Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116379 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alhara Yuwanda
"Pengobatan epilepsi melalui rute oral seringkali tidak efektif, karena obat-obat tersebut menghadapi tantangan metabolisme lintas pertama, degradasi enzim, dan penetrasi yang rendah ke dalam otak akibat adanya sawar darah otak. Masalah tersebut dapat diatasi melalui pengembangan sistem intranasal yang dibantu dengan liposom. Tujuan penelitian ini melakukan formulasi liposom asam valproat sebagai obat epilepsi untuk meningkatkan bioavailabilitas di otak melalui rute intranasal. Liposom asam valproat dibuat dengan teknik hidrasi lapis tipis menggunakan fosfatidilkolin kedelai dan kolesterol. Selanjutnya dikarakterisasi berdasarkan ukuran, indeks poli dispersitas (IPD), potensial zeta, morfologi obat, persentase kadar obat, dan pelepasan obat ex vivo. Formulasi liposom juga diuji stabilitasnya pada suhu berbeda. Uji in vivo dilakukan pada tikus albino Wistar untuk menentukan profil farmakokinetik dan biodistribusi obat. Sampel uji masing-masing diberikan secara oral, intraperitoneal (IP) pada tikus (n=5) dengan menganalisis perbandingan kadar asam valproat pada plasma dengan otak. Hasil karakterisasi fisik terbaik adalah pada formula 4 pada ukuran partikel, IPD, potensial zeta, dan efisiensi penjerapan pada formulasi teroptimasi berturut-turut adalah 92,01±1,87 nm, 0,21±0,01, -46,33±6,47 mV, dan 82,19±4,72%. Hasil uji TEM dengan perbesaran 40.000x menunjukkan bahwa liposom asam valproat memiliki bentuk molekul bulat (sferis) dan ukuran partikel di bawah 250 nm. Hasil uji stabilitas menunjukkan bahwa formulasi tidak mengalami perubahan ketika disimpan pada suhu 4±2 °C dan 25±2 °C selama enam bulan. Hasil uji ex vivo menggunakan lapisan mukosa hidung domba menunjukkan liposom dapat meningkatkan penetrasi asam valproat sebesar 200,24 ± 5.25 µg.cm-2.jam-1. Berdasarkan uji in vivo, nilai konsentrasi asam valproat yang dienkapsulasi dengan liposom yang diberikan dengan rute intranasal meningkat dibandingkan dengan kelompok asam valproat non liposom, intraperitoneal dan oral. Uji biodistribusi menunjukkan liposom asam valproat berhasil meningkatkan efisiensi penargetan obat di otak dibandingkan plasma sebesar 1,15 kali. Hasil yang diperoleh menunjukkan keberhasilan formulasi liposom asam valproat yang sesuai untuk rute intranasal dengan potensi penargetan otak.

The treatment of epilepsy via oral route often faces challenges such as first-pass metabolism, enzymatic degradation, and low brain penetration due to the blood-brain barrier. These issues can be addressed through the development of intranasal systems assisted by liposomes. The aim of this study was to formulate liposomes containing valproic acid as an epilepsy drug to enhance brain bioavailability through intranasal administration. Liposomes containing valproic acid were prepared using the thin-film hydration technique with soy phosphatidylcholine and cholesterol. Subsequently, they were characterized based on size, polydispersity index (PDI), zeta potential, drug morphology, drug content percentage, and ex vivo drug release. The stability of the liposome formulation was also tested at different temperatures. In vivo testing was conducted on Wistar albino rats to determine the pharmacokinetic profile and drug biodistribution. Samples were administered orally and intraperitoneally (IP) to the rats (n=5), analyzing the comparison of valproic acid levels in plasma and the brain. The best physical characterization results were obtained from formula 4 with particle size, PDI, zeta potential, and encapsulation efficiency in the optimized formulation being 92.01±1.87 nm, 0.21±0.01, -46.33±6.47 mV, and 82.19±4.72%, respectively. Transmission electron microscopy (TEM) analysis at a magnification of 40,000x showed that valproic acid-loaded liposomes had spherical molecular shapes and particle sizes below 250 nm. Stability testing indicated that the formulation remained unchanged when stored at 4±2 °C and 25±2 °C for six months. Ex vivo testing using sheep nasal mucosa demonstrated that the liposomes increased valproic acid penetration by 200.24 ± 5.25 µg.cm-2.hour-1. Based on in vivo testing, the concentration of valproic acid encapsulated in liposomes administered intranasally increased compared to non-liposomal valproic acid, intraperitoneal, and oral groups. Biodistribution testing indicated that valproic acid-loaded liposomes successfully enhanced drug targeting efficiency in the brain compared to plasma by 1.15 times. The results obtained indicate the successful formulation of valproic acid-loaded liposomes suitable for intranasal administration with potential brain targeting capability."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Fatin Aisiah
