Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 215108 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Ridho Ilahi
"Tulisan ini menjelaskan bagaimana peran yang dapat dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam penanganan tindak pidana penodaan dan penyalahgunaan agama Islam. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Peran yang dapat dilakukan oleh MUI dalam penanganan kasus penodaan agama saat ini adalah sebagai sebagai ahli dan fatwa MUI dijadikan sebagai bukti surat yang secara materil tidak mengikat. Peran MUI dalam sistem peradilan hingga saat ini terbatas hanya pada sektor alat bukti. Meskipun demikian, dengan adanya Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman membuka peluang MUI dapat berkedudukan sebagai amicus curiae. Tulisan ini juga memberikan gagasan untuk dimasa mendatang adanya fungsi MUI sebagai pelaksana pembinaan yang berlandaskan pendekatan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana penodaan agama Islam. Peran- peran tersebut dapat diisi oleh MUI dikarenkan MUI memiliki kredibelitas dalam aspek aqidah, dan daya kepercayaan masyarakat terhadap MUI yang tinggi sebab kopetensi kelembagaan serta kopetensi personal yang dimiliki oleh MUI. Peran nyata MUI saat ini dapat dilihat pada putusan hakim, penulis menemukan 6 (enam) dari 8 (delapan) putusan menjadikan unsur MUI sebagai pertimbangan putusan hakim, bahkan hal ini berbanding terbalik dengan upaya peringatan keras melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan jumlah hanya 1 kasus yang telah diberikannya Surat Keputusan sebelum melakukan upaya pidana. Hal ini berimplikasi bahwa prinsip ultimum remedium yang dianut konsideran induk aturan tentang penodaan agama di Indonesia cenderung diabaikan oleh penegak hukum.

This paper explains how the role that can be played by the Indonesian Ulema Council (MUI) in handling the crime of blasphemy and abuse of Islam. This thesis is prepared using doctrinal research methods. The MUI's role in handling the current blasphemy case is that of an expert, and the MUI's fatwa is used as evidence of a letter that is not materially binding. The role of the MUI in the judicial system until now is limited to the evidence sector. However, Law No. 48 of 2009 concerning Judicial Power opens up opportunities for the MUI to take a position as an amicus curiae. This paper also provides ideas for the future of the function of MUI as an implementer of coaching based on a restorative justice approach to perpetrators of Islamic blasphemy. MUI can fill these roles because MUI has credibility in the aspect of aqidah, and public trust in MUI is high because of the institutional competence and personal competence possessed by MUI. The fundamental role of the MUI today can be seen in the judge's decision; the author found 6 (six) out of 8 (eight) decisions that made the MUI element a consideration of the judge's decision, even if this is inversely proportional to the effort to warn hard through the Joint Decree (SKB) with the number of only 1 case that the Decree has been given before committing criminal efforts. This implies that the principle of ultimum remedium adopted by the parent rule on blasphemy in Indonesia was ignored by law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryand
"Kebebasan beragama/berkeyakinan pada dasarnya merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Dalam hukum Indonesia pemenuhan hak atas kebebasan beragama tiap warga negara secara langsung dijamin oleh konstitusi. Meskipun telah mendapat jaminan langsung dari konstitusi, pada prakteknya pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih kerap terjadi. Keberadaan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditengarai sebagai salah satu faktor yang mendorong terjadinya berbagai pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Secara substasnsi, Undang-Undang tersebut memberikan pengakuan tehadap enam agama sebagai agama resmi. Tulisan ini dibuat dengan pendekatan normatif yang dimaksudkan untuk menelaah keseuaian norma dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan doktrin serta prinsip-prinsip HAM tekait kebebasan beragama. Selain itu, studi empiris dengan juga dilakukan untuk memperlihatkan dampak riil dari pengaturan dalam Undang-Undang tersebut. Dengan pendekatan demikian, dapat dilihat bahwa Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 memuat ketentuan pengaturan yang secara substansial bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM terkait kebebasan beragama. Selain itu, ditemukan bahwa dalam prakteknya ketentuan dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 serta peraturan atau kebijakan turunannya memicu berbagai tindakan diskriminatif dan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama terutama bagi para pemeluk agama/kepercayaan yang tidak diakui oleh negara.

