Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69910 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosdeni Arifin
"Latar belakang : Trombosis dikenal sebagai dasar patogenesis oklusi vena
retina (OVR). Adanya trombosis vena retina dapat diketahui dari funduskopi dan
angiografi fluoresin. Selain itu, adanya gangguan hemostatik ditunjukkan oleh
penurunan kadar protrombin didalam plasma dan nilai intemational normalized
ratio (INR). Prinsip penatalaksanaan pada OVR adalah memperbaiki sirkulasi
darah dengan cara mencegah pembentukan trombus dan meningkatkan
fibrinolisis. LMWH subkutan sebagai antikoagulan mempunyai peranan pad a
kedua cara tersebut, sedangkan Warfarin hanya mampu mencegah koagulasi
material-material darah yang akan terjadi. Tujuan : untuk menilai efektivitas
terapi LMWH terhadap perbaikan abnormalitas vaskular penderita oklusi vena
retina (OVR). Bahan dan cara : Penelitian ini merupakan uji klinis prospektif.
secara random. Subjek penelitian dibagi menjadi kelompok penerima LMWH
subkutan untuk 10 hari dan tumpang tindih dengan warfarin pada hari ke delapan
serta kelompok penerima menerima warfarin sejak hari pertama lerapi.
Pemeriksaan hemostatik dan angiografi fluoresin dilakukan pad a kedua
kelompok. Efektivitas terapi dinilai pada hari ke 19 dengan Survival analysi~ dan
Cox regression. Hasil : Efektivitas terapi LMWH ditemukan 11 kali lebih baik dari
warfarin dengan 95% CI bermakna. Kesimpulan : Terapi LMWH menunjukkan
peranan didalam mencegah koagulasi dan meningkatkan fibrinolisis pada OVR."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fredy Christianto
"Latar Belakang: Dry eye disease (DED) merupakan sekelompok gangguan pada lapisan tirai mata yang terjadi akibat penurunan produksi air mata atau instabilitas dari tirai mata. Salah satu penyebab terjadinya DED adalah penurunan sekresi air mata akibat penurunan refleks berkedip, yang sering terjadi pada pekerja visual display terminal (VDT). Blinking therapy merupakan salah satu terapi yang dapat diberikan pada penderita DED untuk meningkatkan blink rate dan menurunkan jumlah incomplete blink. Metode: Pencarian literatur dilakukan pada database Pubmed, Cochrane Library, dan Google Scholar dengan kata kunci dry eye disease, blinking therapy, dan ocular surface disease index. Pencarian menghasilkan tiga artikel terpilih yang kemudiaan ditelaah kritis. Hasil: Blinking therapy dapat dilakukan secara konvensional, menggunakan software animasi pada komputer, ataupun menggunakan kacamata khusus wink glass. Blinking therapy dapat memberikan perubahan nilai OSDI yang signifikan secara statistik dalam jangka waktu terapi 20 menit hingga 4 minggu. Kesimpulan: Blinking therapy dapat digunakan sebagai tata laksana pada pasien dengan DED untuk memperbaiki gejala mata kering sesuai dengan parameter yang dinilai pada OSDI.

Background: Dry eye disease (DED) is a group of tear film disturbances that is caused by decrease in tear production or tear film instability. One of the causes of DED is reduced tear secretion, which often happens in visual display terminal (VDT) workers. Blinking therapy is one of the therapies that can be given to DED patients to increase blink rate and reduce the number of incomplete blinks.
Methods: Literature searching was done on database such as Pubmed, Cochrane Library, and Google Scholar. The keywords used on the literature searching were dry eye disease, blinking therapy, and ocular surface disease index. Three articles were chosen and critically appraised.
Results: Blinking therapy can be done using conventional method, using animation software on computer, or by using specifically designed wink glass. Blinking therapy shows statistically significant changes in OSDI scores with therapy duration ranging from 20 minutes to 4 weeks.