"Aripiprazol merupakan obat antipsikotik atipikal generasi ke dua yang digunakan pada gejala positif atau negatif skizofrenia, manik akut, gangguan bipolar, serta pengobatan tambahan untuk depresi. Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan untuk penggunaan oral maupun injeksi. Penggunaan secara oral memiliki keterbatasan berupa kelarutan obat yang sangat rendah dalam air serta aripiprazol merupakan substrat dari P-gp di sawar darah otak sehingga dapat menghambat masuknya obat ke jaringan otak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula nanosuspensi aripiprazol yang optimal untuk penghantaran intranasal ke otak berdasarkan metode permukaan respon, memperoleh profil disolusi nanosuspensi aripiprazol, dan meningkatkan nilai fluks aripiprazol dengan menggunakan formulasi sediaan nanosuspensi. Optimisasi formula dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon dengan desain eksperimen Box-Behnken untuk melihat pengaruh konsentrasi zat aktif dalam fase pelarut, konsentrasi polimer HPC, dan konsentrasi surfaktan Phospholipon 90G terhadap respon ukuran partikel, PDI, potensial zeta dan kadar nanosuspensi. Hasil percobaan terhadap 15 formula dianalisis menggunakan software Design Expert 13. Berdasarkan hasil optimisasi didapatkan dua formula rekomendasi (FK1 dan FK2) yang selanjutnya dikonfirmasi kesesuaian respon yang didapatkan dengan nilai prediksinya. Kedua formula memiliki karakteristik nanosuspensi yang baik dengan ukuran partikel <100 nm, distribusi ukuran yang homogen (PDI <0,4), nilai potensial zeta > +17 mV dan kadar pada rentang 99 – 100%. Formula FK2 memiliki hasil jumlah kumulatif obat terdisolusi dan terpenetrasi yang lebih tinggi dibandingkan FK1 serta serbuk aripiprazol murni. Oleh sebab itu, nanosuspensi FK2 yang dibuat dengan konsentrasi zat aktif dalam fase organik 18,1 mg/mL, konsentrasi HPC 0,149% dan konsentrasi Phospholipon 90G 1,4% dipilih sebagai formula optimal dan berpotensi untuk penghantaran intranasal ke otak.

Aripiprazole is a second-generation atypical antipsychotic drug used in positive or negative symptoms of schizophrenia, acute manic, and bipolar disorder, as well as a treatment adjunct for depression. This drug is available in oral or injection dosage forms. Oral use has limitations in the form of very low drug solubility in water, and aripiprazole is a substrate of P-gp in the blood-brain barrier, which can inhibit the entry of the drug into brain tissue. This research aims to obtain the optimal aripiprazole nanosuspension formula for nose-to-brain drug delivery based on the response surface method, obtain the dissolution profile of the aripiprazole nanosuspension, and increase the aripiprazole flux value using the nanosuspension formulation. Formula optimization was carried out using the response surface method with a Box-Behnken experimental design to see the effect of drug concentration in the solvent phase, HPC concentration, and Phospholipon 90G concentration on the response of particle size, PDI, zeta potential, and drug content. The experimental results of 15 formulas were analyzed using Design Expert 13 software. Based on the optimization results, two recommendation formulas were obtained (FK1 and FK2), which were then verified to confirm the responses obtained with the predicted values. Both formulas have good nanosuspension characteristics with particle sizes <100 nm, homogeneous size distribution (PDI <0.4), zeta potential values > +17 mV, and concentrations in the range of 99 – 100%. The FK2 formula has a higher cumulative amount of drug dissolution and penetration compared to FK1 and pure aripiprazole dispersion. Therefore, FK2 nanosuspension made with a drug concentration in the organic phase of 18.1 mg/mL, HPC concentration of 0.149%, and Phospholipon 90G concentration of 1.4% was chosen as the optimal formula and has potential for intranasal delivery to the brain."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan
"Asam valproat merupakan salah satu obat antiepilepsi yang sering digunakan yang memiliki banyak efek samping sehingga perlu dilakukan pengukuran kadarnya dalam plasma. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode analisis asam valproat tanpa derivatisasi dalam plasma mulai dari kondisi kromatografi optimum, metode preparasi plasma optimum, validasi metode analisis, hingga aplikasi metode analisis tervalidasi. Kondisi kromatografi optimum adalah kolom C-8 Symmetry® (5 µm; 150 x 3,9 mm), suhu kolom 45oC; fase gerak dapar natrium dihidrogen fosfat 40 mM pH 3,5 – asetonitril (56 : 44 %v/v); laju alir 1,00 mL/menit; detektor photodiode array pada panjang gelombang 210 nm; dan asam nonanoat sebagai baku dalam. Metode preparasi optimum adalah metode ekstraksi cair-cair menggunakan asam fosfat dan n-heksana diekstraksi dengan 150 µL trietilamin 0,5%; pengocokan dengan vorteks selama 2 menit; dan pemutaran dengan sentrifugasi selama 10 menit. Hasil validasi terhadap metode analisis asam valproat yang dilakukan memenuhi persyaratan validasi berdasarkan EMEA Bioanalytical Guideline tahun 2011. Metode yang diperoleh linear pada rentang konsentrasi 2,0 – 200,0 µg/mL dengan r > 0,9992. Metode analisis yang valid ini berhasil diaplikasikan terhadap satu orang subjek sehat yang diberikan sediaan kaplet lepas lambat yang mengandung 500 mg asam valproat.
Valproic acid is one of mostly used antiepileptic drug which has many side effects, therefore it is highly recommended to determine its plasma concentration. The aim of the research was to develop an analytical method of valproic acid without derivatization in human plasma from optimal chromatographic condition, optimal sample preparation, analytical method validation, until its application. The optimal chromatographic condition was obtained using : C-8 Symmetry® column (5 µm; 150 x 3,9 mm), temperature 45oC; the mobile phase contains buffer sodium dihydrogen phosphate 40 mM pH 3.5 – acetonitrile (56 : 44 %v/v); flow rate was 1.00 mL/min; which was detected by photodiode array detector at wavelength of 210 nm; and nonanoic acid as internal standard. The optimal sample preparation was carried out by liquid-liquid extraction method using phosphoric acid and n-hexane extracted using 150 µL triethylamine 0.5%; vortex-mixing for 2 minutes; and centrifugation for 10 minutes. The results of validation fulfilled the acceptance criteria of validation method based on EMEA Bioanalytical Guideline 2011. The method was linear at concentration range of 2.0 – 200.0 µg/mL with r > 0.9992. Validated method analysis was applied to determine valproic acid concentration in one healthy volunteer after oral administration of 500 mg valproic acid extended release caplet."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S60123
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Falahuddin Malich Salaz
"Asam valproat merupakan obat anti epilepsi yang bisa digunakan pada semua tipe epilepsi dan berkembang sebagai terapi tambahan untuk penyakit bipolar Obat ini memiliki indeks terapi sempit sehingga dibutuhkan pemantauan terapi obat menggunakan metode dried blood spot yang sederhana dan mudah dilakukan serta akurat Tujuannya untuk memperoleh kondisi optimum dan metode tervalidasi asam valproat dalam darah total secara Kromatografi Cair Kinerja Ultra Tinggi Tandem Spektrometri Massa KCKUT SM SM Larutan kontrol kualitas dan kurva kalibrasi sampel darah dibuat dengan menotolkan masing masing sebanyak 20 L dan dikeringkan selama lebih kurang 1 jam Kertas DBS dipotong sekitar lebih kurang 5 mm dan diekstraksi menggunakan campuran larutan asetonitril metanol 1 3 yang mengandung baku dalam asam benzoat dengan konsentrasi 1000 g mL Pemisahan dilakukan menggunakan kolom Waters AcquityTM UPLC C18 1 7 m 2 1 x 100 mm dengan fase gerak berupa campuran asam asetat 0 1 asetonitril 40 60 dengan elusi isokratik dan laju alir 0 4 mL menit Deteksi massa dilakukan dengan Waters Xevo TQD tipe Electrospray Ionization ESI negatif pada mode Multiple Reaction Monitoring Pendeteksian asam valproat berada pada nilai m z 142 95 142 95 dan asam benzoat pada m z 121 1 77 1 Metode ini linear pada rentang 0 5 ndash 100 g mL dengan r 0 9991 Akurasi dan presisi baik within run maupun between run memenuhi persyaratan dengan nilai diff dan KV tidak melebihi 15 dan tidak lebih dari 20 pada konsentrasi LLOQ Sampel DBS stabil minimal 16 hari pada suhu kamar Metode analisis tervalidasi diaplikasikan terhadap satu subjek sehat dan diperoleh Cmax sebesar 88 15 g mL dan Tmax 1 5 jam Secara keseluruhan metode ini memenuhi persyaratan validasi menurut EMEA Guideline 2011.