Religious freedom is one of the right that can not be reduced under any circumstances (non-derogable rights). Under Indonesian law, the fulfilment of religious freedom rights of every citizen are guaranteed by the constitution. Despite enjoying direct guarantee from the constitution, in practice, violations of religious freedom still occur frequently. The existence of the Act No. 1/PNPS/1965 on the Prevention of Abuse of Religion and/or Blasphemy is considered as one of the factors that led to religious freedom violations in Indonesia. Substantially, this Act provides recognition to six religions as official religion. This paper is written in a normative approach to look over the suitability of the norms in the Act No. 1/PNPS/1965 on the the Prevention of Abuse of Religion and/or Blasphemy by the doctrine of human rights and the principles of religious freedom. Moreover, empirical studies are also conducted to show the real impact of regulation in the Act. Thus, it can be seen that the regulation on Act No. 1/PNPS/1965 contains provisions that are substantially opposed to the human rights principles related to freedom of religion. Furthermore, it was found that in practice the provision on the Act No. 1/PNPS/1965 and its derivative regulations and policies caused various discriminative actions and violations to the right of religious freedom, especially for the disciples of the religion/beliefs who are not recognized by the state.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wirjono Prodjodikoro, 1903-
Bandung: Eresco, 1974
364.159 8 WIR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wirjono Prodjodikoro, 1903-
Bandung: Eresco, 1986
364.159 8 WIR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wirjono Prodjodikoro, 1903-
Jakarta: Refika Aditama, 2010
364.159 8 WIR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2021
345.023 TAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yolanda Anastasia
"ABSTRAK
Notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh negara memerlukan perlindungan hukum di dalam menjalankan jabatannya. Salah satu wujud perlindungan yang diberikan oleh negara ialah dengan membentuk Majelis Kehormatan Notaris. Bentuk penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian dengan cara menganalisis bahan pustaka yang berhubungan dengan substansi penelitian. Tipe penelitian dalam tesis ini bersifat deskriptif analisis yang berguna untuk mengambil masalah yang diteliti dan hasil penelitian ini kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya. Jenis data yang dipakai dalam tesis ini ialah data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan dan juga memerlukan penjelasan dari narasumber dari akademisi maupun praktisi di bidang terkait. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam tesis ini ialah studi dokumen atas data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pemberian persetujuan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan dalam pemanggilan Notaris, dilakukan dalam hal adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat Notaris dalam penyimpanan Notaris, belum gugur hak menuntut, adanya penyangkalan keabsahan tanda tangan dari salah satu pihak atau lebih, adanya dugaan pengurangan atau penambahan atas Minuta Akta atau adanya dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal antidatum . Menurut Pasal 12 dan 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris apabila seorang notaris berstatus tersangka tetapi belum memperoleh putusan pengadilan yang bersifat hukum tetap notaris tersebut masih berwenang membuat akta tetapi hal tersebut seharusnya tidak dapat dilaksanakan jika notaris berstatus tersangka dan ditahan untuk sementara waktu sebaiknya notaris tersebut tidak berwenang membuat akta. Jika notaris tersebut dijadikan saksi maka notaris hadir untuk memberi kesaksian dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris karena dalam perkara pidana yang dicari adalah kebenaran materiil. Menurut Mahkamah Konstitusi nomor 72/PUU-XII/2014 perlindungan hukum yang diberikan kepada notaris dalam kasus pidana hanyalah apabila untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim yang ingin memanggil notaris ke dalam persidangan harus dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris.Kata kunci: perlindungan terhadap notaris, peran majelis kehormatan notaris.

ABSTRACT
Notary as a public official appointed by the state requires legal protection in the conduct of his her position. One of the forms of protection afforded by the state is by establishing the Honorary Council of Notaries. The form of research conducted in the writing of this thesis is law juridical normative research that is research by analyzing library materials related to research substance. The type of research in this thesis is a descriptive analysis that is useful to take the problem under study and the results of this study are then processed and analyzed to take conclusions. The type of data used in this thesis is secondary data obtained from the literature and also requires explanation from resource persons from academics and practitioners in related fields. The data collection tool used in this thesis is document study of secondary data. The result of this research is that the granting of consent to the investigator, public prosecutor or judge for the sake of the judicial process in the notarial calling, is done in the case of the alleged offense related to the Minutes of Notarial deed and or Notary 39 s Notaries, , The denial of the signature of one or more parties, the alleged deduction or addition to the Minutes of Deed or the alleged notary of the antidatum. According to Articles 12 and 13 of Law Number 2 Year 2014 concerning Notary Publication if a notary is a suspect status but has not yet obtained a court decision of a legal nature, the notary still has the authority to make a deed but it should not be executed if the notary is a suspect and is temporarily detained Time should the notary is not authorized to make deed. If the notary is made a witness then the notary is present to give testimony with the approval of the Notary Public Honor Council because in a criminal case sought is material truth. According to the Constitutional Court number 72 PUU XII 2014 the legal protection granted to a notary in a criminal case is only in the interest of the judicial process, the investigator, the public prosecutor or the judge wishing to call the notary to the proceeding with the approval of the Notary Honorary Board"
2017
T47640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Tri Yanti Merlyn Christin
"ABSTRAK
Tulisan ini memiliki dua pokok bahasan. Pertama, mengenai pengaturan gratifikasi di Indonesia yaitu meliputi tipologi gratifikasi sebagai tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta perbedaannya dengan tindak pidana suap. Kedua, mengenai perkembangan gratifikasi sebagai tindak pidana di Indonesia yaitu meliputi pembahasan mengenai relevansi pengaturan gratifikasi di Indonesia dilihat dari review UNODC, perkembangan bentuk gratifikasi sebagai tindak pidana, dan kaitan gratifikasi sebagai tindak pidana dengan illicit enrichment. Penggunaan metode penelitian kepustakaan yang dilengkapi dengan penelitian lapangan berupa wawancara terhadap pihak-pihak terkait bertujuan untuk memberikan paparan mengenai hukum yang berlaku dan penerapannya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya mengenai gratifikasi sebagai tindak pidana. Hukum yang berlaku yaitu berbagai macam peraturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu juga disertakan juga perbandingan mengenai definisi dan gratifikasi sebagai tindak pidana dengan beberapa negara yaitu Malaysia, India, dan Singapura. Dari paparan tersebut kemudian dapat ditemukan inti permasalahan serta solusi dalam menghadapi permasalah tersebut.

