas sosial, pendidikan, status perkawinan serta kebiasaan mengkonsurnsi buah clan sayur.

Elderly population increases from year to year in Indonesia, and has caused many social problems in elderly, physical diseases and also mental diseases. One of the mental diseases in elderly is Subjective complaints of memory and concentration_ The goal of this research is to uncover the factors correlate with Subjective Complaints of Memory and Concentration in Indonesian elder people using a quantitative research with cross sectional design. Data resources in this research is a data of National Social Economic Survey integrated with Family Health Survey, year 2004.
The result shown that prevalence of subjective complaints of memory and concentration is 12,5 %, known that factors correlate with subjective complaint of memory and concentration is age, disability in activity daily living, low self esteem and depression, disability in social activity, education, marital status, and behavior in consume fruits and vegetables."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Sri Wiryaningsih
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Pada tahun 2004 telah dilakukan penelitian oleh peneliti terdahulu tentang dampak buruk dari debu kayu terhadap kesehatan dan telah dilakukan intervensi terhadap dampak tersebut. Dalarn penelitian ini dilakukan penelitian kros-seksional dengan anaiisis perbedaan proporsi serta populasi yang sama yang pen-nah dilakukan Lahun 2004 yaitu sebanyak 135 orang pekelja dengan rentang usia 18-60 ormg.
Data didapatkan dari wawancara, pemeriksaan fisik serta pengukuran fungsi paru pada Januari 2008, juga dilakukan pemeriksaan debu lingkzmgan kemja baik total rnaupun respirabel. Analisa bivaxiat digunakan untuk menilai hubungan semua faktor risiko tersebut dengan timbulnya asma kerja.
Hasil dan Kesimpulan: Dari Populasi penelitian, prcvalensi asma 21 orang (15.5%) yang terdiri dari asma kerja I3 orang (9.6%) dan 8 orang (5.9%) asma memburuk akibat kcrja. Setelah dilakukan analisa multivaxiat, dikctahui faktor risiko maupun yang berpenganih terhadap terjadinya asma kezja yaitu riwayat atopi (P = 0.170, OR suaian 3.044 dan CI 95% 0.622-14.91 I), riwayat asma (P = 0188, OR suaian 2.570 dan CI 95% 0.631-10.469), bila dibandingkan dengan hasil penelitian tahun 2004, terlihat adanya pcnurunan prevalensi asma. Dengan dcmikian dapat disimpulkan bahwa intervensi yang dianjurkan oleh peneliti terdahulu telah dilaksanakan dengan baik.

Scope and methodology: At 2004 had done the Activation by the formelybacurate, about bad effect of the Wood dust to healthy and had done intervention for that effect in this acuration done the cross sectional with proportionally acuration with the same population which done at 2004 namely as much as 135 person workers between I8 up to 60 years old.
The data gets from interview, Physical examinations, and lung function test during at January 2008,the circumference work had done checked too,measuring if dust at working environment had been conducted, either against total dust or respirable. Bivariate analysis was used to examine the association among all risk factors and work-related asthma.
Result and conclusion: From the actuation of population, prevalensi asthma 21 person(l5.5%). Were divided into occupational asthma 13 person (9.6%), and work aggravated asthma 8 person (5.9%).After conducting multivariate analyses- logistic regression,1isk factors which related to work-related asthma, were atopic historical (P = 0.i70, OR 3.044 and CI 95% 0.622-14.91 I), and asthma historical (P = 0.I88, OR 2.570 and CI 95% 0.631-l0.469). If compared with the acuration result at 2004, was view the asthma prevalence subtractions. Therefore, be concluding that intervention as formerly acuter protrude had done well.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29204
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>