Valproic acid VA is drug of anticonvulsant which used to treat all types of epilepsy and be developed as an adjuvant therapy for bipolar disorder Valproic acid VA has a narrow of therapeutic window index that need therapeutic drug monitoring with dried blood spot method which is simple easy and accurate This aim of this research is to develop an optimum and validated method valproic acid in whole blood as Dried Blood Spot method using Ultra Performance Liquid Chromatography tandem Mass Spectrometry UPLC MS MS Quality control and calibration samples were obtained by pipetting 20 L onto CAMAG DBS Paper and left to dry at room temperature for 1 h before processing Using a 5 mm punch cutter Disc were transferred to microtube and 200 L extraction solution asetonitril metanol 1 3 containing benzoic acid as internal standard 1000 g mL was added Chromatographic separation was achieved by Waters AcquityTM UPLC C18 1 7 m 2 1 x 100 mm with mobile phase consist of 0 1 acetic acid acetonitrile 40 60 under isocratic elution and flow rate was 0 4 mL min Mass detection was performed on Waters Xevo TQD equipped with an electrospray ionization ESI source at negative ion mode in the multiple reaction monitoring MRM mode Valproic acid VA was detected at m z 142 95 142 95 benzoic acid at m z 121 11 77 1 This method was linear in range concentration of 0 5 ndash 100 g mL with r 0 9991 This method also fulfill the acceptance of accuracy and precision within and between run in three days by diff and coefficient of variation CV not more than 15 and not more than 20 for LLOQ concentration The DBS Card samples is stable at least for 16 days at room temperature Validation method was applied in one healthy subject was obtained Cmax 88 15 g mL with Tmax 1 5 h Overall this method fulfill the acceptance criteria of validation based on EMEA Guideline 2011."
Depok: [Fakultas Farmasi Universitas Indonesia;Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia], 2015
S59742
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Asih Ramadhani
"Osteoarthritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dan kronis yang ditandai dengan gejala klinis dan distorsi jaringan sendi. Ketoprofen oral merupakan obat golongan Nonsteroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) yang mendominasi dalam tatalaksana gejala OA namun memiliki faktor risiko terhadap iritasi lambung. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah memformulasikan ketoprofen menjadi suatu sediaan transdermal berupa dissolving microneedle (DMN). Akan tetapi ketoprofen merupakan obat golongan Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas II yang memiliki kelarutan buruk sehingga penambahan surfaktan dalam formulasi diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah memformulasikan ketoprofen dalam DMN dengan penambahan surfaktan dan mengetahui profil farmakokinetik dari sediaan tersebut. DMN ketoprofen dengan penambahan surfaktan dibuat dengan kombinasi polimer poli(vinil alkohol) (PVA) dan poli(vinil pirolidon) (PVP) dengan menambahkan surfaktan berupa Tween-80 (T-80) dan Poloxamer-188 (P-188) dalam berbagai konsentrasi. Dari hasil evaluasi fisik, kehilangan massa setelah pengeringan, uji kemampuan insersi dan mekanik, uji pelarutan jarum dalam kulit didapatkan bahwa F7 (P-18: 0,5%; PVA: 5%; dan PVP: 10%), F8 (P-18: 0,5%; PVA: 10%; dan PVP: 10%) dan F11 (P-18: 2%; PVA: 5%; dan PVP: 10%) memiliki hasil evaluasi fisik yang optimum. Hasil uji penetapan kadar didapatkan bahwa F7, F8 dan F11 memiliki kadar ± 15 mg dan hasil uji permeasi in vitro didapatkan bahwa F7 memiliki jumlah kumulatif permeasi tertinggi (2,79 ± 0,974 mg). Pengujian bioavailabilitas dilakukan pada F7 dibandingkan dengan oral ketoprofen, didapatkan profil farmakokinetik berupa AUC0-t, AUC0-inf, T½ , Tmaks, Cmaks dari F7 dan oral ketoprofen berturut-turut adalah 2602,42 µg.jam/mL; 2605,71 µg.jam/mL; 10,19 jam; 5 jam; 48,87 µg/mL untuk F7 dan 2454,91 µg.jam/mL; 2456,43 µg.jam/mL; 5,05 jam; 1,5 jam; 102,20 µg/mL untuk oral ketoprofen. Berdasarkan profil farmakokinetik tersebut DMN ketoprofen berpotensi sebagai bentuk sediaan lepas lambat.

