Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72454 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Agustiar Hariri
"Tulisan ini menganalisis bagaimana prosedur penyelesaian kasus yang mengandung concursus dalam sistem peradilan pidana di Indonesia serta untuk melihat kepastian hukum terhadap hak-hak Terdakwa dalam concursus. Tulisan ini disusun dengan menggunaan metode penelitian doktrinal. Saat ini, pengaturan hukum pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prosedur penyelesaian kasus yang mengandung gabungan perbuatan pidana dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan menggabungkan perkara sesuai kondisi yang diatur secara limitatif pada Pasal 141 KUHAP. Ketentuan tersebut pada dasarnya bersifat fakultatif, tidak mengikat, dan tidak memiliki kepastian hukum, sehingga membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan yang tak sejalan dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, di mana hal tersebut bisa menimbulkan beberapa dampak buruk bagi Terdakwa. Perlindungan hukum terhadap hak-hak Terdakwa dalam perbarengan tindak pidana pada pokoknya sudah ada aturan dalam KUHAP, seperti hak untuk segera diperiksa dalam setiap tahapan, hak untuk tidak dituntut secara berulang-ulang, namun pengaturan mengenai hak tersebut masih memiliki kekurangan dalam praktik penanganan kasus perbarengan tindak pidana karena pemeriksaan yang dilakukan tidak secara menyeluruh, sehingga Tersangka harus ditahan dan dituntut berulang- ulang atas suatu kejadian materiil, di mana hal tersebut tidak sejalan dengan tujuan KUHAP untuk mencari kebenaran yang selengkap-lengkapnya.

This article analyzes the procedures for resolving cases containing concursus in the criminal justice system in Indonesia and to look at legal certainty regarding the defendant's rights in concursus. This article was prepared using doctrinal research methods. Currently, criminal law regulations are regulated in Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code and Law Number 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure Code. The procedure for resolving cases containing a combination of criminal acts in the criminal justice system in Indonesia can basically be carried out by combining cases according to the conditions regulated in a limited manner in Article 141 of the Criminal Procedure Code. These provisions are basically facultative, non-binding and have no legal certainty, thus opening up opportunities for arbitrariness which is not in line with the principles of fast, simple and low-cost justice, which could have several negative impacts on the defendant. Legal protection for the rights of defendants in concurrent criminal acts basically already exists in the Criminal Procedure Code, such as the right to be immediately examined at every stage, the right not to be prosecuted repeatedly, but the regulation regarding these rights still has shortcomings in the practice of handling concurrent cases. a criminal offense because the investigation carried out was not comprehensive, so that the suspect had to be detained and prosecuted repeatedly for a material incident, which was not in line with the aim of the Criminal Procedure Code to seek the complete truth."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dipa Oryza Ananta
"Penelitian ini membahas keadaan yang memberatkan dalam putusan pemidanaan, khususnya tentang pertimbangan yuridis dari fakta yang tersajikan. Studi ini menegaskan adanya permasalahan Hakim pidana untuk mempertimbangkan keadaan yang memberatkan. Penelitian menggunakan metode doktrinal dengan melakukan analisis putusan dari lima putusan PID.SUS.ITE yang disyaratkan. Agar menjawab penelitian ini, analisis putusan fokus pada reaksi masyarakat yang diintepretasikan Hakim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulisan keadaan yang memberatkan tidak konsisten dan memerlukan pengaturan lebih lanjut. Penelitian ini mengusulkan pedoman bagi hakim untuk meningkatkan kejelasan dan konsistensi dalam penerapan keadaan yang memberatkan dalam putusan pengadilan yang mendatang.