Conclusion: Blinking therapy can be done as a treatment for DED patients to improve dry eye symptoms as measured in OSDI.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, Niko Oscario
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian skenario priming motivasi pemilihan pasangan jangka pendek dan jangka pendek terhadap atensi visual pria pada gambar perempuan. Berdasarkan teori strategi seksual yang dikemukakan oleh Buss dan Schmitt (1973) laki-laki dan perempuan akan menerapkan strategi yang berbeda sesuai motivasi pemilihan pasangan yang sedang dimiliki; jangka panjang atau jangka pendek. Atensi visual diukur dengan menggunakan alat eye-tracking.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan desain, randomized three group independent subject design. Penelitian dilakukan pada 48 mahasiswa Universitas Indonesia, berjenis kelamin lak-laki, usia 19 - 25 tahun. Partisipan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok; skenario jangka panjang, jangka pendek, dan kelompok kontrol.
Hasil uji ANOVA pada variabel jumlah titik fiksasi diperoleh F(2, 45) = 2,836, p = 0,069. Sedangkan hasil uji ANOVA pada variabel total waktu memandang diperoleh F(2, 45) = 0,373, p = 0,690. Hasil ini menunjukan tidak bahwa pemberian priming skenario motivasi pemilihan pasangan jangka panjang dan jangka pendek tidak memiiki pengaruh terhadap atensi visual lakilaki pada gambar perempuan yang diberikan.

This study examined the influence of short term or long term mating scenario to men visual attention at female picture. Based on Buss and Schmitt (1973) sexual strategies theory men and women apply different strategies based on their current mating motivation; long term or short term. In this study, visual attention was measured by using an eye-tracker machine.
This study was conducted as a laboratory experiment research with randomized three group independent design. Total of participants were 48 people. Participants in this study were students, male within the age range 19 - 25 who studying in Universitas Indonesia. Participants were randomized into three group; long term scenario, short term scenario, and control group.
Result of ANOVA test on number of fixation showed F(2, 45) = 2.836, p = 0.069. While result of ANOVA test on participant?s dwell time showed F(2, 45) = 0,373, p = 0,690. The result of this study shows neither short term or long term mating scenario did not affect on men visual attention.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valenchia
"Tujuan mengetahui pengaruh sitikolin 1000 mg per hari selama 60 hari terhadap hasil pattern electroretinography, ketebalan sel ganglion dan lapang pandang pasien NAION non-arteritic anterior ischemic optic neuropathy fase kronik. Metode Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dilakukan pada 38 subyek penelitian. Randomisasi membagi subyek menjadi 2 kelompok yaitu 18 subyek kelompok sitikolin S-NAION dan 20 subyek plasebo P-NAION. Analisis dilakukan pada 17 subyek penelitian di tiap kelompok.
Hasil Terjadi peningkatan ? amplitudo P50 30 hari di kelompok S-NAION 0,775 2,6 V , namun tidak bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan kelompok P-NAION p = 0,182. Terjadi perbaikan ? amplitudo N95 60 hari di kelompok S-NAION -0,356 2,992 V, namun tidak bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan kelompok P-NAION p = 0,779. Pemberian sitikolin tidak menunjukkan perubahan ketebalan sel ganglion retina. Terjadi peningkatan ? mean deviation 60 hari di kelompok S-NAION 3,13 6,467 dB, namun tidak bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan kelompok P-NAION p = 0,344. Kesimpulan Sitikolin cenderung meningkatkan ? amplitudo P50 dan N95 serta ? mean deviation pada NAION fase kronik.

Purpose to determine the effect of 1000 mg citicoline each day given for 60 days on pattern electroretinography, retinal ganglion cell thickness and visual field in chronic phase NAION non arteritic anterior ischemic optic neuropathy patients. Methods Double masked randomized clinical trial were performed in 38 patients. Randomization divided the patients into 2 groups of 18 subjects in the citicoline group C NAION and 20 subjects in the placebo group P NAION . The analysis was performed on 17 subjects in each group.