Osteoarthritis (OA) is a degenerative and chronic joint disease characterized by clinical symptoms and distortion of joint tissue. Oral ketoprofen is a nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) that dominates in the management of OA symptoms yet has a risk factor of gastrointestinal irritation. To overcome these limitations, ketoprofen can be formulated in the form of dissolving microneedles (DMN). However, ketoprofen is a Biopharmaceutical Classification System (BCS) class II drug which has poor solubility, so its solubility must be improved by adding surfactants to the formulation. The aim of this research was to formulate DMN containing ketoprofen with the addition of surfactant and determine the pharmacokinetic profile of this preparation. DMN ketoprofen with the addition of surfactants was fabricated by using a combination of poly (vinyl alcohol) (PVA) and poly(vinyl pyrrolidone) (PVP) polymers and surfactants, namely Tween-80 (T-80) and Poloxamer-188 (P-188), were added at various concentrations. The result of physical evaluation, loss of mass after drying, insertion and mechanical ability tests, in skin dissolution test showed that F7 (P-18: 0.5%; PVA: 5%; and PVP: 10%), F8 (P-18: 0.5%; PVA: 10%; and PVP: 10%) dan F11 (P-18: 2%; PVA: 5%; and PVP: 10%) has optimum physical evaluation. DMN assay showed that F7, F8 and F11 have 15mg ketoprofen concentration and in vitro permeation test showed that F7 has the highest cumulative permeation (2.79 ± 0.974 mg). The bioavailability study conducted to F7 compared to oral ketoprofen. The pharmacokinetic profiles obtained are AUC0-t, AUC0-inf, T½, Tmaks, Cmaks of F7 and oral ketoprofen respectively: 2602.42 µg.jam/mL; 2605.71 µg.jam/mL; 10,19 jam; 5 jam; 48.87 µg/mL for F7 dan 2454.91 µg.jam/mL; 2456.43 µg.jam/mL; 5.05 jam; 1.5 jam; 102.20 µg/mL for oral ketoprofen. Based on its pharmacokinetic profile, DMN-ketoprofen has potential as a sustained-release dosage form."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yofi Alifa
"

Kurkumin adalah metabolit sekunder hasil isolasi dari tanaman Curcuma longa Linn. Kurkumin memiliki manfaat sebagai antikanker, antiinflamasi, antioksidan, antiproliferatif, antibakteri, antivirus, pewarna alami, dan bumbu masakan. Namun, manfaat yang dimiliki oleh kurkumin, khususnya dalam bidang medis tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan yang dimilikinya. Kurkumin memiliki sifat fisikokimia yang buruk, yaitu kelarutan yang buruk dalam air, stabilitas yang buruk, dan bioavailabilitas yang rendah. Pembentukan kompleks inklusi suatu senyawa dengan siklodekstrin dan turunannya mampu memperbaiki sifat fisika dan kimia dari senyawa yang akan diinklusi tersebut. Berdasarkan literatur, pembentukan kompleks inklusi kurkumin dengan siklodekstrin dan turunannya mampu meningkatkan kelarutan, stabilitas, dan bioavailabilitas dari kurkumin. Skripsi ini merupakan artikel review berisi tentang kompleks inklusi kurkumin dengan siklodekstrin dan turunannya dalam berbagai metode pembuatan, serta karakterisasi kompleks yang pernah dilakukan oleh para peneliti.