ABSTRACT
This research mainly discusses about three problems. Firstly, is concerning the management of gratification in Indonesia that includes gratification typology as a criminal act as regulated in Article 12 B of Law Number 20 Year 2001 concerning Amendment to Law Number 31 Year 1999 concerning the Eradication of Corruption and its difference with the crime of bribery. Second, concerning the development of gratification as a criminal act in Indonesia that covers the discussion about the relevance of gratification arrangement in Indonesia seen from UNODC review, the development of gratification form as a criminal act, and the link of gratification as a criminal act with illicit enrichment. By using literature research methods combined by field research in the form of interviews with related parties aims to provide an overview of the applicable law and its application in the field of eradication of criminal acts of corruption, especially regarding gratification as a crime. The applicable law is a variety of regulations concerning the eradication of criminal acts of corruption. It also includes a comparison of definition and gratification as a criminal offense with several countries namely Malaysia, India, and Singapore. From the exposure can then be found the core problems and solutions in the face of the problem"
2017
S68715
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisya Qanita
"Skripsi ini membahas mengenai makna unsur menerbitkan keonaran dalam Tindak Pidana Ketertiban Umum di Indonesia yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Menimbulkan keonaran atau dalam bahasa Belanda nya “Onrust Verwekken” artinya mengakibatkan keresahan atau kegelisahan di dalam masyarakat. Namun, mengenai batasan dari makna keonaran belum diatur secara jelas oleh peraturan perundang-undangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis. Seiring dengan adanya kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat di Indonesia, keonaran tidak dapat dimaknai secara sempit. Keonaran yang timbul dalam masyarakat tidak hanya dapat ditandai dengan perbuatan masyarakat secara fisik, seperti unjuk rasa, kekerasan terhadap barang atau orang, dan perbuatan fisik lainnya, melainkan juga perbuatan masyarakat secara non-fisik seperti di media sosial. Oleh karenanya diperlukan pengaturan atau penjelasan yang lebih jelas mengenai makna dari keonaran, sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran hukum.

This thesis mainly discusses the meaning of causing riot element under criminal act of public order in Indonesia which is regulated in Indonesia Criminal Code (Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana “KUHP”) and other relevant laws and regulations.  Causing riot or in Dutch, "Onrust Verwekken" means to cause anxiety or discomfort in the community.  However, the clear boundaries for the meaning of riot has not been clearly regulated by the laws and regulations.  The research method used in this thesis is a juridical-empirical research method.  Along with the advance of technology and the development of society in Indonesia, riot shall not be narrowly interpreted.  Causing riot in the community could not only be limitedly defined as physical actions of the community, such as demonstrations, violence against goods or people, and/or other physical actions, but also the actions of the community in a non-physical way such as on their expressions in social media.  Therefore a clearer explanation or deeper meaning is urgently needed to elaborate the meaning of the riot in order to avoid misinterpretation of the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Fungsionalisasi hukum pidana, termasuk dalam kebijakan pengelolaan lingkungan, harus dilihat sebagai suatu kebijakan memilih dari berbagai sarana lain yang tersedia. Sebagai suatu kebijakan maka pilihan tersebut harus bersifat rasional. Rasionalitas ini penting untuk menghidari over criminalization dan/atau hukum pidana yang tidak aplikatif Hukum pidana, seperti juga sarana-sarana (hukum) lainnya, memiliki keunggulan-keunggulan dan keterbatasan-keterbatasan. Hukum pidana lingkungan bersifat administrative-criminal-law sehingga memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap kelengkapan aturan hukum lingkungan administrasi. Disamping itu tindak pidana lingkungan pada umumnya dilatarbelakangi oleh motif ekonomi, sehingga penggunaan asas-asas dan instrumen sanksi hukum pidana ekonomi menjadi sangat penting.
"
340 JHPJ 24:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>