The thesis discusses the topic of aggravating circumstances within criminal judgments, particularly regarding behind judges’s judicial reasoning based on the presented facts. The study emphasizes the problems from criminal judges into considering aggravating circumstances. The research uses doctrinal method by analyzing judicial decisions from five required electronic criminal cases. The analysis centers on evidence of public's reaction which explains the judges aggravating circumstances. Research shows that the application of aggravating circumstances are inconsistent and requires further regulation. Writer suggest a set of guidelines for judges to improve clarity and consistency in the application of aggravating circumstances in the upcoming court decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soeharno
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1977
S6010
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagaol, Stephan Anggita
"Penelitian Tesis ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena sengketa perdata yang malah dilaporkan ke polisi, sehingga semula masalah perdata menjadi masuk ranah pidana. Prinsip keadilan restoratif sebagai terobosan dalam sistem hukum pidana berupaya memberikan keadilan kepada para pihak (khususnya korban) dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan hubungan baik dalam masyarakat, justru secara das sein keadilan restoratif dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah tagihan nyangkut atau utang piutang melalui pendekatan pidana, yang secara das sollen seharusnya masalah tagihan nyangkut atau utang piutang diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa keperdataan. Penulis memilih metode penelitian kualitatif jenis studi dokumen (kajian literatur) dengan menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber data dalam penelitian ini, termasuk menelaah peraturan kepolisian dan buku-buku keadilan restoratif yang ditulis oleh penulis polisi, praktisi reserse yang juga sebagai akademisi, guna memahami rumusan masalah dan menjawab pertanyaan penelitian, serta untuk mencapai tujuan penelitian. Dari penelitian ini penulis menemukan adanya keistimewaan dalam menggunakan pendekatan pidana yang tidak dimiliki dalam pilihan penyelesaian sengketa keperdataan, dan dengan menggunakan prinsip keadilan restoratif semakin memungkinkan bagi para pihak untuk berdamai dalam suatu perkara pidana. Implementasi e-manajemen penyidikan secara menyeluruh di kepolisian akan memudahkan akses pengawasan, pengendalian, dan monitoring kegiatan penyelidikan/penyidikan sehingga dapat digunakan untuk menjaga marwah penerapan prinsip keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

The research is initiated by the phenomenon of civil disputes that are reported to the police. Ideally, such disputes should not be reported to the police and consequently they become the domain of criminal legal system. The principle of restorative justice as a breakthrough in criminal legal system seeks to provide justice to the parties (especially to the victims) by prioritizing recovery to the original condition (before a crime occurs) and to restore good relationships among the parties in the society. In fact (das sein), the restorative justice approach has often been used to resolve civil cases such as debit and credit claims or bad debt through criminal approach, which theoretically (das sollen) should be resolved through the mechanism of civil law proceedings. The author employs the qualitative approach using literature study method and uses primary and secondary data as data sources of the research, including examining police regulations and restorative justice books written by police writers and police practitioners who are also academicians in order to comprehend the problems and to answer the research questions as well as to achieve the research objectives. The results of the study reveal that there is something special in using criminal approach that can not be found in the civil law proceedings and by using the principle of restorative justice it is more possible for the parties to reconcile in a criminal case. The implementation of e-investigation management comprehensively by the National Police will facilitate access to supervision, control, and monitoring of initial investigation as well as investigation activities so that it can be used to keep up the true spirit of the application of restorative justice principles in criminal legal system in Indonesia."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferny Melissa
"Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan jaminan terhadap hak anak yang berhadapan dengan hukum. Di dalam pemenuhan dan penjaminan atas hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum, telah di atur sebuah sistem berupa prinsip keadilan restoratif atau restorative justice yang merupakan upaya penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan di luar dari proses peradilan di persidangan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, telah diatur sebuah proses yang disebut diversi. Penulis ingin memberikan penjelasan dan melakukan penelitian sejauh mana peran Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap proses penyelesaian perkara pidana anak diterapkan berdasarkan Undang-undang SPPA yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Penulis melihat bahwa di dalam praktiknya, masih banyak aparat penegak hukum yang masih terus berproses mempelajari upaya keadilan restoratif dan justru masih banyak orang atau masyarakat yang tidak tahu hak-hak anak di dalam sebuah proses hukum yang dijaminkan pada undang-undang tersebut. Oleh sebab itu, dengan adanya penguatan keberadaan Pembimbing Kemasyarakatan dinilai sangat penting di dalam menjamin hak-hak anak berhadapan dengan hukum.