 


Curcumin is a secondary metabolite isolated from the Curcuma longa Linn. Curcumin has properties as an anticancer, anti-inflammatory, antioxidant, antiproliferative, antibacterial, antiviral, natural coloring, and cooking spices. However, the properties possessed by curcumin cannot be utilized optimally because of its limitations. Curcumin has poor physicochemical properties, such as poor solubility in water, poor stability, and low bioavailability. The formation of this inclusion complex of a compound with cyclodextrin and its derivatives can improve the physical and chemical properties of the inclusion compound. Based on the literature, the structure of curcumin inclusion complexes with cyclodextrin and their derivatives can increase solubility, stability, and bioavailability of curcumin. This review article contains the complex of curcumin with cyclodextrins and their derivatives in various manufacturing methods, as well as complex characterizations that researchers have carried out.

 

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nur Shafriani
"Kesehatan masyarakat menjadi perhatian utama Indonesia untuk menciptakan sumber daya yang berkualitas. Karakteristik kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi menimbulkan permasalah kesehatan yang kompleks, salah satunya pada anak usia sekolah. Berbagai masalah kesehatan terjadi pada anak sekolah, salah satunya gangguan konsentrasi anak. Tujuan penulisan karya ilmiah ini yaitu memberi gambaran asuhan keperawatan pada keluarga dengan resiko keterlambatan perkembangan anak. Intervensi unggulan yang dilakukan adalah senam otak pada anak usia sekolah. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi anak usia sekolah. Intervensi peningkatan perkembangan dengan senam otak dilakukan sebanyak 15 kali selama 6 minggu. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa intervensi unggulan yang dilakukan dapat meningkatkan konsentrasi pada anak. Intervensi senam otak disarankan untuk digunakan perawat untuk membantu anak meningkatkan konsentrasi nya sehingga dapat meningkatkan perkembangan anak usia sekolah.

Public health is an important things for created quality resources in Indonesia. High the population in the cities can make complex health problems in all people, which is school-age children. Various health problems occur in school children, such as a concentration defisit disorder. The purpose of this writing is to explain nursing care to the family with risk development delay in children. The main intervention is brain exercise in school-age children. Family nursing care was given within 6 weeks.The result of this intervention is there are increase concentration level in children. Brain exercise intervention is approved to be used by nurses to help children improve childrens development for school. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Mahri
"Latar Belakang: Emergence delirium (ED) merupakan kondisi yang dapat terjadi saat anak pulih dari anestesi dengan cara yang tidak nyaman. ED dapat menyebabkan cedera pada anak, dan kekhawatiran pada orangtua. Berbagai intervensi dilakukan untuk menurunkan ED, namun belum ada standar khusus yang rutin dilakukan untuk mencegah ED. Deksmedetomidin dan midazolam dikatakan efektif untuk mengurangi ED. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas premedikasi deksmedetomidin intranasal dibandingkan midazolam intranasal untuk mencegah ED pada anak yang menjalani operasi mata. Metode : Penelitian ini adalah uji klinik tersamar ganda, pada pasien anak usia 1- 12 tahun dengan status fisik ASA 1 dan 2 yang menjalani operasi mata dengan anestesia umum menggunakan agen inhalasi Sevoflurane. Subjek penelitian 64 orang, didapatkan dengan consecutive sampling selama Februari-Mei 2019 yang kemudian dikelompokan menjadi kelompok deksmedetomidin dan midazolam setelah proses randomisasi. Efektivitas dinilai dari kejadian ED, waktu pulih, dan kejadian desaturasi pasca premedikasi. Analisis data menggunakan uji Chi Square dan Uji Mann-Whitney. Hasil : Kejadian ED pada kelompok deksmedetomidin sebesar 11,18% sedangkan kelompok midazolam 28,12% (p=0,109). Waktu pulih didapatkan median yang sama 6 menit, dan tidak didapatkan kejadian desaturasi di kedua kelompok. Simpulan : Pemberian premedikasi deksmedetomidin intranasal 30 menit sebelum induksi secara statistik tidak lebih efektif dibandingkan midazolam untuk mencegah kejadian ED pada anak yang menjalani operasi mata.