Results There were increament of amplitude P50 30 days in C NAION group 0,775 2,6 V, but statistically insignificant compared to P NAION p 0,182. There were also improvement of amplitude N95 60 days in C NAION group 0,356 2,992 V, but statistically insignificant compared to P NAION p 0,779. Citicoline supplementation did not show any changes in retinal ganglion cell thickness. There were improvement of mean deviation 60 days in C NAION group 3,13 6,467 dB, but statistically insignificant compared to P NAION p 0,344. Conclusions Citicoline tends to increase the amplitude of P50 and N95 and mean deviation in chronic phase NAION.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dialika
"Latar belakang: Salah satu efek samping yang cukup dikenal dalam pengobatan TB adalah efek samping akibat konsumsi etambutol, yang dikenal sebagai neuropati optik etambutol (NOE). Beberapa studi baru-baru ini pada hewan coba yang diberikan etambutol mendapatkan adanya penurunan jumlah sel ganglion retina pasca konsumsi etambutol.
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan menggunakan OCT setelah konsumsi etambutol dan mengetahui korelasi perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan fungsi penglihatan.
Desain Penelitian prospektif dengan uji klinis tunggal.
Hasil: Terdapat 29 subjek yang berpartisipasi pada studi ini, dengan rerata dosis etambutol yang dikonsumsi 16,44 ± 2,7 mg/kgBB/hari. Ditemukan perubahan signifikan ketebalan RNFL 2 bulan setelah konsumsi etambutol pada kuadran superior (147 ; 141μm), nasal (92 ; 88μm) dan pada rerata seluruh kuadran (116,77 ; 112,65 μm). Nilai rerata tajam penglihatan, sensitivitas warna dan lapang pandangan mengalami perubahan signifikan, namun bukan perubahan yang bermakna secara klinis. Pada studi ini korelasi antara perubahan masing-masing parameter fungsi penglihatan dengan perubahan ketebalan rerata RNFL tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan ketebalan RNFL peripapil setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan, namun belum mencapai penurunan yang bermakna klinis. Terdapat perubahan tajam penglihatan, sensitivitas warna, dan lapang pandangan yang bermakna setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan. Tidak terdapat korelasi antara perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan masing-masing fungsi penglihatan.

Background: Ethambutol Optic Neuropathy (EON) is a well-known side effect within patients receiving ethambutol therapy. Recent studies performed in animals reveal decreased amount of retinal ganglion cells after they are given ethambutol.
Purpose: To evaluate peripapillary RNFL thickness changes using OCT, before and after patients receive ethambutol therapy. To know the correlation of RNFL thickness changes with the changes of visual function.
Study design: One group pretest-posttest study.
Result: There was 29 subjects enrolling the study, with the mean dose of ethambutol 16,44 ± 2,7 mg/kgBW/day. We found significant changes of peripapillary RNFL thickness 2 months after consuming ethambutol in superior (147 ; 141 μm), nasal (92 ; 88 μm) and average RNFL thickness (116,77 ; 112,65 μm). The mean visual acuity, color sensitivity and visual field also change significantly, without clinically meaningful changes. This study did not found any statistically significant correlation between RNFL thickness changes and the changes of visual function parameters (p>0,05).