The Bill Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System has provided guarantees for the rights of children in conflict with the law. In fulfilling and guaranteeing the rights of children in conflict with the law, a system has been set up in the form of the principle of restorative justice, which is a law enforcement effort in resolving cases that can be used as an instrument of recovery outside of the judicial process at trial. Based on this law, a process called diversion has been regulated. The author wants to provide an explanation and conduct research to what extent the role of Probation and Parole Officer in assisting and supervising the process of resolving children's criminal cases is implemented based on the SPPA Law which provides a guarantee of legal certainty for children in conflict with the law.
The author sees that in practice, there are still many law enforcement officers who are still in the process of studying restorative justice efforts and in fact there are still many people or communities who do not know about children's rights in the legal process guaranteed by this law. Therefore, strengthening the existence of Probation and Parole Officer is considered very important in ensuring children's rights in dealing with the law.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The code of criminal procedural law in the Law No.8 of 1981 as an operational basis of criminal justice system in Indonesia submits the conception of integrated criminal justice system which absolutely needs coordination among the law enforcement institutions. The failure of one of components of the system will influence the achievement of the other institutions. In fact, it is difficult to realize this system because each institution holds its own achievement oriented."
342 JPIH 18:VI (1998)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chandras Suryo Kusmayasputri
"ABSTRAK
Tulisan ini adalah suatu kajian mengenai tindakan vigilantism di dalam masyarakat sebagai suatu perwujudan dari rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan otoritas yang ada. Adanya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku merupakan suatu permasalahan sosial yang serius dan memerlukan perhatian tersendiri. Di dalam permasalahan ini, rasa ketidakpercayaan terhadap hukum dan otoritas yang ada dijadikan sebagai pemicu dalam memberikan reaksi sosial informal terhadap pelaku tindak kejahatan yang ada di dalam masyarakat. Reaksi sosial informal yang diberikan oleh masyarakat adalah berupa kekerasan. Teori Kriminologi Anarkis dijadikan sebagai teori utama dalam membahas permasalahan ini, dengan didasari anggapan bahwa hukum yang ada dijalankan secara tidak efektif. Sumber data sekunder seperti berita, artikel ilmiah, dan laporan survey resmi dijadikan sebagai dasar dalam melakukan analisis terkait kajian ini. Kesimpulan dari tulisan ini adalah teori kriminologi anarkis dapat digunakan untuk melihat dan menjelaskan realita dari fenomena vigilantism sebagai sebuah bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.

ABSTRACT
This paper is a study of the act of vigilantism in society as a form of public distrust of the existing laws and authority. The existence of public distrust of the existing law is a serious social problem and requires its own attention. In this case, public distrust of existing law and authority becomes the trigger in providing informal social reactions to the perpetrators of criminal acts in society. Informal social reactions provided by the community are in a form of violence. Anarchist Criminology Theory is used as the main theory in discussing this issue, based on the assumption that law is not executed effectively. Secondary data sources such as news, scientific articles, and official survey reports serve as a basis for analyzing the review. The conclusion of this paper is anarchist criminology theory can be used to view and explain the reality of the phenomenon of vigilantism as a form of public distrust of the existing law."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Aini Rahman
"Overcrowding Lembaga Pemasyarakatan menjadi sebuah masalah besar di negara Indonesia. Contoh kecilnya saja adalah pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II APaledang Bogor. Overcrowded tersebut berujung pada munculnya perlakuan kepada narapidana yang tidak manusiawi. Kemudian timbul masalahmasalah lain seperti perasaan tidak nyaman para penghuni Lapas karena harus saling tidur tumpang tindih dan berebut tempat tidur dan bahkan ada yang tidur dengan posisi jongkok, narapidana harus antre dan berebut mendapatkan air bersih untuk MCK, timbulnya penyakit menular, pertemuan dengan keluarga pembesuk sangat terbatas, terjadi prisonisasi, kerusuhan, kekerasan dan sebagainya. Dengan kondisi seperti itu, pembinaan yang efektif untuk mengintegrasikan kembali narapidana ke masyarakat tentu menjadi tujuan yang sangat sulit dicapai.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Paledang Bogor sudah melakukan berbagai upaya namun juga harus didukung dengan upaya yang lebih struktural, sistematis dan lebih besar lagi untuk mengatasi overcrowding.Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang dan studi kasus melalui studi literatur, observasi dan wawancara. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab overcrowded dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Paledang Bogor adalah bahwa Lapas ini tidak hanya menampung narapidana yang divonis dari Pengadilan Negeri Bogor tetapi juga dari vonis Pengadilan Negeri Cibinong dan Depok yang dimana tiap-tiap pengadilan negeri tersebut tidak memperhatikan keluaran putusan yang banyak menjatuhkan pidana penjara, kemudian karena tidak berjalan dengan baik upaya mengatasi overcrowded seperti program pemberian Pembebasan Bersyarat dan Cuti Bersyarat kemudian tempat rehabilitasi narkoba yang ditempatkan di Lapas tersebut dan bercampurnya Lapas dengan Rutan.