Background: Emergence Delirium (ED) is a condition that can occur when a child recoverds from anesthesia in a uncomfortable way. ED can cause injury to children and worries to parents. Various interventions were carried out to reduce ED, but there were no specific standards has been estabilished to prevent ED. Dexmedetomidine and midazolam are said to be effective in reducing ED. This study aims to determine the effectiveness of intranasal dexmedetomidine premedication compared to intranasal midazolam to prevent ED in children undergoing eye surgery. Method : This study is a double-blind clinical trial, in pediatric patients aged 1-12 years with physical status ASA 1 and 2 who underwent eye surgery under general anesthesia using Sevoflurane inhalation agents. There were 64 childen obtained by consecutive sampling, who underwent eye surgery in our institution during February-Mayl 2019. The subjects then grouped into dexmedetomidine group and midazolam group. Effectiveness was assessed from ED events, recovery time, and post-premedication desaturation events. Data analysis using Chi Square test and Mann-Whitney test. Result : ED incidence in the dexmedetomidin group was 11.18% while the midazolam group was 28,12% (p = 0.109). The recovery time was the same median 6 minutes, and no desaturation was found in either group. Conclusion : There are statistically no difference between the effectiveness of intranasal dexmedetomidine and midazolam premedication 30 minutes before induction to prevent ED occurrence in children undergoing eye surgery. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Affan Kalik
"Latar belakang. Obat sedasi yang digunakan pada anak yang menjalani magnetic resonance imaging (MRI) diharapkan memiliki efek samping minimal dengan waktu mula kerja dan waktu pulih yang cepat. Rute pemberian obat pada anak sebaiknya minimal invasif. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas sedasi deksmedetomidin intranasal dosis 2 mcg/kg dan 4 mcg/kg pada anak yang menjalani MRI.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap pasien anak yang menjalani MRI di Ruang MRI RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari-April 2019. Sebanyak 94 pasien diambil dan dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok DIN2 (n=47) mendapatkan sedasi deksmedetomidin intranasal 2 mcg/kg, sedangkan kelompok DIN4 (n=47) mendapatkan sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg. Kedalaman sedasi diukur menggunakan skor sedasi Ramsay. Heart rate (HR), saturasi oksigen dan skor sedasi Ramsay dinilai sebelum induksi dan setiap 10 menit setelah pemberian obat sedasi. Analisis data menggunakan uji-t tidak berpasangan atau Mann-Whitney.
Hasil. Waktu mula kerja sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg (23,00 (18,00-27,00) menit) lebih cepat dibandingkan deksmedetomidin 2 mcg/kg (26,00 (21,00-29,00) menit) (p <0,001). Waktu lama kerja sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg (47,00 (41,00-53,00) menit) lebih lama dibandingkan deksmedetomidin 2 mcg/kg (34,00 (30,00-37,00) menit) (p <0,001). Waktu pulih sedasi antara deksmedetomidin intranasal 2 mcg/kg (10,00 (5,00-15,00) menit) dan 4 mcg/kg (10,00 (5,00-15,00) menit) tidak berbeda bermakna (p 0,774). Tidak ada perbedaan efek samping sedasi antara kedua kelompok penelitian. Tidak ada perbedaan kebutuhan rescue dose propofol antara kedua kelompok penelitian.
Simpulan. Sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg tidak lebih efektif dibandingkan deksmedetomidn intranasal 2 mcg/kg pada anak yang menjalani MRI.

Background. Anaesthetic agents used in pediatric patients undergoing magnetic resonance imaging (MRI) should have minimal adverse effects with rapid onset of induction and recovery time. The administration route in pediatric should be minimally invasive. This study aimed to compare the effectiveness of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 2 mcg/kg and 4 mcg/kg in pediatric undergoing MRI.