Conclusion: After 2 months ethambutol consumption, there was a statistically significant peripapillary RNFL thinning, with non-clinically significant amount of reduction. There was also significant changes of visual acuity, color sensitivity and visual field. No correlation was found between RNFL thickness thinning and visual function parameters changes.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husnun Amalia
"Mata adalah organ dengan aktivitas farmakokinetik yang spesifik karena memiliki sawar yang membuat obat sulit berpenetrasi ke dalam bola mata terutama kornea. Keratomikosis adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur terutama terjadi pada daerah tropis dan membuat kerusakan kornea yang berakhir dengan kebutaan. Hal ini masih menjadi masalah di negara berkembang. Obat antijamur yang saat ini memiliki aktivitas yang sangat baik adalah Amfoterisin B dan bentuk liposom memiliki kemampuan efektivitas yang lebih tinggi dan menurunkan toksisitas obat. Penelitian terhadap tetes mata Amfoterisin B liposom (AmB-L) ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut sehingga obat tetes ini dapat digunakan pada penderita keratomikosis. Penelitian ini menilai sejauh mana tetes mata AmBL dapat berpenetrasi di dalam bola mata, adakah efek toksik pada jaringan mata dan bagaimana efektivitasnya pada keratomikosis kelinci Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental Laboratorium dan animal study. Subyek penelitian adalah 11 ekor hewan kelinci New Zealand yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok uji kadar dan toksisitas AmB-L 0,15% dan 0,5% masing-masing 3 ekor, kelompok uji efektivitas AmB-L 0,15% dan 0,5% terhadap keratomikosis kelinci masing-masing 2 ekor, dan kelompok kontrol 1 ekor. Pengukuran kadar Amfoterisin B pada jaringan mata (kornea, akuos, lensa, vitreus, dan sklera) dilakukan setelah ditetes obat AmB-L 0,15% dan 0,5% setiap 1 jam selama 3 hari dengan cara menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Toksisitas tetes mata AmB-L 0,15% dan 0,5% pada jaringan mata (kornea, iris, sklera dan retina) dievaluasi dengan pemeriksaan klinid dan histopatologis (Haematoksilin Eosin). Pada uji efektivitas menilai waktu kesembuhan keratomikosis kelinci, hasil kultur kornea dan akuos pasca terapi dengan agar Sabouraud, kadar Amfoterisin B pada kornea dan akuos serta efek toksik. Hasil: Kadar Amfoterisin B pada AmB-L 0,5% terukur lebih tinggi dibandingkan AmB-L 0,15% dan kadar AmB-L pada setiap jaringan di kedua konsentrasi hasilnya lebih tinggi dari MIC. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% tidak memperlihatkan efek toksik secara klinis maupun histopatologi pada jaringan mata kelinci. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% adalah antijamur yang efektif untuk keratomikosis kelinci akibat Aspergillus sp. dan waktu kesembuhan pada kedua konsentrasi tidak berbeda bermakna (p=0,2) Kesimpulan : Liposom adalah drug carrier yang dapat membawa obat amfoterisin B mencapai bagian anterior dan posterior bola mata serta mampu berpenetrasi dengan baik, efektif, tidak toksik terhadap jaringan mata. Karena itu, penggunaan amfoterisin B liposom dapat menjadi terapi standar untuk keratomikosis

The eye has a specific pharmacokinetic because of its complex barrier to drug entry, especially the cornea. Keratomycosis is a fungal infection of the cornea in tropical areas and the cause of corneal morbidity and blindness. This remains a problem in developing countries. Amphotericin B (AmB) is still considered the treatment of choice for fungal infection. Liposomal formulation of AmB (L-AmB) has demonstrated promising results with higher efficacy and lower toxicity. The research of L-AmB eye drops still needs further studies before it can be used in humans. This study will evaluate L-AmB eye drop penetration, toxicity, and efficacy on keratomycosis of the rabbit eye. Methods: The study is using laboratory design and animal study. Eleven New Zealand rabbits were devided into five groups. Six rabbits were used for the pharmacokinetic and toxicological studies, four rabbits for studying the efficacy, and one served as normal and keratomycosis control. All treatment used two concentrations of L-AmB (0.15% and 0.5%) given as eye drops every hour for three days. The pharmacokinetic study measured AmB concentration in the tissues (cornea, aqueous, lens, vitreus, sclera) using high performance liquid chromatography (HPLC), and toxic reactions were evaluated in clinical signs and histopathological examination (cornea, iris, sclera, retina). Efficacy was evaluated by length of therapy, concentration of AmB in the tissues (cornea, aqueous), and toxic effects. Result: In all tissues, L-AmB 0.5% had higher concentrations of AmB than 0.15%, reached MIC in both concentrations and showed no toxic effects. L-AmB eye drops in both concentrations were effective for Aspergyllus sp. keratomycosis in rabbits. Length of therapy varied insignificantly between the two concentrations (p=0.2); both concentrations of AmB reached MIC and did not reveal toxic reactions. Conclusion: Liposomes are promising drug carriers for eye diseases that can penetrate to the anterior and posterior tissues of the eye. L-AMB can be successfully applie"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Gilbert W.S.