Sehingga penelitian ini juga menyimpulkan bahwa ada beberapa persiapan yang perlu dilakukan terkait upaya pembaharuan pemidanaan dan pemasyarakatan nantinya, mulai dari persiapan sumber daya aparat Sistem Peradilan Pidana, terkait sarana dan prasarana, serta kesediaan dari masyarakat sendiri untuk menerima kebijakan ini sebagai pidana alternatif.

Prisons overcrowding becomes a major problem in Indonesia. The example is Correctional Institution of Paledang Bogor. Overcrowding led to the emergence of the treatment of prisoners inhuman treatment. Then comes other problems such as uncomfortable feeling of the occupant prisons because they have each other to sleep overlapping and scramble the bed and there is even with a squatting position, the prisoners have to queue and scramble to get clean water for the toilets, bad circulation for fresh air, the emergence of infectious diseases, the limited to meetings with family, prisonization, riots, violence and so on. With such conditions, effective formation to reintegrate prisoners into society would be a very difficult to achieve.
To overcome these problems, Correctional Institution of Paledang Bogor has made various efforts, but also must be supported by the efforts of more structural, systematic and even more to cope with overcrowded.This research uses statute approach and case study through the study of literature, observation and interviews. From this study it can be concluded that the cause of overcrowded in the Correctional Institution of Paledang Bogor is that the correction is not only accommodates prisoners convicted by Court of Bogor but also of the verdict of the District Court of Cibinong and Depok which is each courts do not pay attention of the output decision that to much impose imprisonment sanction, then because it do not go well tackling overcrowded as program administration of Parole and a drug rehabilitation which is placed in Correctional Institution of Paledang Bogor and the cause which is not less important is the Correctional Institutionof Paledang Bogor also has the jail on it.
So this study also concludes that there are some preparations that need to be done related to sentencing and correctional reform efforts in the future, ranging from the preparation of the resource officers of Criminal Justice System, relating fascilities and infrastructure as well as the willingness of the community itself to accept this policy as an alternatives punishment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44859
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Fajar Putra Dipayana
"Tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia diikuti dengan tingginya jumlah kasus pencemaran nama baik. Dari data yang ada, pencemaran nama baik berada pada urutan jumlah yang sering dilaporkan ke pihak berwajib. Bahkan Pasal pencemaran nama baik (dalam KUHP/diluar KUHP) menjadi pasal yang sering disoroti oleh publik, kemudian pihak-pihak yang merasa tersinggung, pada umunya menggunakan pasal tersebut untuk menyerang balik dengan melaporkanya ke Polisi. Sementara penyelesaian masalah pencemaran nama baik, melalui hukum pidana, masih selalu diutamakan (Primum remedium) oleh penegak hukum, yang akibatnya hukum pidana sebagai sarana balas dendam, shock terapy, bahkan sarana barter kasus. Menurut penulis penanggulangan masalah dengan hukum pidana haruslah dengan alternative terakhir (ultimum remedium), perlu menerapan kebijakan penal yang juga diimbangi dengan kebijakan non-penal dalam penegakan hukum pencemaran nama baik, serta perlu mengkaji sejauh mana ketentuan rumusan pasal pencemaran nama baik jika dilihat dari kacamata doktin dan teori hukum. Dari hasil penelitian, sementara dapat disimpulkan bahwa perlu trobosan suatu kebijakan pidana yang ditawarkan guna mencapai rasa keadilan dalam menyelesaikan masalah pencemaran nama baik, dimana merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana, lebih menitik beratkan pada pemulihan keadaan serta memberikan fokus perhatian kepada korban, pelaku dan masyarakat. Melalui Pendekatan Restorative Justice akan menjadi solusi terbaik dalam menanggulangi kekurangan, keterbatasan dan kelemahan penyelesaian pencemaran nama baik dalam mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum di Indonesia.