Methods. This study was a single blind randomized clinical trial in pediatric patients undergoing MRI at Cipto Mangunkusumo General Hospital in February-April 2019. Ninety-four patients were recruited and randomized into two groups. Group DIN2 (n = 47) received intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg, while Group DIN4 (n = 47) received intranasal dexmedetomidine at dose of 4 mcg/kg. Depth of sedation was measured using Ramsay Sedation Scale. Heart rate (HR), oxygen saturation and Ramsay Sedation Scale scores were assessed before the induction and every 10 minutes after administration of sedation agents. Data analysis using unpaired t-test or Mann-Whitney.
Results. Onset time of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg (23.00 (18.00-27.00) minutes) is faster than dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (26.00 (21.00-29.00) minutes) (p <0.001). Duration time of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg (47.00 (41.00-53.00) minutes) is longer than dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (34.00 (30.00-37.00) minutes) (p <0.001). Recovery time of sedation between intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (10.00 (5.00-15.00) minutes) and 4 mcg/kg (10.00 (5.00-15.00) minutes) were not statistically different (p 0.774). There were no differences in adverse effects of sedation between the two study groups. There were no differences in the need of rescue dose requirements between the two study groups.
Conclusion. Intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg is not more effective than intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg in children undergoing MRI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Teguh Rahayu
"Asam valproat adalah satu dari banyak obat yang digunakan sebagai antiepilepsi dan memiliki banyak efek samping, sehingga direkomendasikan untuk menentukan konsentrasinya di dalam plasma. Penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi metode analisis asam valproat setelah diderivatisasi dengan 2,4-dibromoasetofenon di dalam plasma in-vitro dan in-vivo, menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi- Photo Diode Array. Asam valproat dan asam nonanoat sebagai baku dalam diekstraksi dari plasma dengan etil asetat. Supernatan yang diperoleh dinetralkan dan diuapkan, kemudian residu kering direkonstitusi dengan larutan penderivatkatalis dalam asetonitril kemudian diderivatisasi pada suhu 75ºC selama 25 menit. Pemisahan dilakukan menggunakan kolom C18 Sunfire ® (250 mm x 4,6, 5 µm) dengan elusi isokratik menggunakan fase gerak asetonitril-air (73 :27). Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 294 nm dengan kecepatan alir 1,5 mL/menit. Metode ini valid berdasarkan hasil LOQ 4,75 µg/mL, perolehan kembali relatif konsentrasi rendah, sedang dan tinggi berturut-turut 100,67%, 99,78%, dan 93,16%. Koefisien variasi intra dan inter day dan persen penyimpangan (SD) dari metode ini masuk dalam kriteria penerimaan, yaitu dibawah ± 15%. Kurva kalibrasi linier dalam plasma in-vitro (Y = 0,0123 + 0,0085X) pada konsentrasi 4,75-237,75 µg/mL dengan nilai r = 0,9999. Metode yang dihasilkan dapat diaplikasikan untuk menetapkan kadar asam valproat dalam plasma setelah pemberian secara oral tablet natrium divalproat 500 mg.

Valproic acid is one of mostly used antiepileptic drug which have side effects, so it is highly recommended to evaluate its plasma concentration The aim of the research was to validate a method for the determination valproic acid in plasma in-vitro and in-vivo after derivatization with 2,4-dibromasetofenon using high performance liquid chromatography-photo diode array. Valproic acid and internal standard nonanoic acid were extracted from plasma sample with ethyl acetate. Then supernatan was neutralizatied and evaporated. dried residue reconsituted in derivatecatalyst solution then derivatized at 75ºC for 25 minutes. The resulting derivatives were separated on a Sunfire C18 (250 mm x 4.6, 5 µm) reverse phase column with acetonitrile-water (73:27) as mobile phase , were detected at 294 nm and analysis were run at flow rate 1.5 mL/minute. The calibration curve in plasma in-vitro ( Y =0.0123 + 0.0085 x ) presented good linier (r = 0.9999) between 4.75-237.75 µg/mL with LLOQ 4.75 µg/mL. The mean of relative recovery at low concentration, middle concentration and high concentration are 100.67%, 99.78%, and 93.16 %, respectively. Intra- and inter- day coefficient of variation and percent error value of the assay method were all acceptable range ± 15%. The presented method was might be applied to the determine of the valproic acid concentration in plasma after oral administration of 500 mg sodium divalproate."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>