"Terdapat banyak laporan mengenai biaya-efektifitas di bidang ilmu penyakit mata, tetapi laporan biaya-efektifitas vitrektomi antara bius lokal dibandingkan bius umum belum ditemukan di literatur nasional/internasional. Penelitian ini bermanfaat untuk pengambil kebijakan, penyedia jasa kesehatan dan asuransi. Untuk menjawab hal ini, peneliti melakukan penelitian kohort retrospektif di dua rumah sakit dengan jumlah 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Efektifitas dihitung sebagai perbaikan tajam 2 skala logMAR atau lebih, dan biaya dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dan dikonfirmasi dengan surat keterangan yang berwenang. Hasil yang diperoleh adalah dibutuhkan biaya sebesar Rp. 23.959.000,- untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 32% dengan bius umum. Sebesar Rp. 15.950.200,- diperlukan untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 80 % dengan bius lokal. Interpretasi data ini butuh kehatian-hatian, juga untuk diterapkan secara umum (extrapolation). Penghematan biaya yang terjadi adalah sebesar 50,21% dengan bius lokal dibandingkan bius umum. Faktor yang berpengaruh secara multivariat terhadap perbaikan setelah operasi dan biaya adalah lamanya retina lepas (RR 1.85) bila lepas < 4 minggu, dan bius lokal (RR 2.58). Waktu tunggu (antara pertama kali berobat hingga dioperasi) lebih singkat di bius lokal (p 0.00) dan tindakan membrane peeling lebih banyak di bius lokal (p 0.00) merupakan dua hal yang berbeda bermakna. Dapat disimpulkan bahwa operasi vitrektomi untuk retina lepas dapat dilakukan dengan bius lokal dengan efektifitas lebih baik dan biaya lebih sedikit.

There were reports on cost-effectiveness in ophthalmology, but so far none of report on cost-effectiveness of vitrectomy between local and general anesthesia for rhegmatogenous retinal detachment, either in national or international journal. Meanwhile, this report is beneficial for health policy decision maker, health provider and insurance. To answer this limitation, we conduct retrospective cohort study in two hospitals with 100 subjects that fulfill inclusion and exclusion criteria. Effectiveness was visual acuity improvement in two or more logMAR scale after vitrectomy, and units cost data were given by both hospitals. The amount of Rp. 23.959.000,- was needed to achieve effectiveness 32% in general anesthesia. The amount of Rp. 15.950.200,- was needed to achieve effectiveness 80% in local anesthesia. These data interpretation and extrapolation should be done cautiously. There is cost-minimization 50,12% when doing vitrectomy under local versus general anesthesia. Multivariate analysis of effectiveness and cost showed that variables of detachment duration if less than 4 weeks (RR 1.85) and of local anesthesia (RR 2.58) were contributing for better surgical outcome. Shorter waiting time (time needed for surgery after diagnosed), and more membrane peeling done in local anesthesia group were different variabels (p 0.00) between two groups significantly. As conclusion, vitrectomy for rhegmatogenous retinal detachment can be done under local anesthesia with higher effectiveness and lower cost."
Lengkap +
Jakarta: Universitas Indonesia, 2013
D1412
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rogers, Adam H.
Philadelphia: Elsevier, 2008
617.71 ROG r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Macnaughton, Jane
London : Elsevier , 2005
573.88 MAC e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>