The high number of social media users in Indonesia is followed by a high number of defamation cases. Based on the data, defamation is the number one that is often reported to the authorities. Even the defamation article (in the KUHP/outside the KUHP) becomes an article that is often highlighted by the public, then parties who feel offended, generally use this article to attack back by reporting it to the Police. While the resolution of defamation cases through criminal law is still prioritized (primum remedium) by law enforcers, as a result, criminal law becomes a means of revenge, shock therapy, and even a means of bartering cases. According to the author, solving problems with criminal law should be the last alternative (ultimum remedium), it is necessary to apply a penal policy that is also balanced with a non-penal policy in enforcing defamation law, and it is necessary to examine the extent to which the provisions for drafting defamation articles are viewed from a doctrinal and legal theory. Based on the research results, it can be concluded that it is necessary to make a breakthrough in a criminal policy that is offered in order to achieve a sense of justice in resolving defamation problems, which is a new approach in efforts to resolve criminal cases, focusing more on recovering the situation and focusing attention on the victim, actors, and society. Through a Restorative Justice Approach, it will be the best solution to overcoming deficiencies, limitations, and weaknesses in resolving defamation in realizing justice, benefits, and legal certainty in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Ligasetiawan
"Metode persidangan pidana dengan menggunakan alat elektronik baru digunakan luas setelah terjadinya pandemi Covid-19 yang berdampak pada sistem peradilan pidana berbagai negara di dunia. Perubahan ini berdampak pada hak terdakwa untuk hadir di muka pengadilan yang diatur dalam KUHAP. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan merupakan salah satu hak dasar bagi terdakwa dan sebagai jaminan dalam pelaksanaan peradilan yang adil (fair trial) karena berkaitan dengan proses pembuktian. Dalam pembahasan ini metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat. Penelitian ini menunjukkan, sidang pidana elektronik di Indonesia hanya diatur dalam peraturan Mahkamah Agung dan ini berbenturan dengan KUHAP; sedangkan di Belanda, sekalipun telah dituangkan dalam KUHAP, penggunaan videoconference dianggap melanggar ketentuan dalam European Convention on Human Rights; di Amerika Serikat penggunaan videoconference diatur dengan cukup ketat dalam CARES Act. Penelitian ini berpendapat, persetujuan terdakwa dalam persidangan pidana online diperlukan karena hal ini sebagai persetujuan mengenyampingkan hak untuk hadir di muka sidang. Oleh karena itu, penggunaan videoconferece tidak melanggar fair trial dan tetap dapat imparsial sepanjang terdapat persetujuan dari terdakwa atau ketentuan yang mengatur tersebut menjamin bahwa seluruh hak-hak terdakwa dapat dipenuhi.

The criminal trial method using electronic devices has only been widely used after the Covid-19 pandemic which has impacted the criminal justice system of various countries in the world. This change has an impact on the right of the accused to presence before the court as regulated in the Indonesia Criminal Procedure Code. The right of the accused's presence before the court is one of the basic rights for the accused and as a guarantee in the implementation of a fair trial because it is related to the evidentiary process. In this thesis the research method used is normative juridical with a comparative approach to the laws of Indonesia, the Netherlands, and the United States. This thesis shows that electronic criminal courts in Indonesia are only regulated in the Supreme Court regulations and this is in conflict with the Indonesia Criminal Procedure Code; whereas in the Netherlands, even though it has been stated in the Dutch Criminal Procedure Code, the use of videoconferencing is considered a violation of the provisions of the European Convention on Human Rights; in the United States the use of videoconference is regulated quite strictly in the CARES Act. This thesis argues that the accused’s approval to conduct a criminal trial via videoconferencing is necessary because this is an agreement that overrides the right to presence before the court. Therefore, the use of videoconferencing does not violate the fair trial and can still be impartial as long as there is agreement from the accused or the stipulations that regulate it ensure that all the rights of the accused can be fulfilled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>